Thursday, April 21, 2011

Para Perempuan, Ayo Rebut Peluang!

http://swa.co.id/2011/04/para-perempuan-ayo-rebut-peluang-7/

Thursday, April 14th, 2011
oleh : Teguh Poeradisastra

Kemampuan dan profesionalitas perempuan sudah diakui dan tak perlu diragukan lagi. Namun, mengapa kehadirannya sebagai pemimpin masih tetap menjadi minoritas? Karenanya, jangan merengek menanti diberi kesempatan atau kuota. Perempuan perlu aktif merebut peluang, tanpa meminta perlakuan khusus.
Pada 1975, PBB pernah mencanangkan Dasa Warsa Perempuan. Tujuannya adalah meningkatkan peran perempuan agar bisa menjajari posisi kaum pria. Namun, hingga akhir Dasa Warsa Perempuan pada 1985, ternyata tak ada perubahan yang signifikan. Berdasarkan ekspose peranannya di media masa, tak ada perbedaan yang signifikan pada peran perempuan selama satu dekade itu. Kaum perempuan lebih banyak tampil dalam peran sebagai pasangan hidup (spouse) dan pesohor (selebritas). Ketika pada 2005 dilakukan penelitian serupa, hasilnya masih setali tiga uang. Sorotan tentang perempuan masih lebih banyak berkutat seputar dapur dan pupur.
Di Indonesia pun, meski kita telah memiliki kementerian yang mengelola berbagai upaya untuk meningkatkan harkat perempuan sejak dua dekade lalu, peran perempuan masih tak terlalu menggembirakan. Ani Soetjipto dalam Seminar “Women, Leadership and Development in Muslim Communities of Southeast Asia: Strategies, Opportunities and Challenges” Agustus 2010 di Jakarta menyebutkan kontribusi perempuan di pemerintahan atau eksekutif masih sangat kecil. Di pemerintahan, selama 2004-10, jumlah perempuan menteri hanya tiga dari 36 menteri (8,3%), gubernur satu dari 33 (3%), kepala daerah tingkat dua delapan dari 440 (1,8%), dan wakil kepala daerah tingkat dua 18 dari 440 (4,09%).
Hingga kini pun perempuan di banyak belahan dunia masih mengalami diskriminasi. Sigi Chartered Management Institute di Inggris pada medio 2010 menyebutkan selama hampir 60 tahun penghasilan pria manajer di Inggris lebih tinggi daripada sejawat wanita mereka pada posisi yang sama. Memang selama 12 bulan terakhir gaji kaum perempuan naik 2,8% dibandingkan sejawat pria. Namun, sebagian pria yang memperoleh penghasilan paling tinggi masih mendapat gaji 25% lebih besar dibandingkan sejawat mereka yang berbeda gender.
Laporan Voice of America pada Agustus 2010 juga menyebutkan jumlah eksekutif perempuan di perusahaan-perusahaan Amerika Serikat masih sangat sedikit, dan gaji mereka masih lebih rendah dibanding eksekutif pria. Sementara laporan Radio Australia (ABC) Maret 2011 menyebutkan Pemerintah Australia memperingatkan perusahaan-perusahaan di Negeri Kanguru ini agar berupaya lebih serius untuk meningkatkan jumlah perempuan di pucuk kepemimpinan perusahaan. Menteri Status Wanita, Kate Ellis, mengatakan akan mengkaji situasinya dalam 18 bulan ini. Jika tidak ada perubahan, Pemerintah Australia akan membuat aturan yang mewajibkan perusahaan meningkatkan jumlah eksekutif wanitanya. Bahkan juru bicara oposisi bidang keuangan, Joe Hockey, mengusulkan kuota 30% untuk posisi direktur wanita di perusahaan.
Jika kita telusuri lebih jauh, ternyata di berbagai belahan dunia posisi-posisi puncak – baik kursi pemerintahan maupun bisnis – masih sedikit sekali dijabat kaum perempuan. Bahkan, sampai-sampai Uni Eropa merancang undang-undang yang mewajibkan pada 2015 sedikitnya harus ada satu wanita duduk di dewan direksi perusahaan.
Meski keadaannya masih memprihatinkan, harus diakui dari tahun ke tahun jumlah eksekutif wanita terus bertambah. Seperti diprediksi Patricia Aburdene dan John Naisbitt dalam Megatrend for Women (1992), semakin lama akan semakin banyak ranah yang cocok untuk wanita, karena tuntutan pekerjaan – terutama di posisi puncak – akan semakin membutuhkan otak dan perasaan, bukan otot dan kekerasan. Wanita pun tak lagi hanya berkutat seputar bisnis fashion dan kecantikan, melainkan juga merambah ke dunia teknologi informasi, jasa keuangan, pendidikan, dan banyak lagi.
Di Indonesia pun dunia bisnis semakin disemarakkan kaum perempuan. Jabatan yang mereka sandang tidak hanya level menengah, tetapi juga manajemen puncak. Ini merupakan fakta yang patut diapresiasi. Apalagi, di antara para wanita eksekutif ini banyak juga yang sukses memimpin sektor-sektor bisnis yang selama ini dianggap macho. Di puncak perusahaan Pertamina, misalnya, ada Karen Agustiawan – yang merangkap jabatan sebagai Direktur Utama dan Direktur Operasi Hulu. Lantas, di dunia otomotif ada Amalia Tjandra, Direktur Pemasaran Astra Daihatsu Motor, dan di bidang penerbangan ada Achirina, Direktur SDM PT Garuda Indonesia Tbk.
Di tengah perkembangan teknologi yang membuat pekerjaan lebih menuntut kecerdasan dan kreativitas, sulit mengatakan kaum perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki. Syukurlah, berdasarkan sigi SWA terhadap 32 eksekutif wanita pada 2008, sebanyak 71,88% responden merasa pria dan wanita mendapatkan kesempatan yang sama. 100% responden juga yakin bahwa perusahaan bisa lebih maju dan sukses, baik dipimpin pria maupun perempuan. Bahkan, 46,88% di antara para eksekutif ini mau dan yakin mampu menjadi CEO.
Yang tak kalah menarik, mayoritas (68,75%) dari responden yang menduduki kursi puncak ini pernah bercita-cita menjadi CEO. Cita-cita adalah modal awal, mimpi yang dilakukan ketika kita tidak tengah tertidur, dan karena itu ditekadkan serta diperjuangkan agar terwujud. Cita-cita ini dapat terwujud karena perpaduan antara perjuangan kita dan dukungan orang-orang di sekitar kita.
Para perempuan yang menjadi pemimpin puncak ini mengakui pentingnya kombinasi kedua hal ini. Tanpa dukungan pasangan hidup, sulit bagi mereka untuk mengibarkan kemampuannya dan mendaki hingga puncak.
Namun, dukungan ini tidak sepantasnya dalam bentuk memberikan kuota bagi perempuan atau mengenakan sanksi bagi perusahaan yang tak memiliki eksekutif perempuan. Kebijakan seperti itu tak lebih dari pelecehan terhadap kemampuan kaum hawa. Biarkan perempuan aktif merebut peluang, dengan membuktikan kemampuan – tanpa meminta perlakuan khusus. Dan kita percaya sang empu mampu melakukannya.(*)
Riset: Rachmanto

