Wednesday, October 28, 2015

Jokowi: Pemimpin Fungsional

https://www.facebook.com/uyungsulaksana/posts/10207936183313496
Sudirman Said

Image result for jokowi rose garden
tribunnews.com

Jika orang berharap pada upacara kebesaran, mereka akan kecewa. Kalau yang ditunggu adalah diplomasi basa-basi tingkat tinggi mereka akan kecewa juga. Kalau penghormatan diterjemahkan dengan besarnya bendera, lebarnya karpet merah, dan tingginya pangkat pejabat yang menjemput, mereka akan terus bertanya "kok Presiden saya kurang dihormati?"
Semua upacara penjemputan berlangsung sederhana, cepat, efisien dan fungsional.
Dan Presiden Jokowi adalah Presiden yang sederhana, cepat, efisien, dan fungsional. Pada suatu kesempatan di Abu Dhabi, Presiden Jokowi dijemput oleh Pemimpinnya, disetiri sendiri bicara hanya berdua, dan diajak ke tempat jamuan makan kenegaraan, DI RESTAURANT JEPANG dan Bukan private room pula. Dan Presiden kita happy saja.
Di kesempatan lain saya ikut rangkaian kegiatan kunjungan kerja menyusuri Jawa bagian barat sampai Sumatera. Para Menteri tidak dibawa seluruhnya dari satu lokasi ke lokasi lainnya, melainkan diminta bergiliran mendampingi tergantung urusannya. Menteri yang sudah selesai urusannya, diminta kembali ke Jakarta. Dan Menteri yang hanya berurusan di satu titik diminta menyusul tanpa harus "repot" mengikuti seluruh rangkaian acara.
Perjalanan Presiden selalu dengan rombongan "ramping", efisien, dan seperlunya.
Kembali ke kunjungan ke AS, jika yang diharapkan adalah diskusi mendalam pimpinan kedua negara, kunjungan ini sukses besar. Semua aspek strategis dibicarakan dengan hangat dan terbuka. Investasi, ekonomi, energi bersih, perubahan iklim, teororisme, demokrasi, hingga urusan kesehatan rakyat.
Jika penghormatan diterjemahkan dengan saling respek maka kehadiran Presiden Jokowi menuai respek amat besar. Hal-hal yang sensitif dan pemerintah RI meminta tidak disentuh, Pemerintah AS mengikutinya. Sebagai contoh soal kontrak Freeport dan Kasus Bioremediasi Chevron, tidak ada pembicaraan itu sama sekali di semua sesi pertemuan baik dengan Pemerintah maupun bisnis.
Respek juga terlihat ketika selesai pembicaraan resmi kedua Pemimpin Negara, Presiden Obama mengajak Presiden Jokowi keliling Gedung Putih, bahkan diajak singgah ke area housing tempat tinggal keluarganya. Sesuatu yang amat sangat jarang dilakukan dengan tamu negaranya. Bahkan yang semula protokol menata acara pelepasan di ruang oval, Obama secara spontan mengubah rencana mengantarkan Presiden Jokowi dan seluruh delegasi ke beranda White House melewati koridor probadinya yang biasanya tidak dilewati tamu-tamu. Koridor pribadi adalah jalan penghubung antara rumah tinggal dengan kantornya di White House.
Yang terpenting, jika orang berharap pada hasil nyata kunjungan ini mereka seharusnya menghargai angka-angka ini. Ada 14 Business Deal ditandatangani, termasuk 11 bidang energi. Investasi USD 3,5 miliar disepakati. Total USD 17 miliar transaksi bisnis ditandatangani. Ada 250 lebih Pemimpin bisnis Amerika, terutama investor yang sudah sangat lama berada di Indonesia hadir dalam gala dinner yang hangat. 150 Pemimpin bisnis hadir dalam bisnis summit. Tak kurang dari 15 pertemuan "padat berisi" dilakukan oleh Presiden dan delegasinya.
Di San Fransisco, meski Presiden memutuskan akan kembali lebih cepat, dikirim empat Menteri untuk melanjutkan kunjungan kerjanya. Sejumlah business deal di bidang digital ekonomi di komandani Pak Rudiantara terus akan dijalankan, dan akan membawa Republik Indonesia to the next step dalam bidang digital ekonomi.
Presiden Jokowi adalah presiden sederhana, cepat, efisien, dan fungsional. Hasil hasil nyata yang memberi manfaat bagi rakyat lebih bermakna dari pada upacara kebesaran yang memabukkan, tapi kosong esensi.
Dalam salah satu pidato singkat di Gala Dinner semalam, dengan manis Presiden mengapresiasi karya karya Steve Job yang amat user friendly dan penuh pesan simplicity. Di ujung pidato Presiden menutup: "kesederhanaan adalah refleksi dari kecerdasan. Hanya orang cerdas seperti Steve Job yang mampu membuat hal rumit menjadi sederhana."

