Tuesday, May 31, 2011

Program Anti Rokok Indonesia Terburuk di Dunia

http://www.surya.co.id/2011/05/31/program-anti-rokok-indonesia-terburuk-di-dunia
SELASA, 31 MEI 2011 | 19:54 WIB



JAKARTA l SURYA Online- Hari ini adalah Hari Anti Tembakau Internasional. Indonesia berusaha keras menyadarkan masyarakat akan bahaya rokok. Namun nyatanya, program Anti Rokok Indonesia disebut-sebut sebagai program terburuk di dunia. Ada juga yang berpendapat bahwa kampanye anti-rokok justru merugikan warga, terutama warga miskin, melihat industri rokok Indonesia adalah salah satu yang terbesar di dunia.
Menurut Wardah Hafidz dari Urban Poor Consortium di Jakarta, masalahnya tidak sesederhana itu dan harus dilihat dari pelbagai aspek. Dari segi pemborosan uang dan dampak kesehatan, lebih baik jika orang-orang miskin tidak merokok.
Pembatasan atau larangan untuk tidak merokok di ruang publik, menurut Wardah, justru menguntungkan orang miskin. Sebagai contoh ia menyebut ancaman yang dikeluarkan Pemda DKI Jakarta untuk tidak memberi orang miskin kartu Gakin (kartu bebas biaya berobat, red.) jika masih merokok. Artinya, aturan itu menguntungkan mereka.
Namun jika dilihat dari hak asasi secara sangat individualistik, mungkin mereka yang sudah terlanjur sangat tergantung pada rokok akan rugi, tambah Wardah. “Tapi kalau secara lebih luas melihatnya, dari segi ekonomi dan kesehatan, sebetulnya larangan atau pembatasan itu baik untuk orang-orang miskin.”
Namun Wardah Hafidz juga mengakui industri rokok Indonesia menguntungkan orang miskin karena mempekerjakan jutaan orang. “Kalau dilihat bahwa dia memberi jutaan lapangan kerja, itu betul. Tapi harus dilihat juga secara imbang bahwa dia menyebabkan permasalahan kesehatan yang selama ini tidak diukur.”
Menurut Wardah juga harus dilihat seberapa besar dampak kesehatan yang harus ditanggung oleh khususnya orang-orang miskin. “Karena ketika mereka misalnya kena kanker, tidak ada jaminan apa-apa dari baik pemerintah, maupun tanggung jawab dari industri rokoknya. Yang di situ, menurut saya, cara melihatnya tidak imbang.”
Wardah selanjutnya mengatakan bahwa industri rokok memberikan ancaman tidak hanya kepada yang merokok tapi juga kepada orang-orang di sekitar si perokok itu. “Kalau yang kaya, mereka masih bisa memilih cara rokok yang lebih aman, membuat dampak kesehatan tidak terlalu besar pada dirinya atau lingkungannya.”
Lain halnya dengan orang miskin, jelas Wardah. “Kalau orang-orang miskin, mungkin dia mendapat gaji, lima ratus ribu sebulan. Tapi ketika dia sakit, biayanya jauh lebih besar dari itu, belum lagi nanti anaknya mengisap juga asapnya, atau isterinya, atau lingkungan sekitarnya.”

Hizbullah, Pemantik Awal Kebangkitan Islam

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=33561


Pengamat Senior Timur Tengah 
dan mantan duta besar Iran 
untuk Yordania, Mohammad 
Irani menyatakan, Hizbullah 
Lebanon, membangkitkan 
semangat muqawama rakyat 
kawasan serta keberanian 
mereka dalam menghadapi 
musuh.
Hal itu dikemukakan Mohammad 
Irani hari ini (30/5) dalam pembahasan khusus tentang 
"peran Hizbullah Lebanon dalam kebangkitan Islam" 
yang digelar di pusat riset budaya, seni, dan telekomunikasi 
Kementerian Kebudayaan dan Bimbingan Islam Iran. 
Ditambahkannya, Hizbullah telah menghancurkan dinding 
ketakutan rakyat regional dan hal ini menyebabkan 
munculnya penentangan terhadap rezim-rezm Arab.
Menurut Irani, pengaruh Hizbullah dalam hal ini bukan dari 
jenis perangkat keras melainkan karena pemikiran dan 
kinerja kelompok tersebut. Ditegaskannya pula bahwa proses 
pengaruh Hizbullah terhadap rakyat di kawasan berlangsung 
secara gradual dan dimulai sejak dibentuknya gerakan 
tersebut.
Menyinggung pengalamannya tinggal di Lebanon selama 
beberapa tahun, Irani menjelaskan, bahwa kekuatan dan 
muqawama Hizbullah terdiri atas banyak elemen yang salah
satu di antaranya adalah ketegasan di hadapan musuh, 
pluralisme, pelibatan seluruh lapisan masyarakat dalam 
gerakan muqawama, protes damai, dan melancarkan operasi-
operasi psikologis terhadap musuh, dan memanfaatkan dengan 
maksimal fungsi media massa.
Pengamat Iran ini menjelaskan bahwa sejak tahun 1996, 
Hizbullah membentuk tim propaganda bersama dengan tim 
khusus untuk berperang melawan musuh. Tidak lama setelah 
operasi tersebut, Hizbullah menyiarkan film dan berita-berita 
terkait operasi tersebut.
Langkah ini bertujuan selain untuk mencegah sensor berita 
dari musuh, juga dalam rangka mempengaruhi opini umum, 
dan melemahkan semangat musuh.
Irani menyebut Hizbullah adalah milik umat dan mencakup 
seluruh lapisan masyarkat. Anggotanya adalah semua warga, 
bukan dengan kartu tanda pengenal. Tujuannya Hizbullah 
bukan untuk meraih kekuasaan, melainkan demi 
membebaskan wilayah yang diduduki Israel.
Menurutnya, Hizbullah adalah kelompok yang dibentuk dalam 
kondisi yang sangat rumit serta dengan tujuan mulia dan jangka 
panjang, tidak dapat dibandingkan dengan kelompok-kelompok 
lain. (IRIB/MZ)

Monday, May 30, 2011

Australia: RI, Stop Kekejaman pada Sapi Kami

SELASA, 31 MEI 2011, 07:29 WIB
Rekaman kekejaman terhadap ternak ditayangkan program ABC's Four Corners tadi malam.

VIVAnews - Pemerintah Federal Australia sedang berada di bawah tekanan, untuk mengakhiri ekspor ternak hidup ke Indonesia. Kini sedang diributkan bahwa rumah pemotongan di tanah air melakukan berbagai praktek kejam terhadap binatang, yang dianggap melanggar hak asasi hewan. 







Sebuah rekaman penyembelihan sapi ditayangkan di program ABC's Four Corners tadi malam, Senin, 30 Mei 2011. Dalam tayangan itu terlihat sapi Australia rata-rata dipotong di tenggorokannya 10 kali, padahal mestinya hanya satu sayatan. Tak hanya itu, hewan-hewan itu juga mengalami kekerasan lain.

Menyusul tayangan tersebut, organisasi Animals Australia, RSPCA, dan politisi Australia, Andrew Wilkie, menuntut pemerintah dan eksportir untuk mengakhiri pengiriman ternak hidup ke Indonesia. Kata mereka, baik pemerintah dan industri telah mengabaikan fakta yang terjadi di rumah pemotongan hewan Indonesia.

Perusahaan LiveCorps yang menerima rekaman ini minggu ini juga  langsung bertindak. Mereka membatalkan penjualan ke tiga rumah pemotongan hewan dan mengirimkan ahlinya.

"Meskipun kami menghadapi banyak tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan hewan di negara berkembang, kami telah membuat kemajuan besar selama dekade terakhir," kata bos LiveCorp, Cameron Hall, seperti dimuat situs berita The West Australian, Selasa, 31 Mei 2011.

"Tidak ada bangsa lain yang memiliki komitmen pada kesejahteraan hewan seperti Australia dan tidak ada negara lain yang berinvestasi dalam kesejahteraan hewan seperti yang kami lakukan." LiveCorp bersikeras rekaman yang dipertontonkan ke publik Australia tak mencerminkan seluruh kondisi di Indonesia.

Untuk diketahui, Indonesia adalah importir terbesar sapi Australia--memiliki 100 fasilitas pengolahan binatang.

