Sunday, December 26, 2010

Kebijakan Baru dalam Penanganan Bencana

http://www.metrotvnews.com/index.php/read/analisdetail/2010/12/23/121/-Kebijakan-Baru-dalam-Penanganan-Bencana


Kamis, 23 Desember 2010 23:11


oleh: Surjono H. Sutjahjo


Bila kita mengulas kembali kebelakang, telah terjadi kemerosotan lingkungan hidup yang ditandai dengan terjadinya bencana alamiah maupun akibat ulah manusia. Banjir, longsor, tsunami, letusan gunung, kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain telah menelan korban jiwa dan kerugian yang dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan Asia-Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP), sejak tahun 1980 sampai 2009 bencana alam Indonesia telah mencatat kerugian yang sangat besar, 191.164 orang meninggal (peringkat ke-2), 17.545.000 orang menjadi korban (peringkat ke-9), dan kerugian ekonomi mencapai US$.22.582 miliar (peringkat ke-8).

Di sisi lain, bantuan dan relawan terus mengalir, menunjukkan kepedulian bangsa ini kepada sesamanya. Namun masih saja terkesan “lamban” dan “tidak merata”, apa penyebabnya? Padahal, kejadian bencana sering terulang, 312 kejadian (peringkat ke-4), angka ini menunjukkan bahwa bumi Nusantara ini memang akrab dengan bencana, namun tetap saja tidak ada kesiapsiagaan untuk mengantisipasinya.

Kurang Kesiapsiagaan dan koordinasi dalam Penanganan Bencana

Dalam UU No.24 Thn 2007 tentang Penganggulangan Bencana, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Standar tanggap darurat juga sudah diatur dalam UU ini, melalui koordinasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

“Kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana”-lah yang menjadi faktor kunci dalam penanggulangan bencana. Namun Indonesia tidak pernah belajar pada sejarah. Contohnya, di negeri ini pernah terjadi gempa besar dan tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau (1883), gempa yang mengakibatkan tsunami di Aceh (26 Desember 2004), dan gempa 7,6 Skala Richter di Padang. Ketidaksiapsiagaan terjadi di Kepulauan Mentawai (25 Oktober 2010), gempa tektonik 7,2 SR terjadi dan berpotensi tsunami, namun tidak ada peringatan dari pemerintah akan potensi terjadi tsunami. Hal ini, konon dikarenakan alat pendeteksi tsunami rusak setelah tiga bulan berada di perairan Mentawai sehingga tidak bisa terhubung dengan satelit. Akibatnya 509 orang meninggal dan 21 orang dinyatakan masih hilang (BPBD Padang, 18/11/2010).

Penanganan bantuan pun masih sangat lamban, setelah enam hari kejadian, kondisi korban di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan masih memprihatinkan. Padahal Presiden SBY sudah menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk segera melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Hal ini dikarenakan kondisi gelombang yang tinggi, padahal Kepulauan Mentawai memang terkenal dengan gelombang yang tinggi dan justru menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berselancar. Ombak di Kepulauan Mentawai merupakan peringkat ketiga terbaik setelah Hawaii dan Tahiti (Martin Daly, peselancar dunia), tercatat 12 ribu orang peselancar (detik, 1997) datang ke Mentawai dan memberikan PAD yang besar bagi Sumatera Barat.

Ketidaksiapsiagaan kembali terulang di Gunung Merapi (26 Oktober dan 5 November 2010), menyebabkan 232 orang meninggal dan 561.328 orang mengungsi (BNPB, 11/11/2010). Padahal pada 25 Oktober 2010, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sudah merekomendasikan status “awas”, namun tetap saja “terlambat”.

Begitu juga yang terjadi di Wasior, Papua Barat. 153 orang meninggal dan 120 orang hilang (BNPB, 15/10/2010). Pemerintah beranggapan banjir bandang yang terjadi bukan akibat illegal logging, melainkan akibat intensitas hujan yang tinggi dan pemekaran wilayah yang tidak mengikuti kaidah lingkungan. (lihat : Wawancara inilah.com), namun tetap saja Pemerintah kembali terlambat melindungi warga negaranya.

Kita memang sudah memiliki UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai terobosan dalam penanggulangan bencana. Namun, kinerja aparat dalam bentuk pendistribusian logistik bantuan saja masih lamban dan tidak merata, bahkan masih selalu terdapat kekurangan, terutama air bersih dan makanan. Pengerahan bantuan saja masih mengandalkan partisipasi relawan. Hal ini mungkin terjadi akibat koordinasi yang kurang sinergis, dan perlu penegasan dalam UU tersebut mengenai peran BNPB dalam struktur komando penanganan situasi darurat. Bila tidak dijelaskan secara tegas rantai komandonya, maka akan sulit untuk berharap BNPB dapat menjadi solusi dari semua permasalahan bencana di Indonesia, karena BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana, dan seringkali koordinasi antar lembaga terbentur oleh aturan serta masalah birokrasi.

