Sunday, January 31, 2016

Dogs vs Stairs

Dogs Vs. Stairs

There is something about stairs that some dogs just can’t figure out. We've compiled some hilarious clips of dogs using some "unique" methods to figure it out. http://petcha.com/pet_care/videogallery/dogs-vs-stairs/

Posted by Petcha on Monday, 18 January 2016

Saturday, January 30, 2016

Wawancara Jalaluddin R.: Ideologi Wahabi sama dengan ISIS

http://www.merdeka.com/khas/ideologi-wahabi-sama-dengan-isis-wawancara-jalaluddin-r-1.html
Mohammad Yudha Prasetya 

Ideologi Wahabi sama dengan ISIS
Jalaluddin Rakhmat. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - Konflik antara Sunni dan Syiah sepertinya memang sudah mengakar sampai ke Indonesia. Sejak perang antara Sunni melawan rezim Basyar al-Assad yang dituding beraliran Syiah, aksi-aksi pendukungnya juga sampai ke Indonesia. Apalagi, kasus-kasus intoleran pada tahun lalu banyak terjadi.

Pada Oktober lalu contohnya. Terjadi pelarangan umat Islam Syiah saat akan melakukan peringatan Asyura di daerah Bogor, Jawa Barat. Begitu juga pesan anti Syiah ini memang begitu masif dikampanyekan di media sosial. Ini tentunya berbahaya, mengingat hasil konferensi ulama sedunia pada 2005 lalu menyatakan Syiah bagian dari Islam. Tidak sesat. 

Tokoh Syiah juga anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Jalaluddin Rakhmat menjelaskan jika konflik intoleran ini memang bermuara dari perseteruan Arab Saudi dan Iran. Dia pun mengatakan jika konflik antara Sunni berwujud Al Qaidah sampai ISIS diyakini seideologi dengan Wahabi. 

"Karen Armstrong, menyebut bahwa ISIS itu merupakan produk ideologi di dunia Islam, yang dikembangkan mulai abad ke-18, yaitu Wahabisme," ujar Jalaluddin saat berbincang denganmerdeka.com, Kamis kemarin.

Berikut penuturan Jalaluddin Rakhmat kepada Mohammad Yudha Prasetya dari merdeka.com:


Sebagai anggota DPR apa upaya-upaya yang sudah Anda lakukan untuk menangani masalah diskriminasi kelompok Syiah?

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama, pernah bermaksud untuk membuat undang-undang mengenai kerukunan beragama. Kita di DPR juga sudah berusaha untuk menggantinya dengan nomenklatur baru, yaitu Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kebebasan Beragama. Sampai saat ini hal tersebut pun sudah berhasil kita masukkan di Prolegnas DPR periode sekarang ini.

Jadi kita ingin melindungi orang untuk menjalankan agamanya, dan bukan semata-mata soal kerukunan saja. Karena kalau soal kerukunan saja, kita lagi tenang-tenang tiba-tiba muncullah Gafatar, kemudian jadi enggak rukun lagi hidupnya. Makanya kali ini yang kita garap bukan hanya soal kerukunan saja, tetapi kita harap nantinya pemerintah juga menjaga kebebasan beragama. Sebenarnya Kementerian Agama juga sudah mencanangkan hal ini, tapi memang sampai sekarang belum dimasukkan dalam daftar prioritas dan terealisasi.

Apa poin-poin yang ditegaskan dalam nomenklatur pembaharuan pada RUU Perlindungan Kebebasan Beragama ini?

Poin-poinnya adalah Negara harus memberikan jaminan kepada setiap pemeluk agama dan keyakinan untuk menjalankan ibadahnya. Dalam hal ini, mencakup seluruh orang yang memiliki keyakinan beragama, atau bahkan kepercayaan seperti misalnya Sunda Wiwitan, dan lain sebagainya. Karena sebetulnya, sudah banyak juga Undang-Undang yang menjamin mengenai kebebasan memeluk agama dan kepercayaan ini, bahkan termasuk di UUD 1945 pasal 28 mengenai jaminan kebebasan beragama. Tetapi dalam implementasinya, ternyata tidak seperti yang dijaminkan dalam Undang-Undang. Sebabnya adalah, karena para takfiri dan pengujar kebencian ini biasanya berlindung di balik UU No. 1/PNPS Tahun 1965, mengenai penistaan agama.

Lucunya, kebenaran hakiki tentang agama itu ditentukan sendiri oleh mereka secara sepihak, sehingga mereka merasa berhak menentukan siapa-siapa yang tidak sepaham atau berbeda dengan mereka, dengan tuduhan menistakan agama. Jadi menurut mereka, berbeda paham itu sama saja menistakan agama.

Ahmadiyah menganggap ada Nabi setelah Nabi Muhammad, apakah bisa disebut penistaan agama?

Di Indonesia, Ahmadiyah itu kan terbagi dua, yakni Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah yang percaya bahwa ada Nabi setelah Nabi Muhammad ini adalah Ahmadiyah Qadiyan, yakni pengikut Mirza Ghulam Ahmad. Kalaupun ada pihak berwenang yang berhak menganggap mereka itu menyimpang, tetapi kan cara-cara persekusi dan kekerasan seperti yang terjadi di Cikeusik bukan solusinya. Maka menurut saya, prinsipnya tetap bahwa Ahmadiyah itu adalah warga negara Indonesia, yang juga mempunyai hak untuk dilindungi dalam berkeyakinan. Kita boleh tidak setuju dengan Ahmadiyah, tetapi hak-hak kewarganegaraannya itu yang tidak boleh disangkal, bahwa mereka juga merupakan warga negara Indonesia.