Sudirman Said
Washington DC, 27 oktober 2015

Monday, October 12, 2015

Menyusuri Jejak Leluhur Manusia Indonesia


http://sains.kompas.com/read/2015/10/12/11170831/Menyusuri.Jejak.Leluhur.Manusia.Indonesia
Oleh AHMAD ARIF

Infografik: Dicky/KOMPAS
Suku-suku di Indonesia saat ini dan asal-usulnya.

KOMPAS.com - Studi genetika menjadi ujung tombak untuk mengetahui asal-usul dan migrasi manusia, juga penanganan penyakit berdasarkan spesifikasi genetikanya. Namun, pengambilan sampel genetika, bukan hanya persoalan statistik. Para peneliti genetika selain menghadapi medan berat, juga harus menghadapi aneka karakter masyarakat.

Setelah diminta mengunyah sirih pinang, para peneliti lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, itu digiring ke luar dari rumah adat menuju lapangan. Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Eijkman yang memimpin penelitian, berjalan di depan, diikuti dua peneliti muda, Gludhug Ariyo Purnomo dan Isabella Apriyana. Stephen Lansing, antroplog yang juga Direktur Complexity Institute Nanyang Technological University-Singapura, berjalan paling belakang.

Seorang lelaki, berikat kepala merah dan memegang parang besar, menunggu di samping tugu dan meja batu. Beriringan, para peneliti itu diminta memutarinya hingga tiga kali, mengikuti pemimpin adat. Di pinggir lapangan, riuh warga menonton dan sesekali bersorak mengikuti teriakan lelaki dengan parang itu.

”Ritual yael woma (mengelilingi tugu batu) ini untuk mengenalkan orang baru kepada leluhur,” kata Yosep Kaanubun, pemangku adat Desa Waur, Kecamatan Kei Besar, Maluku Tenggara. ”Di sini semua kegiatan harus dimulai dengan ritual adat. Apalagi ini mau ambil darah. Bapak-Ibu harus menjadi bagian dari kami dulu.”

Para peneliti Eijkman ini berada di Desa Waur pada awal September 2015 dalam rangka memetakan genetika masyarakat Indonesia sebagai bagian dari penelitian jangka panjang sejak tahun 1996. Selain ke desa-desa di Pulau Kei Kecil dan Kei Besar di Maluku Tenggara, mereka juga ke Kepulauan Tanimbar di Maluku Tenggara Barat (MTB).

Mitos dan Logos

Setelah menahbiskan para pendatang itu menjadi bagian dari mereka, Yosep kemudian mengisahkan asal- usul masyarakat Kei berdasarkan cerita lisan yang diwarisinya turun- temurun. Menurut dia, gelombang pertama pendatang dari Bali, Jawa, dan Sumatera. Kedua, datang dari Tobelo (Pulau Halmahera) dan Pulau Ternate. Ketiga, datang dari Tanimbar. Dan keempat datang dari Banda Neira. Sebelum gelombang kedatangan ini, sudah ada penduduk asli di Kei yang dipercaya turun dari kayangan.

Para peneliti menyimak penjelasan itu dengan takzim. ”Kami harus menghormati penjelasan warga itu,” kata Herawati.

Studi genetika adalah salah satu puncak dari revolusi ilmu pengetahuan modern saat ini. Sebagai bagian dari ilmu biologi molekuler, proses analisisnya melibatkan statistik yang ketat dan terukur. Sampel darah akan diekstraksi lalu diurai untuk dilacak materi genetikanya dan itu menggunakan mesin dan peralatan dengan teknologi termutakhir. Namun, menurut Hera, di lapangan, para peneliti genetika harus mau terbuka terhadap segala macam informasi, termasuk yang berasal dari mitologi.

”Beberapa pengetahuan tradisional yang diyakini warga sering kali terbukti sesuai dengan hasil penelitian genetika walaupun sebagian lainnya mungkin berbeda,” kata Hera.