Dalam proses pengadaan dan pendistribusian bantuan, pemerintah dapat saja membuat kebijakan dalam bentuk PP yang lebih “memaksa” dengan cara mengambil stok dari produsen/swasta yang memproduksi kebutuhan hidup. Misalnya, kepada perusahaan mie instant atau air kemasan; pemerintah tinggal memerintahkan mereka untuk mengeluarkan setahun pajaknya dalam bentuk mie instant atau air kemasan. Begitu pula dengan perusahaan dengan produk selimut, obat-obatan dan lainnya yang dibutuhkan dalam keadaan bencana. Dengan cara ini, penanganan bantuan akan lebih cepat dan tidak perlu “mengemis” kepada negara lain. Sistem kerjasama regional juga harus mulai dilakukan. Apabila suatu daerah terkena bencana, maka daerah terdekat secara sistematis memberikan bantuannya.

Selain itu, bencana merupakan masalah serius bagi pertahanan nasional, maka perlu dibuat/ditambahkan dalam UU tersebut mengenai pengerahan komponen sistem pertahanan negara. Kita harus belajar kepada Jepang, yang sudah memiliki undang-undang penanganan bencana dan lebih antisipatif dan serius dalam menangani bencana.

Perlu pendidikan dalam menghadapi bencana

Dalam keadaan bencana, sudah pasti terjadi kepanikan dan hilangnya moril. Untuk itu, pendidikanlah jawabannya. Selain didukung oleh Undang-undang penanganan bencana, pelatihan standar evakuasi dan kesiapan dalam menghadapi bencana juga harus dilakukan. Berkaitan dengan Hari Ibu Nasional setiap tanggal 22 Desember, pendidikan dalam menghadapi bencana, selain diberikan di bangku sekolah, dapat juga dilakukan dengan pendekatan melalui ibu-ibu rumah tangga. Peranan ibu sebagai pembentuk karakter bangsa ini, yang seharusnya, dengan pendidikan menghadapi bencana, dapat membentuk pribadi bangsa ini menjadi pribadi yang siap dalam menghadapi bencana.

Sehingga tidak ada lagi “pindah paksa” dari lokasi bencana. Ibu-ibu lah yang paling merasakan perlunya air bersih dirumah, untuk memasak, mencuci, mandi dan lain sebagainya. Dengan pendekatan lingkungan berbasis ibu rumah tangga ini juga akan menciptakan sanitasi yang baik, yang berpengaruh pada kesehatan keluarga. Ibu-ibu selayaknya dilibatkan dalam program pemerintah penanggulangan bencana seperti halnya program menanam pohon satu milyar setahun, yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga.

Perlu Menko Pengelolaan SDA dan Lingkungan

Bencana juga terjadi akibat ulah manusia. Banjir dan tenggelamnya Jakarta dan Bandung, rob di kota-kota pesisir, lumpur Lapindo, penurunan muka air tanah di kota besar, pencemaran Laut Timor, dan lain-lain, merupakan bentuk bencana akibat paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pertumbuhan dan kemajuan ekonomi tetapi tidak memperhatikan/peduli terhadap masalah lingkungan hidup dan sosial.

Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan masih sangat buruk dan belum terintegrasi dengan baik. Sudah saatnya ada yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan memiliki “manajer lingkungan”. Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II perlu Menko (Menteri Koordinator) bidang pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.  Menko SDAL ini bertugas sebagai koordinator dalam pengelolaan SDA dan menjaga agar pembangunan tidak merusak kelestarian lingkungan dan berlandaskan azas pembangunan  berkelanjutan.

Kewenangan operasionalnya meliputi bidang penelitian, konservasi SDA, termasuk pengelolaan sumber daya mineral nasional dan kehutanan, penataan ruang, pengelolaan sumber daya air, pengelolaan satwa liar dan habitat alaminya, konservasi lingkungan hingga ke level tingkat daerah sesuai dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,  pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Penutup

Sebagai negeri yang terkenal kaya sumber daya alam, Indonesia juga terkenal sebagai negeri yang rawan terkena bencana alam, sudah saatnya pemerintah merubah kebijakannya menjadi kebijakan baru dengan perangkat aparat yang lebih “antisipatif” dan “siap” dalam menghadapi bencana. Begitu pula dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Indonesia perlu koordinator dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan adanya Menko SDAL, maka mekanisme koordinasi kebijakan dan sinkronisasi kebijakan, pengendalian, pemantauan dan pengawasan dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dapat ditingkatkan. Hal ini perlu direalisasikan dengan kemauan politik dan good will dari para pemimpin negara untuk mengambil langkah berani dan maju.

Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB