Wednesday, August 26, 2015

DPR --- :-|

https://www.facebook.com/groups/majalahbhinneka/

Ronny Leung


Tdk terasa Agustus ini sudah 1 tahun DPR sudah dilantik
DPR kali ini DPR yang hebat dengan koalisi2annya
Tanpa 1 pun UU yang berhasil disahkan
Kalaupun ada krisis di negara ini, bisakah kita salahkan pemerintah atas kenaikan suku bunga The Fed ?
Salahkah lagi bila Tiongkok mendevaluasi yuan reaksi perang mata uang dengan USA ?
Sadarkah kita bahwa negara ini bukan negara kaya secara finansial meskipun kita kaya sumberdaya alam ? Kita masih punya hutang 3.000 T
Kalaupun kita kecewa thd pengelolaan SDA alam kita,sadarkah kita bahwa mungkin dari kita kecil tambang emas itu dinamakan Tembaga Pura (emas dihitung tembaga), dan itu ternyata sebagian kecil
Tahukah anda kenapa nelayan asing bisa melaut dgn bebas disini ? Mereka membeli hak dari mafia laut Indonesia yg memberi ijin, siapakah mereka yg punya hak memberi ijin? Tanyakan hal tersebut pada jaman orba
Harga pangan naik, bukankah kita juga yg ingin produksi pangan berdikari di negeri sendiri ? Apakah kita ingin seperti dulu mark up impor sapi dll ?
Kalaupun pemerintah saat ini sedang bergulat menyelesaikan masalah negara ini satu persatu
Negeri maju tidak dibuat dalam 1 jam seperti memasak singkong
Negeri makmur tdk terjadi dalam 1 hari seperti menjahit baju
Ada harga yg harus kita bayar
Kita harus membayar hutang yg sudah diwariskan pemerintahan sebelumnya
Kita harus membayar harga pangan lebih mahal utk petani kita berdikari
Kita harus membayar mahal mata uang kita lemah karena kita dininabobokan dgn hutang utk subsidi bukan investasi selama puluhan tahun
Pertanyaannya apakah kita akan menyalahkan seseorang yg berusaha merubah keadaan, membangun kembali negeri ini satu demi satu,membubarkan petral,memberantas mafia laut,daging dll ataukah kita bertanya selagi ada yg berjuang lalu apa gunanya penguasaan mayoritas koalisi merah putih di DPR (60%) tanpa UU yang dihasilkan ?
Apakah anda tahu beberapa payung kerja eksekutif sekarang adalah inpres dan perpres ?
Apakah anda tahu UU adalah dasar bagi pemerintah utk bekerja ?
Bekerja untuk menjalankan APBN
Bekerja utk membangun jalan2 dan akses
Bekerja utk memberi kucuran dana bagi petani,nelayan,dll utk menghasilkan produk pangan bagi seluruh masyarakat
Dana Aspirasi,uang kasur,bangun 7 proyek ??
Itukah bantuannya bagi bangsa dan negaranya dalam menghadapi krisis dunia ini ??

Masa Sidang IV DPR Berakhir, Tak Ada Satu Pun UU yang Disahkan

http://nasional.kompas.com/read/2015/07/07/12394401/Masa.Sidang.IV.DPR.Berakhir.Tak.Ada.Satu.Pun.UU.yang.Disahkan

Deretan kursi kosong saat rapat paripurna pengesahan RUU pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN-Perubahan Tahun Anggaran 2013 di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (4/9/2014).JAKARTA, KOMPAS.com — DPR RI tidak mengesahkan satu pun undang-undang dalam program legislasi nasional pada masa sidang IV 2014-2015. Setelah berjalan selama sekitar satu setengah bulan, masa sidang IV akhirnya ditutup pada Selasa (7/7/2015), tanpa hasil legislasi.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon beralasan, masa sidang IV ini memang difokuskan pada pembahasan UU. Adapun pengesahan UU akan difokuskan pada masa sidang berikutnya.
"Targetnya dari penyusunan ke pembahasan, kami targetkan mulai intensif pada masa sidang V," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Selain itu, lanjut Fadli, pembahasan dan pengesahan UU bukan hanya dilakukan oleh DPR, melainkan juga oleh pemerintah. Menurut dia, sejauh ini baru tiga draf RUU yang diserahkan oleh pemerintah.
"Kalau yang inisiatif DPR, sudah lebih dari 10 draf disiapkan," ujarnya.
DPR hari ini menggelar rapat paripurna penutupan masa sidang IV 2014-2015. Anggota DPR akan menjalani masa reses hingga 13 Agustus 2015.

