Tuesday, April 17, 2012

Perginya Bapak Toleransi Mesir

http://cetak.kompas.com/read/2012/03/29/02101659/perginya.bapak.toleransi.mesir
KOMPAS, 29 Maret 2012


Hasibullah Satrawi, 
Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta



Pada hari Sabtu, 17 Maret 2012, berita duka datang dari Mesir, mengembuskan rasa berkabung ke seluruh dunia. Berita duka itu tak lain adalah meninggalnya Paulus Shenouda III, pemimpin tertinggi Kristen Koptik Alexandria, Mesir, dalam usia 89 tahun.

Surat kabar harian terkemuka di Mesir, Al-Ahram, melansir sejumlah ucapan belasungkawa dan duka mendalam dari banyak pihak. Mulai dari tokoh-tokoh terkemuka di Mesir, dunia Arab, hingga dari Gedung Putih, Amerika Serikat.

Bahkan, para pemimpin Ikhwan Muslimin yang dalam beberapa tahun lalu (sebelum terjadi revolusi 25 Januari 2011) kerap bersitegang dengan kelompok Kristen Koptik juga menyampaikan rasa kehilangan atas meninggalnya Shenouda III (Al-Ahram, 18/3).

Simbol Toleransi

Bagi pihak-pihak yang mengimani pentingnya toleransi demi terwujudnya kehidupan umat beragama yang damai, ramah, dan saling menghormati, wafatnya Paulus Shenouda III tak sekadar peristiwa kematian biasa. Lebih dari itu, wafatnya Paulus Shenouda III bisa berarti juga meninggalnya toleransi. Khususnya di Mesir mutakhir pascarevolusi yang sampai sekarang terus dilanda pelbagai macam aksi kekerasan. Baik kekerasan yang bersifat sosial-politik maupun kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.

Paulus Shenouda III selama ini berperan sangat besar bagi terciptanya kerukunan umat beragama di Mesir, khususnya antara umat Islam dan kalangan Kristen Koptik. Bersama-sama dengan tokoh keagamaan lain di Mesir, Paulus Shenouda III terus berjuang untuk menumbuhkan dan menjaga rasa persaudaraan di kalangan masyarakat Mesir. Hingga akhirnya masyarakat Mesir tidak terjebak dalam semangat sektarianistik yang bisa memecah belah masyarakat ke dalam kelompok-kelompok agama, keyakinan, aliran, dan lainnya.

Sungguh tidak berlebihan apabila Imam Besar Syeikh Al-Azhar sekarang, Dr Ahmad Thayyib, menyebut wafatnya Paulus Shenouda III sebagai berita duka bagi seluruh masyarakat Mesir, baik yang beragama Islam maupun Kristen. Bahkan, Ahmad Thayyib menyebut Paulus Shenouda III sebagai simbol dan contoh tokoh toleransi sejati.

Selama lebih kurang empat tahun di Mesir (1999-2004), penulis menyaksikan dan merasakan langsung teladan toleransi dari tokoh agama di Mesir—termasuk Paulus Shenouda III—yang senantiasa mendapatkan liputan masif dari media di sana. Khususnya pada momen-momen keagamaan, seperti Lebaran bagi umat Islam dan Natal bagi umat Kristiani.

Pada momen-momen penting seperti hari besar keagamaan, segenap pemuka agama di Mesir kerap memberikan ucapan selamat secara bergantian. Paulus Shenouda III, contohnya, kerap mengucapkan selamat merayakan ibadah puasa atau berlebaran bagi umat Islam. Sebaliknya, para pemuka umat Islam, seperti mantan Imam Besar Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi (yang telah meninggal dunia lebih dulu), juga kerap menyampaikan ucapan selamat Natal bagi umat Kristiani.

Teladan toleransi keagamaan seperti di atas mempunyai dampak psikis yang sangat besar bagi kehidupan umat beragama sehingga tumbuh semangat toleransi dan saling menghormati di kalangan umat beragama. Apalagi, teladan toleransi dari para pemuka agama tersebut kerap mendapatkan liputan yang cukup besar oleh media setempat. Inilah yang sampai sekarang belum banyak terjadi di dunia Islam lain, termasuk di Indonesia.

