Sunday, March 27, 2011

Dimensi Spiritual Manusia Pemimpin


http://www.rimanews.com/read/20110327/21721/dimensi-spiritual-manusia-pemimpin

Minggu, 27 Mar 2011 05:43 WIB

Dalam benak setiap yang memiliki jiwa (spirit) pemimpin, maka ia harus sadar bahwa dirinya menjalani taraf menjadi manusia sejati (real human being). Ia mau menyediakan waktu teratur tanpa banyak publisitas, dengan sadar dan jelas (aware and clear) sebagai bentuk menghayati dua prinsip utama dalam gugat diri secara meditatif filosofis.


Dua prinsip utama itu adalah berani secara konsisten mengosongkan pemikiran yang tak karuan (reach emptiness) agar pemikirannya jernih, dan konsentrasi sebagai alur tengah (concentration is a middle piece or way) untuk mampu mewujudkan diri sebagai manusia sejati yang tidak melulu mencari publisitas diri.


Secara fisik dan psikis, pemimpin juga harus memperhatikan kesehatannya. Kalau ia berada dalam kesehatan fisik dan psikis yang lemah, maka saat mengambil keputusan dimungkinkan secara insting muncul semacam "membela diri" dalam kelemahan kriteria/alasan pengambilan keputusan, dan hasilnya bisa salah. Hal itu kedengarannya sederhana, namun justru awal kesehatan fisik dan psikis itu menjadi penting.


Ia harus memiliki keingintahuan yang langgeng (perpetuous curiosity) dengan berani senantiasa memunculkan berbagai gagasan baru dengan inovasi pikiran dan sikap pandang yang jelas. Kalau sampai terjadi seorang pemimpin itu lebih suka memelihara sikap status quo, maka akibatnya bisa berupa kemandekan dan kelesuan dalam diri pihak bawahan, terutama manajemen menengahnya yang seharusnya diberdayakan (empowerment of the middle management).


Sebagai pemimpin, ia juga harus mampu mengarahkan manajemen bawahan dengan tujuan berkarya (objectives) yang jelas, penuh percaya diri bahwa tujuan yang dicanangkan itu dapat dicapai. Seorang yang dipercayai sebagai pemimpin juga harus memiliki kemampuan memberdayakan bawahan dengan kepribadian yang dapat diandalkan. Ia bukan sebagai pemimpin yang bersikap pengecut dan memuji-muji bawahan untuk disanjung-sanjung hanya di permukaan. Memuji-muji (flattery) bawahan itu hanya sesaat sifatnya, karena bisa-bisa bawahan menutupi ketidakbecusan atau bertingkah sebagai yes men.


Dalam pengamatan terungkap di kalangan elite dan bisnis bahwa selayaknya yang menonjolkan diri pemimpin berupaya menempatkan diri dari sukses ke signifikansi (kebermaknaan). Ia mengerjakan berdasarkan tujuan (intentional) dan berdasarkan pengaruh. Keduanya sangat berbeda dengan kekuasaan, manipulator, atau pemaksa karena kedudukan model komando yang tanpa visi jangka panjang yang di dalamnya jangka menengah.


Model kepemimpinan yang berlandaskan prinsip, yaitu merintis, menyelaraskan dan memberdayakan (pathfinding, aligning, empowerment) merupakan paradigma yang berbeda dari pola pikir manajemen tradisional, apalagi yang otoriter. Pemimpin dihadapkan kejaran waktu (time constraints), yang berarti mengambil keputusan dan berani memikul konsekuensi keputusan sekalipun ada kelemahan dan hambatan.


Pemimpin itu beda dengan manajer. Pemimpin berfokus pada mengerjakan hal yang benar (doing the right things), sedangkan manajer memusatkan perhatikan pada mengerjakan secara funggsional tepat (doing the thing right). Pemimpin berani memunculkan paradigma baru ke permukaan dengan risiko kurang disukai oleh kelompok kecil "tukang jegal", atau bahkan "tukang jagal".


Sebagai manusia sejati (real human being), maka pemimpin mengindentifikasi asumsi dan motivasi yang melandasi dan memberikan tantangan dengan pertanyaan "apa yang masih bisa dikerjakan" tanpa banyak "mencari publisitas dan popularitas". Ia menyediakan waktu untuk berkomunikasi dwi-arah, dan berani mengaku kalau opininya ternyata tidak layak (feasible). Berani mengaku tanpa embel-embel memarahi publik melalui media multimedia massa.


Sifat pribadi (personality traits) dari pemimpin yang efektif adalah mereka sedikit sekali, atau bahkan tidak punya niat menonjolkan diri sebagai manusia berkarisma. Mereka tidak banyak menyebut istilah itu, apalagi mengaktualkannnya.


Seorang pemimpin yang efektif tahu definisi satu-satunya adalah seorang yang mempunyai pengikut. Ada yang muncul sebagai pemikir, ada yang muncul konseptor dan penggerak implementasi. Pemimpin efektif selalu berani mendelegasikan dengan memberdayakan dalam banyak hal, namun sangat menyadari bahwa tanggung jawab total ada pada diri kepemimpinannya tanpa bisa didelegasikan.