"Rendahnya Moralitas Anggota DPR Tak Bisa Jalankan Fungsi Legislasi..."

http://nasional.kompas.com/read/2015/07/08/15040191/.Rendahnya.Moralitas.Anggota.DPR.Tak.Bisa.Jalankan.Fungsi.Legislasi

Ilustrasi DPR: Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat paripurna pembukaan masa sidang IV Tahun 2014-2015, di ruang sidang paripurna II, Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/5/2015). Hadir Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, Taufik Kurniawan, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah.

JAKARTA, KOMPAS.com — Rendahnya kinerja DPR RI periode 2014-2019 di bidang legislasi terus menuai kritik. Pengamat politik Populi Center, Nico Harjanto, menilai, situasi demikian merupakan bukti bobroknya lembaga DPR RI dan rendahnya moral para anggotanya.
"Kinerja DPR hingga masa sidang terakhir ini adalah bukti nyata buruknya kinerja lembaga, bobroknya dan rendahnya moralitas anggota DPR yang tidak bisa menjalankan fungsi legislasi," ujar Nico saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/7/2015).
DPR periode sekarang, lanjut Nico, menjadi beban dan bagian dari persoalan bangsa. Sebab, selain minimnya kinerja, mereka masih saja melakukan tindakan tidak terpuji seperti berkelahi, tidur saat sidang, bolos rapat, hingga mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan keadilan publik. (Baca: "Anggota DPR Itu Menyelesaikan Kepentingan Pribadi Dulu")
Beberapa hal yang diingat Nico, antara lain, pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang dinilai menghina buruh, pernyataan sejumlah anggota DPR yang mendukung program dana aspirasi, rencana revisi Undang-Undang KPK, hingga mewacanakan diundurnya pilkada serentak. (Baca: Pemerintah Tolak Dana Aspirasi, Ketua DPR "Keukeuh" Minta Disetujui)
"Perilaku sebagian besar anggota DPR, secara khusus semua elite pimpinan DPR, menandakan perlunya revolusi mental di kalangan mereka sendiri," ujar Nico.
Nico berkelakar, seharusnya yang perlu dipecat bukanlah menteri Kabinet Kerja, melainkan anggota DPR RI yang tidak produktif. Nico yakin, kalaupun anggota DPR mengebut program legislasi pada masa sidang berikutnya, sangat mungkin hasilnya akan buruk dan banyak digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). (Baca:DPR Hampa Prestasi, tetapi Minta Dana Aspirasi)
Ia berharap masing-masing partai politik ikut berbenah dengan memacu wakil-wakilnya agar lebih produktif.
Setidaknya, ada 39 RUU yang masuk ke dalam prolegnas prioritas 2015. Namun, hingga penutupan sidang keempat kemarin, baru dua UU yang selesai dibahas, yaitu UU tentang Pemilihan Kepala Daerah dan UU tentang Pemerintah Daerah. (Baca: Masa Sidang IV DPR Berakhir, Tak Ada Satu Pun UU yang Disahkan)
Wakil Ketua DPR Fadli Zon beralasan, masa sidang IV ini memang difokuskan pada pembahasan UU. Adapun pengesahan UU akan difokuskan pada masa sidang berikutnya.
"Targetnya dari penyusunan ke pembahasan, kami targetkan mulai intensif pada masa sidang V," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Selain itu, lanjut Fadli, pembahasan dan pengesahan UU bukan hanya dilakukan oleh DPR, melainkan juga oleh pemerintah. Menurut dia, sejauh ini baru tiga draf RUU yang diserahkan oleh pemerintah.

Tak Hasilkan Produk Legislasi, Kinerja DPR Harus Diaudit 

http://nasional.kompas.com/read/2015/07/08/08370061/Tak.Hasilkan.Produk.Legislasi.Kinerja.DPR.Harus.Diaudit

Situasi rapat paripurna, Selasa (23/6/2015).

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Universitas Gajah Mada Arie Sudjito menilai, kinerja anggota DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan harus segera diaudit. Hal itu menyusul tak ada satu pun produk legislasi yang disahkan pada masa sidang IV periode 2014-2015 ini.

"Sorotan publik selama ini sudah begitu tajam kepada parlemen ini, tapi mereka sama sekali tidak memperhatikannya. Saya kira sudah saatnya fungsi parlemen ini harus diaudit," kata Arie saat dihubungi, Rabu (8/7/2015). 

Arie mengatakan, parlemen saat ini cenderung mementingkan untuk menyelesaikan atau membahas produk legislasi yang berkaitan dengan kepentingan parpol mereka. Contohnya, kata Arie, pembahasan dana aspirasi. 

"Bukannya mereka me-review budget, malah mereka ini mintabudget," kata dia.