Di satu sisi, teladan toleransi dari para pemuka agama harus diakui memang masih sangat terbatas di Indonesia; justru yang jamak adalah pengharaman ucapan selamat atas hari raya umat agama lain. Sementara di sisi lain, pemberitaan media tentang toleransi juga masih sangat terbatas; justru yang jamak adalah pemberitaan tentang kawin-cerai artis, korupsi para elite bangsa, dan berita kriminalitas atau kekerasan.

Oleh karena itu, jangan heran apabila kehidupan masyarakat di negeri ini penuh dengan suasana konfliktual yang bersifat destruktif, bahkan anarkistis. Hal itu dimungkinkan mengingat mereka memang sangat jarang mendapatkan suguhan yang bersifat positif, seperti teladan toleransi. Alih-alih, yang terjadi justru segenap elite dan para pemimpin bangsa kerap mempertontonkan hal-hal yang sangat tidak pantas dilihat oleh masyarakat luas.

Krisis Tokoh 

Dalam kondisi seperti sekarang, meninggalnya Paulus Shenouda III akan semakin menambah berat beban tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Mesir ke depan. Setidaknya, wafatnya Paulus Shenouda III akan semakin membuat Mesir masuk lebih dalam ke jurang ”krisis tokoh panutan”.

Sebagaimana dimaklumi, pascarevolusi 25 Januari 2011, Mesir mengalami krisis tokoh panutan yang sangat serius. Di kalangan para pemuda yang menjadi motor utama revolusi, misalnya, hampir tidak ada tokoh panutan yang disegani. Justru yang banyak ditemukan adalah ”orang-orang biasa” yang kerap mengklaim sebagai ”tokoh panutan”.

Inilah yang bisa menjelaskan pelbagai macam rentetan aksi kekerasan yang senantiasa terjadi di Mesir pasca-lengsernya Hosni Mubarak. Mulai dari aksi kekerasan yang terjadi di pusat-pusat pemerintahan hingga aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepak bola. Mulai dari kekerasan yang bersifat sosial-politik hingga kekerasan yang bersifat sosial-keagamaan.

Terlebih lagi reformasi seperti yang terjadi di Mesir saat ini memberikan kebebasan kepada siapa pun dan kelompok apa pun untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, termasuk di dalamnya kelompok-kelompok terlarang, seperti Ikhwan Muslimin dan kelompok salafi yang justru berhasil menguasai hampir 70 persen kursi parlemen.

Dalam kondisi seperti ini, Mesir sangat membutuhkan adanya tokoh panutan untuk memastikan bahwa semua kebebasan yang diperjuangkan hanya untuk kemaslahatan bangsa, persatuan nasional, serta kerukunan masyarakat di semua agama dan keyakinannya. Jika tidak, kebebasan yang ada hanya akan memicu pelbagai macam aksi kekerasan seperti yang selama ini kerap terjadi.

Apa boleh buat, kematian tetaplah kematian. Jika waktunya tiba, ia pasti terjadi tanpa memperhatikan kondisi di sekitarnya. Kematian tidak dapat ditahan oleh kebaikan atau bahkan oleh keyakinan.

Kini, Paulus Shenouda III telah mencapai finis kehidupan dan perjuangannya. Beliau tidak tahan untuk tidak segera menyusul teman seperjuangannya, Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan Iman Besar Al-Azhar, yang telah pergi terlebih dahulu sejak dua tahun lalu.

Selamat jalan Bapak Toleransi. Semoga yang ditingggalkan dapat melalui jalan toleransi yang telah engkau lapangkan, termasuk bangsa Indonesia.



Sunday, April 08, 2012

Manusia, Penyumbang Bakteri Terbesar

http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/04/06/87661/Manusia-Penyumbang-Bakteri-Terbesar/11
Jumat, 6 April 2012 16:36 WIB





TAHUKAH Anda, manusia merupakan penyumbang nakteri terbesar di dunia? Masing-masing orang menambahkan 37 juta bakteri setiap jam. Nah, bayangkan berapa banyak bakteri di sekitar kita saat ini.

Pada abad 18, seorang dokter asal Skotlandia, mengatakan debu bisa menghancurkan manusia lebih dahsyat ketimbang bubuk mesiu. Ia sebenarnya tak yakin dengan pernyataannya itu. Tapi ia sadar kejadian itu 100 persen nyata.

Seorang perofesor di bidang teknik lingkungan dari Yale University, Jordan Pecchia, mengatakan kita hidup dalam 'microbial soup'. Sebagai mikroorganisme, kita jarang membersihkan rumah. Sehingga banyak debu yang menempel di lantai dan menjadi sumber bakteri. Padahal kita kerap beraktivitas di rumah.

Pecchia membutuhkan waktu delapan hari menganalisa dan menghitung jumlah partikel biologis itu di lantai dasar auditorium universitas. Ruangan itu dikosongkan selama empat hari. Jendela dan pintu tidak dibuka selama eksperimen berlangsung. Tapi sistem HVAC tetap beroperasi secara normal.

Dari eksperimen tersebut, peneliti menyimpulkan konsentrasi bakteri dan jamur dengan berbagai ukuran meningkat secara signifikan di dalam kelas. Menurut Pecchia, sekitar 18 persen dari seluruh emisi bakteri yang diproduksi manusia. Empat dari dari 15 jenis bakteri paling umum termasuk Propionibacterineae. Bakteri jenis itu ditemukan di kulit manusia.

Pecchia mencatat manusia 'menerima' bakteri pemicu berbagai penyakit terutama dari udara yang mereka hirup dalam ruangan, bukan di jalan. 

Jadi, membersihkan ruangan lebih sering akan menjadi langkah awal yang lebih baik. Menurut data statistik, 90 persen waktu orang Amerika dihabiskan di dalam ruangan, baik rumah maupun kantor.

Thursday, April 05, 2012

Ini Dia 7 Tempat Perayaan Paskah Terbaik di Dunia

http://travel.detik.com/read/2012/04/05/133357/1885954/1025/ini-dia-7-tempat-perayaan-paskah-terbaik-di-dunia?991104topnews

  • Oleh: Dicky Ardian - detikTravel
  • Kamis, 05/04/2012 13:45:00 WIB


Hari raya Paskah akan segera diperingati umat Kritiani di seluruh dunia. Masing-masing tempat, punya tradisi unik tiada dua. Inilah 7 tempat terbaik di dunia untuk merayakan Paskah.
Dari berbagai tempat dunia, ada 7 tempat yang dianggap paling menggambarkan nuansa Paskah seperti dikutip dari momondo.dk, Kamis (5/3/2012):
1. Karnaval Paskah, Jamaika
Kemeriahan karnaval saat Paskah di Jamaika (Puma/momondo.dk)
Karnaval Paskah merupakan perayaan budaya terbesar di Jamaika yang ada sejak tahun 1990. Perayaan yang selalu berlangsung meriah ini biasanya diikuti lebih dari 100.000 pengunjung.
Parade dengan iring-iringan band-band lokal berkostum unik ini dimulai dari ibu kota negara, Kingston dan berakhir di Pantai Jouvert. Parade tersebut dimulai dari pagi hingga sore hari.
Uniknya, band-band pengisi acara memainkan musik khas Jamaika, yaitu reggae. Sehingga semua pengunjung yang datang tampak bergembira dan ikut bergoyang bersama.
Tradisi unik lainnya adalah memakan kayu manis dengan roti yang dilumuri keju. Makanan ini menjadi makanan wajib selama perayaan Paskah di Jamaika.
2. Semana Santa, Sevilla, Spanyol
Semana Santa, Sevilla, Spanyol (Sacred Destinations/momondo.dk)
Minggu suci hingga hari Paskah adalah salah satu perayaan yang paling penting dan spektakuler di Kota Sevilla, Spanyol. Acara ini sudah berlangsung selama berabad-abad dan selalu berhasil menarik lebih dari 1 juta orang pengunjung.
Perayaan ini dimulai pada Minggu Palma dan berakhir pada Minggu Paskah. Pada minggu-minggu itu, masyarakat ramai-ramai berziarah ke Katedral di Kota Sevilla yang merupakan Katedral terbesar ketiga di dunia.
Acara puncak pada perayaan ini dimulai saat Kamis tengah malam sebelum hari Paskah, di mana 60.000 biarawan berpartisipasi dalam perayaan tersebut.
3. Sao Bras de Alportel, Portugal
Sao Bras de Alportel, Portugal (Dave Appleton/momondo.dk)
Walaupun berlokasi di kota kecil yang terletak di sebelah timur Pulau Algarve di Portugal, namun kota ini selalu berhasil menarik banyak pengunjung dengan perayaan Paskah yang unik.
"Yesus bangkit!" dan "Hallelujah!" terdengar bersahutan di jalan-jalan kota ini. Pria-pria memegang obor dihiasi dengan bunga sambil berkeliling kota.
4. Parade Paskah, New York, Amerika Serikat
Parade Paskah, New York, Amerika Serikat (xrrr/momondo.dk)
Parade Bonnet Easter merupakan parade pada perayaan Paskah di Kota New York yang sudah ada sejak tahun 1870. Demi perayaan unik ini, sepanjang Jalan 5th Avenue ditutup untuk lalu lintas.
Di sana, Anda bisa melihat ribuan pengunjung menggunakan topi berwarna-warni. Tak ketinggalan, hewan peliharaan mereka, seperti anjing, kucing, bahkan ular, dirias memakai topi seperti pemiliknya. Anda juga dapat ikut turun ke jalan untuk menyaksikan parade.
Setelah puas dengan parade Paskah, Anda bisa berjalan-jalan ke Central Park dan mengikuti acara Paskah lainnya, yaitu Easter Extravangaza. Di sana terdapat banyak permainan yang menyenangkan untuk anak-anak.
5. Scoppio del Carro, Florence, Italia
Scoppio del Carro, Florence, Italia (-DjD-/momondo.dk)
Tradisi unik ini sudah ada di Kota Florence, Italia, sejak abad ke-11. Jika diartikan, Scoppio del Carro adalah ledakan keranjang. Di mana keranjang-keranjang yang tadinya tersusun rapi diledakan hingga memunculkan api suci.
Pada pagi hari tepat di Hari Paskah, puluhan keranjang antik yang berumur lebih dari 500 tahun digiring melalui jalan-jalan di Kota Florence menggunakan lembu-lembu berwarna putih. Keranjang tersbut dibawa menuju Ketedral Santa Maria del Fiore untuk menghiasi Misa. 
Setelah Misa selesai, keranjang tersebut diledakkan dengan suara yang sangat dahsyat. Menurut legenda populer di Italia, jika acara tersebut berjalan dengan baik, maka tahun ini merupakan tahun yang penuh dengan kemakmuran bagi rakyat Florence.
6. San Miguel de Allende, Meksiko
Perayaan Pekan Suci di kota kolonial, San Miguel de Allende, Meksiko, selalu berhasil menarik pengunjung dari seluruh dunia. Hal itu, terutama karena peristiwa dramatis yaitu penderitaan Kristus di kayu Salib.
Minggu kedua sebelum Paskah, patung Yesus diarak keliling kota dari Kota Atotonilco. Lalu, dua minggu berikutnya dipindahkan ke gereja-gereja di sekitar Kota San Miguel de Allende.
Pada Jumat Agung, setiap gereja menyelenggarakan prosesi seperti majelis jemaat, tidak ada perayaan mewah saat hari tersebut. Namun, perayaan puncaknya pada hari Minggu Paskah dengan perayaan Firing of The Judases.
Dalam perayaan ini, tokoh-tokoh sejarah yang jahat bahkan hingga politisi yang dibenci dibuat menjadi manekin dari bubur kertas. Manekin tersebut kemudian diledakan dengan petasan sebagai bentuk pemberontakan. Perayaan ini berlangsung selama empat hari dan berakhir pada hari Rabu di minggu setelahnya.
7. Antigua, Guatemala
Sebagian besar masyarakat Guatemala merupakan penganut agama Katolik. Jadi sudah sepantasnya jika perayaan Paskah selalu digelar secara meriah.
Batu-batu di depan halaman rumah masyarakat dihiasi dengan bunga-bunga berwarna cerah dan dipenuhi dengan pengunjung yang ingin menyaksikan prosesi perayaan. Para pria membawa patung Kristus berukuran besar mengelilingi kota yang beralaskan karpet merah. Prosesi tersebut dilaksanakan sebagai penebusan dosa mereka di tahun terakhir.

Wednesday, April 04, 2012

Kota Tua Jerusalem, Via Dolorosa, dan The Last Supper

http://gayahidup.liputan6.com/read/385305/kota-tua-jerusalem-via-dolorosa-dan-the-last-supper
Vincent Hakim





Liputan6.com, Jerusalem: Kota Tua Jerusalem sudah terlihat di depan mata. Benteng yang kokoh memanjang dan tegar berdiri seolah menaungi sejarah panjang Kota Suci ini. Suasananya benar-benar klasik, tak ada basa-basi dan dibiarkan natural seperti apa adanya. Di Jerusalem, modernisasi dan kondisi tradisional dibiarkan tumbuh bersama dan dipelihara dengan baik. 