Menjadi manusia sejati bukan memaksa dan menakuti-nakuti atau mengancam orang lain agar menjadi pengikut. Tanpa memperhatikan perbedaan dalam kepribadian, gaya, kemampuan, maupun minat, setiap pemimpin efektif punya cara kerja yang sama. Mereka tidak mengawali dengan bertanya, "Apa yang saya inginkan". Mereka justru mulai bertanya, "Apa yang perlu dikerjakan demi peningkatan mutu kehidupan pihak lain, rakyat dan bangsa yang dilayani, dengan ketegasan waktu (time-frame)."


Pemimpin senantiasa bertanya, "Apa yang dapat dan harus saya kerjakan untuk membuat adanya kemajuan riil dari yang saya layani". Hal ini berkaitan dengan sesuatu yang perlu dikerjakan baik yang sesuai dengan kredibilitas sang pemimpin, maupun menentukan cara di mana ia dapat menjadi pemimpin yang efektif, memotivasi, memberdayakan eselon memengah dan menghargai ketepatan waktu, mutu dan tidak selalu terombang-ambing dalam ketidakpastian.


Dari kenal diri dengan memiliki kesadaran (awareness). Langkah selanjutnya, mengidentifikasi diri dan belajar berpikir ulang untuk berani mengambil keputusan yang bertanggung jawab tanpa mengulur ulur waktu implementasi, tanpa meragu dengan mencari kambing hitam dan bentuk bentuk tim kerja baru dan seterusnya. Penting sekali untuk setiap kali menyegarkan diri dengan menggugat diri apa yang ada dalam pikiran (what is going through your mind) dan apa yang menjadi kesadaran diri (self awareness). Hal yang penting, pemimpin bukan pengecut dan senantiasa bersembunyi di balik "menyalahkan orang lain".


Sebuah pepatah kuno China mencatat: "Pemimpin sejati adalah seorang yang dapat memotivasi manusia di sekelilingnya mendaki mencapai tingkat tertinggi dengan membuka peluang peluang dan bukan kewajiban melulu." Untuk itu, pemimpin perlu mendidik diri dan melalui studi kelompok kecil secara teratur. Dalam kebersamaan tim membuang pola pikir yang meragu (biased mind), membuang penilaian secara sembarangan.


Butir gugat diri secara berkesinambungan harus menjadi acuan manusia sejati yang merasa terpanggil menjadi pemimpin. Hendaknya juga disadari bahwa tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin. Layaknya pepatah Jawa bahwa hendaklah menjadi orang yang selalu "bisa merasa" (bisa rumangsa), dan jangan menjadi orang yang senantiasa "merasa bisa" (rumangsa bisa). (antara)


*) Bob Widyahartono ( bobwidya@cbn.net.id This e-mail address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it ) adalah pengamat ekonomi dan bisnis; Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar) Jakarta.

Sunday, March 20, 2011

Master Plan Ekonomi Indonesia 2011-2025

http://www.gatra.com/artikel.php?id=146312

PERSPEKTIF SUGIHARTO


Bersama gubernur dan sejumlah petinggi badan usaha milik negara, Pemerintah Pusat menggelar forumretreat, pertengahan bulan lalu. Acara yang digelar di Istana Bogor itu membuahkan sebuah keputusan strategis, yakni Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (P3EI) 2011-2025. Master plan ini merupakan dokumen kerja dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM ) yang berisi terobosan sejumlah aksi pengembangan aktivitas ekonomi yang kongkret, dan bukanbusiness as usual.

Meski master plan baru, tetapi penyusunannya tetap diintegrasikan dengan sistem perencanaan yang ada. Dengan memasukkan berbagai pemikiran, kebijakan, ataupun komitmen yang berkembang, master plan ini diharapkan bisa mendorong peran dunia usaha sebagai aktor utama pembangunan ekonomi nasional. Adapun pemerintah berfungsi sebagai regulator, fasilitator, serta katalisator.

Ada beberapa hal yang membuat kehadiran master plan ini terasa penting. Fakta menunjukkan bahwa prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam mengantisipasi dan melakukan manuver terhadap krisis global tahun 2008 cukup gemilang. Meskipun ekonomi dunia mengalami krisis global, ekonomi kita masih tumbuh sekitar 6% per tahun. Kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia pun semakin meningkat, seperti tercermin dari tingginya laju investasi asing, baik investasi langsung maupun portofolio.

Era Asia dengan Cina sebagai motornya menjadi hal lain yang membuat kehadiran master plan itu juga terasa penting. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia baru, tentunya negara-negara di kawasan Asia akan berlomba mempersiapkan diri guna meningkatkan posisi competitiveness-nya. Semua itu ditujukan untuk menjadikan negaranya sebagai tujuan ekonomi dan industri oleh para pelaku bisnis di dunia. Dan Indonesia, mau tidak mau, harus bersiap masuk dalam era persaingan tersebut, khususnya dalam menarik investasi asing masuk ke dalam negeri.

