Saturday, November 26, 2011

Inilah Foto Satelit 'Piramida' yang Ada di Garut

http://nasional.inilah.com/read/detail/1800074/inilah-foto-satelit-piramida-yang-ada-di-garut

Headline


INILAH.COM, Jakarta - Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial Andi Arief mengatakan, di Desa Sadahurip dekat Wanaraja Kabupaten Garut, Jawa Barat, ditemukan sebuah bangunan purba yang terkubur.
Andi Arief menjelaskan tim katastropik purba telah mendapatkan gambaran bentuk bangunan tersebut seperti piramida, melalui foto satelit IFSAR, geolistrik, dan berbagai survei.
Umur bangunan yang terpendam diduga lebih tua dari Piramida Giza, Mesir. Tim katastropik purba telah meneliti secara intensif dan uji "karbon dating untuk memperkirakan umur bangunan itu.
"Kita sudah pastikan bangunan itu bentuknya mirip piramida. Ditengarai ada satu pintu untuk masuk ke bangunan tersebut, kita terus lakukan penelitian," kata Andi Arief kepada INILAH.COM, Kamis (24/11/2011).
Sekadar catatan, Piramida Giza selama ini dikenal sebagai piramida tertua dan terbesar dari 3 piramida yang ada di Nekropolis Giza.
Tim Katastropik Purba akan terus berkoordinasi dengan bidang kepurbakalaan, antropologi, arkeologi, pakar budaya, ahli sejarah dan lainnya. Disamping itu, juga akan terus berkoordinasi lintas ilmu kebumian sehubungan dengan temuan-temuan sejarah bencana-bencana lokal dan global untuk dicari mitigasinya. [bar]

Thursday, November 24, 2011

Cloud Computing Ibarat Penggunaan Air & Listrik

http://www.detikinet.com/read/2011/11/24/135756/1774774/398/cloud-computing-ibarat-penggunaan-air-listrik?i991102105
Ardhi Suryadhi - detikinet



Jakarta - Layanan cloud computing dinilai menyerupai layanan listrik dan air bersih dalam kehidupan sehari-hari. Dimana untuk mendapatkan layanan listrik, kita tidak perlu membeli genset, membangun instalasi di rumah, dan membeli peralatan lain. 

Menurut Ary Setijadi Prihatmanto, Manager di Microsoft Innovation Center Institut Teknologi Bandung (MIC-ITB), analogi tersebut dipakai karena untuk mengadopsi layanan komputasi awan, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli perangkat keras maupun perangkat lunak. Perangkat ini sudah disediakan oleh provider sesuai kebutuhan pelanggan. 

Jadi mirip-mirip dengan layanan air dan listrik. Kita cukup berlangganan kepada PLN secara bulanan dan membayar sesuai kebutuhan dan penggunaan listrik. 

Begitu juga dengan layanan air bersih. Kita tidak perlu membuat sumur, membeli mesin pompa, hingga pipa jaringan untuk mendapatkan air bersih. Cukup berlangganan kepada PDAM, kebutuhan air kita bisa dipenuhi. Setiap bulan kita cukup membayar sejumlah air yang kita gunakan. 

"Begitulah kira-kira cloud computing," tukas Ary, dalam keterangannya, Kamis (24/11/2011). 

Komputasi awan sendiri memiliki tiga segmen layanan, yakni perangkat lunak, platfom, dan infrastruktur dengan tujuan dan produk yang berbeda untuk kepentingan bisnis maupun individu. Layanan pertama, Software as a Service (SaaS) adalah layanan berbasis konsep menyewakan perangkat lunak. 

Dari layanan SaaS, industri dapat bermigrasi ke Platform as a Service (PaaS) yang menawarkan pengembangan platform untuk pengembang (developer). Pengguna layanan ini bisa membuat kode sendiri dan penyedia PaaS mengunggah dan menampilkan di web. 

Layanan PaaS juga menyediakan layanan pengembangan, pengujian, penyebaran, hingga menjadi tuan rumah, dan menjaga aplikasi.

Sedangkan layanan ketiga, Infrastructure as a Service (IaaS) yang memungkinkan pengguna cloud computing membeli infrastruktur sesuai kebutuhannya. 

Ada keuntungan yang bisa didapat dari layanan ketiga ini yakni pengguna hanya membayar layanan sesuai kapasitas yang mereka gunakan. Pengguna tidak perlu membayar mahal untuk membeli layanan yang sesungguhnya kurang banyak digunakan. Pengguna, baik individu maupun perusahaan, hanya membayar apa yang mereka pakai.