Peta Energi Pasca-Tsunami

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147323
PERSPEKTIF SUGIHARTO


Jepang menjadi negara dengan pertumbuhan yang sangat cepat di dunia sejak Perang Dunia II berakhir. Saban lima tahun, konsumsi energi "negeri matahari terbit" itu meningkat dua kali lipat di era 1990-an. Bahkan, pada periode akselerasi pertumbuhan (1960-1972), konsumsi energi negeri itu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produk nasional brutonya. Ketika itu, konsumsi energi Jepang tumbuh dua kali dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi energi dunia.

Sayangnya, di tengah kebutuhan energi yang begitu tinggi, sumber energi dalam negerinya terbatas. Pasokan sumber energi dalam negerinya hanya bisa menutupi kebutuhan energi domestiknya sekitar 16%. Sisanya impor. Padahal, Jepang merupakan negara konsumen minyak terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina, sama dengan posisi ekonomi Jepang yang secara PDB berada di nomor urut ketiga setelah dua negara tadi. Bahkan Jepang merupakan negara pengimpor terbesar di dunia untuk gas alam cair (LNG) dan batu bara.

Mengingat keterbatasan sumber energi hidrokarbon di dalam negeri, tak sedikit perusahaan energi Jepang yang terlibat dalam proyek-proyek hulu (upstream) minyak dan gas di seluruh dunia. Tak sekadar itu, mereka juga aktif menyediakan jasa perekayasaan, konstruksi, keuangan, dan jasa-jasa manajemen proyeknya. Jepang merupakan pengekspor utama peralatan modal di sektor energi dan memiliki program yang sangat kuat di bidang riset dan pengembangan energi yang didukung pemerintah dalam rangka mendorong efisiensi energi dan meningkatkan ketahanan energi serta mengurangi emisi CO2.

***

Pada 11 Maret lalu, Jepang dilanda gempa dan tsunami yang menghancurkan kawasan Tohuku. Bencana itu langsung membuat 6.800 MW pasokan listrik dari empat stasiun PLTN yang memiliki total kapasitas 12.000 MW itu terganggu. Pada saat ini, total PLTN yang offline pasca-musibah itu sekitar 9.700 MW. Infrastruktur energi lainnya, seperti electrical grid, kilang-kilang pengolahan (refineries), dan pembangkit listrik berbasis migas, juga terkena dampak gempa dan tsunami itu.

Sepertinya Jepang tak bisa menghindari tambahan LNG dan minyak untuk menyediakan listrik sebagai pengganti PLTN-nya yang rusak, terutama untuk memasok kebutuhan listrik rumah tangga dan bisnis. Dalam jangka pendek, krisis listrik itu akan secara langsung berdampak pada local business, ekspor-impor, dan pertumbuhan ekonomi global. Sedangkan dalam jangka panjang, kebijakan energi Jepang akan menjadi salah satu kunci untuk menentukan arah pemulihan dan daya saing (competitiveness) ekonomi Jepang.

Pengaruh krisis listrik terhadap local business Jepang itu terjadi lantaran sistem listrik di Jepang berbeda antara Jepang Timur dan Jepang Barat, karena itu tidak bisa saling membantu. Misalnya, perusahaan-perusahaan di kawasan timur tidak bisa dengan mudah membeli listrik dari kawasan barat Jepang. Sehingga kondisi ini diperkirakan dapat menyebabkan instabilitas jangka pendek terhadap perekonomian Jepang, bisa sampai lima tahun. Dan, karena kebutuhan pasokan bahan bakar listrik tidak bisa dipenuhi dari nuklir, diperkirakan bakal mendorong permintaan minyak mentah dan LNG.

Krisis listrik, khususnya yang berbasis nuklir itu, akan mempengaruhi peta energi global. Setidaknya, kondisi ini akan berpotensi mengurangi minat sejumlah negara yang sedang mengembangkan nuklir, termasuk Indonesia. Dengan kata lain, tampaknya perburuan terhadap sumber-sumber energi konvensional: minyak, gas bumi, dan batu bara, akan tetap menguat di masa mendatang. Situasi ini tentu akan kembali mendorong kenaikan harga komoditas energi konvensional tersebut.

***

Bagi Indonesia, kondisi itu seharusnya menguntungkan. Bukankah Jepang merupakan daerah tujuan ekspor terbesar untuk pasar LNG kita. Tentu kondisi itu menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan harga terbaik.

Memang kita tidak bisa serta-merta memenuhi seluruh keinginan Jepang untuk memasok LNG lebih banyak lagi. Perlu diperhatikan pula neraca energi yang kita miliki pada saat ini. Maklum, di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Barat, diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan berpotensi mengalami shortage gas bila tidak ada sumber-sumber pasokan gas lain. Tetapi, di daerah-daerah di luar Jawa, kita justru mengalami surplus gas.

Indonesia juga perlu memelihara sumber-sumber energi konvensional yang pada saat ini masih mengalami surplus, seperti batu bara. Ini mengingat, peta energi global ke depan masih menempatkan sumber energi berbasis hidrokarbon sebagai pilihan utama. Karena itulah, ke depan, sumber-sumber energi hidrokarbon yang kita miliki perlu dijaga dan sepenuhnya diarahkan untuk energy security kita. Di samping, tentunya, Indonesia harus secepatnya mengembangkan energi-energi alternatif.