Saya juga sebenarnya tidak setuju dengan persekusi yang diterima kelompok Gafatar. Karena sebenarnya, mereka hanya punya pendapat yang berbeda dengan mainstream. Dan transmigrasi mereka ke Kalimantan itu adalah upaya mereka untuk menghindarkan pertikaian akibat perbedaan pendapat tersebut. Maksudnya adalah agar mereka juga bisa hidup tenang di sana dan tidak diganggu. Poinnya adalah, tidak ada pihak yang berhak menyalahkan atau menuduh sebuah kelompok menistakan agama, untuk kemudian meng-kafirkannya. Jangan hanya karena salatnya berbeda, misal yang satu tangannya lurus sementara yang lainnya bersedekap, kemudian dikatakan sebagai penistaan. Di Masyarakat Sunni saja ada empat pandangan yang berbeda, Hambali, Hanafi, Syafii dan Maliki. Apakah semua perbedaan di antara keempatnya adalah sebuah penistaan?, Kan tidak.

Bukankah perbedaan itu juga terjadi di kalangan NU dan Muhammadiyah, di mana NU memperbolehkan tradisi ziarah kubur sementara Muhammadiyah melarangnya? Tetapi apakah di antara mereka saling tuduh menistakan agama? Kan tidak juga. Maka, ketika perbedaan itu tidak dapat dihakimi secara sepihak oleh siapa pun, hal utama yang harus dijunjung tinggi adalah hak kewarganegaraan dari tiap-tiap pemeluk agama atau kepercayaan itu, untuk menjalani ibadahnya masing-masing. Karena kekerasan dalam memperlakukan kelompok-kelompok itu sama sekali bukanlah sebuah solusi.

Menurut Anda, apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah diskriminasi terhadap kelompok Syiah?

Kalau dari pemerintah, melalui Polri itu mereka sudah mengeluarkan surat edaran mengenai ujaran kebencian (hate speech). Tetapi sayangnya aturan ini tidak terlalu ditegakkan, karena sebenarnya para takfiri (pihak yang suka mengkafirkan) ini nyatanya masih bebas menjadi pengujar kebencian di media-media sosial. Pemerintah juga saat ini sedang mengevaluasi KUHP dan berupaya memberikan penjelasan tambahan, yang akan makin melengkapi definisi dan penegakan hukum mengenai tindakan hate speech tersebut.

Apakah diskriminasi terhadap kelompok Syiah di Indonesia ini merupakan dampak dari konflik internasional antara Arab Saudi dan Iran?

Pastinya ada. Saat ini, ada sebagian kelompok dari kalangan Sunni yang militan, dimulai dari Al Qaidah, dilanjutkan oleh Jabhat Al Nusra, Free Syrian Army (FSA), yang bermetamorfosis menjadi Islamic State of Iraq and Levant (ISIL), kemudian menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), hingga kemudian hari ini kita kenal dengan nama Islamic State (IS). Mereka itulah yang mempunyai garis ideologi yang sama, yakni Wahabisme.

Seorang penulis buku-buku bertema agama yang ternama, Karen Armstrong, menyebut bahwa ISIS itu merupakan produk ideologi di dunia Islam, yang dikembangkan mulai abad ke-18, yaitu Wahabisme. Ciri Wahabisme itu hanya satu, yakni Takfiri. Jadi mereka akan mengkafirkan semua orang yang pahamnya berbeda dengan mereka, bahkan pengkafiran itu dilakukan di antara kalangan mereka sendiri. Itulah ideologi yang sama yang saat ini bisa kita lihat melalui Al Qaidah, Jabhat Al Nusra, dan ISIS.

Dalam kajian-kajian internasional pun, sudah banyak pemerhati politik dan para akademisi yang mengetahui bagaimana Kerajaan Arab Saudi ini mengekspor ideologi Wahabinya ke seluruh dunia. Bahkan, banyak di antara mereka yang menjuluki kerajaan Saudi itu sebagai 'Kerajaan Kebencian' atau Hatred Kingdom. Paham Wahabi itu tadinya tidak terkenal di dunia Islam, sampai akhirnya mereka membentuk kerajaan, dan ditemukanlah minyak di tanah mereka sehingga membuat mereka kaya raya. Kekayaan itulah yang kemudian menjadi alat mereka menyebarkan paham Wahabinya.

Bahkan yang makin marak saat ini adalah penggelontoran dana dari Kerajaan Arab Saudi untuk membangun masjid di manapun, termasuk di Indonesia, untuk menyebarkan ajarannya tersebut. Bahkan di Malaysia, kemarin tersebar berita bahwa PM Najib Razak terbukti menerima 681 juta Dollar dana dari kerajaan Saudi, hingga akhirnya mereka berhasil membuat ajaran Syiah dinyatakan sebagai aliran sesat dan terlarang di Malaysia.

Jadi di sini bisa kita lihat bahwa Iran dan citra Islam Syiah-nya, selalu menjadi target bagi Kerajaan Arab Saudi untuk disingkirkan di manapun, baik di Malaysia, Indonesia, maupun di negara muslim lainnya. Bahkan hal itu juga ditegaskan dengan dieksekusinya ulama Syiah asal Arab Saudi, yakni Syeikh Nimr al-Nimr. Dan Arab Saudi dalam hal ini selalu memakai kedok Sunni, padahal mereka itu Wahabi, yang benci terhadap Iran dan aliran Syiahnya.

Di Indonesia, apakah invasi ideologi Wahabi itu memakai pola yang sama?

Iya, betul. Sekarang saja banyaklah contohnya di mana ada gelontoran dana dari Kerajaan Arab Saudi untuk membangun mesjid, tetapi di masjid itu tidak diperbolehkan mengadakan tahlilan, shalawatan, dan lain sebagainya yang merupakan ciri-ciri Wahabi. Kalau mau ditelusuri, sudah banyak mesjid yang dibangun atas dana-dana aliran dari Arab Saudi tersebut.

Apakah ada kaitannya antara ideologi Wahabi radikal dan intoleran dengan gerakan teror yang marak di dunia Islam saat ini ?

Saya memperhatikan bahwa siapa pun orang yang membicarakan masalah terorisme di Indonesia ini, tidak pernah menyebut bahwa akar dari terorisme itu adalah ideologi Wahabi. Karena kalau menyebut paham Wahabi, itu sama saja langsung menuding Arab Saudi. Sebab agama resmi dan paham yang dibenarkan di Arab Saudi itu ya hanya Wahabisme. Kita bisa lihat contoh dari ideologi Wahabisme itu sendiri adalah larangan menziarahi kubur, dan perusakan-perusakan situs sejarah Islam dari zaman Rasulullah. Oleh Wahabi di Arab Saudi, bahkan situs bersejarah bekas rumah Nabi saja dijadikan toilet umum. Kuburan para sahabat Nabi di pemakaman Baqi, itu sama mereka di buldoser dan tidak dirawat, biar tidak ada yang berziarah karena hal itu bid'ah dan terlarang menurut mereka.

Menurut Anda, adakah gerakan lain yang coba menghalau ideologi Wahabi ini di Indonesia?

Jelas ada. Selain dari kelompok-kelompok Syiah yang memang menjadi target mereka, kalangan Nahdlatul Ulama juga gencar menangkal paham Wahabisme itu dengan konsep mereka yang disebut Islam Nusantara. Jadi mereka menggencarkan Islam yang nasionalis, yang tidak termakan tipu daya stigma bahwa apapun yang berasal dari Arab pasti islami. Ya contohnya Wahabisme ini, mereka kan mengaku Sunni, tetapi ideologinya radikal. Makanya, NU mengejawantahkan paham Islam Nusantara tersebut, sebagai penyadaran bahwa tidak semua tentang Arab itu Islam. Bahwa Islam itu bukan janggut tebal, celana cingkrang (mengatung), atau bahkan gamis panjang. Islam itu bukan Arab.

Apa saja pengaruh Wahabisme di Indonesia saat ini ?

Salah satu ciri Wahabisme itu adalah simplifikasi, yaitu menyimpulkan segala sesuatu itu secara sepihak dan subjektif. Jadi orang bodoh yang masuk Wahabi itu biasanya selalu merasa paling pintar sendiri, dan yang lain yang berbeda pendapat dengannya langsung di-cap kafir dan sesat. Padahal belajar agamanya juga baru kemarin sore istilahnya.

Kalau pernah dengar beberapa waktu yang lalu, ada sebagian takfiri yang menuding Prof. Quraish Shihab itu sesat dan kafir, tentunya itu sangat mengherankan buat saya. Selama ini kita tahu bahwa kitab tafsir karangan beliau yang terkenal yakni Tafsir Al Misbah, sudah banyak diakui di dunia internasional. Namun, dengan kebodohan sebagian orang yang berpaham Wahabi ini, maka dituduh lah Quraish Shihab ini sebagai Syiah, sesat dan kafir. Ini kan lucu, anak kemarin sore menuduh sesat ke seorang Profesor Al Quran, yang kredibilitasnya sudah diakui secara internasional.

Bahkan pernah ada buku yang berjudul "50 Orang Penyebar Kesesatan di Indonesia", yang diterbitkan oleh kelompok takfiri ini. Di tulis di buku tersebut, penyebar kesesatan nomor 1 itu Gus Dur, nomor 2 Ustadz Quraish Shihab, nomor 3 Nurcholis Majid (Cak Nur), dan nomor 4 saya, Jalaluddin Rakhmat.

Dikatakan demikian, wah, bangga dong saya. Disebut kafir tetapi saya disandingkan dengan Ustadz Quraish Shihab, Cak Nur, Gus Dur, ya enggak apa-apa deh. Daripada saya dianggap sebagai orang paling berpengaruh di dunia Islam, tetapi disandingkan dengan nomor 1 Abu Bakar Al Baghdadi, dan nomor 2 Jalaluddin Rakhmat, ih amit-amit saya mah.

Friday, January 29, 2016

15 Things You Should Know About 'The Last Supper'

Mental Floss
http://mentalfloss.com/article/64372/15-things-you-should-know-about-last-supper
Kristy Puchko




Leonardo da Vinci's The Last Supper is one of the most admired, most studied, and most reproduced paintings the world has ever known. But no matter how many times you've seen it, we'll bet you don't know these details. 

1. IT'S BIGGER THAN YOU THINK. 

Countless reproductions have been made in all sizes, but the original is about 15 feet by 29 feet.

2. THE LAST SUPPER CAPTURES A CLIMACTIC MOMENT. 

Everyone knows the painting depicts Jesus' last meal with his apostles before he was captured and crucified. But more specifically, da Vinci wanted to capture the instant just after Jesus reveals that one of his friends will betray him, complete with reactions of shock and rage from the apostles. In da Vinci's interpretation, the moment also takes place just before the birth of the Eucharist, with Jesus reaching for the bread and a glass of wine that would be the key symbols of this Christian sacrament. 

