Saturday, April 24, 2021

KENAPA KARTINI SEDEMIKIAN MUDAH DICEMBURUI DAN DISALAH-PRASANGKAI I

 https://www.facebook.com/andi.mangoenprasodjo















Yang saya tangkap adalah gak keren, kalau gak mengejek Kartini. Tidak kritis, gak "mileneal" banget! Apa itu mileneal? Ya mbuh, tapi yang jelas tidak kekinian. Not nowdays. tapi mengenangnya melulu dengan cara2 irrelevant. Memakai kebaya, jaritan dan kondean akan dianggap suatu kekunoan. Lalu dicurigai secara nyinyir sebagai: ciri orang yang tak kunjung dapat hidayah.
Mengapa sampai hari ini, Kartini dan Kartinian selalu saja dikritisi, dicemburui dan akhirnya dianggap selalu salah!
Baiklah, karena tak kunjung ada yang menulis baik dan cukup komprehensif. Dengan format yang lebih berimbang, maka saya akan melakukan. Oh, ya kemarin pas Hari Kartini, 21 April lalu sesungguhnya saya sudah sedikit menuliskannya. Tapi itu konteksnya dengan "Sejatining Jati". Saya akan sedikit dedah agar sedikit lebih berimbang lagi. Jadi kalau mau membandingkan Kartini, janganlah dengan Keumalahayati yang penuh mitologis itu. Apalagi dengan Tjut Nja Dien atau Tjut Meutia yang militeris.
Gak head to head. Karena yang satu di medan juang fisik penuh kekerasan. Yang satu di medan juang pendidikan, penuh dengan pemikiran. Kalau mau cari pembanding untuk keduanya ya pilih saja Ratu Kalinyamat yang sama mitolgisnya, atau Nyai Ageng Serang yang memiliki area dan era yang relatif sama. Mosok membandingkan kehebatan pesawat tempur dengan pesawat transport. Perbandingan yang gak fair dan adil no ya....
OK, saya mulai dari apa sih "salah"-nya Kartini itu?
Pertama, Kartini itu "dipahlawankan" jauh sebelum Indonesia merdeka. Ia sudah dianggap jadi "panutan" (atau kalau hari ini idolaq). Ia beruntung, berusia pendek saja. Ia menulis, tapi tak banyak. Itu pun hanya surat2 kepada para sahabatnya. Seorang pejabat kolonial, bernama kolonial J. H. Abendanon lalu membukukannya dan pertama kali terbit tahun 1911. Dengan judul "Door duisternis tot licht".
Menyadari, bahwa sebenarnya yang paling banyak harus memetik manfaatnya adalah bangsanya Kartini sendiri. Abendanon jugalah yang mengupayakan untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Buku tersebut, kemudian diterjemahkan secara keroyokan oleh 4 orang yang kemudian agar gampang disebut "Empat Saudara". Terbit pada tahun 1922 dengan judul "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Judul yang tetap dipakai oleh Armijn Pane, ketika menerjemahkan ulang buku tersebut untuk diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1938. Dan bahkan, ketika dianggap kenapa bukan seorang wanita yang menterjemahkan. Pada era Orde Baru, buku yang sama diterjemahkan ulang lagi oleh filolog UGM, Bu Sulastin Sutrisno. Dan diterbitkan UGM Press pada tahun 1979.
Artinya, dua kali sudah "orang bule yang kolonial" itu sudah berupaya menerbitkan buku tersebut. Sebaliknya di masa pemerintahan Indonesia yang merdeka ini, baru sekali mengupayakannya.
Untungnya (atau malah sialnya ya) beberapa waktu terakhir, sahabat saya
Joss Wibisono
menulis buku berjudul "Maksud Politik Jahat: Benedict Anderson tentang Bahasa dan Kuasa" (Tanda Baca, 2020). Ia mengkritik habis ketiga buku tersebut, betapa kacaunya bahasa terjemahannya. Ia menyebut bahwa terjemahan bebas dari judul "Door duisternis tot licht", menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang". Adalah ngawur, dan cari gampang. "Nggampangke" sebagaimana watak dasar orang Melayu. Saya kutipkan, argumentasinya secara utuh:
"Terjemahan ini tidak benar2 mengandung makna yang sama dengan dengan versi aslinya. Judul bahasa Belanda itu bermakna perjuangan dalam gelap untuk mencapai terang. Jadi terang baru dicapai setelah terlebih dahulu berjuang atau bahkan menderita dalam gelap".
Dari cara berpikir yang nyaris tak terkoreksi selama sekian tahun inilah, mustinya kita juga makin paham dan sadar betapa sedemikian nggampangke-nya cara2 memperingati Kartini itu. Jauh dari semangat, bagaimana perjuangannya yang sebenarnya. Saya setuju, Kartini sudah salah bila diperingati dengan cara "hura-hura" itu...
Kedua, fakta bahwa kemudian, seorang pembaca setia buku kumpulan surat-surat Kartini, dipelopori Deventer pada 1 Februari 1912, membentuk Yayasan Kartini, yang akhirnya diresmikan pada 22 Februari di tahun yang sama. Deventer, kemudian terpilih menjadi ketua yayasan. Tak menunggu waktu lama, ia dan istrinya segera berangkat ke Hindia Belanda dan mendirikan Sekolah Kartini yang pertama di Semarang pada tahun 1913.
Sekolah ini kemudian berkembang dan juga didirikan di beberapa kota. Ia merupakan sekolah dengan "semangat campuran". Berbeda dengan Taman Siswa yang 100% sangat nasionalistik dan kerakyatan. Sekolah Kartini Dari yang awalnya dibuka hanya untuk kalangan priyayi dengan guru-guru dari kalangan asing menjadi sekolah yang terbuka lebar untuk siapa saja, termasuk rakyat biasa.
Dalam konteks sekolah inilah, peringatan Hari Kelahiran Kartini itu pertama kali dilakukan. Dalam catatn yang diketemuakan, arkeolog muda Lengkong Sanggar Ginaris. Dalam sebuah koran, diberitakan pada tanggal 21 April 1918 di Kartinischool Semarang peringatan tersebut dilakukan. Lima tahun setelah sekolah tersebut didirikan. sayang tak disebutkan, dengan acara apa dan acara apa saja yang diselenggarakan untuk memperingatinya.
Ketiga, Kartini sebagaimana saya tulis kemarin di luar mendirikan sekolah untuk siswa putri. Ia juga mengupayakan pendirian sekolah pertukangan untuk anak laki2. Hal tersebut terdorong semakin banyaknya permintaan (baca: order) karya2 kerajinan ukir dari Belanda. Buah dari upaya dirinya dan kedua adiknya Rukmini dan Kardinah yang berkontribusi dalam hal desain produk.
Lalu mempromosikan secara langsung karya2 tetangga kiri kanannya melaui pameran Nationale Tentoonstelling voor Vrouwnarbeid (Pameran Nasional Karya Wanita) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda di Den Haag tahun 1898. Tak hanya kerajinan ukir, belakangan juga produk batik dan lain. Artinya Kartini harusnya juga dicatat sebagai international-busines woman. Seorang yang jeli dan cerdas memanfaatkan peluang dan peduli untuk memberdayakan masyarakat secara nyata.
Keempat, Kartini itu adalah seorang tokoh yang sangat anti-feodal. Kesaksian ini telah dituliskan Pramoedya Ananta Tor dengan buku berjudul "Panggil Aku Kartini saja". Judul buku tersebut berasal dari kata-kata perpisahan Kartini kepada salah satu sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, dalam surat bertanggal 25 Mei 1899. Pramoedya berpandangan bahwa ide-ide progresif Kartini disebabkan oleh respons atas hierarki dan adat diskriminatif lingkungan feodalnya, bukan karena pertukaran ide dengan teman-temannya di Eropa.
Pramoedya menguraikan fakta sifat feodal pengaturan rumah tangga bupati. Kartini adalah putri dari istri kedua bupati. Istri dari kaum jelata memiliki tempat sendiri di luar bangunan utama. Situasi seperti ini, dalam kasus Kartini tentunya telah mengundang ketidaksenangan pada berbagai persyaratan yang mencengkeram. Karena itulah, ia ingin dipanggil Kartini saja tanpa embel2 Raden Ajeng.
Dalam konteks ini, saya setuju bila mustinya peringatan Kartini tidak justru hanya "sekedar". Catat sebagai "hingar bingar" melalui adu cantik berpakaian kebaya atau lomba memasak. Berpakaian kebaya mustinya lebih pada kesadaran mencintai tradisi asli berpakaian Nusantara. Tinimbang harus tunduk pada semangat patriaki dan syariat agama tertntu yang bagaimana pun masih sangat debatable itu.
Kelima, masih dalam konteks di atas Kartini adalah seorang yang spiritualis multi-dimensi yang tumpuan utamanya adalah humanisme. Ia adalah seorang wanita islam yang sudah sejak lama mencurigai agama sendiri. Kegelisahannya tersebut, menjadi kalimat universal yang paling banyak dikutip tidak hanya dalam kontek ke-Indonesia-an, tapi semangat kemanusiaan yang paling elementer. Ia gelisah dengan tak ada terjemahan kitab suci dalam bahasa lokal. Paling tidak terdapat dua kutipan penting yang pantas dicatat.
Maaf jika saya kutip secara singkat saja:
(1) Agama harus menjaga kita daripada dosa, tetapi betapa banyaknya dosa diperbuat atas nama agama?
(2) Disini orang diajari membaca Kitab Suci, tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Saya menganggap hal itu suatu pekerjaan gila; mengajar orang membaca tanpa mengajarkan makna yang dibacanya.
Kritik keras yang dilontarkan Kartini mengenai poligami dan Al-Qur’an tentu meninggalkan citra bahwa dirinya adalah pembangkang Islam. Walau sesungguhnya, hal itu terbantahkan dengan membaca kritiknya Kartini terhadap kegiatan zending dan misi Kristen berupa layanan pendidikan dan kesehatan. Ia adalah salah satu orang pertama, yang melakukan kritik pada upaya zending yang hanya ditujukan untuk menarik jemaat, bukan sepenuhnya untuk membantu sesama. Ia keberatan pada usaha zending yang sibuk dengan panji-panji keagamaan dengan tujuan mengkristenkan umat Islam di Jawa.
Keenam, dan ini terakhir. Kartini adalah seorang yang melampaui zamannya dalam konteks gaya hidup sehat. Tak banyak yang tahu, bahwa ia adalah seorang vegan. Sebagaimana juga, ia catatkan dalam bukunya: ′′Saya adalah anak Buddha, Anda tahu. Dan itu sudah menjadi alasan untuk tidak menggunakan makanan hewan ".
Sebagai catatan, Kartini adalah tokoh pertama Hindia Belanda yang namanya dijadikan jalan di Negeri Belanda. Sesuatu yang bukan diada-adakan kemudian. Ia telah harum namanya, karena perbuatannya. Bahkan tanpa kajian2 yang mendalam, berpuluh atau beratus tahun kemudian. Ia menjadi pahlawan dan dipahlawan, justru mula-mula di negeri dimana mereka mengendalikan, menguasai, dan mengeksploitasi negerinya sendiri.
Saya setuju, dua film Kartini yang pernah beredar sangat mengecewakan dan justru merepresentasi bahwa Kartini sedemikian mudah dicemburui dan disalahprasangkai. Ia memperpanjang cara pandang yang salah tentang Kartini, sejak era Orde Baru. Yang membuatnya mudah dicemburui, karena hanya menasionalisasikan dengan sekedar Jawanisasi.
Hingga muncul gugatan kenapa tidak Dewi Sartika sebagai representasi Tanah Pasundan juga mendapat pengistimewaan yang sama? Kenapa tidak Maria Walanda Maramis yang mewakili bumi Minahasa. Atau HR Rasuna Said dari Tanah Minang. Dan tokoh2 perempuan lokal lainnya yang tak bisa disebut satu persatu...
Kartini itu unik, karena sesungguhnya tak sebagaimana tokoh2 perempuan diatas yang saya sebut. Usianya terlalu pendek. Namun justru memberinya keberuntungan lain. Bahwa mati muda itu selalu menjadi sebuah pesona! Ia juga terlalu keras memberontak, namun dengan tatacara Njawani yang halus, dengan cara elegan menulis dan berkarya nyata. Kenapa saya percaya, semua bisa musnah tapi pikiran yang dituliskan itu akan abadi. Kartini itu simbol gaya hidup yang universal, kosmopolitan, dan terutama independen yang melampaui zamannya.
Dan yang tak tergantikan: ia dipromosikan justru oleh musuhnya, "manusia2 kolonial keparat" yang selalu didudukan sebagai musuh yang harus dihabisi. Ia yang tak pernah didaftarkan oleh oleh etnisnya, diusulkan sebagai pahlawan nasional. Agar sekedar ada pahlawan wanita dari daerah kami, dari etnis kami....
Saya cuma berharap, sebagaimana publik mulanya melihat Drakula secara salah kaprah. Yang dipahami melulu karena kebengisannya. Namun kemudian dibikinkan film revisinya Untold Dracula yang menunjukkan bagaimana sesungguhnya ia justru penuh cinta kasih sayang pada keluarga dan rakyatnya. Harapan saya kelak akan muncul terjemahan bukunya yang lebih baik. Kajian tentang sejarah hidupnya yang jauh lebih otentik. Hingga dapat hadir film baru berjudul "Kartini Untold" yang menembus ruang dan waktu.
Memang kelahiran Kartini rutin diperingati, tapi tidak dengan semangatnya. Namanya memang tersemat jadi nama jalan, nyaris di semua kota, tapi tidak dengan cita-citanya. Bahkan pemikiran besarnya ditenggelamkan oleh cara-cara propaganda yang gak asyik dan kurang tepat.
Semoga ada koreksi yang baru. Sesuai dengan semangat abadi kamanungsan yang melintas segala zaman...
.
.
.
NB: Tulisan ini berhutang banyak pada artikel2 maupun gambar yang mulanya diunggah oleh Mas Joss, dik Lengkong, dst. Sedikit mengobati kekecewaan bahwa ketika Makam Kartini makin reyot dan hampir ambruk. Orang yang datang mengulurkan tangan dan membangun kembali adalah seorang konglomerat hitam yang suka bermain perempuan bernama Tommy Suharto.
Ironi yang tak termaafkan, setragis orang2 yang suka mencurigai dan merendahkannya. Tanpa menelisik dan memiliki bacaan yang jauh lebih utuh!