Selain itu, ia juga menyoroti, kemampuan anggota DPR dalam menghasilkan produk legislasi. Menurut dia, tidak sedikit hasil produk legislasi anggota DPR yang kini menunggu putusan Mahkamah Konstitusi, setelah sebelumnya ada yang mengajukan judicial review.

"Partai pun juga mulai sibuk bermanuver mengkritisi kinerja pemerintah dan mengaitkannya dengan reshuffle. Seakan-akan anggota DPR ini menunggu durian runtuh reshuffle," ujarnya.

Sebelumnya, DPR RI tidak mengesahkan satu pun undang-undang dalam program legislasi nasional pada masa sidang IV 2014-2015. Setelah berjalan selama sekitar satu setengah bulan, masa sidang IV akhirnya ditutup pada Selasa (7/7/2015), tanpa hasil legislasi.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon beralasan, masa sidang IV ini memang difokuskan pada pembahasan UU. Adapun pengesahan UU akan difokuskan pada masa sidang berikutnya.
"Targetnya dari penyusunan ke pembahasan, kami targetkan mulai intensif pada masa sidang V," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.
Selain itu, lanjut Fadli, pembahasan dan pengesahan UU bukan hanya dilakukan oleh DPR, melainkan juga oleh pemerintah. Menurut dia, sejauh ini baru tiga draf RUU yang diserahkan oleh pemerintah.

Tuesday, August 25, 2015

Sejarah Lepasnya Timor Timur Yang tak Pernah Terungkap (MENETESLAH AIR MATA INI)

https://www.facebook.com/notes/kopassus-indonesia/sejarah-lepasnya-timor-timur-yang-tak-pernah-terungkap-meneteslah-air-mata-ini/808970699162983
Oleh: Kafil Yamin

MENIT-MENIT LEPASNYA TIMOR-TIMUR DARI INDONESIA

Berikut ini adalah tulisan seorang wartawan yang meliput jajak pendapat di Dili, Timor-timur. Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak.

Ditulis oleh Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, yang dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Judul asli dari tulisan ini adalah Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia. Saya sengaja ubah judulnya dengan maksud agar lebih jelas mengenai apa yang terkandung dalam tulisan tersebut. 

MENIT-MENIT YANG LUPUT DARI CATATAN SEJARAH INDONESIA


Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1989. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu.

Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.

Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas. Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.

Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat duduk saya; duduk dekat saya dan mengeluarkan rokok. Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.

Mungkin karena dipersatukan oleh kedua barang beracun itu, kami cepat akrab. Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.
“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.

Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.


“Panggil saja saya Laffae,” katanya.
“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.
“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.
Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.

Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.

“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.
“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”
Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.

Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.

Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.

Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.

Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.

Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!

Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi. Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.

Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.

Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.

Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.

Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.

Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.
***
Kira-kira jam 5:30 sore, 29 Agustus 199, saya tiba di penginapan. Lagi-lagi, Laffae sedang dikerumuni tokoh-tokoh pro-integrasi Timtim. Terlihat Armindo Soares, Basilio Araujo, Hermenio da Costa, Nemecio Lopes de Carvalho, nampaknya mereka sedang membicarakan berbagai kecurangan UNAMET.

Makin malam, makin banyak orang berdatangan. Orang-orang tua, orang-orang muda, tampaknya dari tempat jauh di luar kota Dili. Kelihatan sekali mereka baru menempuh perjalanan jauh.

Seorang perempuan muda, cukup manis, tampaknya aktifis organisasi, terlihat sibuk mengatur rombongan itu. Saya tanya dia siapa orang-orang ini.

“Mereka saya bawa ke sini karena di desanya tidak terdaftar,” katanya. “Mereka mau saya ajak ke sini. Bahkan mereka sendiri ingin. Agar bisa memilih di sini. Tidak ada yang membiayai. Demi merah putih,” jawabnya bersemangat.

Saya tergetar mendengar bagian kalimat itu: “…demi merah putih.”
Mereka semua ngobrol sampai larut. Saya tak tahan. Masuk kamar. Tidur. Besok jajak pendapat.
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.

Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanye kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.

Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.

Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.


Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. Ya, itulah biaya politik.
Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang. Besok pengumuman hasil jajak pendapat.
Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali saya menunaikan kewajiban yang diperintahkan oleh kebiasaan buruk: merokok sambil minum kopi di lobi penginapan. Kali ini, Laffae mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi.
Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi. Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.

Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.
Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.

Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.

Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, tegar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.

Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.

“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. “Saya bertahan, nDari. Tinggalkan saja saya.”

Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.

Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.

“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.

“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.
“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.
“Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.

Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.

Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.

Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.

Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.

Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.

Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.
Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.

Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua. Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.

Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”

Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.

Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.

***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.

Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 Novembe3, 1999, saya mendarat di Jakarta.
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.


Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.

Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.

Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.

***
12 TAHUN BERALU SUDAH. APA KABAR BAILOUT IMF YANG 43 MILYAR DOLAR ITU? SAMPAI DETIK INI, UANG ITU ENTAH DI MANA. ADA BEBERAPA PERCIK DICAIRKAN TAHUN 1999-2000, TAK SAMPAI SEPEREMPATNYA. DAN TIDAK MENOLONG APA-APA. YANG TERBUKTI BUKAN MENCAIRKAN DANA YANG DIJANJIKAN, TAPI MEMINTA PEMERINTAH INDONESIA SUPAYA MENCABUT SUBSIDI BBM, SUBSIDI PANGAN, SUBSIDI LISTRIK, YANG MEMBUAT RAKYAT INDONESIA TAMBAH MISKIN DAN SENGSARA. ANEHNYA, SEMUA SARANNYA ITU DITURUT OLEH PEMERINTAH RENDAH DIRI BIN INLANDER INI.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?
Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun.

KENAPA MAU MELEPAS TIMTIM DENGAN IMBALAN UTANG? BUKANKAN SEMESTINYA KOMPENSASI? ADAKAH DI DUNIA INI ORANG YANG HARTANYA DI BELI DENGAN UTANG? NIH SAYA BAYAR BARANGMU. BARANGMU SAYA AMBIL, TAPI KAU HARUS TETAP MENGEMBALIKAN UANG ITU. BUKANKAH INI SAMA PERSIS DENGAN MEMBERI GRATIS? DAN DALAM KASUS INI, YANG DIKASIH ADALAH NEGARA? YA, INDONESIA MEMBERI NEGARA KEPADA IMF SECARA CUMA-CUMA.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.

SAMPAI HARI INI INDONESIA MASIH MENYICIL UTANG KEPADA IMF, UNTUK SESUATU YANG TAK PERNAH IA DAPATKAN. SAYA HARAP GENERASI MUDA INDONESIA TIDAK SEBODOH PARA PEMIMPIN SEKARANG. 