3. YOU WON'T FIND IT IN A MUSEUM. 

Although The Last Supper is easily one of the world’s most iconic paintings, its permanent home is a convent in Milan, Italy. And moving it would be tricky, to say the least. Da Vinci painted the religious work directly (and fittingly) on the dining hall wall of the Convent of Santa Maria delle Grazie back in 1495. 

4. ALTHOUGH IT’S PAINTED ON A WALL, IT'S NOT A FRESCO. 

Frescos were painted on wet plaster. But da Vinci rejected this traditional technique for several reasons. First off, he wanted to achieve a grander luminosity than the fresco method allowed for. But the bigger problem with frescos—as da Vinci saw it—was that they demanded the painter rush to finish his work before the plaster dried.

5. DA VINCI USED A BRAND NEW TECHNIQUE ON HIS FUTURE MASTERPIECE.

In order to spend all the time he needed to perfect every detail, da Vinci invented his own technique, using tempera paints on stone. He primed the wall with a material that he hoped would accept the tempera and protect the paint against moisture. 

6. VERY FEW OF DA VINCI'S ORIGINAL BRUSHSTROKES REMAIN.

Although the painting itself was beloved, da Vinci's tempera-on-stone experiment was a failure. By the early 16th century, the paint had started to flake and decay, and within 50 years, The Last Supper was a ruin of its former glory. Early restoration attempts only made it worse. 
Vibrations from Allied bombings during World War II further contributed to the painting's destruction. Finally, in 1980, a 19-year restoration effort began. The Last Supper was ultimately restored, but it lost much of its original paint along the way. 

7. A HAMMER AND NAIL HELPED DA VINCI ACHIEVE THE ONE-POINT PERSPECTIVE. 

Part of what makes The Last Supper so striking is the perspective from which it's painted, which seems to invite the viewer to step right into the dramatic scene. To achieve this illusion, da Vinci hammered a nail into the wall, then tied string to it to make marks that helped guide his hand in creating the painting's angles. 

8. RENOVATIONS ELIMINATED A PORTION OF THE LAST SUPPER.

In 1652, a doorway was added to the wall that holds the painting. Its construction meant that a lower central chunk of the piece—which included Jesus' feet—was lost.

9. THE LAST SUPPER'S JUDAS MAY HAVE BEEN MODELED AFTER A REAL CRIMINAL. 

It is said that the look of every apostle was based on a real-life model. When it came time to pick the face for the traitorous Judas (fifth from the left, holding a bag of telltale silver), da Vinci searched the jails of Milan for the perfect looking scoundrel.

10. THERE MAY BE A BIBLICAL EASTER EGG HERE.

To the right of Jesus, Thomas stands in profile, his finger pointing up in the air. Some speculate that this gesture is meant to isolate Thomas's finger, which becomes key in a later Bible story when Jesus rises from the dead. Thomas doubts his eyes, and so is entreated to probe Jesus' wounds with his finger to help him believe.

11. THE MEANING OF ITS FOOD IS UP FOR DEBATE. 

The spilled salt before Judas has been said to represent his betrayal, or alternately, is seen as a sign of his bad luck in being the one chosen to betray. The fish served has similarlyconflicted readings. If it is meant to be eel, it might represent indoctrination and thereby faith in Jesus. However, if it's herring, then it could symbolize a nonbeliever who denies religion. 

12. IT'S INSPIRED SOME WILD THEORIES.

In The Templar Revelation, Lynn Picknett and Clive Prince propose that the figure to the left of Jesus is not John, but Mary Magdalene, and that The Last Supper is key evidence in a cover-up of the true identity of Christ by the Roman Catholic Church.
Musicians have speculated that the true hidden message in The Last Supper is actually an accompanying soundtrack. In 2007, Italian musician Giovanni Maria Pala created 40 seconds of a somber song using notes supposedly encoded within da Vinci's distinctive composition. 
Three years later, Vatican researcher Sabrina Sforza Galitzia translated the painting's "mathematical and astrological" signs into a message from da Vinci about the end of the world. She claims The Last Supper predicts an apocalyptic flood that will sweep the globe from March 21 to November 1, 4006. 

13. THE LAST SUPPER ALSO INSPIRED POPULAR FICTION. 

And not just The Da Vinci Code. A pervasive part of the painting's mythology is the story that da Vinci searched for ages for the right model for his Judas. Once he found him, he realized it was the same man who had once posed for him as Jesus. Sadly, years of hard-living and sin had ravaged his once-angelic face. As compelling a story as this is, it’s also totally false
How do we know this story isn’t true? For one thing, it's believed that da Vinci took about three years to paint The Last Supper, mostly due to the painter's notorious tendency to procrastinate. For another, stories of spiritual decay manifesting itself physically have long existed. It's likely that someone along the way decided to saddle The Last Supper with a similar narrative in order to give its moral message a sense of historical credibility.

14. IT'S BEEN MIMICKED FOR CENTURIES. 

Fine art and pop culture have paid tribute to The Last Supper with a cavalcade of imitations and parodies. These range from a 16th century oil painting reproduction to new interpretations from Salvador DaliAndy WarholSusan Dorothea White, and Vik Muniz, who made his out of chocolate syrup. 
Recreations of The Last Supper's distinctive tableau can also be found in the Mel Brooks comedy History of the World, Part 1, Paul Thomas Anderson's stoner-noir Inherent Vice, and Luis Buñuel's Viridiana, which was declared "blasphemous" by the Vatican. It's also been a plot point in The Da Vinci Code and Futurama.

15. WANT TO SEE THE LAST SUPPER IN PERSON? BETTER BOOK (WAY) IN ADVANCE.

Though The Last Supper is one of Italy's must-see sites, the convent in which it is located was not built for big crowds. Only 20 to 25 people are allowed in at a time in visiting blocks of 15 minutes. It is recommended visitors book tickets to see The Last Supper at least two months in advance. And be sure to dress conservatively, or you may be turned away from the convent.

