Monday, March 09, 2020

EMPAT LEVEL KOGNITIF by Nana Padmosaputro

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=576734182916715&set=a.110494509540687&type=3&theater

Manusia memiliki 4 level kognitif :

1. Kanak-kanak usia 0-2 tahun, memiliki kemampuan kognitif (kemampuan berpikir, mengerti dan memahami) yang masih di level Sensory Motor. Mereka memahami kaitan dari gerakan tubuh mereka, akan menghasilkan apa saja. Contohnya, jika bola ditendang maka bola itu akan menggelinding. Jika gelas dibanting, maka akan pecah.
****
2. Kanak-kanak usia 2-7 tahun, umumnya memiliki kemampuan kognitif yang belum berkembang jauh....yaitu masih di level Pre Operational. Apa artinya?
Artinya, di usia 2-7 tahun, kemampuan imaginasi mereka masih sangat kuat. Diajak diskusi yang nyambung juga belum bisa. Seringkali, kita ngobrol soal manfaat buah dan sayur..... mereka nyambungnya ke topik lain : malah ngasih komen, bahwa Tinker Bell si peri itu, badannya mirip capung, dan suka hinggap di daun dan sayuran yang ada di kolam berair jernih.
Apa yang diceritakannya benar. Begitulah gambaran Tinker Bell. Tapi diskusinya kan bukan soal peri, tapi soal sayur. Jadi, kalau mereka disalahkan, mereka akan ngamuk...! Soalnya mereka merasa bahwa semua yang mereka katakan soal Tinker Bell itu benar kok. Memang begitu kok ceritanya. Mereka nggak paham bahwa omongan mereka itu nggak nyambung.
Wajar. Pikiran kanak-kanak memang masih ‘liar’ alias kemana-mana. Belum bisa fokus. Dan belum bisa mengaitkan dengan topik bahasan. Terserah dia aja, pikirannya mau mencelat ke mana, lalu membahas apa.... ðŸ˜Š
Tentu mereka membahas seluas (atau sesedikit) pengetahuannya. Di kolom komen, aku membaca seorang ibu sharing :
“Ketika anakku masih seumuran ini, diskusi apapun, larinya ke bahasan Power Ranger.”
Lha... di medsos, kita masih banyak menemukan orang dewasa yang bahasan apapun (mulai dari politik, iptek, dan wabah) ditarik ke bahasan agama...!
Lha piye, kalau pengetahuannya cuma di soal itu, tapi mereka ingin terlibat dalam diskusi? Ya cuma mbahas itu thok, to?
****
3. Nah anak yang lebih besar, umur 7-11 tahun sudah mendingan. Mereka sudah ada di level Concrete Operasional.
Di usia ini, mereka sudah mampu bicara soal konsep dan prinsip. Tapi semuanya harus berbentuk harafiah : ada wujud yang bisa dilihat oleh mata, bisa disentuh, bisa didengar, dan bisa diendus. Pendeknya, harus harafiah dan bisa dicerap oleh ke-5 panca indera.
Untuk urusan milik, mereka baru bisa melihat : sesuatu itu bagus kalau jumlahnya banyak.
—-> Mereka paham soal jumlah yang banyak. Kuantitatif. Semakin banyak, semakin mereka anggap keren.
—-> Mereka belum sepenuhnya paham soal kualitas.
Aku pernah melihat anak-anak senang sekali dapat banyak hadiah. Semakin banyak jumlahnya, semakin gembira. Padahal semuanya mainan plastik yang murah dan mudah rusak. Mereka tidak akan segembira itu, kalau dapat 1 mainan saja, tapi kualitasnya baik, dari bahan yang bagus dan awet, kuat.
Untuk urusan sosial-pergaulan, mereka hanya mengerti : orang yang dianggap jagoan itu kalau bisa menang gelut, berani bantah-bantahan dan kata-kataan.
—-> Mereka belum paham bahwa orang yang mampu berdiplomasi dan memenangkan situasi tanpa harus gebuk-gebukan, itu LEBIH HEBAT...!
—-> Mereka belum paham bahwa berdebat secara rasional dan menggunakan data valid itu lebih CERDAS...!
—-> Mereka tidak paham bahwa asal mbacot dan lebih berisik itu malah kelihatan konyol dan bodoh...
****
4. Anak usia 11 tahun ke atas, biasanya sudah lebih advance. Kemampuan nalarnya ada di level Formal Operasional.
Remaja di usia ini, biasanya mampu diajak diskusi teoritis, hipotetis, dan berpikir counterfactual (alias mampu menciptakan alternatif yang possible dari aneka kejadian dalam hidup ini, alias mencari solusi yang membumi).
Juga sudah mampu bernalar dan sekaligus mampu berpikir abstrak.
Juga mampu menerapkan konsep yang dipelajarinya di sebuah konteks, untuk diterapkan di konteks lain yang serupa atau mirip.