Bagaimana kekejaman pada sapi itu bisa terkuak? Adalah aktivis perlindungan binatang dari Animals Australia, Lyn White yang datang langsung ke Indonesia.
Ia mengunjungi 11 rumah pemotongan hewan Maret 2011 lalu. Saat itulah kekejaman itu terkuak. Di salah satu kasus, ada seekor sapi tergelincir di lantai yang licin. Dengan maksud menggiring sapi ke penyembelihan, para pekerja memutus ekornya, mencukil mata, dan menuangkan air ke hidung sapi.

Kepala riset RSPCA, Bidda Jones, yang ditugaskan menganalisa penyembelihan mengatakan, rata-rata sapi harus dipotong tenggorokannya sampai 10 kali sebelum mati. "Bahkan ada yang sampai 33 kali," kata dia pada ABC. "Ini bukti kurangnya keahlian dan pisau yang kurang tajam."

Selain menuntut perbaikan di rumah pemotongan, para eksportir Australia juga dituntut memperbaiki metode pengiriman. Salah satunya, dengan menggunakan kotak--untuk mencegah kaki binatang bersinggungan dengan lantai yang licin dan terjatuh.
• VIVAnews

Saturday, May 21, 2011

20% Ilmuwan Ateis Ternyata Rohaniawan

http://teknologi.vivanews.com/news/read/218789-20--ilmuwan-ateis-ternyata-rohaniawan

Agama merupakan hal yang komunal. Sementara spiritualitas adalah hal yang sangat pribadi.


VIVAnews - Albert Einstein, ilmuwan terkemuka dunia menyebutkan, ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang, dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta. Namun ternyata, pencarian ilmu pengetahuan bisa sejalan dengan spiritualitas.

Kesimpulan itu merupakan hasil dari penelitian terbaru sekelompok sosiolog yang melakukan penelitian terhadap 275 orang ilmuwan terkemuka. Dari survey yang dilakukan, ternyata 1 dari 5 orang ilmuan ateis menyebut dirinya sebagai ‘spiritual’ atau rohaniawan.

“Para ilmuwan ateis namun spiritual ini mencari inti dari kebenaran melalui spiritualitas, hal yang dihasilkan dan konsisten dengan pekerjaan yang mereka lakukan sebagai ilmuwan,” kata Elaine Howard Ecklund, sosiolog dari Rice University yang mengetuai penelitian itu.

Dikutip dari Life Little Mysteries, Ecklund menyebutkan, banyak ilmuwan melihat sains dan spiritualitas sebagai ‘perjalanan mencari arti’ yang tidak membutuhkan iman. Di sisi lain, Agama membutuhkan kepercayaan tanpa bukti-bukti empiris dan menyebabkan ia tidak kompatibel dengan pencarian ilmu pengetahuan.

“Spiritualitas hadir bahkan di kalangan ilmuwan yang paling sekuler sekalipun,” kata Ecklund pada laporannya yang dipublikasikan di jurnal Sociology of Religion. “Spiritualitas juga hadir di pikran baik ilmuwan beragama ataupun ilmuwan ateis,” ucapnya.

Temuan ini, kata Ecklund, bertentangan dengan anggapan bahwa ilmuwan dan kelompok lain yang kita nilai sebagai sekuler yang tidak memiliki pertanyaan ‘Mengapa saya ada di sini’ dalam dirinya. “Sebenarnya mereka juga memiliki pertanyaan manusiawi seperti itu dan hasrat untuk mencari arti,” ucapnya.

Selain itu, Ecklund menyebutkan, ada perbedaan di antara agama dan spiritualitas. “Menurut para ilmuwan ateis yang diwawancara, agama merupakan hal yang komunal atau upaya kolektif, sementara spiritualitas merupakan hal yang sangat pribadi,” ucapnya.

Untuk itu, para peneliti beralasan, pencarian terhadap ilmu pengetahuan bisa sejalan dengan spiritualitas.
• VIVAnews

Sunday, May 15, 2011

Dana Iklim Hijau: Kemana Indonesia?




http://suar.okezone.com/read/2011/05/06/58/453983/58/dana-iklim-hijau-kemana-indonesia
Jum'at, 6 Mei 2011 - 11:16 wib
Opini


Komite Transisi Dana Iklim Hijau (Green Climate Fund) telah mengadakan rapat pertamanya pada tanggal 28-29 April 2011 di Meksiko. Indonesia tidak terdaftar sebagai anggota komite transisi ini.