Monday, November 21, 2011

Perokok adalah Orang Egois

http://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/11/14/220/Perokok-adalah-Orang-Egois
Kartono Mohamad
Senin, 14 November 2011 21:45 WIB


Jusuf Ronodipuro, seorang pejuang dan pelopor Radio Republik Indonesia, meninggal beberapa tahun lalu akibat kanker paru-paru. Beliau adalah perokok berat. Menurut cerita puteranya, Bapak Darmawan Ronodipuro, almarhum mengakui bahwa perokok itu orang yang egois. Tidak memikirkan kepentingan orang lain, termasuk kesehatan keluarganya. Oleh karena itu beliau meninggalkan pesan agar puteranya jangan merokok. Kalau sudah terkena penyakit, harta dan ketenangan keluarga terpaksa harus dikorbankan untuk mengobati penyakit yang diakibatkan oleh egoisme si perokok.

Bahwa kebiasaan merokok lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya sudah diketahui oleh kalangan kedokteran sejak abad ke-18. Tetapi kepentingan bisnis yang banyak membawa keuntungan membuat industri rokok di mana pun juga akan berjuang mati-matian agar dagangannya tidak dihambat. Kalau perlu dengan berbohong atau bersikap munafik.

Mahkamah Agung di Washington pernah memvonis bahwa para CEO industri rokok telah melakukan pembohongan publik karena tidak berterus terang tentang bahaya rokok kepada konsumennya. Sejak itu antara Kongres Amerika dengan industri rokok dicapai kesepakatan mengenai Mutual Settlement Agreement. Artinya, konsumen berhak menuntut pabrik rokok jika ia terkena penyakit akibat rokok. Ganti rugi yang terbesar yang pernah diputuskan oleh sebuah pengadilan negara bagian untuk seorang korban rokok mencapai tiga juta dolar AS.

Sejak itu industri rokok Amerika merasa gerah untuk berbisnis di negerinya sendiri. Mereka berekspansi ke negara berkembang, dengan bantuan diplomasi pemerintah Amerika sendiri (!). Bagi Pemerintah Amerika mungkin berlaku dalil “jangan racuni rakyat Amerika sendiri, tapi racunilah rakyat negara berkembang”.  Maka ketika konsumsi rokok dalam negeri menurun sebesar 20 persen, eskpor rokok mereka ke negara berkembang meningkat 300 persen.

Dapat dimengerti ketika dunia melalui WHO sepakat untuk mengatur konsumsi rokok untuk menekan meningkatnya penyakit tidak menular (Non Communicable Diseases), Pemerintah AS (Presiden Bush) menolak untuk ikut menanda tanganinya. Mereka mengatakan biarlah masalah kesehatan diatur oleh masing-masing negara. WHO tidak usah ikut campur. Ironisnya, di dalam negerinya sendiri peredaran rokok diatur secara ketat. Sekali lagi terbukti bahwa kepentingan diri sendiri lebih diutamakan.

Sikap egois perokok juga muncul ketika pecandu rokok tetap merokok di tempat-tempat umum meskipun orang di sekitarnya berkeberatan. Bukannya merasa salah, ia justru akan marah kalau ditegur. Sikap beradab pecandu rokok sudah menurun. Dia hanya takut kalau di berada di negeri orang. Sikap egois juga terdapat pada para ulama yang perokok lalu tidak mau mendengarkan pendapat bahwa merokok lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.  Boleh saja ia tidak mau berhenti merokok, tetapi membiarkan para santrinya merokok adalah sama dengan menjerumuskan mereka ke penyakit-penyakit yang mahal pengobatannya.

Contoh bahwa perokok adalah orang egois adalah ucapan salah seorang anggota Perlemen Daerah Makassar, Yusuf Gunco yang juga Ketua Badan Legislasi Parlemen Daerah, yang menolak membahas rancangan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Kesehatan, hanya karena ia sendiri perokok. Demi agar kenikmatannya tidak terganggu, ia lebih senang membiarkan rakyatnya tidak terlindungi dari asap rokok orang lain.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Wednesday, November 09, 2011

Why Do Jews Succeed?

