Wednesday, August 29, 2012

Ketertinggalan Indonesia Timur Dipersoalkan

http://regional.kompas.com/read/2012/08/29/16575790/Ketertinggalan.Indonesia.Timur.Dipersoalkan
Penulis : Nasrullah Nara | Rabu, 29 Agustus 2012 | 16:57 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com -- Sejumlah akademisi dari kawasan timur Indonesia membahas problematika pembangunan di kawasan tersebut bersama unsur terkait dalam simposium nasional di Hotel Santika Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (29/8/2012) hingga Jumat.

Provinsi yang masuk kawasan tersebut adalah Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.

Dengan mengusung tema "Kawasan Timur yang Kaya yang Merana", forum tersebut diikuti akademisi dari Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Pattimura Ambon, Universitas Mulawarman Samarinda, Universitas Tadulako Palu, serta sejumlah pemerhati pembangunan di kawasan itu.

Pada hari pertama telah tampil Gubernur Sulawesi Barat Anwar Adnan Saleh. Anwar yang juga Ketua Badan Kerja Sama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) didampingi Gubernur Sulawesi Tengah Longki Janggola. Tampil juga ahli tata ruang Danny Pomanto.

"Salah satu isu yang menonjol adalah persoalan keadilan dan telaah kritis menyangkut program mercusuar pemerintah. Konsep dasar dan implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang setahun terakhir digulirkan pemerintah turut dipersoalkan karena dianggap mengintervensi rencana pembangunan lokal dan regional," papar Rahmad M Arsyad, pelaksana simposium.

Sejumlah narasumber dari non-perguruan tinggi juga tampil, di antaranya Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Infrastruktur Luky Eko Wuryanto dan Edib Muslim dari Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia.

Penggagas kegiatan itu, Gunawan M Arsyad berharap, sejumlah gagasan kritis lahir dari kawasan timur disertai semangat mendorong keadilan pembangunan.

Tuesday, August 28, 2012

Dunia Bisa Terpaksa Jadi Vegetarian Pada 2050

http://id.berita.yahoo.com/dunia-bisa-terpaksa-jadi-vegetarian-pada-2050.html
Oleh Dylan Stableford, Yahoo! News | The Lookout 

Pada tahun 2050, Anda mungkin terpaksa jadi seorang vegetarian jika data dari ilmuwan air Swedia bisa dipercaya.

Menurut Stockholm International Water Institute, "Tidak akan ada cukup air tersedia untuk mengairi lahan pertanian untuk memproduksi makanan bagi 9 miliar manusia pada 2050 jika kita terus mengikuti pola tren makan mengikuti gaya negara-negara Barat."

Manusia kini mengambil sekitar 20 persen protein hariannya dari produk-produk hewan, menurut harian Guardian yang berbasis di London. Namun laporan terbaru dari institut di Stockholm mengatakan bahwa populasi dunia harus mengurangi 5 persen protein hewani mereka pada 2050 untuk mengakomodasi defisit air regional yang serius. 

Kenapa tidak bisa memproduksi makanan lebih banyak?

"900 juta manusia kelaparan dan 2 miliar orang kekurangan gizi meski produksi makanan per kapita terus meningkat," kata laporan tersebut. "Dengan 70 persen air yang tersedia tersedot untuk pertanian, menanam makanan untuk memberi makan 2 miliar orang tambahahan akan memberi beban besar pada air dan tanah yang sudah ada."

Maka menjadi vegetarian, menurut ilmuwan, adalah salah satu opsi untuk melawan kekurangan air.

"Menjadi vegetarian bisa membantu membebaskan lahan agar bisa dialihkan menjadi produksi makanan," tulis Orion Jones di BigThink.com. "Sepertiga dari lahan pertanian kini digunakan untuk menanam tanaman untuk pakan hewan. Selain itu, makanan kaya protein hewan menyerap air 5-10 kali lebih banyak dari diet vegetarian."

Laporan ini diluncurkan di permulaan "Pekan Air" dan konferensi air tahunan di Stockholm. Jika laporan ini terdengar mengerikan, maka kenyataannya situasi air dunia memang sudah serius.