Ia mencontohkan, masyarakat di Pulau Sumba memiliki mitologi bahwa leluhur mereka berasal dari Desa Wunga, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur. Hasil analisis genetika yang dilakukannya membuktikan bahwa jejak gen penutur Austronesia tertua memang berasal dari penduduk di kawasan itu. Para penutur Austronesia ini mendarat di Wunga sekitar 3.500 tahun lalu sebelum kemudian menyebar ke seluruh pulau dan sebagian kawin-mawin dengan penutur Papua yang lebih dulu menghuni pulau ini.

Bahasa

Integrasi antar-disiplin ilmu itu juga terlihat dari keterlibatan Lansing, yang lebih fokus untuk meneliti bahasa. Ketika para peneliti Eijkman sibuk mengumpulkan sampel darah, Stephen Lansing bergerilya merekam bahasa yang dipakai warga. Berbekal kamera video, dia meminta perwakilan warga menyebutkan 200 kata dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah sesuai daftar kata Swadesh.

Daftar kata ini awalnya dikembangkan oleh linguis Morish Swadesh (1909-1967) sebagai alat pembelajaran tentang evolusi bahasa. Daftar ini mengandung satu set kata-kata dasar yang dapat ditemukan di hampir semua bahasa, misalnya kata ”saya”, ”kamu”, ”buru”, dan ”hutan”. Dengan mengumpulkan dan menganalisis daftar kata dasar dalam bahasa daerah, akan diketahui kekerabatannya, bahkan evolusinya. Populasi mana yang lebih dahulu menggunakan bahasa tersebut, dan mana yang belakangan, walaupun dalam beberapa kasus relasi bahasa dan genetika tidak terjadi secara linier.

 Misalnya, masyarakat Madagaskar dari aspek kebahasaan memiliki kemiripan bahasa dengan masyarakat Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

”Namun, dari studi yang telah kami lakukan, genetika masyarakat Madagaskar ternyata berasal dari suku Bajau,” sebut Hera. Bahasa bisa dipinjam, tetapi genetika tidak, dia hanya diwariskan melalui perkawinan.

Respons sosial

Setelah mendapatkan izin dari tetua adat, pengambilan darah warga Desa Waur siang itu akhirnya berjalan lancar. ”Tenang saja, kami hanya ambil darah sekitar satu sendok teh,” ujar Gludhug Ariyo kepada warga yang antre di rumah Kepala Desa Waur. Beberapa warga, terutama yang tua- tua yang belum pernah merasakan jarum suntik terlihat ragu. ”Ah enggak sakit, seperti digigit semut saja,” ujar Yusuf B Supu, petugas dari Dinas Kesehatan Maluku Tenggara, yang membantu pengambilan darah meyakinkan warga.

Jika di Waur peneliti disambut upacara adat, di Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil, mereka disambut dengan cecaran pertanyaan dari aparat desa, utamanya dari Kepala Desa Adolf Markus Tenihut. Walaupun sudah membawa surat izin dari pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten, dan sebelumnya sudah menghubungi kepala desa lewat telepon, menurut mereka hal itu belum memadai.

”Harusnya ada pemberitahuan jauh-jauh hari agar bisa menjelaskan kepada warga. Lalu, apa ini Eijkman, kenapa namanya seperti orang Belanda?” kata Adolf Markus.

Hera meminta maaf soal ketergesaan itu, dan kemudian menjelaskan tentang lembaga Eijkman. Setelah berdiskusi sekitar setengah jam, akhirnya suasana mencair. Kepala Desa Adolf Markus ternyata pernah lama tinggal di Jakarta, persisnya di sekitar Kecamatan Johar Baru. Begitu disebut tentang kantor Eijkman yang berada satu kompleks dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dia pun langsung ngeh. ”Nah itu sudah. Dulu pernah bertetangga. Saya dulu sering ke sekitar sana,” kata Adolf.

Akhirnya, hampir semua aparat desa dengan sukarela diambil darahnya, kecuali kepala desa, yang ternyata takut dengan jarum suntik.

Imbalan

Di Desa Alusi Krawain, Kecamatan Kormomolin, Maluku Tenggara Barat, peneliti dihadapkan langsung kepada warga desa yang mempertanyakan mengenai maksud hingga imbalan dan manfaat apa yang mereka peroleh jika diambil darahnya. Sekalipun beberapa hari sebelumnya, penjelasan ini sudah disampaikan kepada aparat desa.