Thursday, August 06, 2015

Wawancara Eksklusif bersama Akhmad Sahal perihal Islam Nusantara

http://koranopini.com/tokoh/wawancara/4792

Wawancara Eksklusif bersama Akhmad Sahal perihal Islam Nusantara

KoPI | Gagasan Islam Nusantara menjadi diskursus di ruang publik Indonesia menjelang muktamar NU ke-33. Gagasan ini mendapatkan respon pro dan kontra dalam khasanah ke-Islam-an masyarakat Indonesia. Kelompok kontra melihat gagasan ini sebagai proyek politik dan menimbulkan kontroversi.
Sedangkan kelompok yang pro mengapresiasi pandangan tersebut sebagai bagian dari proses peradaban keislaman itu sendiri.
Berkaitan dengan gagasan Islam Nusantara, Fahrul Muzaqqi (FM), Litbang KoPi, melakukan wawancara eksklusif dengan Akhmad Sahal (AS), pemikir cemerlang muslim NU di Jepara di antara persiapan penyelesain bukunya tentang Islam Nusantara: dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan.
Kandidat Doktor dari Pennsylvania University, Amerika Serikat ini menjelaskan gagasan Islam Nusantara secara rileks namun mendalam.
FM : Apa sebenarnya yang melatarbelakangi wacana/ide Islam Nusantara?
AS : Sebenarnya ide itu (Islam Nusantara, red) kan PBNU, tema resmi Muktamar dengan judul menjadikan Islam Nusantara memberikan kontribusi terhadap Indonesia dan peradaban dunia, kalau tidak salah begitu.
Saya melihatnya sebagai, pada level tertentu adalah reaksi NU terhadap maraknya gelombang gerakan transnasional, seperti HTI, Salafi, Wahabi, yang mana pertama, kebanyakan mereka itu bersikap memusuhi budaya lokal, kemudian membawa model ke-Islaman yang cenderung tidak ramah, konfrontatif lah.
Nah, NU merasa bahwa wacana ke-Islaman yang mereka bawa selama ini, yaitu ke-Islaman Walisongo, yang kemudian diteruskan oleh ulama-ulama ahlus-sunnah itu ke-Islaman yang toleran, damai dan terbuka, akomodatif terhadap budaya setempat.
Alasannya karena faktor sejarah. Jadi dakwah Islam itu di Indonesia sejak dulu kan tidak melalui peperangan, tapi melalui budaya yang ada, budaya agama lain atau budaya Indonesia itu tidak diberangus, tetapi dirangkul, dibikin selaras dengan Islam, “dipakai”. Pendekatannya bukan anti-kebudayaan tetapi merangkul kebudayaan dan menjadikannya diisi muatan Islam.
FM: Apa sebenarnya gagasan di balik Islam Nusantara itu?
AS :Nah kalau gagasan dibaliknya, tadi saya bilang itu reaksi terhadap sebuah arus gerakan puritanisme atau gerakan transnasional. Tetapi pada level ide, sebenarnya Islam Nusantara ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dari wacana pribumisasi Islam yang dilontarkan Gus Dur.
Pribumisasi Islam itu intinya yang penting itu bagaimana agar penerapan hukum Islam itu mengapresiasi atau menimbang kebutuhan-kebutuhan lokal (faktor lokal) sehingga tujuan utama dari syariah yaitu menciptakan maslahah itu bisa membumi.
Jadi ada faktor yang sifatnya genuine dari ide Islam Nusantara. Artinya itu memang dari segi epistemologi, ushul fiqh, itu punya dasar. Misalnya soal penghargaan terhadap urf, budaya setempat itu perlu dihargai ketika menerapkan hukum.
Yang perlu digarisbawahi adalah ini bukan pada level mengubah hukum Islam, tetapi pada level penerapannya. Jadi bagaimana supaya penerapannya itu tidak mengabaikan faktor kebutuhan yang ada di masyarakat setempat.
FM: Apa gambaran visi yang ingin didiseminasikan/dicapai dalam gagasan itu?
AS: Nah kalau itu saya sebenarnya berharap ada pembahasan khusus mengenai Islam Nusantara, baik aspek istilah itu sendiri maupun yang anda sebut tadi, soal diseminasi, itu kan soal strategi. Tetapi yang saya tangkap adalah ada semacam upaya dari NU untuk tidak sekedar defensif, tapi mereka lebih pro-aktif, misalnya dengan memperkuat jaringan ulama ahlus-sunnah wal-jamaah.
Tapi saya belum tahu persis ya, karena ini kaitannya dengan policy ya, dengan strategi, yang saya kira hubungannya dengan keputusan Muktamar.
FM: Apa saja yang khas (perlu digarisbawahi) bahkan “baru” dalam gagasan Islam Nusantara, yang membedakan dengan, katakanlah gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin, Islam Kaffah, Islam Liberal, Islam Berkemajuan atau mungkin gagasan-gagasan berlabel Islam yang lain-lain?
AS: Kalau menurut saya, yang menarik dan layak dielaborasi dalam ide Islam Nusantara adalah bahwa ini sebenarnya adalah bentuk pengalaman Islam yang komprehensif atau kaffah atau menyeluruh dengan menggunakan ushul fiqh.
Menyeluruhnya gimana? Dalam ajaran Islam itu ada aturan-aturan yang sifatnya tsawabit (tetap), seperti aqidah, ibadah, itu tetap, dimana-mana sama, kapanpun sama. Islam Nusantara tidak di situ mainnya. Islam Nusantara mainnya di level aturan yang sifatnya mutaghoyyirot (berubah-ubah), itu pada level muamalah, ‘awaib atau budaya.
Nah yang berubah-ubah itu maksudnya gimana? Hukum syariah itu hanya menetapkan prinsip-prinsipnya. Prinsip itu adalah maslahat. Nah, maslahat itu kan memperhitungkan ruang dan waktu. Kalau ruang dan waktunya berubah, hukumnya bisa berubah. Nah, aspek mutaghoyyirot itu adalah ruang dimana ekspresi ke-Islaman itu bisa berbeda satu sama lain, satu tempat dengan tempat lain.
Ini disebut kaffah karena dengan menjalankan prinsip itu tadi, sebenarnya kita menjalankan syariah. Jadi kalau misalnya ya, Kyai Sahal Mahfudz, bilang bahwa inti dari syariah itu kan keadilan, di luar soal ibadah lho! Keadilan itu berubah setiap waktu, setiap konteks.
Dalam konteks Indonesia, keadilan itu ya demokrasi. Implikasinya, hukum-hukum lama yang tidak cocok dengan keadilan dalam konteks demokrasi, misalnya kafir dzimmy yang menempatkan non-muslim sebagai warga negara kelas dua, itu bukan aspek yang tsawabit, bukan hukum yang tetap, tetapi itu mutaghoyyirot, yang berubah-ubah.
Jadi itu yang harus diperbaharui. Itu ranah ijtihad yang harus disesuaikan, karena kalau dipertahankan justru malah mencederai prinsip keadilan itu sendiri.
Jadi yang khas adalah bahwa Islam Nusantara itu menawarkan bentuk pemahaman ke-Islaman yang komprehensif, yang kaffah, tetapi dengan metodologi yang bener. Kalau Islam kaffah ala HTI atau Salafi itu semuanya dianggap tsawabit, jadi nggak berubah. Padahal dalam ajaran Islam itu ada yang tsawabit ada yang mutaghoyyirot.
Kalau hal yang mutaghoyyirot itu dipertahankan justru bisa mendatangkan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip Islam. Misalnya soal khilafah. Nah, yang penting itu kan sebenarnya bukan bentuknya, tetapi bahwa misalnya musyawarah, keadilan, kesetaraan, gitu kan?! Maslahat itu di situ. Nah kalau sistem khilafah itu diterapkan, lha kita kan bukan zaman khulafaur-rasyidin, khilafah setelah itu kan dinasti, dinasti itu monarki, dan monarki itu nggak bisa dikontrol.
Jadi malah justru kalau dipaksakan itu banyak menimbulkan mudhorot. Wong yang demokrasi saja, yang bisa dikontrol saja sering bermasalah kan, apalagi yang nggak bisa dikontrol. Jadi kelemahan dari kaum Islam kaffah yang ada (HTI, Salafi) itu adalah mereka itu memperlakukan semuanya itu tsawabit. Nah itu kan nggak sesuai dengan metodologi hukum Islam.
Bedanya dengan JIL, JIL itu tidak berangkat dari prinsip kekomprehensifan Islam. Seakan-akan Islam itu soal personal, kalau urusan publik itu urusan rasionalitas. Kalau Islam Nusantara enggak, semuanya itu diatur syariah, cumak ada aturan syariah yang tsawabit, ada aturan syariah yang berubah-ubah. Kunci itu, soal tsawabit dan soal mutaghoyyirot itu kunci.
Sedangkan dengan Islam Rahmatan Lil’alamin tidak ada perbedaan dari segi orientasinya. Orientasinya kan tetap rahmatan lil’alamin, cumak sebagai istilah itu kurang tegas. Maksudnya tegas itu kalau Islam Nusantara itu kan tegas dalam arti posisinya jelas, misalnya mereka tidak ngutak-atik yang tsawabit tadi, jadi tidak ngutak-atik soal aqidah dan soal ubudiyyah. Yang diutak-atik itu soal mutaghoyyirot­-nya.
Tentu saja arahnya rahmatan lil’alamin, tapi kan istilah rahmatan lil’alamin itu kurang distinct, kurang jernih, terlalu umum. Maksudnya gini, Thariq Ramadhan, cucunya Hasan Al-Bana, itu warga negara Eropa, dia mengembangkan Islam Eropa. Jadi Islam yang cocok dengan konteks ke-Eropa-an. Jadi bagaimana menjadi muslim yang baik, dan pada saat yang sama menjadi warga negara yang baik. Jadi tidak diperlawankan antara ke-Islam-an dan ke-Eropa-an. Nah, Islam Nusantara juga begitu, tidak memperlawankan antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Berikutnya, Islam Bekemajuan, itu bagi saya, dua-duanya (Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan) itu bentuk dua sisi dari koin yang sama, yaitu kontekstualisme Islam, bagaimana Islam supaya kontekstual.
Bedanya, kalau Islam Nusantara itu kontekstualisasi karena perbedaan ruang, tempat, misalnya yang satu Arab, Timur Tengah, yang satu Islam Nusantara. Sementara kalau Islam Berkemajuan itu perbedaan karena zaman, dulu zaman pra-modern sekarang modern. Jadi dua-duanya itu mengandaikan adanya kontekstualisasi. Jadi kontekstualisasi itu levelnya pada aspek mutaghoyyirot dua-duanya.