Menurut Dewan Air Dunia, 1,1 miliar orang kini hidup tanpa air minum bersih.

Amerika Serikat bahkan tengah mengalami kekeringan terburuk dalam beberapa generasi, membebani petani dan menggagalkan panen jagung nasional. Pada 31 Juli, hampir 65 persen wilayah AS mengalami kekeringan menurut Pengawas Kekeringan AS. Kekeringan ini sangat parah dan tingkat air sangat rendah, sampai-sampai kota-kota di Midwest yang sengaja ditenggelamkan bisa muncul lagi.

Saturday, August 11, 2012

Anti Rokok Berarti Tidak Nasionalis? Pikirkan Sekali Lagi

http://health.detik.com/read/2012/08/12/085930/1989314/763/anti-rokok-berarti-tidak-nasionalis-pikirkan-sekali-lagi
AN Uyung Pramudiarja - detikHealth
Minggu, 12/08/2012 09:06 WIB



Jakarta, Gerakan pengendalian tembakau dituding tidak nasionalis karena banyak menerima dana asing. Namun anggapan ini dibantah dengan fakta tentang banyaknya korban rokok, yang menunjukkan bahwa Indonesia kini masih dijajah industri rokok.

Tidak bisa dipungkiri, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang menyerukan anti rokok mendapat dukungan dana asing terutama dari Bloomberg Initiative. Bantuan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya rokok bagi kesehatan.

Namun di kalangan pro-rokok, kucuran dana asing ini dianggap memiliki misi terselubung untuk menggembosi ekonomi bangsa Indonesia. Kalangan anti rokok dituduh tidak nasionalis karena mengancam salah satu sumber pendapatan negara yakni cukai rokok.

Anggapan ini dengan tegas dibantah oleh para aktivis pegiat anti rokok. Tanpa mengingkari adanya dukungan dana dari pihak asing, para aktivis menganggap bantuan semacam itu sah-sah saja karena memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan.

"Ada banyak kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan yang menggunakan dana asing, dan itu bukan berarti tidak nasionalis," tegas Kartono Mohamad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dalam talk show Nasionalisme Pengendalian Tembakau di Gedung Joang 45, seperti ditulis Minggu (12/8/2012).

Kartono mencontohkan ada banyak program-program pemerintah termasuk di antaranya program Keluarga Berencana (KB) yang juga mendapat bantuan asing, juga program-program pendidikan dan pelatihan. Namun selama ini, tidak ada yang mengaitkannya dengan nasionalisme.

Justru sebaliknya, gerakan pengendalian tembakau dianggap bisa menyelamatkan bangsa Indonesia dari dampak negatif asap rokok yang makin banyak memakan korban. Jumlah kematian akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok bahkan sudah lebih banyak dari korban perang dan serangan teroris.

Mengenai cukai rokok, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tidak menganggapnya sebagai sumber pendapatan negara melainkan sebagai pajak dosa (sin tax). Cukai dikenakan pada barang-barang yang memang harus dibatasi termasuk alkohol, dengan tujuan supaya harganya semakin tidak terjangkau.

"Keberhasilan cukai adalah ketika barang-barang tersebut makin jarang dikonsumsi, bukan ketika pendapatan negara meningkat karenanya," kata Tulus Abadi dari YLKI beberapa waktu lalu.

Wednesday, August 08, 2012

EMPAT JAGOAN BARU NEGARA BERKEMBANG Setelah BRIC, terbitlah MIST

http://internasional.kontan.co.id/news/setelah-bric-terbitlah-mist/2012/08/07
Oleh Rika Theo, Bloomberg - 