Sugiharto
Chairman of Steering Committee The Indonesia Economic Intelligence
[PerspektifGatra Nomor 22 Beredar Kamis, 7 April 2011] 

Memperkuat "Modal Moral"

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147324
PERSPEKTIF YUDI LATIF


Drama seri aneka manipulasi di seputar pemilihan Ketua Umum PSSI memperlihatkan secara telanjang hilangnya rasa malu di wajah elite negeri. Rangkaian drama pengiriman bom ke sejumlah alamat memperlihatkan jebolnya ambang kepatutan, hingga nyawa manusia pun dipermainkan. Kekukuhan DPR melanjutkan proyek kemewahan dalam rancangan gedung baru, tanpa menunjukkan perbaikan kinerjanya dalam mengemban amanat rakyat, mempertontonkan melemahnya etika pertanggungjawaban.

Para elite negeri boleh jumawa bahwa politik adalah seni kemungkinan yang bekerja di luar pertimbangan moral. Namun, perlu diingat, kepentingan dalam politik harus dipandang sebagai kepentingan yang bisa dibenarkan (justified) dan absah (legitimate). Bukan saja karena agen dan institusi politik secara normatif dituntut untuk melayani kepentingan di luar dirinya sendiri, bahkan demi menjaga kelangsungan kepentingan sendiri pun kerja politik harus memperoleh dukungan dan pembenaran konstituen.

Pembenaran dan dukungan konstituen memang bisa diraih lewat manipulasi. Tetapi manipulasi secara terus-menerus tanpa kadar pertanggungjawaban bisa merobohkan kepercayaan. Terlebih di masa krisis, ketika kepercayaan dan legitimasi politik menjadi taruhan pemulihan keadaan. Tanpa komitmen pada moral politik, krisis sosial kehilangan jangkar keyakinan dan kepercayaan yang bisa berujung malapetaka yang berkepanjangan. Pengalaman bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan "modal moral" (moral capital) yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis.

Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki dan dibenarkan sebagian besar komunitas politik. Dengan begitu, yang dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam mekanisme politik yang bisa mempengaruhi tingkah laku masyarakat.

Setidaknya, ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi "modal moral" secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral ground), menyangkut nilai-nilai, tujuan, serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik, menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.

Ketiga, keteladanan, menyangkut contoh-contoh perilaku moral yang kongkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik. Keempat, keefektifan komunikasi politik, menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai-nilai moralitasnya dalam bentuk retorika politik yang efektif, yang mampu mempengaruhi dan memperkuat moralitas masyarakat.

Kebanyakan pemimpin politik kita sudah gugur pada kriteria pertama. Fundamen moral politik macam apa yang dijanjikan oleh seorang ketua partai yang "menggelapkan" uang negara, mengemplang pajak, bermain-main dengan hukum, atau berkompromi dengan para maling demi tambahan pundi-pundi keuangan atau "keselamatan" diri dan partainya.

Pada kriteria kedua lebih sedikit lagi yang bisa lolos. Hampir tidak ada partai yang sungguh-sungguh setia pada fatsun politik atau sanggup menerjemahkan klaim ideologisnya ke dalam bentuk kebijakan dan agenda politik. Partai yang mengibarkan bendera Islam tidak mesti memperlihatkan kebijakan dan keputusan politik yang amanah, jujur, dan bersih. Partai yang mengibarkan ideologi marhaenisme tidak mesti mengusung kebijakan politik yang membela kepentingan rakyat kecil (bukankah nasib TKI tak ditangani secara serius?). Partai yang berkredo "maju tak gentar membela yang benar" tidak mesti kedap terhadap mereka yang bayar.

Pada kriteria ketiga lebih sulit lagi ditemui. Pemimpin yang mengklaim sebagai demokrat justru sering merekayasa pelumpuhan institusi demokrasi. Pemimpin yang mengaku pejuang wong cilik justru menjaga jarak dari rakyat. Pemimpin baru untuk partai lama dengan slogan baru justru menghadirkan babak baru penyalahgunaan. Akhirnya, komunikasi politik pemimpin politik kita gagal. Bukan hanya mencerminkan kelemahan dan amatirisme perseorangan, melainkan juga karena tak tersedianya mekanisme pertanggungjawaban publik, yang menjamin adanya pertautan langsung antara pemimpin dan pengikutnya.

Jika satria piningit sulit dihadirkan, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh "modal moral" politiknya. Bukankah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, ini pun bisa berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk melengkapinya. Tidak pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan.

Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[PerspektifGatra Nomor 21 Beredar Kamis, 31 Maret 2011] 

Lembaga Super (Bebal)

http://www.gatra.com/artikel.php?id=147325
PERSPEKTIF RADHAR PANCA DAHANA


Tertangkap basahnya kegiatan menikmati video porno anggota DPR dari Fraksi PKS, Arifinto, pada saat sidang paripurna DPR, sama kita ketahui hanyalah puncak gunung es dari perilaku pornografis dan bahkan mesum pada anggota lembaga wakil rakyat itu. Mantan anggota parlemen dari Fraksi PDI-P (dulu), Permadi, pernah membuat sinyalemen yang keras mengenai hal itu: praktek mesum dilakukan oleh anggota DPR di fasilitas gedung atau kantor yang diberikan dan dibiayai dengan keringat rakyat.

Tentu saja, sang wakil rakyat dapat membela diri. Itu haknya. Biarlah itu menjadi beban pribadinya, bertanggung jawab dengan kejujuran yang tak bisa ditipu kepada Tuhan-nya, kepada Kekuasaan Mutlak yang menjadi basis paling dasar dari ideologi partainya sendiri. Biarlah ia bertanggung jawab pula kepada rakyat yang telah memberinya kuasa, percaya, dan harta, juga dengan kebenaran yang tak bisa dibohongi.