Kendaraan kami berhenti di suatu tempat, lalu kami turun dan berjalan sedikit menyusuri sebuah pasar tradisional di Kota Lama Jerusalem menuju ke suatu perkampungan bernama Via Dolorosa yang berarti Jalan Salib atau Jalan Duka. 

Sebutan Via Dolorosa atau Jalan Salib itu berkaitan dengan suatu peristiwa sejarah Perjalanan Salib Yesus. Peristiwa sejarah ini kemudian diimani oleh umat Katolik dan Kristen sebagai suatu rangkaian peristiwa imani dalam kerangka Karya Penyelamatan Allah bagi umat manusia. 

Di Via Dolorosa ini terdapat beberapa tempat yang diyakini sebagai lokasi rangkaian Perjalanan Salib Yesus. Dimulai dari depan Benteng Antonia tempat Yesus dijatuhi hukuman mati oleh penguasa Kerajaan Romawi pada saat itu Pontius Pilatus dengan cara disalib, 2.000 tahun silam, kemudian proses perjalanan Yesus memanggul salib sambil menerima siksaan dari para tentara Romawi, hingga Yesus disalibkan di puncak bukit Kalvari atau dalam bahasa Yunani disebut Golgota yang letaknya di luar benteng Kota Tua. Di puncak Kalvari itulah, kemudian Yesus wafat, dimakamkan, lalu bangkit dan naik ke surga. 
Tempat-tempat yang disebut dengan Stasi atau Pemberhentian Perjalanan Salib itu kini dijadikan gereja-gereja kecil. Semuanya ada 14 stasi. Tradisi ziarah Jalan Salib ini mulai populer sejak abad ke-16. 

Jalanan di Via Dolorosa berupa lorong-lorong yang seolah dibentengi oleh tembok-tembok kuno yang kokoh di kiri kanannya itu membawa suasana begitu klasik. 

Lantai jalanan setapak itu terlihat mengkilap. Mungkin karena terinjak-injak ribuan peziarah dari seluruh dunia setiap harinya. 

Menurut guide yang mengantar kami, jalanan setapak itu memang dibiarkan sebagaimana aslinya dulu. Begitu pula tembok kiri kanan di sepanjang lorong Via Dolorosa. Meskipun semuanya itu sudah mengalami pemugaran beberapa kali. 

Di sepanjang lorong jalan setapak kawasan Via Dolorosa banyak para pedagang menjajakan berbagai macam suvenir terutama yang berkaitan dengan perziarahan. Para pedagang itu adalah warga Israel keturunan Arab dan Armenia. 


Usai mengikuti Perjalanan Salib Yesus di Via Dolorosa, saya melanjutkan napak tilas Yesus ke Kolam Bethesda dan Bukit Zaitun tempat Yesus ditangkap para prajurit Romawi. Dari bukit ini tampak jelas Lembah Kidron yang menjuntai memisahkan makam Muslim di bagian bawah dan Makam Yahudi di atas. Saya bisa melihat pemandangan indah punggung benteng Kota Tua Jerusalem, Kubah Kuning Dome of The Rock, dan kubah kehijauan Masjid Al Aqsa. Saat mentari menyinari kawasan ini pagi hari, betapa indah bagai siraman cahaya jatuh dari langit. 
Ketika hari menjelang siang saya beranjak menuju Holy Sepulchre atau Makam Kudus, lalu ke Ascention Chapel yang juga disebut Kapel Kenaikan Yesus ke surga. Tak terlalu jauh dari situ, saya pun melanjutkan perjalanan setapak menuju Pater Noster Church tempat Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami kepada para muridnya untuk pertama kali. Tempat ini sangat penuh oleh wisatawan peziarah dari berbagai negara. 

Yang tak akan mungkin saya lewatkan adalah melihat tempat Yesus dipenjarakan yakni di St Peter Galicantu. Penjara itu terletak di bawah tanah. Setelah itu barulah mengunjungi Taman Gethsemane yang menurut Kitab Suci Injil merupakan tempat Yesus berdoa sebelum disalibkan. 

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Udara sore menjelang pukul 16.00 waktu setempat di akhir Februari terasa sangat dingin apalagi angin berembus kencang. Tapi saya harus melihat dulu, tempat Yesus makan bersama ke duabelas rasul-Nya di Last Supper Room atau Ruang Perjamuan Terakhir yang letaknya berdekatan dengan makam Raja Daud atau David Tomb. 