Berkaca dari situasi inilah, kehadiran Master plan tersebut menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebab, mengandalkan RPJM sebagai basis strategi kebijakan ekonomi dalam menghadapi era perekonomian baru tersebut, khususnya dalam menarik investasi, dirasakan belum cukup. Ini mengingat, RPJM yang kita miliki merupakan dokumen yang lebih normatif, yang kedudukannya sebagai arah kebijakan yang bersifat umum. Sementara, para investor membutuhkan detail rencana riil, seperti rencana proyek termasuk lokasi dan biayanya untuk setiap kebijakan yang telah digariskan dalam RPJM.

Karena sifatnya yang merupakan rencana aksi, dibutuhkan sebuah perubahan pola pikir dari para pemangku kepentingan, khususnya dari pemerintah pusat maupun daerah. Pola pikir bussines as usualharus segera diubah, agar transformasi ekonomi ini bisa dipercepat. Prinsip inilah yang nantinya akan tercermin di dalam master plan tersebut.

Dengan kata lain, master plan ini harus menjadi produk yang bisa menawarkan terobosan untuk perbaikan ke depan dari problem masa lalu. Bukan hanya sekedar dokumen rencana yang menawarkan menu rencana aksi.

Salah satu kebutuhan riil yang dibutuhkan Indonesia untuk menghadapi tantangan di masa depan yakni besarnya kebutuhan investasi, terutama pembangunan infrastruktur. Berdasarkan perhitungan pemerintah, dibutuhkan sekitar US$ 150 milyar untuk pengadaan infrastruktur antara tahun 2011-2015. Dari jumlah itu, diperkirakan investasi yang berasal dari dalam negeri sebesar US$ 50 milyar (APBN,public-private partnership, dan BUMN). Sementara itu, dari kegiatan investasi asing langsung (foreign direct investment), diperkirakan mencapai US$100 milyar.

Tentunya, biaya US$ 150 milyar tersebut bukanlah angka sedikit. Dan ini hanya bisa direalisasikan bila kita menawarkan hal-hal yang rill kepada para pelaku usaha. Kita sudah memiliki pengalaman kurang sukses dalam menjual rencana pembangunan infrastruktur kepada investor melalui beberapa foruminfrastructure summit. Untuk itu, dalam Master Plan P3EI 2011-2025, perlu mencantumkan strategi dan langkah riil untuk mewujudkannya.

Sebagai dokumen yang berorientasi untuk meningkatkan competitiveness Indonesia dalam kompetisi global, tetap saja master plan ini harus mampu menjawab berbagai kebutuhan riil yang diperlukan para pelaku ekonomi lokal. Oleh karenanya, master plan ini diharapkan lebih berorientasi pada penciptaan nilai tambah, lebih mengutamakan sinergi pembangunan sektoral dan daerah, serta menjaga keseimbangan dalam pengembangan potensi ekonomi masing-masing kawasan.

Sugiharto
Chairman of Steering Committee, The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
[PerspektifGatra Nomor 18 Beredar Kamis, 10 Maret 2011] 