Kita pun, sebagai umum dan awam, tidak sepatutnya berlagak suci. Sebagian kita tentu pernah melakukan hal serupa. Namun kelemahan dan kekurangan manusiawi biarlah menjadi bagian domestik di wilayah privasi setiap orang. Karena tanggung jawabnya, secara sosial, hukum formal, atau hukum Ilahi, memang berada di wilayah pribadi. Ia menjadi tidak pantas dan menyepelekan bahkan menghumiliasi publik --yang justru menjadi dasar dan tujuan kerja dan perjuangannya-- bila kelemahan itu dilakukan di ruang publik, dalam fasilitas publik dan dalam forum yang membicarakan kepentingan, nasib, dan masa depan publik.

Gunung es yang sama juga terlihat pada beberapa kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun narapidana. Lebih pahit lagi, gunung es yang sama bagi sikap, cara berpikir, dan perilaku para wakil rakyat yang memperdaya dan memanipulasi kepercayaan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, semata untuk membela atau memenuhi hajat, ambisi, dan nafsunya sendiri.

Banyak produk parlemen diketahui oleh publik --terutama yang diwakili oleh pengamat dan lembaga-lembaga masyarakat independen-- telah mengingkari rakyat dan cenderung membela kepentingan kekuasaan (elite), khususnya mereka yang berkuasa atas uang (modal). Intrik, lobi, kasak-kusuk, konspirasi, serta berbagai transaksi terjadi, secara samar juga terang-terangan, dalam proses penciptaan produk itu. Kasus terpilihnya Deputi Senior BI, Miranda Goeltom, tentu hanya salah satu puncak gunung esnya.

Dari fenomena gunung es, dilengkapi dengan berita semua media massa, data lembaga independen, hingga pengakuan sebagian anggota parlemen sendiri, beberapa indikasi dapat diperlihatkan sebagai pertanda involusi yang terjadi di lembaga kepercayaan rakyat itu. Pertama, sistem organisasi atau manajemen yang involutif itu ditandai oleh semakin kuat bahkan super-dominannya kepentingan pribadi dan sektarian (kelompok atau partai) di atas kepentingan rakyat (konstituen).

Kedua, bukan lagi ide dan niat yang luhur melatari produk-produk parlemen, melainkan justru mekanisme transaksional demi pemenuhan hasrat dan nafsu individual anggotanya. Tak peduli jika transaksi itu berarti menjual harga diri, jati diri, bahkan kedaulatan bangsa dan negerinya sendiri. Ketiga, hal yang paling menggiriskan, involusi itu menguat karena DPR telah berubah menjadi lembaga yang tak tersentuh (untouchable), menjadi superbody sesungguhnya dalam pengertian politik, ketika tiada satu kekuatan politik, sosial, atau kultural apa pun yang secara formal dapat menggagalkan keberadaannya.

Setelah presiden dilucuti dari kewenangannya ''membubarkan parlemen'', lembaga rakyat itu kini berdiri dengan sangat congkaknya: apa pun pendapat dan serangan dari siapa pun, (kekuasaan) aku tak tergoyahkan. Maka, mereka pun merajalela dengan keputusan-keputusan yang mereka buat sendiri, bahkan ''rakyat tak perlu dilibatkan", kata ketuanya. Ia tidak sadar, bahkan air peturasan yang membersihkan kotorannya, deterjen yang mencuci celananya, parfum yang mewangi di tubuhnya, hingga tiap teguk air dan suap nasi yang melepaskan haus dan laparnya berasal dari keringat rakyat jelata.

Inilah tragedi dari demokrasi kita. Bagaimana sistem politik dan kemasyarakatan yang kita bela habis-habisan, dengan harta, nyawa, dan alam sebagai tumbalnya, justru melahirkan lembaga yang super, super kebalnya, super bebalnya. Kita harus berani memeriksa lagi dengan cermat, demokrasi apa yang telah kita ciptakan, sehingga tak ada mekanisme formal apa pun yang dapat mengoreksi DPR sebagai lembaga.

Koreksi itu mungkin bisa dimulai dengan pemberian kewenangan kepada konstituen untuk mencabut/mengoreksi pilihannya pada wakil yang ia pilih. Bukan kepentingan partai yang menentukan, melainkan rakyatlah yang memberinya kekuasaan. Bila tidak, bukan hanya anggota dan lembaga super (bebal) itu, melainkan juga partai politik, bahkan negara secara umum akan kehilangan legitimasi publik, sekaligus legitimasi Ilahiahnya. Itukah yang Anda, kita, inginkan?

Radhar Panca Dahana
Pekerja seni dan pemerhati budaya
[PerspektifGatra Nomor 23 Beredar Kamis, 14 April 2011] 

Ho hooo..,Ketakutan Rezim SBY Munculkan Koalisi a la Perjanjian Lama dan Baru!

http://www.rimanews.com/read/20110420/24586/ho-hoooketakutan-rezim-sby-munculkan-koalisi-la-perjanjian-lama-dan-baru


JAKARTA,RIMAEWS  ---- POLITIK kekuasaan di negeri kita makin menarik karena makin ajaib. Banyak perjanjian ditandatangani, tapi sebanyak itu pula yang diingkari. Dalam Koalisi, misalnya, ada Perjanjian Lama yang dianggap kurang mengikat sehingga melahirkan ancaman Hak Angket (Centurygate 2009 dan Mafia Pajak 2011).


Untuk mencegah munculnya kembali ancaman terhadap ketenteraman penguasa, diluncurkan Perjanjian Baru, yang konon sudah diparaf para anggotanya. Partai Golkar dan PKS, yang nyaris mengegolkan Hak Angket Pajak untuk membongkar mafia pajak di pusat kekuasaan, akhirnya juga bertekuk lutut di hadapan penguasa.


Kalau ada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, kata kawan saya yang pakar sosiologi korupsi dan beragama Nasrani, “harus ada penyaliban…!” Tentu saja kita semua tahu, siapa yang harus disalib secara politik.


Sementara yang sudah tampak depan mata adalah berubahnya gedung parlemen di Senayan menjadi “Tembok Ratapan”. Ratapan bagi rakyat Indonesia yang menyesali kenapa dalam pemilu kemarin memilih mereka…
Tembok Ratapan versi teologi (Yahudi) adalah sisa dinding kuil suci yang dibangun Raja Salomo (Nabi Sulaiman). Di dinding ini orang Yahudi meratapi dan menyesali pengingkarannya terhadap Tuhan.