Tuesday, January 26, 2016

Tentang Iman dan Cinta

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10208228821859021&id=1256756257
Hasanudin Abdurakhman

Dalam berbagai diskusi cukup sering orang mencoba menjebak saya dengan pertanyaan,"Bagaimana bila anakmu yang jadi gay? Bagaimana bila anakmu pindah agama?" Ini bukan pertanyaan dalam rangka memahami, melainkan pertanyaan orang frustrasi, ketika tak sanggup lagi berargumen. Ketika saya jawab dengan jujur dan gamblang, mereka tak kunjung paham. Malah makin tambah frustrasi. Lalu mereka mengumpat saya dengan doa,"Semoga anakmu jadi gay. Semoga anakmu murtad." Mengumpat dengan doa? Ya, begitulah hebatnya orang beriman, mereka bisa menumpahkan umpatan melalui doa.

Bagi saya ada 2 hal yang tidak bisa dipaksakan, yaitu iman dan cinta. Kita bisa memaksa orang melakukan ritual-ritual, atau melarang mereka melakukan ritual, masuk ke suatu agama, atau keluar dari suatu agama, tapi kita tak akan pernah bisa memaksa orang untuk beriman atau tidak beriman. Masih ingat dengan aliran-aliran yang dituduh sesat seperti Islam Jamaah atau Darul Arqam? Banyak upaya untuk meluruskan mereka, tapi apa hasilnya? Mereka hanya berubah dalam bentuk kasat mata, tapi tak berubah dalam keyakinan. Mereka hanya mencoba menghindar dari tekanan sosial. Sebaliknya para penekan sebenarnya tak pernah benar-benar peduli pada iman orang-orang itu. Mereka sebenarnya hanya tak mau ego mereka terusik menyaksikan orang-orang yang berbeda dengan mereka.

Cinta mirip dengan iman. Kau bisa memaksa orang untuk menikah atau tidak menikah, bersenggama atau tidak senggama, tapi kau tak akan pernah bisa memaksa atau melarang orang untuk mencintai. Nasihat-nasihat atau tekanan hanya akan membuat orang mengubah perilaku yang tampak, tapi tidak mengubah cintanya. Makanya banyak kasus gay menikah, punya anak, tapi dia tetap gay.

Anda masih sulit untuk menerima prinsip ini? Tidak percaya? Coba tanya diri Anda sendiri, maukah atau bisakah Anda mengubah iman Anda? Tidak. Kalau Anda tidak mau, mengapa Anda berharap orang lain akan mau mengubah imannya oleh ajakan atau tekanan Anda? Maukah Anda mengubah cinta Anda? Tidak.
Anda merasa sedang mempertahankan kebenaran? Ya, begitu pula orang lain. Masalahnya adalah, Anda menganggap kebenaran itu wujud secara independen. Padahal bukan. Kebenaran itu didefinisikan. Agama adalah kumpulan definisi tentang kebenaran.

Maka kepada anak-anak, dalam hal agama dan cinta, saya tidak akan memaksakan sebuah arahan. Yang saya lakukan adalah memberi mereka ruang untuk tahu dan berpikir. Pilihan ada sepenuhnya pada pikiran mereka masing-masing.

Tadi malam, misalnya, anak saya bertanya tentang mukjizat nabi membelah bulan. Apakah ini nyata?
"Menurutmu mungkin nggak itu terjadi."
"Nggak mungkin."
Itu jawaban rasional. Kemudian menyusul jawaban iman.
"Tapi kalau Allah berkehendak, mungkin saja."
Saya hanya meluruskan,"Bahkan kehendak Allah pun punya konsekwensi. Kalau Allah mengizinkan bulan terbelah, maka Ia juga harus mengizinkan berbagai konsekwensi yang menyertainya, seperti "tumpahnya" magma bulan, atau berubahnya keseimbangan relasi gravitasi bulan-bumi."

Anak saya masih mencoba mempertahankan argumennya. "Tapi kan ada bekasnya di permukaan bulan."
"Bukan, nak. Itu adalah Rima Ariadaeus, fenomena di permukaan bulan, bukan bekas terbelahnya bulan."
Saya hanya hadirkan fakta-fakta kepadanya, lalu saya berikan dia ruang bebas untuk mendefinisikan kebenarannya sendiri.

Dalam usia saya yang hampir setengah abad ini, saya banyak melihat pergulatan iman orang-orang. Pernah saya mengenal seorang gadis muda di tahun 90-an. Ia memakai jilbab, di saat jilbab masih asing. Peliknya lagi, ia sekolah di sekolah Katholik. Ia dilarang pakai jilbab di sekolah, tapi mencoba ngotot. Orang tua dan guru-guru mencoba melunakkan, tapi gagal. Akhirnya dicapai jalan tengah, ia hanya boleh berjilbab di luar sekolah, sampai menjelang masuk ke halaman sekolah. Belasan tahun kemudian saya temukan anak ini tidak lagi berjilbab.

Saya sendiri mengalami pergulatan itu. Orang tua saya penganut Islam tradisionalis seperti NU. Abang saya aktivis Muhammadiyah. Saya? Saya penganut aliran bukan-bukan. Saya tidak mengimani Quran sebagai kitab yang benar dalam setiap detilnya. Saya juga tidak menjadikan Quran sebagai pedoman yang harus dilaksanakan pada setiap ayatnya. Instead, saya memandang Quran sebagai inspirasi dan panduan moral. Fokus saya adalah menegakkan pesan besar dari Quran, yaitu menyelamatkan manusia dari kerusakan (fasad) dan kebinasaan.

Keluarga saya kaget dan keberatan. Abang saya, manusia yang paling saya hormati di muka bumi ini saat ini, berulang kali menelepon saya, mencoba meluruskan saya. Beberapa kali saya ladeni. Lalu saya katakan,"Capek ngomong panjang lebar begini. Kalau ada waktu cobalah kita berdialog kalau De kebetulan ada acara di Jakarta."

Lalu terjadilah dialog itu. Saya bentangkan Quran di depan abang saya, lalu saya sampaikan pikiran saya. Saya minta dia membantahnya. Dia tidak bisa membantah. Tentu saja dia juga tidak setuju. Saya tidak berharap dia setuju. Saya hanya ingin dia paham, bahwa adiknya sedang membangun jalannya sendiri, bukan sedang tersesat.

Masih penasaran dia mencoba menembak saya. "Kau itu minim ilmu. Kau cuma doktor di bidang sains, bukan bidang agama. Imumu tak lengkap."

"Ya, memang tak lengkap. Tapi siapa manusia yang lengkap ilmunya? Quraish Shihab? Hamka? Ibnu Katsir? Suyuthi? Quran dan ketuhanan itu begitu luas cakupannya, sehingga tak ada seorang pun yang lengkap ilmunya. Orang-orang yang saya sebut tadi boleh saja luas ilmunya dalam hal bahasa Arab, ulumul Quran dan hadist. Tapi kalau soal ilmu alam yang juga banyak dibahas di Quran, maaf saja, ilmu saya lebih banyak dari mereka."

Abang saya terdiam. Lalu dia berkata,"Baiklah. Silakan tempuh jalan kamu. Aku hanya bisa berdoa untuk kamu."

Maka, kepada yang bertanya, izinkan saya membalik pertanyaan itu kepada Anda. Kalau anak Anda gay, apa yang akan Anda lakukan? Kalau anak Anda murtad, apa yang akan Anda lakukan? Mencoba mengubah mereka? Boleh jadi mereka hanya akan mengerjakan ritual-ritual. Mereka hanya mengubah cara senggama. Tapi Anda tak akan pernah bisa mengubah iman atau cinta mereka.

Tidak sedikit pula orang yang menuduh saya mencari popularitas belaka. Orang yang tidak biasa berpikir memang akan sulit memahami makna atau kenikmatan dari kemerdekaan berpikir itu. Ketahuilah bahwa saya belum pernah mendapat nikmat apapun dari pikiran saya yang sekarang, selain jempol-jempo di Facebook. Sebaliknya, saya pernah mendapat cukup banyak uang dari mendakwahkan Islam "konvensional". Saya dulu sering diundang memberi khutbah dan pengajian, dan mendapat imbalan uang.

Kalau saya mau, saya bisa lebih populer dengan mendakwahkan Quran yang cocok dengan sains, seperti yang dilakukan seorang teman saya. Saya bisa mendapat lebih banyak uang dengan menyampaikan hal-hal populer yang disukai banyak orang.

Tapi tidak. Saya memilih untuk jadi orang merdeka atas pikiran saya sendiri.

Wednesday, January 13, 2016

Tuesday, January 12, 2016

FENOMENA AWAM RELIJIUS DI NEGERIKU

https://www.facebook.com/1515468065448170/photos/a.1515902045404772.1073741829.1515468065448170/1531927910468852/?type=3&theater
Ahmad Zainul Muttaqin

1. Kemarin saya melihat postingan seorang muslimah di fb yang mengupload foto seorang wanita berjilbab mengenakan kalung salib. Setelah dia tanya ternyata wanita tersebut seorang Nasrani. Lalu si muslimah pengupload tersebut menyebutnya sebagai "penistaan terhadap islam."

2. Dulu juga ramai bersliweran di media sosial postingan beberapa wanita dan anak-anak Nasrani Orthodoks yang sedang beribadah mengenakan jilbab/kerudung, lalu mereka tulis "Berhati-hatilah telah muncul agama baru yang meniru-niru islam"

3. Bahkan yang terbaru kemarin, hanya karena Agnesmo memakai kostum panggung seksi dengan tulisan arab المتّحدة lalu sebagian muslim heboh menyebutnya sebagai penistaan terhadap islam, padahal tulisan tersebut hanya bermakna persatuan.




Sebegitu 'mengerikan'-nya kah potret kejumudan umat islam di negeri ini?

Saya sebagai muslim justru merasa sangat aneh jika melihat simbol-simbol seperti jilbab dan huruf arab diidentikkan hanya dengan agama islam saja.

Pada zaman jahiliyah sebelum Rasulullah lahir, bahasa arab itu merupakan bahasa sehari-hari bangsa jahiliyah tersebut. Bahkan mereka menjadikan syair-syair arab sebagai ukuran intelektualitas.

Kaum Kristiani di Mesir, Suriah, Palestina dan Iraq setiap hari menyanyikan lagu rohani mereka memuji Yesus dan Bunda Maria pun dengan berbahasa arab.

Bahkan jauh sebelum datangnya Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW, para wanita Nasrani Orthodoks sudah mengenakan kain penutup rambut setiap beribadah. Bahkan para Biarawati pun mengenakannya sehari-hari. Lalu apa itu penistaan terhadap islam? Hellooow..

Banyak saudara kita disini yang cakrawala beragamanya masih sangat sempit. Mereka tidak sadar bahwa apa yang dijalankan agamamu belum tentu milik agamamu sendiri. Bisa jadi simbol-simbol agama yang kau sebut syar'i itu juga merupakan simbol-simbol agama samawi lainnya.

Inilah fenomena awam religius di negeri kita. Dan sayangnya jumlah mereka sangat banyak di negeri ini. Kaum relijius dangkal dan sempit yang memahami agama hanya dari kulit dan simbol-simbol.

Dan orang-orang seperti inilah sasaran potensial cuci otak intoleransi dan takfirisme. Kaum ini akan 'terhipnotis' begitu melihat para ustadz bersorban, bergamis dan berjenggot lalu mengikutinya tanpa kritis.

Mendengar ustadz-ustadz yang pandai mengutip teks agama dan sepenggal kalimat berbahasa Arab, awam relijius ini akan tunduk rebah menelan semua ujaran kebenciannya. Apalagi mendengar buaian surga dan janji 72 bidadari, para awam relijius ini pun akan rela mati menjemput 'jihad' dimanapun mereka diarahkan untuk 'berjihad'.

Proses pencarian agama mereka terhenti di ranah kulit. Dan tidak aneh orang-orang ini sangat menggandrungi para selebritis mendadak ustadz dan para muallaf mendadak ustadz (ahh you know lah siapa).

Dalam kitab Al Wala' wal Bara' disampaikan sebuah kalimat singkat, "Waspadalah terhadap para ahli ibadah yang bodoh", mereka sungguh bersemangat dalam ghiroh agama. Namun sayangnya karena tanpa dibekali kecerdasan dan daya kritis, mereka justru menjadi duri dalam islam yang hakikatnya ajaran yang 'Hanifiyyatus Samhah' >> semangat mencari kebenaran dengan lapang dada & toleran tanpa fanatisme sempit.

Entah apa yang ada dalam mindset islam para manusia simbol ini. Di satu sisi, mereka merasa dihinakan jika simbol-simbol agama mereka dipakai umat agama lain seraya mereka sebut itu "penistaan". Tapi anehnya mereka tidak pernah marah jika simbol agama mereka seperti kalimat Tauhid dipakai untuk berbuat barbar dan terorisme seperti yang dilakukan ISIS (padahal itu jelas-jelas merupakan simbol eksklusif islam).

Mereka tidak pernah marah teriakan Takbir digunakan untuk mengebom masjid dan warga sipil. Mereka juga tidak marah simbol-simbol eksklusif islam tersebut digunakan para teroris untuk menyembelih tawanan hidup-hidup seraya dengan bangga menenteng kepala korbannya sembari pamer telunjuk ke atas lambang bertauhid.

Dan tidak aneh, golongan muslim jumud seperti ini biasanya yang paling doyan memakan berita dari media-media radikal 'sumbu pendek' berbau 'religius' macam arrahmah dot com, fimadani, islampos, eramuslim, jonru, pkspiyungan dan sejenisnya yang doyan mencitrakan agama ini dengan fanatisme sempit dan intoleransi. 

Monday, January 11, 2016

Catatan: Sumanto Al Qurtuby

https://www.facebook.com/Revolusi4indo/photos/a.160991974003462.21429.141750355927624/641629439273044/?type=3&theater
Revolusi Indonesia



Saya membuat tulisan ini, bukan untuk merendahkan bangsa saya, Indonesia tercinta.

Bukan pula menyerang negara Arab, khususnya Arab Saudi tempat di mana saya berdomisili saat ini.

Tujuan tulisan singkat saya ini untuk membangunkan teman-teman, kakak, dan adik-adik saya dan sesama saudara warga negara Indonesia di mana saja berada.

Agar bisa memilih dan memilah, mana yang bisa dijadikan panutan/pedoman, serta mana pula yang harus diwaspadai.

Harapan saya hanya satu:
Semoga Indonesia selalu dirahmati oleh Allah Tuhan Alam Semesta Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya, dan anak-anak bangsa ini -termasuk saya- tidak menjadi bangsa yang inferior(rendah diri), tidak mudah kagum, dan tidak mudah menjadi beo.

Begini, saya melihat hubungan antara Arab (khususnya Arab Teluk), Barat (khususnya Amerika), dan Indonesia (khususnya yang pro-Arab) itu unik, menarik, dan lucu.

Negara2 Arab, khususnya Teluk itu "sangat Barat" dan jelas2 pro-Amerika (dan Inggris).

Hampir semua produk2 Barat dari ecek-ecek (semacam restoran fast foods) sampai yg berkelas & bermerk untuk kalangan berduit, semua ada di kawasan ini.

Mall-mall megah dibangun, a.l., untuk menampung produk2 Barat tadi.

Warga Arab menjadi konsumen setia karena memang mereka hobi shopping (bahkan terkadang lalai dengan sembahyang).

Orang2 Barat juga mendapat "perlakuan spesial" disini, khususnya yang bekerja di sektor industri (gaji tinggi, fasilitas melimpah).

Mayoritas orang2 Arab juga sangat hormat & inferior(rendah diri) terhadap orang2 Barat.

Saya sering jalan bareng bersama "kolega bule"-ku ke tempat pameran barang-barang branded tsb, dan mereka menganggap saya adalah "jongosnya".

Bagi orang2 Arab, non-bule darimanapun asalnya apapun agama mereka adalah "Kelas Buruh", sementara org bule, sekere & sebego apapun mereka, beragama atau tidak beragama, dianggap "kelas elit".

Mereka baru menaruh rasa hormat, kalau sudah tahu "siapa kita".