Kan mutaghoyyirot itu kan hukum bisa berubah, harus fleksibel berdasarkan perubahan zaman dan perubahan tempat. Jadi menurut saya justru itu komplementer, malah bisa disinergikan. Jadi kita bisa mengatakan Islam Nusantara yang menghargai spirit Berkemajuan, dan Islam Berkemajuan yang menghargai maslahat dengan muatan lokal. Jadi Islam Berkemajuan yang berbasis Nusantara, dan Islam Nusantara yang berspirit Berkemajuan.
FM: Apakah diskursus Islam Nusantara ini nantinya berkembang menjadi gerakan sosial (jaringan atau organisasi) ataukah hanya perdebatan intelektual yang bisa ditarik/diklaim ke sana kemari?
AS: Itu pertanyaan bagus karena tema Mukmatar kan “Menjadikan Islam Nusantara Memberi Kontribusi bagi Peradaban Dunia”. Itu alur berpikir, asumsinya, adalah bahwa selama ini pada tingkat global, kalau orang bicara Islam itu kan selalu yang diingat Timur Tengah, dan Timur Tengah kan coraknya selalu violent kan…kekerasan, perang saudara, terus, berdarah lah, Islam itu citranya identik dengan kekerasan.
Nah, PBNU, dengan Islam Nusantara ini, dan mungkin juga mendapatkan support dari pemerintah sekarang, itu punya obsesi bagaimana supaya mengenalkan wajah Islam Indonesia, sebagai alternatif, ini loh ada jenis ke-Islam-an yang lain. Nah, bagaimana strateginya itu saya nggak tahu, itu kan sudah menyangkut kemampuan misalnya menggunakan jaringan teknologi informasi yang canggih, atau seperti apa saya nggak tahu persis, tapi arahnya ke sana. Arahnya bagaimana Indonesia, muslim Indonesia, mengajukan alternatif wajah Islam kepada dunia.
Harus (pula) ada upaya untuk meminimalisir pro-kontra yang tidak produktif, misalnya saling nyinyir, atau saling menghakimi. Daripada begitu mending merumuskan aspek epistemologinya, maksudnya ushul fiqh, qaidah fiqh-nya, bangunan intelektualnya. Jadi bukan hanya menjadi sebuah isu yang menjadi konsumsi media massa atau apa, tapi ada aspek epistemologi, metodologi dan intellectual content.
Artinya, harus dirumuskan, harus memobilisir khasanah pemikiran ke-Islam-an, untuk membikin suatu perumusan yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, tentang ke-Islam-an yang menghargai kemashlahatan lokal itu seperti apa, gitu. Namun bukan berarti Islam itu tidak satu, Islam itu satu, tetapi manifestasinya banyak.
Jadi satu dalam keragaman. Ya itu tadi, ini lagi-lagi soal distingsi antara tsawabit dan mutaghoyyirot. Tsawabit itu secara tegas soal aqidah, yang paling pasti itu soal tauhid, nubuwwah, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan soal al-ma’at, hari pembalasan. Jadi itu tiga aspek. Iman yang lain itu derivasi dari itu.
Kemudian soal ubudiyyah, berarti ya solat, ya itu lah Rukun Islam. Ini kalau gampangannya itu Rukun Islam dan Rukun Iman, gitu lho... Di luar itu, itu mutaghoyyirot, tadi itu, bandulnya itu prinsip-prinsip. Bukan berarti nggak diatur, ada aturannya, tapi aturan umum, yang justru memberikan keleluasaan, jadi tidak memberatkan, agama memang tidak untuk memberatkan.
FM: Bagaimana wacana Islam Nusantara ini dikaitkan dengan organisasi kemasyarakatan yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah?
AS: Pertanyaan itu akan terjawab kalau ada follow up dengan program-program kongkrit setelah Muktamar untuk menterjemahkan dua jargon tadi, Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, dengan catatan keduanya dipahami sebagai kontekstualisasi, bukan dipahami sebagai sesuatu yang bertabrakan, tetapi sesuatu yang komplementer. Karena memang harus diakui dua organisasi itulah jangkar bagi kontekstualisasi Islam. Supaya orang bisa melihat bahwa ini dua sisi dari mata uang yang sama.
FM: Bagaimana gagasan Islam Nusantara menjawab/menyikapi tuduhan-tuduhan miring seperti yang disuarakan oleh sebagian kalangan, misalnya bahwa Islam Nusantara ini melembekkan gerakan persatuan Islam, bahwa Islam Nusantara itu sesat dan sebagainya?
Langkah kongkrit yang bisa dilakukan oleh PBNU dan pasti akan dilakukan oleh PBNU adalah menerbitkan sebuah buku, semacam “buku putih”, apa yang mereka maksud dengan Islam Nusantara. Karena pro-kontra kemarin itu kan itu menjadi bola liar, hanya komentar-komentar, tidak ada elaborasi yang sistematis. Itu satu.
Yang kedua, pro-kontra itu macem-macem, ada yang karena tidak tahu, ada yang salah paham, ada yang karena memang menolak ide itu karena mereka adalah pengikut ke-Islam-an yang semuanya dianggap tsawabit.