Tapi kebanyakan umat Islam percaya, tembok di Yerusalem itu bagian dari dasar Masjidil Aqsa dan Masjidil Omar, serta diyakini sebagai gerbang tempat berangkatnya Nabi Muhammad saw dari Yerusalem ke surga (mi'raj) dengan mengendarai Buraq.


Apa hubungan cerita di atas dengan Koalisi?
Bagi para pengikutnya Koalisi memang diperlakukan seperti agama. Tepatnya, seperti sekte dalam sebuah agama. Maka barang siapa mengingkari aturannya, layak dapat hukuman. Misalnya, dikafirkan (dikeluarkan dari keanggotaan), atau pahalanya (jatah menteri dalam kabinet) dihapus, atau bisa juga dikurangi.


Sebagaimana sekte dalam terminologi agama, para anggota koalisi juga meyakini dan mengikuti ajaran ‘sang nabi’ yang jadi pemimpin mereka, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono alias Yudhoyono alias SBY alias Presiden RI.


Sebab yang taat dan patuh pada ‘sang nabi’ memang langsung diganjar surga dunia dalam politik kekuasaan nasional. Ada yang jadi menteri kabinet, ada pimpinan badan/lembaga negara, atau minimal komisaris di perusahaan-perusahaan milik rakyat Indonesia.


Menurut para ulama ketatanegaraan, Koalisi (Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PKB dan PP) pimpinan Yudhoyono ini masuk dalam kategori aliran sesat. Sebab koalisi tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensiil. Koalisi merupakan ‘sunah’ dalam konsep parlementer.


Apalagi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang mereka tandatangani, tidak pernah diketahui oleh pemegang saham mayoritas (konstituen alias rakyat pemilih) partai-partai Koalisi.


Apakah dalam perjanjian itu ada kesepakatan untuk mengabaikan kesejahteraan rakyat? Apakah juga ada pasal kesepakan untuk saling menutupi pelanggaran hukum, wabil khusus tindak pidana korupsi, yang dilakukan anggota koalisi? Sebab kalau itu yang terjadi, namanya kan bukan koalisi, tapi konspirasi alias persekongkolan jahat.


Lebih celaka lagi kalau para anggota koalisi menganggap kursi presiden yang sedang diduduki SBY adalah ‘tahta suci’ yang harus diselamatkan, tak perduli mayoritas rakyat Indonesia hidup terlunta-lunta di negeri yang oleh Allah SWT diciptakan bak surgawi dan kaya raya untuk dinikmati oleh kita semua, bukan hanya untuk para pimpinan partai Koalisi.
Lalu apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kerusakan sistem pemerintahan, demokrasi dan masa depan anak cucu kita? (Juf/RM)

Wednesday, April 20, 2011

5 Produk Keren Google yang Tidak Banyak Diketahui Orang

http://indikumu.blogspot.com/2011/04/5-produk-keren-google-yang-tidak-banyak.html
Senin, 18 April 2011 


1. GOOGLE NOTEBOOK


Bagaimana Anda membuat catatan hal-hal sementara Anda browsing situs di Internet? Memiliki notebook ini cukup membantu, tetapi tidak mungkin untuk bawa bersama Anda setiap waktu. Google Notebook adalah alternatif yang sangat kuat yang memungkinkan Anda menyimpan catatan Anda secara online. Ini akan menolong sementara Anda bekerja pada setiap proyek atau mengumpulkan informasi.

Bagian terbaik tentang Google Notebook adalah bahwa Anda dapat mengaksesnya di mana pun Anda inginkan, asalkan komputer memiliki koneksi internet aktif. Aplikasi online gratis ini tersedia sebagai ekstensi browser Mozilla Firefox dan Internet Explorer.

2. Google SketchUp


Google SketchUp adalah aplikasi gratis dimaksudkan untuk membuat sketsa 3D.

Tidak seperti konvensional lainnya program CAD 3D, SketchUp sangat menyenangkan untuk bekerja dengan karena antarmuka grafis yang user friendly. Anda bahkan dapat mencari desain yang dibuat oleh pengguna lain di Google SketchUp, sehingga Anda bisa mendapatkan inspirasi untuk desain Anda sendiri.

3. Google Page Creator


Google Page Creator adalah sebuah aplikasi berbasis web yang dapat digunakan untuk membuat website dan halaman web. Halaman yang Anda buat akan di-host oleh Google sendiri.

Google Page Creator memberikan Anda 100MB ruang penyimpanan gratis dan berbagai template untuk memilih dari. Hal ini memungkinkan Anda untuk menangani semua elemen HTML dan JavaScript tanpa banyak pengetahuan dari mereka. Ini juga menawarkan tiga unik untuk setiap pengguna subdomain seperti http://username.googlepages.com.

4. Google Base

Google Base memungkinkan siapa saja yang memiliki account Google posting apa saja (teks atau gambar) asalkan berada di bawah Google Base Aturan dan Peraturan.

Isinya bisa baris, iklan, catatan kuliah atau resep. Apapun jenis konten, Google Base membuat konten yang dapat dicari di Google. Anda bahkan diperbolehkan untuk menambahkan kata-kata Anda sendiri yang akan membantu orang untuk menemukan konten Anda.

5. Google Movies


Google Movies memungkinkan Anda menemukan film-film yang dimainkan di dekat rumah Anda. Hal ini pada dasarnya sebuah mesin pencari yang memungkinkan Anda untuk menemukan film yang diputar di bioskop di dekat Anda.

Sekarang, Anda tidak perlu menelusuri koran untuk menemukan film-film yang diputar, seperti film Google menawarkan layanan yang sama dalam cara yang disederhanakan.

Sunday, April 17, 2011

Muslim Council: women cannot debate wearing veil


http://www.siasat.com/english/news/muslim-council-women-cannot-debate-wearing-veil
Sunday, 17 April 2011

London, April 17: The body which claims to be the voice of Britain's Muslims has told women that wearing the veil is "not open to debate".


The Muslim Council of Britain (MCB) said that not covering the face is a "shortcoming" and suggested that any Muslims who advocate being uncovered could be guilty of rejecting Islam.


In a statement published on its website the MCB, warns: "We advise all Muslims to exercise extreme caution on this issue, since denying any part of Islam may lead to disbelief.


"Not practising something enjoined by Allah and his Messenger… is a shortcoming. Denying it is much more serious."


The statement quotes from the Koran: "It is not for a believer, man or woman, that they should have any option in their decision when Allah and his Messenger have decreed a matter."


The statement will add to controversy about the veil after France earlier this week banned the full-face covering.


"There is no case for a French-style ban in the UK and virtually no serious person supports it," said Haras Rafiq, of the moderate Muslim think-tank, Centri.


"But by this statement, effectively suggesting that the veil is an obligation, the MCB have put themselves at the opposite extreme of the spectrum."


The statement is signed by the MCB's then secretary-general, Mohammad Abdul Bari, and his deputy, Daud Abdullah. It was published in the wake of an earlier controversy about the niqab but passed without notice.


It remains available on the MCB website as a statement of policy.


Other signatories of the statement include Imran Waheed, spokesman of the extremist group Hizbut Tahrir and several other extremists including Haitham al-Haddad, who has denounced music as a "prohibited and fake message of love and peace". All 27 signatories, who describe themselves as "Islamic groups and scholars," are male.


Dr Bari stepped down as secretary-general of the MCB last year, but remains chairman of the hardline East London Mosque, whose chief imam, Abdul Qayum, also signed the statement.


Dr Bari is also a former president of the fundamentalist Islamic Forum of Europe, which controls the mosque and which advocates a sharia state in Europe.


The MCB received significant funding under the previous government and was seen as the main representative voice of Britain's estimated 2.8 million Muslims but has not received any official money since February 2010.


The MCB did not respond to enquiries.

Wednesday, April 13, 2011

Jatnika, Pendekar Bambu Cimande

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/12/04130364/.Jatnika..Pendekar.Bambu.Cimande
Kamis,
14 April 2011



Mawar Kusuma
Tumbuh dan besar di hutan bambu, hidup Jatnika Nanggamiharja (54) tak terpisahkan dari tanaman itu. Ia telah membangun lebih dari 3.000 rumah bambu di dalam dan luar negeri. Ia sisihkan keuntungan bisnisnya untuk penghijauan tebing sungai.
Di lahan seluas 5.000 meter persegi milik Yayasan Bambu Indonesia di Bumi Cibinong Indah, Bogor, Jawa Barat, Jatnika melatih tenaga ahli pembuatan rumah bambu. Mereka dibekali kemampuan olahraga bela diri pencak silat Cimande. Ilmu bela diri khas Jawa Barat ini memberi bekal kekuatan sehingga mereka mampu membangun rumah bambu yang ikatannya kuat dan tahan lama.
Jatnika telah melatih lebih dari 20 angkatan tenaga ahli bambu yang masing-masing terdiri atas 25 orang. Mereka dilatih untuk mampu mengikat kuat setiap bambu dengan sepuluh macam ikatan tali ijuk. Mereka sanggup merakit bambu betung, bambu gombong, bambu tali, hingga bambu hitam yang diameternya bisa mencapai 20 sentimeter.
Produk rumah bambu itu menjadi komoditas ekspor. Demi kualitas, Jatnika hanya menyanggupi dua permintaan ekspor rakitan rumah bambu knock down (bongkar pasang) per tahun. Proses pembangunan rumah bambu di luar negeri juga hanya dilakukan dengan tenaga ahli yang sudah dididik Jatnika. Permintaan ekspor rumah bambu, antara lain berasal dari Malaysia, Brunei, dan Arab Saudi.
Pembangunan tiap rumah bambu biasanya memakan waktu tiga bulan. Sejak tahun 1985, kata Jatnika, pihaknya telah membangun lebih dari 3.000 rumah bambu.
Jatnika mematok biaya pembangunan rumah antara Rp 1,2 juta hingga Rp 2,5 juta per meter persegi dan luas satu rumah rata-rata 50 meter persegi.
Jatnika hidup sederhana di rumah bambu miliknya yang menyatu dengan kawasan Yayasan Bambu Indonesia. Keuntungan yang diperolehnya dari pembangunan rumah bambu juga dimanfaatkan untuk pengadaan bibit, yang kemudian ditanam sebagai upaya penghijauan. ”Saya sebar kembali untuk penanaman. Kebahagiaan tidak selamanya terletak di materi,” kata Jatnika.
Penghijauan terutama dilakukan di sekitar sungai sebagai penahan tebing. Bambu yang ditanamnya sudah merimbun di bantaran Sungai Ciliwung, Cisadane, dan Ciluwer. Di kampung halamannya, Jatnika menanam lebih dari 10 hektar bambu di tepian sungai Cimande. Tanaman bambu tersebut tak sekadar mencegah erosi sungai, tapi juga memberi kesejahteraan bagi warga sekitar.
Selain rumah, Jatnika juga membangun pesantren miliknya dari bambu. Jika membangun 10 masjid atau mushala dari bambu, Jatnika menyumbangkan satu mushala secara gratis. Impiannya adalah menyaksikan rumah bambu menjadi ciri khas utama ketika orang memasuki wilayah Jawa Barat.
Prabu Haur Kuning
Jatnika meyakini, fatwa bambu yang dulu dilontarkan oleh Prabu Haur Kuning. Prabu Haur Kuning adalah putra Prabu Siliwangi dari istri ke-11. Prabu Haur Kuning yang hanya memiliki wilayah kekuasaan seluas 1.200 depa mampu mewujudkan kesejahteraan rakyatnya dari penanaman bambu.
Tiga fatwa bambu itu menyebutkan, jika Nusantara ingin sejahtera, tidak dihinggapi penyakit menular, dan tidak dijajah, maka tiap keluarga minimal harus menanam 1.000 rumpun bambu. Melalui penanaman bambu, akan tercipta kesejahteraan, kesehatan, dan pertahanan negara.
Jatnika pribadi mengaku sangat merasakan buah kesejahteraan karena bambu. Dari penanaman 1.000 rumpun bambu betung berumur lima tahun, misalnya, dia bisa memanen 20.000 batang bambu. Dengan harga jual Rp 30.000 per batang, Jatnika sudah bisa memperoleh Rp 600 juta per panen, setahun sekali.
Nilai jual tersebut akan semakin tinggi setelah disentuh dengan keahlian, seperti dibuat menjadi kipas, sangkar burung, dan beragam alat dapur.
Tiap tahun, kata Jatnika, minimal lima batang dari serumpun bambu harus ditebang agar pertumbuhan bambu tak terhambat.
Satu rumpun bambu yang terdiri dari 50 batang mampu menyimpan 2.000 liter air. Tak heran jika orang di pedesaan biasa membuat sumur di dekat rumpun bambu.
Tinggal di rumah bambu, menurut Jatnika, juga mampu memberi kenyamanan. Resonansi dengung panjang berbunyi dari rongga bambu mampu menumbuhkan ketenangan bagi penghuninya.
”Kita ini bersaudara dengan bambu. Bunyi nggg... yang sama bisa kita dengar ketika menutup telinga dengan tangan. Itulah kenapa sangat nyaman tidur di rumah bambu,” ujar Jatnika.
Mulai sebagai penganyam
Sejak duduk di bangku SD, Jatnika sudah menganyam bambu untuk dijual. Orangtuanya berprofesi sebagai perajin bambu. Tiap malam, ketika masih memakai seragam SMP dan SMA, kepada teman-temannya Jatnika juga mengajar cara menganyam bambu serta melatih pencak silat Cimande.
Setelah kuliahnya selesai tahun 1981, Jatnika menekuni bisnis pembangunan rumah bambu sembari bekerja di perusahaan penerbitan. Ekspor kerajinan bambu mulai dijalaninya tahun 1985 ke Taiwan, dan sejak saat itu dia fokus menggeluti usaha bambu. Usaha kerajinan bambunya kala itu berkembang dengan lima sanggar di Jakarta.
Ketika ikut pameran rumah bambu di Lapangan Banteng tahun 1995, Ketua Dewan Kerajinan Nasional kala itu, Nyonya Tri Sutrisno, mengajaknya mendirikan Yayasan Bambu Indonesia. Sejak itulah Jatnika melebarkan sayap ekspor rumah bambunya. Yayasan Bambu Indonesia hingga kini masih aktif mendidik para ahli pembuat rumah bambu.
Jatnika mengaku hingga kini sudah mengembangkan 41 model rumah tradisional bambu khas Jawa Barat. Bekerja sama dengan PT Angkasa Pura II, dia telah mematenkan hak cipta untuk rumah bambu semi permanen pada 2006.
Indonesia kaya dengan 105 spesies endemik asli bambu yang 95 di antaranya ditemukan di Jawa Barat. Namun, Jatnika merasa resah karena bambu masih dianggap tanaman liar, tanpa adanya penanaman yang terprogram.
Berdasar catatan Jatnika, hampir 1.000 hektar hutan bambu di Bogor ditebang dalam kurun lima tahun terakhir. Padahal, katanya, kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas dari budaya bambu, mulai dari keperluan bahan baku rumah hingga makanan.
Jatnika Nanggamiharja
• Lahir : Cikidang, Sukabumi, 2 Oktober 1956 • Istri : Marsidah (33) • Anak :1. Samsul Fajri2. Sundari (almarhum)3. Ratu Pertiwi4. Karisma Nusanagara5. Salmah Maksum6. Banjar Kaspaya • Pendidikan : - SD IV di Cibadak, Sukabumi - SMP I Cibadak, Sukabumi - SMA 424 Cibadak, Sukabumi - Kuliah Akademi Pimpinan Perusahaan Jakarta • Pengalaman Organisasi : - Ketua Paguyuban Perajin Bambu Kidang Kencana (1974-sekarang) - Pengelola atau Ketua Harian Yayasan Bambu Indonesia (1995-sekarang) - Ketua Pembina Senam Pencak Silat Cimande Hijaiah (2010-sekarang) • Penghargaan (antara lain) :Pembuat rumah bambu tradisional terbanyak dari Ikatan Arsitek Indonesia (2009)