Sejumlah universitas2 beken di Amerika juga membuka cabang di Arab Teluk, selain Saudi, (Georgetown, New York Univ, Texas A & M, Carnegie Melon Univ, dll).

Di bawah bendera King Abdullah Scholarship, Saudi telah mengirim lebih dari 150 ribu warganya untuk belajar di kampus2 Barat, khususnya Amerika, Kanada & Eropa (jg Aussie).

Tidak ada satu pun yang disuruh belajar ke Indonesia!! !
Sementara (sebagian) warga Indo memimpikan belajar di Arab Saudi.

Lucunya, para fans/penyembah Arab Saudi dan Arab-Arab lainnya di Indonesia, mereka mati-matian men-tuan-kan Arab, sementara Arab sendiri tidak "menggubris" mereka (penyembah Arab).

Para "cheerleaders/pengidola" Arab ini (para fans Arab di Indonesia), juga mati2an anti-Barat padahal org2 Arab mati2an membela Barat.

Kita bertutur memakai istilah bahasa mereka (akhi, ukhty, antum, dan berbagai istilah arab lainnya, padahal, mereka merendahkan kita). Kita seolah gagal faham untuk membedakan antara Islam dan Arab. 


Islam menghargai kita sedangkan Arab menganggap kita ini bangsa budak.

Saya bukan anti-Arab atau anti-Barat karena teman2 baikku banyak sekali dari "dua dunia" ini.

Saya juga bukan pro-Arab atau pro-Barat. Saya adalah saya yang tetap orang kampungan Jawa.

Daripada "menjadi Arab" atau "menjadi Barat", akan lebih baik jika kita menjadi "diri kita sendiri" yang tetap menghargai warisan tradisi & kebudayaan leluhur kita.

Itulah orang Saudi, mereka menganggap kecil terhadap orang Indonesia, di hotel, di kantor, bahkan mrk menyangka saya cuma tenaga profesional ecek ecek, mereka tanya gaji, disangka CUMA 2 ribu atau 3 ribu Real. (1 real = 3700)

Waktu saya bilang jumlah gaji saya, mereka baru tahu gaji saya sama dengan orang Amerika atau Inggris, dan mereka tanya kok bisa begitu.

Saya bilang, saya pernah training di Inggris dan di Amerika, dan ternyata gaji saya lebih besar dari gaji dokter Saudi.

Itulah kenyataannya, dan yang menggaji saya perusahaan di Abu Dhabi yang tidak menganggap rendah karyawannya berdasarkan kebangsaan atau Nationality profiling.

Mudah mudahan pemerintah tidak mengirim lagi TKI atau TKW sehingga mereka tidak menganggap orang Indonesia bangsa budak.

Tetapi kirim tenaga terdidik, terutama yang menguasai bahasa Inggris.

Sekali lagi:

Saya bukan anti Arab dan juga bukan anti Barat saya cuma orang Jawa - Indonesia yang dipercaya sebagai orang yang bekerja sebagai tenaga ahli yang dibayar berdasarkan keahliannya.

Suatu hari, dan ini bukan untuk menyombongkan diri, saya merasa bangga ketika saya keluar dari sebuah hotel di Jeddah, saya dijemput oleh sopir orang Arab berasal dari Thaif.
Itu kebanggaan saya, karena biasanya yg jadi sopir itu orang Indonesia.

Mudah2an kita tidak jadi bangsa budak dan budak diantara bangsa lain.

Belum lama ini sy mengadakan survei dg responden para mahasiswaku (sekitar 100 mhs) yg mayoritas beretnik Arab & Saudi. Survei ini bersifat "confidential" dan identitas mahasiswa tdk diketahui. Salah satu pertanyaan dlm survei adl: "Agar lebih Islami, apakah masyarakat Muslim non-Arab harus meniru & mencontoh masyarakat Arab & menjalankan kebudayaan mrk?" Jawaban mrk, sekitar 60% bilang "tidak", 12% bilang "ya", selebihnya "mungkin" & "tidak tahu".

Saya tdk tahu secara pasti apakah jawaban mrk itu ada kaitannya dg "doktrin2" pentingnya menghargai pluralitas budaya, agama, & masyarakat yg selama ini sy "ajarkan" di kelas atau mungkin karena pengaruh pendidikan yg semakin meningkat atau gelombang modernisasi & "internetisasi" yg mewabah di kawasan Arab.

Apapun faktor2nya yg jelas hasil survei ini "sedikit menggembirakan" (setidaknya buatku), meskipun masih bny tantangan cukup besar menghadang di depan mata. Bukan suatu hal yg mustahal jika kelak kaum Muslim Arab & Saudi khususnya bisa menjadi lebih maju, terbuka, dan toleran. Dan bukan suatu hal yg mustahal pula jika kelak kaum Muslim Indonesia justru "nyungsep" menjadi umat yg bebal, tertutup, dan intoleran.

Di saat masyarakat Arab mulai lelah dg konflik & kekerasan serta mulai menyadari pentingnya keragaman & hidup bertoleransi, sejumlah kaum Muslim di Indonesia justru menjadi umat intoleran dan anti-kemajemukan...

Dikutip dari akun Fb: Sumanto Al Qurtuby , seorang professor Warga Negara Indonesia, dosen di King Fahd University for Petroleum and Gas, Arab Saudi.


*jika artikel ini bermanfaat buat anda dan orang lain silahkan share sebanyak2nya dan jangan lupa like fanspage kami Revolusi Indonesia untuk update artikel2 revolusi lainya.

Friday, January 08, 2016

DIY: hairpiece

Best Hairstyles of 2015 !!!By:@whatlydialikes

Posted by Vlechten met Daan on Thursday, 7 January 2016