Kisah Perjamuan Terakhir ini menginspirasi perupa Leonardo da Vinci untuk menggoreskan lukisan yang amat terkenal itu: The Last Supper.

Tuesday, April 03, 2012

Volcanic plumbing exposed

http://www.leeds.ac.uk/news/article/3088/volcanic_plumbing_exposed
Published Friday 30th March 12






Two new studies into the “plumbing systems” that lie under volcanoes could bring scientists closer to predicting large eruptions.
International teams of researchers, led by the University of Leeds, studied the location and behaviour of magma chambers on the Earth's mid-ocean ridge system - a vast chain of volcanoes along which the Earth forms new crust.
They worked in Afar (Ethiopia) and Iceland - the only places where mid-ocean ridges appear above sea level. Volcanic ridges (or "spreading centres") occur when tectonic plates "rift" or pull apart. Magma (hot molten rock) injects itself into weaknesses in the brittle upper crust, erupting as lava and forming new crust upon cooling.
Magma chambers work like plumbing systems, channelling pressurised magma through networks of underground "pipes".  
The studies, published in Nature Geoscience, reveal new information about where magma is stored and how it moves through the geological plumbing network.  Finding out where magma chambers lie and how they behave can help identify early warning signs of impending eruptions.
Scientists used images taken by the European Space Agency satellite Envisat to measure how the ground moved before, during and after eruptions. Using this data, they built and tested computer models to find out how rifting occurs.
Data in one study showed magma chambers that fed an eruption in November 2008 in the Afar rift of Northern Ethiopia were only about 1 km below the ground. The standard model had predicted a depth of more than 3 km.
It is highly unusual for magma chambers to lie in shallow depths on slow spreading centres such as the Afar rift, where tectonic plates pull apart at about the same speed as human fingernails grow.
Dr Carolina Pagli from the University of Leeds' School of Earth and Environment, who led the study, says: "It was a complete surprise to see that a magma chamber could exist so close to the Earth's surface in an area where the tectonic plates move apart so slowly. The results have changed the way we think about volcanoes."
Dr Pagli also noticed that the ground started "uplifting" (elevating) four months before the eruption, due to new magma increasing pressure in one of the underground chambers. Understanding these precursory signals is fundamental to predicting eruptions.
A wider study of eruptions in Afar and Iceland, two vastly different environments, found remarkable similarities. Many events occurred within a short space of time. Researchers identified multiple magma chambers positioned horizontally and vertically, allowing magma to shoot in several directions. Moving magma triggered earthquakes, and separate magma chambers fed single eruptions.
The 2008 eruption is part of an unusual period of recent volcanic unrest in Ethiopia, and is enabling scientists to learn more about volcanoes at spreading centres. Most spreading centres are under 2 km of water at the bottom of the ocean, making detailed observations extremely  challenging. The new knowledge derived from Ethiopian volcanoes will help scientists understand volcanoes in Iceland, where eruptions can have a bigger impact on the UK.
Dr Tim Wright from the School of Earth and Environment, who leads the international Afar Rift Consortium, said: "The dramatic events we have been witnessing in Afar in the past six years are transforming our understanding of how the crust grows when tectonic plates pull apart. Our work in one of the hottest place on Earth is having a direct impact on our understanding of eruptions from the frozen volcanoes of Iceland."
The studies were funded by the UK Natural Environment Research Council through the Afar Rift Consortium, the National Centre for Earth Observation, the US National Science Foundation, the UK Royal Society, and the Icelandic Research Fund.

Geophysical constraints on the dynamics of spreading centres from rifting episodes on land by Tim J Wright, Freysteinn Sigmundsson, Carolina Pagli, Manahloh Belachew, Ian Hamling, Bryndis Brandsdottir, Derek Keir, Rikke Pedersen, Atalay Ayele, Cindy Ebinger, Pall Einarsson, Elias Lewi and Eric Calais is published in Nature Geoscience, doi: 10.1038/NGEO1428
Shallow axial magma chamber at the slow-spreading Erta Ale Ridge by Carolina Pagli, Tim J Wright, Cynthia J Ebinger, Sang-Ho Yun, Johnson R Cann, Talfan Barnie and Atalay Ayele is published in Nature Geoscience, doi: 10.1038/NGEO1414