http://www.project-syndicate.org/commentary/muller2/English

Jerry Z. Muller
WASHINGTON , DC – In recent decades, economists have been struggling to make use of the concept of human capital, often defined as the abilities, skills, knowledge, and dispositions that make for economic success. Yet those who use the term often assume that to conceptualize a phenomenon is a first step to manipulating it. And, indeed, “human-capital policy” is now much in fashion. But what if many of the abilities and dispositions in question are a product of history, capable of being understood and explained but not readily replicated?
Simon Kuznets, one of the twentieth century’s great economists, was a pioneer of human-capital theory. Not long before he died, Kuznets recommended to a young colleague that one ought study the role of Jews in economic life.
By and large, economists and other social scientists have neglected the history of Jews and capitalism, for reasons that are understandable, though unconvincing. For most economists, the extent to which modern capitalism has been shaped by earlier cultural predispositions is a source of puzzlement at best, if not merely a factor to be dismissed.
Such cultural considerations simply do not fit into the categories in which equation-fixated economists are predisposed to think. When economists examine “human capital,” they prefer measurable criteria such as years of schooling. To the extent that human capital involves character traits and varieties of “know-how” that are transmitted within the realms of the family and the community, rather than by formal education, it becomes both methodologically elusive and difficult to manipulate by public policy.
A look at the historical experience of the Jews shows that while most Jews were mired in poverty at the beginning of the twentieth century, over time they tended to do disproportionately well in societies that allowed them to compete on an equal basis. That was the case first in central and western Europe, and then in the United States.
They did particularly well in commerce. In search of economic niches not already occupied by others, Jews frequently created markets for new products and services. They pioneered new retail institutions, from department stores to box stores.
The fastest growing sectors of the economy since the late nineteenth century have been those loosely classified as “service industries,” often involving the dissemination of information and entertainment – activities in which Jews have been especially prominent, from publishing to vaudeville and from movies to commercial sports. They also tended to do disproportionately well in the learned professions – such as medicine, law, and accounting – that are so central to modern capitalist society.
The fact that Jews were long a minority subject to discrimination is sometimes given as a reason for their tendency to devote themselves to commerce, finance, and the professions. Yet not all minorities long subject to discrimination necessarily succeed under conditions of market competition.
There are a number of ways to account for Jews’ disproportionate achievement. For one thing, Jews had more experience with commerce than most other groups, and the tacit knowledge of buying, selling, and calculating advantage that was passed on in families with ties to business helps explain why Jews tended to be better at it.
Moreover, in much of Europe, Jews had long been excluded from most of the established economy of land ownership, and from many other fields that were reserved for Christians. So they learned to be on the lookout for new opportunities in underserved markets, working as peddlers, for example, or creating new products, or new forms of marketing.
Social networks also played an important role. Jews were spread across many countries, but to some extent shared a common language and a sense of common fate. So they were more aware of distant opportunities, had more international contacts, and were disproportionately active in international trade.
In addition, Jews had a religious culture that promoted universal adult literacy – at least for men – and a culture that respected book learning. Those attitudes and dispositions were transferred from religious texts to secular forms of education. As a result, Jews were highly oriented toward education, and willing to defer current pleasures and income to obtain more of it.
Such factors provide a sense of why attention to the history of Jews under capitalism helps us to understand capitalism more generally. It reminds us that much of success in a capitalist society is based on cultural and historical factors that produce qualities such as innovativeness, willingness to tolerate risk, and willingness to defer gratification through savings and education.
These cultural traits are difficult to quantify, so economists are uncomfortable in dealing with them. They are often passed down within families, so they elude social policies that are based on the notion that equality of opportunity can be created by government action.
Exploring the economic history of the Jews also reminds us that groups that are disproportionately successful are met by different political reactions. Societies long oriented to economic dynamism tend to welcome the economically successful, viewing them as a source of mutual gains.
But cultures that tend to resent the economically successful – either as an affront to equality, or on the implicit assumption that the economic gains of some must be at the expense of others – tend to be more hostile toward Jews and given to conspiratorial theories to explain their economic success. Most societies lie somewhere along a spectrum between these two poles.
Some social scientists are wary of calling attention to the reality of disproportionate Jewish economic success for fear of arousing anti-Semitism, or contributing to conspiratorial theories about Jewish economic dominance. No doubt, conspiratorial minds will always find fodder for their obsessions. But the fact that the history of Jews and capitalism calls current social-scientific wisdom and method into question is all the more reason to explore the topic.
Jerry Z. Muller is Professor of History at the Catholic University of America, Washington D.C., and author, most recently, of Capitalism and the Jews (Princeton University Press).