Wednesday, March 16, 2011

Perjuangan Intelektual Seorang Akademisi Dunia

http://swa.co.id/2011/03/perjuangan-intelektual-seorang-akademisi-dunia/




Thursday, March 3rd, 2011
oleh : Yuyun Manopol


Kegetiran hidup dalam memperoleh pendidikan ataupun pekerjaan yang dicintainya telah menempa Ken Kawan Soetanto menjadi akademisi terkemuka di Negeri Matahari Terbit. Kini, dengan empat gelar doktor dan kemampuan mengajarnya yang menggugah, banyak lembaga yang berebutmenanggapnya.
Puluhan tahun tinggal di Jepang serta mendedikasikan ilmu dan kemampuannya di Negeri Samurai itu tak mengubah logatSuroboyoan-nya yang kental. Semangatnya yang tinggi tergambar dari gaya bicaranya, juga dari tiap kata yang ia lontarkan. Tak mengherankan, meski usianya hampir enam dasawarsa, Ken Kawan Soetanto tetap tampak fresh dan energik.
Nothing is impossible, itulah moto hidup pria kelahiran Surabaya tahun 1951 ini. “Di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Itu sudah saya buktikan. Waktu saya terbentur tembok, saya tabrak lagi, sampai keluar darah, sampai bagaimanapun saya tidak berhenti,” katanya mengenai moto hidupnya itu. “Jadi, jangan takut akan jatuh dan berdarah. Saya selalu berpikir pasti ada dunia lain yang bagus.”
Terbukti, moto yang selalu ia pegang teguh tersebut telah sukses membawanya pada pencapaian sekarang. Ia tak hanya menyandang empat gelar doktor, tetapi juga menjadi profesor di perguruan tinggi ternama di Jepang. Bahkan, Guru Besar Waseda University, Jepang, ini diangkat sebagai anggota METI Advisory di Japanese Ministry of Economy, Trade and Industry. Di lembaga itu ia tercatat sebagai satu-satunya orang asing. Maklum, meskipun sudah 23 tahun di Jepang, Ken tetap setia berkewarganegaraan WNI.
Perjalanan Ken sebelum memutuskan berkelana ke Jepang sesungguhnya amat berliku. Diceritakannya, semasa kecil hingga besar ia hidup bersama ibu tirinya di Surabaya karena ayahnya meninggal muda menyusul wafatnya ibu kandungnya. Pada masa itu masyarakat keturunan Tionghoa seperti dirinya sangat sulit kuliah di perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan, ia bekerja mengembangkan toko elektronik keluarganya. Ia belajar teknik reparasi radio secara otodidak dan berhasil. Dari sini ia memberanikan diri menerima jasa reparasi elektronik. Bahkan, ia mencoba membuka kelas kecil tentang elektronik di loteng tokonya. “Waktu saya mengajar, mereka bilang ‘kamu pandai mengajar’,” ceritanya. “Passion saya memang ingin mencari sesuatu yang baru dan mengajari orang. Saya senang berbagi ilmu.”
Meskipun sibuk dengan urusan toko dan mengajar, semangatnya untuk kuliah tak pernah padam. Ia mencari tahu bagaimana bisa bersekolah di luar negeri seperti ke Jerman. Alasannya, waktu itu sekolah di sana gratis. Namun, rencana itu tak terealisasi. Pada usia 24 tahun ia memutuskan pergi Jepang. Untuk itu, ia mempersiapkan dirinya. “Saya mungkin hanya tidur 2-2,5 jam sehari,” ujar anak bungsu dari 7 bersaudara ini mengenang saat itu. Pada 1977 ia akhirnya berhasil diterima di Jurusan Teknologi Informasi Tokyo University of Agriculture and Technology di Jepang. Kala itu usianya 26 tahun, usia yang tak lagi muda memulai pendidikan jenjang S-1. Di balik ketekunannya saat itu, Ken mengaku, semasa kecil sebenarnya ia tergolong nakal. “Sampai SMP kelas 3 saya tidak pernah belajar,” katanya terus terang.
Menurut Setyono Djuandi Darmono, Presiden Direktur PT Jababeka Tbk. dan salah satu pendiri President University, Ken kala itu merasa seperti anak terbuang, yang tidak diinginkan Bapaknya (Republik Indonesia). Setyono mengungkapkan, pada masa Ken sekolah di Indonesia, sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya dibakar. Inilah yang mengakibatkan Ken tidak bisa meneruskan sekolahnya dan merantau ke Jepang. “Ia secara naluriah ingin membuktikan ke Bapaknya (negara ini) bahwa dia adalah anak yang unggul, berbakti dan tidak pantas dibuang atau disia-siakan,” ujar pria yang sempat mengundang Ken memberikan kuliah umum di President University beberapa waktu lalu itu.
Ken mampu menempuh pendidikan S-1 di Jepang hanya dalam tiga tahun. Pada 1980 ia lulus. Akan tetapi, ia belum puas, pada tahun itu juga ia memutuskan mengambil pendidikan S-2 bidang teknologi kedokteran di universitas yang sama, dan lulus pada 1982.
Setelah itu, Ken makin semangat untuk berlari kencang. Gelar S-3 (doktor)-nya yang pertama diraihnya di bidang medical technology pada 1984 dari Tokyo Institute of Technology. Disertasinya saat itu adalah membuat instrumen yang dapat digunakan untuk mendeteksi kanker secara dini.
Dari sini tumbuh kepercayaan dirinya. Ken lalu melamar ke sejumlah universitas di Jepang untuk menjadi tenaga pengajar. Namun, ternyata ia harus menerima kenyataan tidak satu pun lamarannya dijawab dan tidak ada pula yang menawarinya pekerjaan. “Ini menjadi sejarah bagi saya. Saya kuliah di Jepang ini kan tidak mudah. Saya bukan orang berada. Saya menggunakan tabungan saya hasil dari 8 tahun bekerja. Tapi nyatanya setelah mendapat Ph.D., lamaran saya 100% lebih tidak ada yang dibalas,” ujarnya.