Semua kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut membuat mereka mampu membangun strategi dan membuat perencanaan hidup atau pekerjaan.
*****
Celakanya............
Keterampilan berpikir itu nggak bisa terdevelop secara otomatis.
Menurut Jean Piaget, seorang psikolog berkebangsaan Swiss, kebanyakan orang dewasa tidak mencapai level advance dalam berpikir. Perkembangan kognitifnya TIDAK sampai ke level Formal Operational.
Kalau badan kan bisa jadi ‘gede’ sendiri ya, meskipun selama ini makanannya cuma nasi dan kerupuk...
Kalau umur kan bisa jadi nambah sendiri ya, meskipun selama ini nggak dirayain ultahnya...
Tapi, kalau keterampilan berpikir nggak bisa tumbuh sendiri. Melainkan :
~ Harus dilatih.
~ Harus dibangun.
~ Harus dibiasakan.
Siapa yang membiasakan?
Ya ortu.
Ya keluarga.
Ya lingkungan masyarakat.
Ya sekolah.
Ya lingkungan kerjanya.
Ya buku bacaannya.
Ya seminar dan training yang diikutinya.
Ya dari interaksi medsos yang bermutu.
Jadi jangan bilang ke anakmu : Nanti kalau besar kamu akan ngerti sendiri.
Nggak, nggak semua orang mampu mendidik dirinya sendiri. Mayoritas populasi manusia dewasa, tidak mampu berkembang sampai ke tahap kognitif tertinggi.
Aku mengenal belasan atau puluhan remaja dan mahasiswa yang memiliki kemampuan berpikir level tinggi ini; beda banget dengan kualitas berpikir ortunya. Karena mereka banyak membaca dan berdiskusi dengan kaum yang berpikir terbuka, kritis, banyak pengetahuan, dan selalu positif.
Mereka memilih lingkungan yang kondusif untuk terus belajar.
Tapi selebihnya...? Lebih suka hidup dalam tempurungnya.
*****
Jadi jangan heran kalau kita menemukan ada banyaaaaaaaaak sekali orang yang umurnya dewasa, bahkan sudah bangkotan.... tapi level kognitifnya selevel anak umur 5-11 tahun.
Jangan heran kalau kita menemukan banyaaaaak sekali orang yang beragama namun hanya mementingkan bungkus dan pakaian. Mementingkan ritual entah rajin ke masjid, gereja, klenteng dan pura.... namun ucapan dan tindakannya sangat jauh dari ajaran agamanya yang damai, penuh cinta dan menjaga harmoni.
Jangan heran kalau kita melihat banyaaaaak sekali orang yang mudah ditipu oleh politisi abal-abal dan pemuka agama palsu.
Karena mereka melihat ‘kesan’, nggak mampu berpikir secara kritis : itu orang ilmunya dari mana? Dulu lulusan apa? Lulus dengan baik atau malah drop out? Atau malah nggak pernah belajar sama sekali, tapi cuma modal pede lalu bohong sana-sini?
Jangan heran kalau kita melihat banyaaaaak sekali orang yang diajak diskusi di medsos, soal A, lalu responnya maki-maki pemerintah, orang cina atau orang kaya atau orang miskin (pokoknya siapa saja yang bisa disalahkan).... atau malah bahas hal lain. Melebar nggak keruan.
Jangan heran kalau mereka tidak mampu melihat bahwa penyanyi dan orang tersohor itu juga manusia, juga bisa sedih dan tertekan sehingga bisa jutek nggak selalu mampu meladeni dengan ramah, juga bisa lelah dan gempor karena cari nafkah... juga punya kekurangan, juga punya privacy, juga punya sisi lain kepribadian yang hanya bisa muncul di situasi privat.
Jangan heran kalau banyaaaak orang yang nggak paham ini. Nggak paham itu.
Semua diukur lewat ‘penggaris’nya sendiri.
Semua dinilai berdasar adat kampungnya sendiri.
Semua dinilai dari ayat agamanya sendiri.
Kita, biasanya menganggap mereka sebagai orang yang ‘berpikiran sempit dan dangkal’. Lalu meledek mereka dengan kalimat ‘main lo kurang jauh!’
Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah : KEMAMPUAN BERPIKIR MEREKA TIDAK BERKEMBANG. Alias stagnan aja. Macet.
Dan orang seperti ini, perlu diajak berproses-nalar dengan sabar. Makian atau ledekan kita, nggak akan bikin mereka tetiba naik level. Yang terjadi hanyalah rasa tersinggung lantas jadi semakin kepala batu, lalu ngambeg karena gengsi dianggap bodoh, dan malah semakin tak mau belajar.
Mungkin.... saking terbatasnya kemampuan kognitifnya, sampai nggak paham bahwa aku ini bermaksud bercanda, ketika melihatku memasang ekspresi seperti di foto ini :

Image may contain: 1 person, close-up