Email dari Mohammed Al Sabban (pemimpin Grup Asia) pada tanggal 10 April 2011 kepada Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) tidak mengusulkan Indonesia untuk menjadi anggota Komite Transisi Dana Iklim Hijau. Grup Asia diwakilkan oleh China, India, Pakistan, Arab Saudi, Korea Selatan, Filipina dan Singapura. Ada kabar tidak masuknya Indonesia menjadi anggota komite transisi ini memang disengaja. Indonesia sengaja mengalah agar didukung negara ASEAN untuk duduk sebagai anggota Dewan Dana Iklim Hijau yang memiliki posisi lebih kuat dari anggota Komite Transisi Dana Iklim Hijau.

Salah Strategi?

Sudah terdapat sejumlah dana perubahan iklim dalam mekanisme UNFCCC sebelum terciptanya Dana Iklim Hijau. Namun Dana Iklim Hijau dapat dikatakan paling istimewa. Pertama, Dana Iklim Hijau akan menyediakan dana perubahan iklim terbesar dibandingkan inisiatif dana lainnya. Jumlahnya sebesar 100 miliar dolar AS per tahun mulai tahun 2020. Kedua, Indonesia memiliki peluang besar untuk mendapatkan dana tersebut.
  
Komite Transisi Dana Iklim Hijau sangat strategis. Komite transisi memiliki 40 anggota. Terdapat 15 anggota dari negara maju dan 25 anggota dari negara berkembang. Semua anggota G-7 merupakan anggota Komite Transisi Dana Iklim Hijau. Hampir semua anggota G-20 juga merupakan anggota komite transisi ini. Hanya Indonesia dan Turki saja yang bukan anggota komite transisi ini. Selain itu Indonesia juga merupakan satu-satunya negara yang tidak menjadi anggota komite transisi ini dari 5 negara berpenduduk terbesar di dunia. Cina, India, Amerika Serikat dan Brasil merupakan anggota Komite Transisi Dana Iklim Hijau.
  
Diplomasi Indonesia dapat dikatakan salah langkah. Pertama, Dewan Dana Iklim Hijau belum tentu terbentuk dalam waktu dekat. Kesepakatan Cancun pada Konferensi Para Pihak Perubahan Iklim Ke-16 (COP-16) tahun 2011 yang mengatur Dana Iklim Hijau tidak bersifat mengikat secara hukum. Pembentukan Dewan Dana Iklim Hijau sangat tergantung dari kesiapan dan dorongan komite transisi.

Kedua, Indonesia belum tentu diusulkan menjadi Dewan Dana Iklim Hijau. Jikapun memang benar, Indonesia sengaja “disimpan” ASEAN untuk menjadi anggota Dewan Dana Iklim Hijau, hal ini memiliki kekuatan hukum yang lemah karena tidak adanya bukti hitam diatas putih. Selama tidak ada kesepakatan berkekuatan hukum, maka tidak ada jaminan ASEAN dan Grup Asia akan menunjuk Indonesia sebagai anggota Dewan Dana Iklim Hijau.
  
Ketiga, Indonesia telah kehilangan peluang besar sebagai konseptor Dana Iklim Hijau. Salah satu tugas terpenting dari komite transisi ini adalah merekomendasikan metode dan bentuk pemberian dana perubahan iklim yang akan diberikan kepada negara berkembang. Apakah itu dalam bentuk hibah, utang dengan bunga ringan atau bunga yang sama seperti bank komersial. Ini semua tergantung rekomendasi Komite Transisi Dana Iklim Hijau.

Dana bukan Pujian

Hampir semua pembicara memuji peran strategis Indonesia dalam negosiasi perubahan iklim global pada acara Business for Environment Global Summit (B4E) 2011 di Jakarta (27-29 April 2011). Jangan pujian yang pemerintah cari. Kita perlu dana. Dana yang sangat besar untuk membiayai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Selain itu pemerintah jangan dulu berbangga hati. Mitigasi dan adaptasi di Indonesia masih jauh dari kata memuaskan.

Pemerintah telah keliru karena tidak memanfaatkan momentum untuk menjadi anggota Komite Transisi Dana Iklim Hijau. Namun masih ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, Indonesia dapat terus mengikuti perkembangan komite transisi dan memberikan saran tertulis secara rutin kepada komite ini. Kedua, Indonesia harus dapat menolak rekomendasi Komite Transisi Dana Iklim Hijau pada pertemuan COP apabila usulan komite transisi bertentangan dengan prinsip hukum perubahan iklim internasional. Dua hal ini diatur dalam rezim hukum perubahan iklim internasional.

Pengawalan kerja terhadap Komite Transisi Dana Iklim Hijau penting dilakukan. Saat ini belum ditentukan bagaimana bentuk penyaluran dana dari Dana Iklim Hijau pada tahun 2020. Apakah itu melalui hibah atau melalui utang. Pemerintah tidak boleh menyerah begitu saja kepada skema utang. Utang adalah jalan pintas, sedangkan hibah merupakan perjuangan. Indonesia harus berdiplomasi dengan serius agar penyaluran dana diberikan dalam bentuk hibah. Dasar hukumnya adalah prinsip “Tanggung Jawab Bersama tetapi Berbeda.” Dimana negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan negara berkembang karena negara maju paling bertanggungjawab terhadap terjadinya perubahan iklim.

Indonesia perlu waspada terhadap berbagai upaya dari negara maju untuk melumerkan prinsip ini. Dana Iklim Hijau tidak boleh dijadikan Bank Iklim Hijau. Dana Iklim Hijau bukan Bank Dunia. Dana Iklim Hijau bukan bank komersil, apalagi rentenir. 


Handa S. Abidin, S.H., LL.M.
Pengamat Hukum Perubahan Iklim
Kandidat Ph.D. dari University of Edinburgh School of Law

PASAR TERAPUNG Membangun Jalan, Melupakan Peradaban

http://tanahair.kompas.com/read/2011/05/08/18351088/Membangun.Jalan..Melupakan.Peradaban
Minggu, 8 Mei 2011 | 18:35 WIB



Oleh A Handoko dan Defri Werdiono

Masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, perlahan-lahan meninggalkan sungai sebagai pusat hidup sosial, dan berpaling pada daratan yang terus dibangun. Pusat peradaban dan gaya hidup secara masif berkembang, seiring pesatnya pembangunan jalan baru.

Sungai kini tinggal menjadi beranda belakang rumah, sementara jalan menempati posisi sebagai beranda depan dan mengambil peran sebagai orientasi pembangunan. Sungai makin asing bagi masyarakatnya sendiri.

Keterasingan sungai dari masyarakatnya bisa dicermati dari penuturan Yana (40), warga Jalan Sultan Adam. Kendati tinggal di Banjarmasin, Yana mengaku baru dua kali mengunjungi pasar terapung di Sungai Alalak, Banjarmasin. ”Dua kali itu juga karena mengantar kerabat yang penasaran dengan pasar terapung. Saya sekalian ingin melihatnya juga, ternyata tidak seramai cerita orang-orang dulu. Saya juga memilih belanja di pasar tradisional di darat yang lebih mudah didatangi dibandingkan ke pasar terapung,” kata Yana.
Kompas/Defri Werdiono
Sejumlah pedagang di Pasar Apung Lokbaintan, di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, nampak membaur dengan pembeli dan wisatawan, dalam suatu pagi, pertengahan Maret lalu. Pasar yang berada di Sungai Martapura ini menjadi salah satu alternatif obyek wisata di Banjarmasin dan sekitarnya, selain Pasar Apung Muara Kuin di dekat Sungai Barito.
   
Lain lagi dengan pengakuan Naniah (35), warga Jalan Sudirman, Banjarmasin. Baginya, berbelanja ke pasar terapung tidak praktis dan repot karena harus menyewa perahu dan tidak semua kebutuhan ada di pasar terapung. ”Berbagai kebutuhan justru tersedia di supermarket yang bersih dan bisa diakses dengan mudah. Saya memanfaatkan pilihan yang ada,” kata Naniah.
Wajah banjarmasin yang dulu dikenal sebagai kota sungai karena memiliki 400 sungai kecil yang bermuara di dua sungai besar, yakni Barito dan Martapura, kini sudah berubah. Pusat bisnis, industri rumah tangga, dan permukiman yang dulu berpusat di pinggir-pinggir sungai, kini telah beralih ke pinggir jalan raya. Hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan pasar-pasar kini berjajar di jalan-jalan utama Banjarmasin. Sungai berangsur-angsur kehilangan perannya sebagai sarana utama mobilitas warga.
Makin surutnya peran sungai di Banjarmasin itu terasa sangat ironis. Pada tahun 1960-an Banjarmasin masih tergantung pada transportasi air melalui dua sungai besar, yakni Barito dan Martapura, serta 400 sungai kecil lainnya yang melintasi berbagai pelosok kota. Namun, rencana pembangunan lima tahunan yang dipakai oleh Orde Baru justru terfokus pada percepatan pembangunan infrastruktur jalan. Moda transportasi sungai tidak mendapat prioritas.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Banjarmasin menunjukkan, panjang jalan dan jumlah kendaraan terus bertambah, sementara jumlah sungai yang bisa dilalui untuk lalu lintas perairan dan jumlah moda transportasi air terus berkurang. Pada tahun 1991/1992 tercatat panjang jalan hanya 205,07 Kilometer (km), dengan 193,29 km di antaranya sudah beraspal. Tahun 2009, tercatat total panjang jalan di Banjarmasin mencapai 458,391 km. Dari panjang jalan itu, 425,726 km di antaranya berupa jalan beraspal, 8,139 km jalan dengan permukaan kerikil, dan 24,526 km masih berupa jalan tanah.
Anggota staf bagian data BPS Banjarmasin, M Basuki, mengatakan, bertambahnya jaringan jalan di Banjarmasin itu berbanding lurus dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. Tahun 1991/1992, jumlah sepeda motor di Banjarmasin hanya 47.564 buah dan mobil hanya 14.813. Pada tahun 2009 jumlah sepeda motor di Banjarmasin mencapai 259.778 buah dan mobil sebanyak 55.280.
Selain terus bertambahnya jaringan jalan, peningkatan jumlah kendaraan bermotor dipicu pula oleh kemudahan mendapatkan kendaraan bermotor melalui fasilitas kredit. Kini, dengan uang muka Rp 500.000 saja dan angsuran Rp 700.000 per bulan, warga sudah bisa bisa membawa pulang sebuah sepeda motor.
Bertambahnya jaringan jalan dan jumlah kendaraan bermotor di Banjarmasin diikuti oleh terus menurunnya jumlah sungai yang bisa dilalui moda transportasi perairan dan jumlah moda transportasi sungai. Sebelum pembangunan di darat marak, terdapat sedikitnya 400 sungai kecil di Banjarmasin yang bisa dilalui oleh perahu. Kini, jumlahnya tinggal 100.
Budayawan dan dosen Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Djantera Kawi, mengatakan, jumlah sungai yang bisa digunakan sebagai sarana transportasi berkurang drastis karena banyak sebab. ”Banyak sekali sungai kecil di Kota Banjarmasin yang telah tertutup oleh jembatan beton halaman rumah warga. Sebagian sungai lainnya menyempit dan dangkal. Itu membuat perahu tidak bisa lewat dan sungai semakin ditinggalkan,” kata Djantera.

Kondisi itu membuat warga makin enggan menggunakan transportasi sungai. Akibatnya, jumlah moda transportasi air pun turun drastis dalam 20 tahun terakhir. Pada tahun 1991 jumlah moda transportasi sungai di Banjarmasin yang masuk kategori pelayaran lokal 1.136 buah, pelayaran rakyat 1.247 buah, dan kapal lokal 1.136. Tahun 2009, pelayaran lokal dan kapal lokal sudah tak ada lagi, hanya terdapat 416 buah perahu kelotok, 54 buah perahu getek, dan 28 speedboat.
Ketua Presidium Forum Pariwisata Kalimantan Selatan Aloysius J Purwadi mengatakan, revitalisasi pasar apung dan menjadikannya landmark Banjarmasin, bisa menjadi salah satu cara menyelamatkan peradaban sungai. ”Pemerintah daerah semestinya menata pasar terapung menjadi aset wisata sekaligus memberi kemudahan kepada para wisatawan untuk berbelanja. Komoditas yang dijajakan harus lebih variatif, tidak hanya hasil bumi dan hasil tangkapan nelayan,” kata Purwadi.
Menurut Purwadi, pembenahan pasar terapung akan menjadi penggerak perubahan sungai. ”Semua pihak harus bersyukur bahwa pasar terapung belum benar-benar mati, dan masih menjadi daya tarik wisata. Aspek itu bisa menjadi titik tolak pengelolaan sungai secara terpadu agar bisa tumbuh lagi peradaban sungai seperti yang dulu pernah menjadi kebanggaan Banjarmasin,” kata Purwadi.
Dalam tekanan pembangunan yang sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan memacu pengembangan kawasan darat, Purwadi melihat masih ada peluang untuk mengembalikan sungai pada perannya sebagai pusat peradaban.
Beberapa sungai yang berpotensi dikembangkan lagi antara lain Sungai Jafri Zamzam menuju Pasar Rarawasari, Sungai Duyung menuju Pasar Kalindo, Sungai Veteran menuju A Yani dan Pasar Kuripan, Sungai Pekapuran menuju Pasar Junjung Buih, Sungai Kelayan menuju Pasar Kayuh Baimbai, Sungai Belitung menuju Pasar Simpang Belitung, dan Sungai Pelambuan menuju Pasar Teluk Dalam.
Sungai adalah aset tak ternilai karena tidak banyak wilayah di Indonesia memiliki sungai sebanyak yang dimiliki Banjarmasin. Belum terlambat untuk memalingkan muka ke sungai, menatanya, dan menjadikannya sarana strategis untuk memajukan masyarakat.

Pembangunan di Darat Menggusur Pasar Terapung

http://tanahair.kompas.com/read/2011/05/08/1859207/Pembangunan.di.Darat.Menggusur.Pasar.Terapung
Minggu, 8 Mei 2011 | 18:59 WIB
Oleh A Handoko dan Defri Werdiono

Aktivitas perdagangan di Pasar Apung, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (12/3). Aktivitas jual beli di pasar apung kini menurun drastis akibat semakin banyaknya pasar di darat.
Budaya sungai masyarakat Kalimantan Selatan pada masa silam telah melahirkan pasar terapung. Namun, pembangunan di darat perlahan tetapi pasti menggusur peran pasar terapung sebagai pusat pertemuan masyarakat dari berbagai kelas sosial.
Matahari belum tampak di Sungai Barito, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ketika perahu-perahu bergerak perlahan menuju Alalak. Malam masih menyisakan gelap. Di anak Sungai Barito itu, perahu-perahu saling mendekat, penumpangnya saling menyapa. Pembicaraan hangat antarpenumpang menandai dimulainya aktivitas pasar terapung, pasar yang terbentuk secara simbolis dari interaksi masyarakat dari perahu masing-masing.
Di Alalak, ada beragam jenis perahu yang dipakai. Ada perahu tradisional kecil menggunakan dayung dengan penerangan lampu minyak, ada pula perahu bermesin dengan penerangan bohlam. Perahu-perahu kecil lain yang hilir mudik di Alalak menciptakan gelombang kecil yang mengayun-ayun perahu-perahu yang sedang digunakan untuk bertransaksi.
Komoditas yang diperjualbelikan di pasar terapung umumnya adalah hasil bumi, mulai dari pisang, jeruk siam banjar, sampai berbagai jenis sayuran. Selain jual-beli menggunakan uang, ada juga pembeli dan penjual yang bertransaksi dengan cara barter.
Salah seorang pedagang pasar terapung, Ummah (50), mengatakan, sebagian besar barang yang dijual di pasar terapung berasal dari daerah penghasil di sekitar hulu sungai. ”Hasil bumi itu juga dikirim ke Banjarmasin dengan perahu,” ujar Ummah yang sudah belasan tahun berjualan di pasar terapung Alalak.
Dibandingkan dengan 20 tahun lalu, menurut Ummah, ada perbedaan karakter pembeli. ”Dahulu pembeli di pasar terapung kebanyakan untuk keperluan dapur. Sekarang justru orang seperti itu makin sedikit, lebih banyak pedagang yang akan mengecerkan di perumahan atau berdagang lagi di pasar-pasar di darat,” katanya.
Galuh (48), pembeli di pasar terapung yang hendak menjual barang-barang di darat, mengatakan, harga barang di pasar terapung lebih murah. ”Buah nangka muda selisih harganya bisa sampai Rp 1.000 per buah dibandingkan harga di darat. Jadi, saya lebih untung,” ujarnya. Transaksi di Alalak berakhir sekitar pukul 08.00, saat sinar matahari mulai menyengat.



Pasar terapung Alalak adalah pergeseran tempat transaksi yang semula muncul di Muara Kuin, Sungai Barito, tahun 1950. Aktivitas pasar terapung di Muara Kuin terganggu oleh hilir mudik kapal-kapal besar yang menciptakan gelombang agak tinggi. Gelombang ini menyebabkan transaksi di pasar terapung sulit karena perahu terombang-ambing.
Di Muara Kuin, transaksi di pasar terapung masih ada, tetapi terbagi dua tempat, yakni untuk komoditas hasil bumi dan hasil laut tangkapan nelayan. Jumlah pedagang di kedua pasar terapung di Muara Kuin itu 85 orang. Di Alalak, jumlah pedagang tak lebih dari 40 orang.
 Jumlah pedagang di Muara Kuin dan Alalak jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Menurut Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Banjarmasin, jumlah pedagang terus turun sejak 1980. Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Banjarmasin Noor Hasan mengatakan, sebelum 1980 jumlah pedagang di Muara Kuin lebih dari 200 orang, tetapi kini tinggal 85 orang.
Sejumlah pedagang di Pasar Apung Lokbaintan, di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, nampak membaur dengan pembeli dan wisatawan, pertengahan Maret lalu. Pasar yang berada di Sungai Martapura ini menjadi salah satu alternatif obyek wisata di Banjarmasin dan sekitarnya, selain Pasar Apung Muara Kuin di dekat Sungai Barito.
Bersejarah
Pasar terapung Muara Kuin adalah pasar yang legendaris. Pasar itu ada sejak Kerajaan Banjar berdiri tahun 1526. Namun, ada versi lain yang meyakini pasar Muara Kuin sudah ada jauh sebelum Kerajaan Banjar berdiri.
Namun, keduanya bermuara sama, yakni pasar terapung terbentuk dari tradisi berperahu penduduk Kalimantan Selatan.
Budayawan dan pemerhati bahasa Banjar, Djantera Kawi, mengatakan, dulu hampir semua pasar di Banjarmasin berada di tepi sungai. ”Dulu sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat. Sarana transportasi utama warga adalah sungai karena belum banyak jalan.”
Selain di Muara Kuin, pasar terapung juga terbentuk di Lokbaintan di Sungai Martapura, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. Jumlah pedagang di Lokbaintan kini tinggal 200-an orang. Tak ada data yang pasti berapa jumlah pedagang sebelumnya. Namun, banyak yang memperkirakan dulu jumlahnya dua kali lipat.
Dosen Program Pendidikan Sejarah Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Hairiyadi, menambahkan, pasar apung Lokbaintan terbentuk setelah Kerajaan Banjar berdiri. Posisi Lokbaintan lebih dekat dengan pusat produksi komoditas pertanian daripada Muara Kuin. ”Dari Lokbaintan, sebagian hasil bumi dikirim ke Muara Kuin. Letaknya yang dekat dengan pusat produksi komoditas pertanian itu adalah salah satu penyebab pasar apung Lokbaintan masih lebih ramai,” kata Hairiyadi.
Warisan peradaban sungai makin surut, tergeser oleh kemudahan akses di darat. Di pasar terapung Muara Kuin dan Alalak, pada akhir pekan, aktivitas justru didominasi para wisatawan. Sayangnya, kebanyakan wisatawan sekadar mengagumi fenomena transaksi unik di atas perahu, tetapi tak mendongkrak transaksi di pasar apung.
Pembangunan yang pesat di darat cenderung tak memerhatikan keberadaan sungai-sungai kecil sehingga akses ke Barito melalui sungai makin sulit. Banyak sungai kecil di Kota Banjarmasin yang saat ini tak bisa lagi dilalui perahu. Penyebabnya, alur sungai tertutup jembatan beton serta adanya penyempitan atau pendangkalan sungai. ”Dulu, jumlah sungai di Kota Banjarmasin diperkirakan lebih dari 400 buah, tetapi sekarang tinggal 100 saja,” kata Djantera.
 Salah satunya, sungai kecil di Jalan Letjen Sutoyo dari arah Pelabuhan Trisakti menuju Masjid Raya Sabilal Muhtadin. ”Tahun 1970, sungai itu masih bisa dilalui perahu, tetapi sekarang tidak bisa lagi,” ujarnya.
Tanpa mempertimbangkan nilai strategis sungai sebagai aset yang berharga dalam membangun kawasan Banjarmasin, umur pasar terapung barangkali tak akan lama lagi.