Sebenarnya, saat itu Ken tengah memimpin sebuah proyek penelitian di Jepang yang merupakan hasil kerja sama antara Tokyo Institute of Technology dan Tohoku University. “Boleh dibilang penelitian itu dari Dikti-nya Jepang,” kata Ken bangga. Namun, bekerja sebagai peneliti tanpa menjadi dosen atau pengajar tetap di sebuah lembaga pendidikan sebenarnya cukup sulit karena Ken hanya mendapatkan penghasilan dari subsidi Pemerintah Jepang untuk penelitian tersebut.
Namun, pekerjaan penelitian ini memberikan titik terang bagi Ken yang saat itu sempat berpikir untuk pulang ke Indonesia. Saat itu ia juga sempat menghadiri sebuah international meeting dan bertemu dengan seorang profesor bidang radiologi dari Universitas Indonesia yang mengajaknya menjadi dosen. Akan tetapi, profesor tersebut terkena penyakit sirosis dan akhirnya meninggal sebelum sempat mewujudkan niatnya mengajak Ken ke Indonesia. Saat itu, di Indonesia memang sesungguhnya masih sulit bagi Ken untuk menjadi pengajar di universitas negeri terkait statusnya sebagai warga negara keturunan jika tanpa rekomendasi kuat.
Akhirnya, ia berdiskusi dengan mentornya di Tokyo Institute of Technology yaitu Prof. Okujima, bagaimana caranya agar ia dapat mengambil program doktor di Tohoku University. Karena Ken merupakan personel inti penelitian tersebut, ia pun dipertahankan dan mendapat kesempatan mengambil program doktor di Tohoku University. “Saya memutuskan melanjutkan perjuangan di Jepang. Kalau pulang, bukannya saya benci berdagang, tapi saya mau mencari jalan untuk menjadi scientist di luar negeri. Saya pernah dapat nasihat dari orang imigrasi Jepang, bahwa kita harus mampu melebihi orang Jepang jika ingin bisa bekerja di Jepang,” ujarnya. Maka, ia pun mengambil lagi program doktor bidang kedokteran di Tohoku University,dan berhasil memperoleh gelar Ph.D. yang kedua hanya dalam waktu empat tahun. Ini juga merupakan prestasi tersendiri mengingat biasanya orang lain membutuhkan waktu hingga 7 tahun untuk mendapat gelar Ph.D. Karena memiliki riset yang bagus dan kuantitasnya cukup, ia lulus dalam empat tahun pada 1988. Sebagai gambaran saja, selama 1982-88, Ken telah menghasilkan 37 journal paper. Padahal untuk mengambil S-3, biasanya cukup dengan 2-3paper.
Setelah menyandang dua gelar doktor dari dua universitas ternama di Jepang, Ken kembali melamar menjadi pengajar di berbagai universitas di Jepang. Lagi-lagi, kembali ia harus menelan pil pahit, karena tak satu pun lamarannya yang diterima. Boleh jadi, ini semata-mata karena asal dan status kewarganegaraannya. Akhirnya, ia mencoba menulis surat kepada Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, mengenai keinginannya untuk kembali ke Indonesia dan ide mendirikan universitas di Tanah Air. Ken memang mengenal beberapa pengusaha dan pejabat Indonesia yang pernah berobat di Jepang. Antara lain, mertua Mochtar Riady dan Moe’min Ali, pemilik Panin Bank.
Setelah lama menunggu, akhirnya suatu hari Ken memperoleh jawaban dari bos Lippo ini, yang mengatakan belum waktunya mendirikan universitas. Akan tetapi, Mochtar menanggapi pertanyaan Ken mengenai keinginannya untuk pulang ke Indonesia. Menurut Mochtar, Ken tidak akan bisa sukses di Jepang, karena Jepang itu the best racist country in the world.
Mochtar juga berpandangan, meskipun Ken pulang ke Indonesia dan bisa menjadi dosen, seumur hidup ia hanya akan menjadi dosen, dan tidak mungkin menjadi guru besar terkait statusnya sebagai warga negara keturunan Tionghoa. Mochtar pun mengungkapkan, ada peluang meraih American Dream atau bekerja di Amerika Serikat. Akan tetapi, mengingat usia Ken yang kala itu sudah 38 tahun, punya tiga anak dan tidak memiliki banyak uang, Mochtar menilai Ken tidak bakal sukses jika mengambil jalan itu. Ia pun menawarkan Ken agar kembali ke Indonesia dan bergabung dengannya di bidang perbankan. “Beliau menawari saya untuk mempelajari perbankan. Menurut beliau, itu adalah satu-satunya jalan agar saya bisa sukses,” ujar Ken.
Kenyataannya, saat itu Ken mendapat tawaran kerja di AS. Tidak tanggung-tanggung, ia mendapat dua tawaran menarik, yaitu menjadi asisten profesor dan menjadi manajer di GE yang akan ditempatkan di Jepang. Tawaran dari GE diakui Ken sangat menarik karena GE menawarkan gaji tiga kali lipat dibandingkan jika menjadi asisten profesor. Jika menjadi asisten profesor, ia hanya dibayar US$ 24 ribu per tahun, sedangkan GE menawarkan gaji sekitar US$ 65 ribu per tahun ditambah fasilitas rumah tinggal dengan tiga kamar selama enam tahun. “Pada waktu turning point, ternyata saya kok selalu memilih jalan yang paling menantang,” kata Ken. Pada 1988 ia lebih memilih menjadi asisten profesor di AS dan membawa keluarganya ke sana.
Apa alasannya? Ia mengaku memang bercita-cita mendaki jenjang karier sebagai akademisi karena memberikan kepuasan batin bagi dirinya. Selanjutnya hanya dalam waktu 1,5 tahun ia telah menjadi associates di AS, karena ia memperoleh subsidi dari National Institute of Health, lembaga riset kanker ternama di dunia.