LONDON. Jim O’Neill, jika Anda ingat, adalah pencetus istilah BRIC lebih dari satu dekade silam. Brazil Rusia India dan China merupakan empat negara berkembang jagoannya di tengah  masa booming investasi tahun 2001. Kini, Chairman Goldman Sachs Asset Management itu memunculkan istilah baru lagi: MIST, untuk Meksiko, Indonesia, Korea Selatan dan Turki.
MIST adalah empat pasar terbesar dalam Goldman Sachs N-11 Equity Fund. Reksadana ini diluncurkan pada Februari 2011 dan berinvestasi pada aset di 11 negara berkembang yang diprediksi menjadi negara berkembang besar di masa depan.
Return reksadana ini sudah mencapai 12% tahun ini, bandingkan dengan return 1,5% pada produk Goldman Sachs yang berinvestasi pada BRIC. “Kami melihat dana mengalir masuk pada Next 11 setiap pekan. Ia tak terpengaruh oleh kekecewaan pasar AS dan tentu saja Eropa, dan juga dari pasar BRIC,” kata investor berusia 55 tahun itu.
O’Neill mengisahkan, ia mendapat ide membentuk N-11 dalam perjalanannya ke China dan Korea Selatan dua tahun silam untuk membantu investor yang mencari keuntungan di luar BRIC. Ia melihat negara-negara N-11 mulai keluar dari bayang-bayang BRIC. Mereka punya populasi yang lebih muda daripada AS dan Eropa serta angka kelahiran yang lebih tinggi untuk mendorong ekonomi.
Selain negara-negara MIST, anggota N-11 lainnya adalah Bangladesh, Mesir, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Vietnam. Iran ternyata juga masuk namun Goldman Sachs berkata tidak berinvestasi di sana karena negara itu tak membuka pasar bagi investor asing.
N-11 telah mengalahkan 93% reksadana AS yang menanamkan dana di pasar saham emerging market tahun ini dan 89% reksadana yang berinvestasi di BRIC. Sejauh ini, return N-11 masih di belakang indeks acuannya yakni MSCI GDP Weighted Next 11 di luar Iran yang menanjak 17% tahun ini. Adapun indeks MSCI BRIC baru naik 1,7%.
N-11 memiliki dana kelolaan US$ 113 juta dan berinvestasi dalam 73 saham di kuartal kedua lalu. Sementara BRIC fund Goldman Sachs mengelola US$ 410 juta dan berinvestasi dalam 72 saham. O’Neill sendiri tidak terlibat dalam pengelolaan kedua reksadana itu.
Namun mau tahu siapa investor pemegang terbanyak N-11? Tak lain adalah miliuner terkaya dunia Carlos Slim. Pada akhir Juni, Slim mengantongi 7,9% dari portofolio N-11.
MIST versus BRIC
Ekonomi MIST tumbuh dua kali lipat dalam satu dekade terakhir, bahkan melampaui Jerman tahun lalu. Meksiko, negara berperekonomian terbesar kedua di Amerika Latin, mencatat rekor penjualan mobil terbesar.
Pertumbuhannya sudah melampaui Brazil selama dua tahun berturut-turut. Ekonomi Meksiko tumbuh 4,6% dalam tiga bulan pertama 2012, yang tercepat dalam enam kuartal. Sedang Brazil diprediksi hanya tumbuh kurang dari 3% selama dua kuartal penuh di 2012.
Performa Indonesia di atas kertas tak kalah biru. Konsumsi domestik dan investasi yang makin kuat menyokong ekonominya tumbuh di atas prediksi sebesar 6,4% di kuartal kedua ini.
Di sisi lain, India tumbuh 5,3% di kuartal I lalu, yang terjelek dalam sembilan tahun terakhir. S&P memperingatkan bahwa peringkat utang India bisa turun jika India tidak kembali tumbuh dan mengatasi masalah politiknya.
Meski angka pertumbuhan MIST lebih tinggi dari BRIC (kecuali China) tahun ini, namun pendapatan domestik brutto (PDB) MIST masih tertinggal. Total PDB MIST tahun lalu mencapai US$ 3,9 triliun. Ini tak sampai sepertiga dari PDB BRIC yang sebesar US$ 13,5 triliun. Bahkan juga masih jauh dari PDB China yang mencapai US$ 7,3 triliun.
Tapi terhadap total GDP dari 11 negara dalam N-11, MIST menyumbang 73%.
Bagaimana dengan bursa sahamnya?
Indeks IPC Meksiko menanjak 11% tahun ini. DI Indonesia, IHSG mendaki 7,4%, sementara indeks Kospi Korea Selatan naik 3,3%. Indeks ISE National 100 Turki melejit 28%.
Sekarang coba lihat, indeks Bovespa Brazil hanya naik 2,8% tahun ini. Indeks Micex Rusia menanjak 2%. Namun indeks komposit Shanghai rontok 2%. Indeks BSE India Senstive menampilkan kinerja paling apik yaitu melesat 11% tahun ini.
“Anda melihat rotasi kepemimpinan berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Jika kembali ke tahun 2009, orang sangat mempercayai kisah BRIC, bahkan mungkin terlalu mempercayainya,” tutur Paul Chritopher, Chief International Strategist Wells Fargo Advisor.
Investor dunia telah menanamkan dana dalam saham-saham BRICS senilai US$ 67 miliar antara tahun 2001-2010. Selama periode itu kinerja saham BRIC mengungguli S&P 500 hingga 2,81%.
Tapi tahun lalu, mereka menarik dana sebesar US$ 15 miliar. Menurut lembaga riset EPFR Global asal Cambridge, angka tersebut merupakan jumlah penarikan terbesar sejak 1996.
Tetap saja, bursa saham MIST tak kebal dari masalah perlambatan ekonomi dunia. Dana dari investor global mengalir masuk ke Turki sebesar US$ 104 juta dan ke Indonesia US$ 123 juta sampai dengan 1 Agustus ini. Tapi di waktu yang sama, dana juga keluar sebesar US$ 1,33 miliar dari Korsel dan US$ 115 juta dari Meksiko.
Tiap-tiap negara MIST menyimbang setidaknya 1% dari PDB global. O’Neill percaya porsi tersebut akan bertambah di dekade ini. Jika harus memilih di antara keempat negara, O’Neill berkata Meksiko dan Turki adalah yang paling atraktif tahun ini.
Namun Christopher merekomendasikan investor menjual saham BRIC dan membeli saham-saham di Indonesia. Selain angka pertumbuhan ekonomi, ia optimis pada rencana pemerintah membangun kereta api, bandara, dan pelabuhan. Ia juga merekomendasikan saham-saham Korsel yang menurutnya dapat menarik untung dari kenaikan ekspor ketika belanja domestik China bertambah.