Islam Nusantara itu dimunculkan untuk merespon ke-Islam-an yang seperti itu, ke-Islam-an yang dikembangkan oleh para pengikut gerakan trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir atau Salafi atau yang punya afiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, yang menganggap bahwa kaffah itu menyatunya negara dan agama, dalam arti itu adalah sebuah sistem yang nizom-Islami, sistem Islam itu harus diterapkan tanpa melihat konteks. Jadi bentuk-bentuk itu dianggap tsawabit.
Bagi mereka, mereka itu begitu ngotot dengan bentuk. Sementara Islam Nusantara, atau ke-Islam-an yang memahami mutaghoyyirot itu akan sampai pada pemahaman yang substantif terhadap aspek-aspek yang memang mutaghoyyirot, misalnya soal bagaimana mengatur masyarakat. Yang penting itu kan mashlahat, keadilan, syuro dan kesetaraan atau persamaan.
Itu sudah diuraikan oleh Gus Dur sebenarnya, dalam artikelnya yang kami jadikan di buku Islam Nusantara sebagai semacam manifesto Islam Nusantara. Tepatnya wawancara yang dibikin tulisan, tahun 1989 berjudul Pribumisasi Islam. Intinya pribumisasi itu bukan untuk mengubah Islam, tetapi itu hanya soal bagaimana manifestasinya, ekspresinya itu atentif menghargai tuntutan lokal, kebutuhan lokal.
Jadi gimana supaya mashlahat itu tercapai, gitu lho… Jadi kalau nyinyir-nya itu karena faktor itu ya memang yang tanda kutip mau dilawan. Itu kan implikasinya dia menolak atau tidak menghargai budaya nusantara.
Saya melihat bahwa ini kesempatan bagi kalangan NU dan mungkin pesantren untuk merumuskan ke-Islam-an Ahlush-Sunnah Waljama’ah yang ditandai dengan tawassuth (moderat), tawazzun (seimbang), I’tidal (tegak lurus, tidak bengkak-bengkok) dan tasamuh (toleran). Nah bagaimana menggambarkan ajaran seperti itu menjadi sebuah sistem yang lebih handy, yang lebih berguna bagi ke-Islam-an di Indonesia.
Jadi bukan hanya sekedar prinsip-prinsip umum, jadi bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya begitu. Artinya, kehidupan sehari-hari kan fiqh kan… jadi bagaimana itu tercermin dalam fiqh itu. Tawazzun itu misalnya dalam hal dalil, bukan yang sangat pro-akal sama sekali, tapi tidak juga yang anti-akal, jadi di tengah-tengah. Islam Nusantara itu adalah manifestasi dari ajaran moderasi yang tercermin dalam Ahlus-Sunnah Waljama’ah.
Ini sebenarnya bukan gerakan reaksioner, rekatif terhadap transnational movement itu, karena ini sebanarnya adalah inti atau penegasan kembali dari ajaran Aswaja. Jadi ini adalah penamaan lain Aswaja yang menjadi dasarnya NU. Penekanannya bukan hanya sebagai, misalnya Sunni melawan Syi’i, atau Sunni dalam empat mazhab, melainkan lebih dari itu, ini kaitannya dengan prinsipnya itu, tawassuth, tawazzun, I’tidal dan tasamuh. Itu menjadi patokan NU sejak dulu.
Nah Islam Nusantara kan itu arahnya. Jadi ya, sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Jadi keliru kalau dikatakan itu sebagai agendanya JIL atau agenda Islam Liberal, beda banget. JIL tidak bertolak dari syariah, ini kan dari syariah.
Maksudnya JIL bukan berarti anti-syariah, yang saya pahami dan saya tidak setuju, itu adalah bahwa public sphere itu menjadi wilayahnya rasionalitas yang tidak ada intervensi agama. Misalnya, demokrasi ya harus memakai prinsip-prinsip demokrasi, universal. Sementara Islam Nusantara, sama menerima demokrasi, tetapi demokrasi dilihat sebagai bentuk dari menerapkan mashlahat. Jadi ini soal frame-nya. Output-nya mungkin ada titik temu ya, tetapi frame-nya beda.
Gini lah gampangnya gini, Mbah Sahal Mahfudz itu menerima demokrasi bukan karena dia setuju dengan atau belajar Tocqueville, John Locke, Stuart Mill atau siapa lah para pemikir demokrasi, tetapi karena beliau memakai logika fiqh. Jadi gini, logika fiqh itu membawa Mbah Sahal yang hidup pada Abad XXI itu menerima demokrasi. Karena bagi dia, demokrasi-lah saat ini yang paling efektif untuk mengaktualisasikan masyarakat.
Artinya gini, orang seperti Mbah Sahal, kalau hidup pada Abad XVII atau XVI, kalau beliau sama cara berpikirnya, belum tentu menerima demokrasi, akan menerima sistem yang lain, karena sistem yang lain mungkin saat itu cocok. Jadi bukan dalam soal bentuknya, karena Mbah Sahal tetap menerima demokrasi kan?!
Itu soal frame, titik tolaknya itu syariah. Jadi di satu sisi adalah sebuah cara untuk merebut klaim dari kalangan Islam kaffah bahwa mereka lah yang lebih komprehensif Islam-nya. Bukan...! Kalian itu komprehensif dengan cara yang salah, yaitu semuanya dianggap tsawabit.
FM: Oke, terima kasih wawancaranya Bung Sahal..
AS: Sama-sama…