Suatu hari, salah seorang profesor dari Tokyo Institute of Technology memanggilnya kembali ke Jepang. “Dia bilang ia mau start program doktor (S-3), dan saya diminta membantunya. Saya ditawari jadi asisten profesor di Jepang. Tapi saya tidak mau, karena di AS saja saya telah ditawari menjadi guru besar,” ujar Ken. Akhirnya, ia pun mengirimkan surat ke PresidenYokohama Toin UniversityDi sini ia diangkat menjadi guru besar. Menurut Ken, ini sebuah kejutan mengingat sangat sulit bagi orang asing untuk mendapat pekerjaan di Jepang dan ia hanya membutuhkan waktu 4,5 tahun dari saat didapatkannya gelar doktor yang kedua hingga menjadi guru besar. Biasanya dibutuhkan waktu hingga 10 tahun lebih. Berusia 42 tahun saat itu, Ken telah menyandang dua gelar doktor dan menjadi guru besar di Jepang.
Beberapa tahun kemudian Ken mendapatkan dana US$ 15 juta untuk proyek penelitiannya. Semua berjalan lancar hingga tahun 1999. Siapa sangka, proyeknya disabotase orang. Menurutnya, banyak pihak yang saat itu kurang menyukai statusnya sebagai orang asing yang memiliki kedudukan cukup penting di Yokohama Toin University. Dalam periode 1999-2003 ia sempat mengalami depresi berat. Ia pun mengambil cuti selama setahun dan pada tahun 2000 ia kembali ke Indonesia (Surabaya) selama sebulan. Waktu itu ia masih memikirkan karyanya yang dihancurkan. “Selama 2-3 bulan saya berpikir kembali. Namun, kemudian saya putuskan untuk menghentikan minum obat, saya ingin bangkit dengan kekuatan sendiri. Caranya adalah dengan memaafkan orang yang pernah berbuat tidak baik kepada saya,” tuturnya.
Saat pulang ke Surabaya ini ia mendapat inspirasi. Hal ini dimulai ketika ia sempat diminta memberi ceramah di Tunjungan Plaza Convention Center. “Dalam tiga hari berkumpul 700 orang. Saya memberikan ceramah dalam 2-3 jam, dan melupakan sakit saya. Waktu itu saya merasa saya bisa kembali lagi. Dan akhirnya saya putuskan ambil doktor yang ketiga. Saya percaya saya masih bisa,” ungkapnya. Gelar doktornya yang ketiga tersebut akhirnya ia dapatkan pada tahun 2000 untuk bidang Pharmacy, Nano tech & Smart Medicine dari Science University of Tokyo. Selanjutnya, ia meraih gelar doktor yang keempat pada 2003 untuk bidang Education, Pedagogy & Psychology dari Waseda University. Saat itu usianya 52 tahun.
Kemudian ia pun bergabung dengan Waseda University pada 2003. “Setelah lulus doktor yang keempat, saya jadi profesor permanen di Waseda University,” ujarnya sambil menerangkan, ia pernah menjadi profesor tamu pada 2002 di Waseda University dan pengajar tamu di Venice International University.
Bagi Ken, ia memperoleh empat gelar doktor karena kondisi yang memaksa, bukan karena ia jenius. “Jenius itu bagi saya hanya satu persen, 99 persennya kerja keras,” ujarnya tegas.
Dengan kecemerlangan akademisnya, mestinya kekayaan bukan lagi utopia bagi Ken. “Kalau mau sukses, saya tinggal ikut Mochtar Riady waktu itu. Tapi, bagi saya, mengabdi kepada masyarakat itu bisa berbeda, bukan uang melulu. Saya merasa pilihan saya benar. Saya sekarang merasa lebih bangga,” ujar pria yang terkenal dengan cara mengajarnya yang disebut para muridnya sebagai Soetanto Mesoda (Soetanto Method). Tak hanya itu, kemampuannya menyentuh hati orang-orang yang diajarnya yang disebut sebagai Soetanto Effect tersebut telah dibukukan di Jepang.
Ken agaknya memang memiliki kemampuan mengajar yang luar biasa. Hal ini disebabkan dalam setiap aktivitas mengajarnya, ia tidak hanya membagikan knowledge, tetapi juga menyisipkanthe way of life.
Ken menceritakan, saat mulai mengajar di Yokohama Toin University, nilai-nilai para mahasiswa yang ditanganinya rata-rata rendah. Maka ia pun berpikir, bagaimana caranya agar mereka tetap bisa jadi orang berguna. Nilai rendah itu menurutnya bukan selalu karena seseorang bodoh, tetapi bisa saja itu karena tidak suka pelajarannya, dan merasa tertekan. “Jadi saya pikir bagaimana mereka bisa discovering themselves,” ujarnya. Maka, ia memakai cara dengan memberi inspirasi dan tidak memaksa. “Prinsip saya adalah I don’t have any power to change you, but I can make alternative way untuk membuat kamu tidak menyangka cara saya masuk dan you can discover yourself,” ujarnyaIa mencoba mengajar dengan menyentuh hati, dan itu bisa mengoreksi pikiran yang bersangkutan. Dengan cara itu, yang bersangkutan bisa mengetahui apa yang diinginkannya.
Ken menekankan, tidak semua orang memiliki rekam jejak yang lancar. Setiap orang berbeda dan bisa saja memiliki daya tangkap yang berbeda-beda pula. “Belum tentu seseorang itu dapat langsung mengerti di umur 18 atau 20 tahun. Mungkin dia mengertinya belakangan,” katanya. “Orang itu macam-macam, masak semua harus seperti robot? Apalagi, di Indonesia banyak orang yang bekerja dulu, baru melanjutkan pendidikan. Orang-orang seperti itu tentu masih punya masa depan untuk jenjang karier yang sukses.”
Di mata Roy Sembel, akademisi dan Chairman Capital Price, prestasi Ken membuktikan bahwa orang Indonesia juga memiliki kualitas yang tidak kalah dengan orang-orang dari dunia internasional, bahkan saat ia harus berkompetisi di tempat yang sangat kompetitif, yaitu di Jepang. Adapun dalam pandangan Darmono, pendiri President University, Ken adalah orang yang jeniusmultitalenta dan idealis, juga pendidik yang compassionate dan sangat mencintai Indonesia. Darmono melihat Pemerintah Jepang mau memberi tempat terhormat bagi Ken karena ia menyandang tugas memperbaiki sistem pendidikan di Jepang yang terlalu mementingkan sisi materiil dan melupakan anak-anak berbakat yang terbuang yang perlu disentuh dengan kasih sayang dan perhatian khusus.(*)
Yuyun Manopol & Kristiana Anissa