Pertanian Sehat Berwawasan Lingkungan

http://cetak.kompas.com/read/2011/04/13/02384475/pertanian.sehat.berwawasan.lingkungan
Kamis,
14 April 2011


Kompas/Runik Sri Astuti
Triono Basuki
Runik Sri Astuti
Penggunaan bahan kimia secara berlebihan dalam penatalaksanaan pertanian di Tanah Air mengundang keprihatinan Triono Basuki. Dampak bahan kimia itu merusak lingkungan dan mengancam keselamatan jiwa manusia. Kondisi ini memotivasi dia mengampanyekan pertanian sehat berwawasan lingkungan.
Basuki, sapaannya, adalah petani di Desa Kaibon, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Di dunia pertanian, terutama bidang tanaman pangan, ia boleh dibilang pendatang baru. Persinggungan dia dengan tanaman pangan baru berbilang tahun.
Jadilah, ia sering dicemooh rekan-rekan sesama petani. Namun, dia tak patah arang mengajak mereka menerapkan pola tanam berwawasan lingkungan demi mendapat hasil yang sehat dikonsumsi orang.
Basuki percaya makanan yang tak banyak terkontaminasi bahan kimia terjaga kandungan gizinya. Makanan sehat hanya dihasilkan dari proses pertanian yang tidak banyak menggunakan bahan kimia.
Dalam konsep Basuki, petani tidak boleh hanya mengeksploitasi sawah, tetapi juga bertanggung jawab menjaga kondisi tanah tetap subur. Dengan metode pertanian yang menggunakan pupuk kimia mencapai 750 kilogram (kg) hingga 1 ton per hektar, sawah tidak menjadi subur, justru kian tandus. Apalagi, ditambah pemakaian obat pembasmi hama dan penyakit berbahan kimia akan mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Buktinya, produktivitas gabah terus merosot. Jika sebelumnya 7 ton per hektar, kini di Madiun rata-rata 5,4 ton per hektar. Di sisi lain, kebutuhan pemakaian pupuk anorganik semakin tinggi. Jika lima tahun lalu rata-rata per hektar sawah cukup dengan 300-500 kg pupuk anorganik, kini kebutuhan mencapai 1 ton per hektar. Adapun rekomendasi Kementerian Pertanian, satu hektar sawah idealnya hanya 250 kg.
”Ini karena tanah sawah kita miskin kandungan unsur hara. Jika tidak dibarengi penggunaan bahan kimia yang berlebih, tidak mampu menghasilkan produksi tinggi. Di Madiun, misalnya, kandungan unsur hara rata-rata kurang dari 1 persen,” katanya.
Untuk mengembalikan kesuburan tanah, petani harus mengurangi pupuk kimia dan memperbanyak pupuk organik. Seruan mengurangi pupuk kimia berkali-kali disampaikan pemerintah pusat dan daerah. Namun, seruan itu menjadi ”pepesan kosong” karena tak dibarengi pendampingan di lapangan dan pemberdayaan petani.
Basuki berusaha memberdayakan petani untuk memproduksi pupuk organik sendiri. Bahan bakunya tersedia di lingkungan sekitar dan murah. Sebagai contoh, memanfaatkan limbah yang terbuang, seperti kotoran dan urine sapi, abu hasil pembakaran pabrik gula, serta katul atau kulit ari padi.
Menghemat biaya
Setelah melakukan uji coba selama tiga tahun, Basuki menemukan formulasi untuk membuat pupuk organik. Setiap 50 persen kotoran sapi dia campur dengan 40 persen abu pabrik, 5 persen bekatul, 2,5 persen urine sapi yang telah diproses menjadi fermentor, serta 2,5 persen kalsium. Dengan pupuk organik ini, sehektar sawah hanya memerlukan maksimal 300 kg pupuk.
Sebagai gambaran, setiap hektar sawah yang dikelola secara kimia memerlukan minimal 300 kg pupuk urea, 300 kg ZA, 400 kg NPK, serta insektisida kimia. Total biaya minimal yang diperlukan mencapai Rp 3,5 juta.
Dengan pupuk organik, setiap hektar sawah yang menggunakan kombinasi pupuk organik dan pupuk kimia hanya memerlukan biaya maksimal Rp 1.750.000.
Hasilnya, setiap hektar sawah yang menggunakan formulasi Basuki produktivitasnya hingga 7,5 ton gabah. Sementara sawah yang dipupuk 100 persen anorganik hanya menghasilkan maksimal 5,4 ton gabah. Perlakuan ini diterapkan pada varietas lokal Ciherang dan Pandanwangi.
Untuk gabah yang dihasilkan, Basuki mengklaim lebih sehat dibandingkan dengan gabah umumnya. Alasannya, proses penatalaksanaan tanaman dilakukan secara alami sehingga memperkecil kandungan bahan kimia dalam beras. Harga beras sehat Basuki dipatok Rp 7.000 per kg, di atas harga pasaran Rp 5.200 per kg di tingkat petani.
Manfaat sampingan dengan pupuk organik, petani memperbaiki kandungan unsur hara tanah. Pupuk organik merangsang tumbuhnya mikro-organisme dan memproduksi unsur hara seperti cacing. Berpunggungan dengan pupuk organik, pupuk kimia membunuh mikro-organisme dalam tanah. ”Di sinilah konsep wawasan lingkungannya,” tuturnya.
Sedikitnya empat kelompok tani menjadi binaan Basuki. Setiap kelompok beranggotakan 50-60 orang. Dia juga membina petani perorangan yang ingin belajar. Ia pun mendirikan forum diskusi bagi petani.
Proses sertifikasi
Basuki bercerita, formulasi pupuk organik dalam proses sertifikasi untuk mendapatkan Standar Nasional Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia mengurus sertifikasi beras sehat yang dihasilkan.
Ia bermimpi dapat menerapkan penatalaksanaan pertanian yang 100 persen berwawasan lingkungan. Petani benar-benar zero pupuk dan pestisida kimia.
Kendati masih proses sertifikasi, Basuki sering diminta menjadi pemateri dalam berbagai acara pertanian. Berkat perjuangannya mengampanyekan pertanian sehat berwawasan lingkungan, Basuki terpilih menjadi petani berpotensi di Madiun.
”Saya memberikan materi secara gratis. Kadang saya diberi uang transpor. Petani silakan membuat pupuk sendiri. Kalau mau beli, bisa menebus Rp 60 per kg sebagai pengganti ongkos transpor. Itu pun uangnya diberikan kepada kelompok,” ujar anggota Kelompok Tani Sejahtera Desa Kaibon, Kecamatan Geger, Kabupaten Madiun, ini.
Dari mana Basuki mendapatkan ilmu? Selain pengalaman di sawah, dia juga belajar lewat buku yang dibeli di pasar loak. Hampir setiap minggu dia berburu buku di pasar loak Madiun. Dia juga sering berdiskusi dengan petani yang lebih senior.
Ia berasal dari keluarga petani dengan kepemilikan sawah kurang dari sehektar. Orangtuanya hanya mampu membiayai dia hingga tamat sekolah teknik menengah jurusan otomotif.
Selepas sekolah, dia berharap mendapat pekerjaan di kantor. Namun, dia diterima sebagai sopir perusahaan jasa ekspedisi angkutan barang.
Menyadari sebagai sopir tak membuat dia sejahtera, Basuki menjadi pembudidaya tanaman hias. Berbagai ajang pameran dia ikuti demi mempromosikan tanaman hiasnya. Seiring dengan berlalunya kejayaan bisnis tanaman hias, meredup pula penghasilannya. Dia lantas pulang kampung.
Basuki lalu menggarap sawah milik orangtuanya. Namun, sumber mata pencaharian satu-satunya ini pun produksinya merosot. Padahal, biaya produksi pertanian semakin tinggi. Setiap menjelang musim panen, dia dihantui ancaman kegagalan dan utang bertumpuk.
Kini, semua itu menjadi masa lalu. Basuki mampu mendongkrak kesejahteraan petani, membangun pola hidup sehat, dan memperbaiki lahan pertanian.
Triono Basuki
• Usia: 42 tahun • Istri: Murtinah • Anak: Dimas Sarung Wicaksono • Pendidikan: STM PGRI I Kediri Jurusan Teknik Otomotif