Pesan O’Neill
Meski tampak menggiurkan, O’Neill mengatakan MIST bisa jadi takkan melampaui BRIC terlalu lama, terutama saat pemerintah China turun tangan mendorong ekonominya.
Penurunan kinerja saham BRIC juga bukan alasan untuk melepas potensi investasi jangka panjangnya. Ia memprediksi BRIC akan tumbuh rata-rata 6,5% sampai tahun 2020. Sedangkan N-11 hanya 5,5%.
Ia juga mengaku sudah tiga kali menolak permintaan tenaga penjualan Goldman Sales untuk memulai instrumen dana investasi yang berfokus di MIST. Alasannya bukan hanya masalah ekonomi, kata dia.
“Anda sudah mendapatkan MIST di N-11. Saya juga tak mau dikenang sejarah sebagai pria yang konsisten menciptakan akronim,” tuturnya.

Wednesday, August 01, 2012

Menit-menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia (Kafil Yamin)

http://dinasulaeman.wordpress.com/2012/06/21/menit-menit-yang-luput-dari-catatan-sejarah-indonesia-kafil-yamin/



Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang dilakukan oleh IMF, PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan besar yang dilakukan para pejabat Indonesia. Poor Timor Timur, poor Indonesia…
Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999.
———
Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia
Oleh: Kafil Yamin
Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.
Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas.
Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?
Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.
Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di  banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].
Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.
Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat  duduk saya; duduk  dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.
Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.
“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.
“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.
(2)
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.
Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.
Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.
Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!
Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.
Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.
Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.
Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.
Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.
Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think  we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.
Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
(3)
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.
Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.  Indah. Sangat indah.
Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.
Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati kopi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi.  Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.
Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.
Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.
Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.
Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.
“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke Prabandari:  “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”
Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.
Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.
Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.
“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.
Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.
Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudahcheck-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.
Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
(4)
Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.
Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.
Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.
Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.
Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.
Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”
Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.
Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.
Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.
Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.
Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta.
(5)
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.
Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.
Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.
Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
(6-akhir)
12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.
Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.
Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara cuma-cuma.
Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).

Wink Hostel

http://www.agoda.web.id/asia/singapore/singapore/wink_hostel.html?asq=aJExlAuPOd5dwlJjx0uWpvxck7tGQfePdUbymHqTpLU%3d


Wink Hostel 

8A Mosque Street, Pecinan/Tiong Bahru, Singapura 059488 (Lihat peta)
Pesan sekarang!
Buruan! Ketersediaan terbatas!
Wink Hostel Singapura - Kamar MandiWink Hostel Singapura - Kamar MandiWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Kamar TamuWink Hostel Singapura - Interior HotelWink Hostel Singapura - Interior Hotel
Wink Hostel Singapura - Interior HotelWink Hostel Singapura - Tampilan Luar HotelWink Hostel Singapura - Interior Hotel
Lokasi: Pecinan/Tiong BahruJumlah kamar: 9
Wifi gratis
Cemerlang
8,8
berdasarkan 120 ulasan
Cek Harga & Ketersediaan Di Hotel Ini
Check in:Malam :Check out
  Sab 04 Ags 2012 
 PESAN SEKARANG dan terima konfirmasi langsung!
Jenis KamarHarga
Asrama Campur
Asrama untuk Perempuan

masukkan tanggal Anda
untuk melihat tarif terbaik kami

Foto dan Info Kamar

Kamar Mandi

Kamar Mandi

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Kamar Tamu

Interior Hotel

Interior Hotel

Interior Hotel

Tampilan Luar Hotel

Interior Hotel
Fasilitas Hotel
TersediaTidak Tersedia
Fasilitas
bar tepi-kolam
bar/pub
binatang peliharaan diperkenankan
coffee shop
concierge
fasilitas orang cacat
fasilitas rapat
kasino
klub malam
kotak penyimpanan aman
lantai eksekutif
layanan antar jemput
layanan kamar
layanan kamar 24 jam
layanan laundry/dry cleaning
lift
penitipan bayi
pusat bisnis
restoran
ruang keluarga
ruang merokok
salon
sewa sepeda
toko
transfer bandara/hotel
tur
wi-fi di tempat-tempat umum
Internet dalam Kamar
akses internet
internet (biaya dikenakan)
internet (gratis)
internet (wireless)
internet wireless (biaya dikenakan)
internet wireless (gratis)
Pesan sekarang!
Buruan! Ketersediaan terbatas!
Terletak strategis di Singapura, Wink Hostel adalah tempat yang cocok untuk menelusuri kota yang hidup ini. Hotel ini tidak terlalu jauh dari pusat kota, hanya 4.5 km dari sini dan umumnya hanya membutuhkan waktu 30 menit untuk mencapai bandara. Yang tidak ketinggalan adalah akses mudah dari hotel ini ke sejumlah atraksi dan markah tanah kota ini seperti Stasiun MRT Chinatown, Pusat Warisan Budaya Pecinan, Gedung Yue Hwa.

Gunakan kesempatan untuk menikmati pelayanan dan fasilitas yang tak tertandingkan di hotel Singapura ini. Ketika menginap di properti yang luar biasa ini, para tamu dapat menikmati bar/pub, tur, concierge, coffee shop, transfer bandara/hotel.

Suasana Wink Hostel tercerminkan dari setiap kamar tamu. internet wireless (gratis), ruangan bebas rokok, AC, internet (wireless) hanyalah beberapa fasilitas yang dapat Anda gunakan. Lagipula, beberapa persembahan rekreasi dari hotel ini akan menjamin Anda jauh dari kebosanan selama penginapan Anda. Ketika Anda mencari penginapan yang nyaman di Singapura, jadikanlah Wink Hostel rumah Anda ketika Anda berlibur.

Pendapat pelanggan terbaru

Pilih Jenis Pelancong
Cemerlang
8,8
dari 120 ulasan
Harga berbanding mutu
8,8
Lokasi
9,4
Tingkat pelayanan
8,8
Kondisi/kebersihan hotel
9,2
Standar/Kenyamanan Kamar
9,2
Makanan
7,6
Semua ulasan (120)