Samuel Gaitian, Sekretaris Dinas Kesbangpol dan Linmas Kabupaten MTB, yang turut mendampingi, banyak membantu menjembatani komunikasi warga dengan peneliti. ”Nah, karena kita juga ambil dorang punya darah, maka kita juga beri pemasukan buat dorang. Setelah diambil darahnya, nanti ada kue-kue dan makan siang. Selain itu juga ada uang transpor buat dorang semua,” katanya. Warga pun bersorak dan tersenyum puas.

Selama empat hari di Pulau Kei Besar dan Kei Kecil, para peneliti Eijkman ini berhasil mengumpulkan 95 sampel darah warga dari tiga desa. Sebelumnya, selama seminggu di Kepulauan Tanimbar mereka mengumpulkan 106 sampel darah warga dari empat desa.

”Untuk mendapat kepercayaan warga, kami menggunakan berbagai jalur. Mulai dari tokoh pemerintah, aparat keamanan, pemimpin agama, hingga adat. Bahkan, waktu di pedalaman Sumatera Selatan, kami menggandeng kepala preman setempat karena dia yang paling dihormati di sana,” kata Hera.

Sustainable Development Goals (SDGs)

UNDP
http://www.undp.org/content/undp/en/home/mdgoverview/post-2015-development-agenda.html

“World leaders have an unprecedented opportunity this year to shift the world onto a path
of inclusive, sustainable and resilient development" - Helen Clark, UNDP Administrator.
At the United Nations Sustainable Development Summit on 25 September 2015, world leaders adopted the 2030 Agenda for Sustainable Development, which includes a set of 17 Sustainable Development Goals (SDGs) to end poverty, fight inequality and injustice, and tackle climate change by 2030.

What are the Sustainable Development Goals?

The Sustainable Development Goals, otherwise known as the Global Goals, build on the Millennium Development Goals(MDGs), eight anti-poverty targets that the world committed to achieving by 2015. The MDGs, adopted in 2000, aimed at an array of issues that included slashing poverty, hunger, disease, gender inequality, and access to water and sanitation. Enormous progress has been made on the MDGs, showing the value of a unifying agenda underpinned by goals and targets. Despite this success, the indignity of poverty has not been ended for all.
The new SDGs, and the broader sustainability agenda, go much further than the MDGs, addressing the root causes of poverty and the universal need for development that works for all people.
UNDP Administrator Helen Clark noted: "This agreement marks an important milestone in putting our world on an inclusive and sustainable course. If we all work together, we have a chance of meeting citizens’ aspirations for peace, prosperity, and wellbeing, and to preserve our planet."
The SDGs will now finish the job of the MDGs, and ensure that no one is left behind.

What is UNDP's role with the Sustainable Development Goals?

All 17 Sustainable Development Goals are connected to UNDP’s Strategic Plan focus areas: sustainable development,democratic governance and peacebuilding, and climate and disaster resilience. Goals Number 1 on povertyNumber 10 on inequality and Number 16 on governance are particularly central to UNDP’s current work and long-term plans. 
Having an integrated approach to supporting progress across the multiple goals is crucial to achieving the SDGs, and UNDP is uniquely placed to support that process.

UNDP supports countries in three different ways, through the MAPS approach: mainstreaming, acceleration and policy support.
  • Providing support to governments to reflect the new global agenda in national development plans and policies. This work is already underway in many countries at national request;
  • Supporting countries to accelerate progress on SDG targets. In this, we will make use of our extensive experience over the past five years with the MDG Acceleration Framework; and
  • Making the UN’s policy expertise on sustainable development and governance available to governments at all stages of implementation.
Collectively, all partners can support communication of the new agenda, strengthening partnerships for implementation, and filling in the gaps in available data for monitoring and review. As Co-Chair of the UNDG Sustainable Development Working Group, UNDP will lead the preparation of Guidelines for National SDG Reports which are relevant and appropriate for the countries in which we work.
UNDP is deeply involved in all processes around the SDG roll out. We are bringing our extensive programming experience to bear in supporting countries to develop their national SDG efforts.

Monday, October 05, 2015

hair"craft"

Idei de coafuri pentru cununia civila pe care le poti realiza chiar singura!#GhidulMiresei

Posted by Ghidul Miresei on Friday, 29 May 2015

Sunday, October 04, 2015

scarfwear

Ecco in quanti modi potete indossare una sciarpa :)

Posted by Donna Fanpage on Saturday, 3 October 2015