Bisnis Seksi Sang Inovator Kantong Plastik

http://swa.co.id/2011/03/bisnis-seksi-sang-inovator-kantong-plastik/



Thursday, March 3rd, 2011
oleh : Eddy Dwinanto Iskandar

Sugianto Tandio sukses meluncurkan Oxium, merek kantong plastik ramah lingkungan hasil inovasinya. Hanya butuh setahun merek ini menguasai 90% pasar kantong plastik di segmen modern market seperti Indomaret, Alfamart, Carrefour dan Hypermart. Inilah perjuangan sang inovator.
Meski plastik telah menghidupi keluarga besarnya sejak 1971, Sugianto Tandio (47 tahun) tidak menutup mata terhadap potensi bahaya produk tersebut. “Kekuatan dan keawetan plastik adalah bahayanya,” ujar Presiden Direktur PT Tirta Marta, perusahaan kemasan plastik yang pabriknya berlokasi di Serang, Cikupa, Tangerang itu.
Berangkat dari pemikiran itu, sejak tahun 2000 Sugianto meriset formula yang mampu memperpendek “usia hidup” plastik. Ambisinya tak tanggung-tanggung: dari normalnya 1.000 tahun, lulusan S-1 dan S-2 Teknik Elektro University of North Dakota, Amerika Serikat, ini punya target menguraikan plastik secara alami hanya dalam hitungan tahun.
Setelah 8 tahun meriset, kegigihan mantan perancang sistem laboratorium dan fasilitas produksi di 3M Company AS itu pun berbuah manis. Dua merek kantong plastik inovasinya, Ecoplas (terbuat dari tepung singkong) dan Oxium (ditambah zat aditif pengurai plastik), sukses digelontorkan ke pasar pada 2009.
Dalam waktu singkat, berbagai peritel modern market dan perusahaan lain yang memang tengah mencari plastik ramah lingkungan menyambutnya seperti musafir kehausan yang menemukan oase di tengah gurun. Dan, hanya butuh setahun sejak diluncurkan bagi Oxium untuk menjadi penguasa 90% pasar kantong plastik di segmen modern market. Kliennya mencakup raksasa ritel Indonesia seperti Indomaret, Alfamart, Carrefour dan Hypermart, serta perusahaan lain seperti toko roti dan kue Kartika Sari dan toko farmasi Century. Bahkan tak hanya di dalam negeri, berbagai peritel dan perusahaan di AS pun turut menjadi kliennya seperti Mall of America, supermarket Lake Winds dan Zara.
Sugianto, sang inovator, mengakui sukses besar itu tak lepas dari pengalamannya tinggal di AS selama 10 tahun. Di sana ia melihat, meski masyarakat dan pemerintah AS telah menggalakkan budaya menyortir sampah plastik untuk memudahkan penanganan limbahnya, dan produsen plastik juga telah menerapkan langkah 3R (reduce, reuse, recycle) sejak 50 tahun lalu, strategi itu terlihat kurang efektif. Tetap saja terjadi timbunan sampah plastik di mana-mana di AS.
Hal itu memang disebabkan sifat sampah plastik itu sendiri yang meski organik karena berasal dari minyak bumi, tetapi lantaran ditambahkan zat aditif, keawetannya menjadi luar biasa, bertahan hingga 1 milenium sebelum akhirnya perlahan terurai secara alami. Pengalaman itu lantas disimpan di benaknya meskipun ia kemudian bekerja di 3M yang tidak berhubungan dengan bisnis keluarganya.
Demikian pula ketika dirinya pulang ke Indonesia pada 1994 untuk memimpin perusahaan keluarganya. Menyesuaikan diri dengan tantangan modernisasi manajemen dan upgradingfasilitas produksi perusahaan, ia lebih memilih melakukan benah-benah di perusahaannya. Saat itu Tirta Marta yang berawak 50 karyawan dipimpin dengan model one man show. “Itu luar biasa, karena biasanya seseorang span of control-nya hanya 3-4 orang,” tutur Sugianto kepada SWA di pabriknya, pertengahan Januari lalu. Meski terlihat hebat, kondisi seperti itu menjadi kendala tersendiri dalam pengembangan perusahaan. Sebab, dengan pola tersebut, setiap kali perusahaan ingin berkembang selalu terhambat.
Saat masuk perusahaan keluarga, Sugianto diminta magang terlebih dulu dan mempelajari metode kerja sang pemimpin yang merupakan teman bapak mertuanya. Namun lantaran memiliki visi sendiri, Sugianto pun dengan halus menolaknya. “Bukan apa-apa, waktu saya akan habis untuk operasional dan tidak akan memiliki waktu memikirkan pengembangan perusahaan. Akhirnya, saya minta diberi otoritas untuk menjalankan pabrik seluas 2 hektare di Serang yang baru dibangun pada1996. Perlahan-lahan berbagai order dialihkan ke Serang,” papar ayah dua anak ini.
Dengan manajemen modern yang diperkenalkan Sugianto, proses kerja dan waktu produksi menjadi lebih efisien. Di Serang, ia memang secara bertahap menerapkan pola manajemen modern dengan menempatkan tenaga profesional di bidang pemasaran, purchasing, sumber daya manusia, dan produksi.
Hasilnya sangat nyata. Hingga akhir 1990-an, omset perusahaan melonjak ribuan persen dengan karyawan yang telah berlipat lima menjadi 250 orang. Tantangan pun berganti. Tidak lagi di aspek efisiensi tetapi inovasi demi mempertahankan pasar. Sebagai produsen plastik, inovasinya tentu saja di bidang yang berkaitan dengan plastik.
Sugianto sadar, ia tak akan bisa meriset dengan fokus jika kendali perusahaan sepenuhnya berada di tangannya. Maka, ia menyerahkan urusan operasional perusahaan ke para profesional yang telah disiapkannya. Dari 3M Sugianto mendapatkan bekal ilmu berharga dalam meriset, yakni tak sembarang riset dan temuan bisa dijadikan mesin uang. “Sekitar 90% nomor (temuan) paten di dunia tidak dimanfaatkan,” ungkapnya. Dari 3M pula ia belajar, sejak awal riset harus diperkirakan apakah temuannya bisa dibuat produk jadi, bisa dipasarkan dan diperkirakan juga besar pasarnya. Itulah yang menjadi panduannya. Dan, berkaca dari pengalamannya semasa kuliah di AS, ia mengidentifikasi kebutuhan menemukan plastik yang ramah lingkungan.
Dibentuklah kemudian tim kecil terdiri dari 6 orang yang dipimpinnya sendiri. “Staf peneliti ada yang bergelar sarjana dan ada pula Ph.D.,” ujarnya menyebut kualifikasi pendidikan anggota timnya. Semua penelitian dilakukan di pabrik di Serang, meski untuk pengujian selalu dilakukan di lembaga penelitian milik BPPT, kampus, dan lembaga pengujian lainnya mengingat keterbatasan peralatan di pabriknya.
Begitu fase awal telah mantap dan sasaran ditemukan, Sugianto pun mencari pendanaan karena mahalnya biaya riset. Belakangan, pendanaan didapat dari Aureos Capital, firmaprivate equity yang berbasis di London, Inggris, dan dibiayai CDC Group dan Norfund. Kedua lembaga terakhir masing-masing merupakan lembaga keuangan bentukan Pemerintah Inggris dan Pemerintah Norwegia yang bertujuan membantu perusahaan di negara berkembang yang memiliki misi membantu kelestarian lingkungan.
Dengan dukungan dana jutaan dolar AS dari Aureos, Sugianto melakukan riset. Berkali-kali ia meyakinkan anggota keluarga bahwa misinya adalah jalan masa depan bagi Tirta Marta. “Terkadang ada pertanyaan dari anggota keluarga mengenai kegunaan riset ini, itu wajar. Adalah tugas kita menjelaskan kepentingan riset ini bagi masa depan perusahaan,” katanya.
Akhirnya, setelah 8 tahun berkutat di lab riset di pabriknya di Serang, dengan menggelontorkan puluhan miliar rupiah, inovasinya membuahkan hasil. Dua produk sukses ditetaskan, diberi merek dan siap dipasarkan, yakni Ecoplas dan Oxium. Ecoplas merupakan plastik yang terbuat dari singkong, sementara Oxium adalah zat aditif yang berfungsi mempercepat penguraian plastik dengan bantuan oksidasi, thermal dan fotodegradasi.
Kedua produk itu diuji di berbagai lembaga pengujian di Indonesia seperti Sucofindo dan terbukti mampu mempercepat proses penguraian plastik menjadi dua tahun saja. “Sebenarnya, bisa saja hancur dalam 6 bulan bahkan kurang, tapi kami tentukan waktu dua tahun untuk mengakomodasi perilaku konsumen yang suka mempergunakan kembali plastik bekas,” ungkap Sugianto.
Teknologi pembuatan plastik dari tanaman berkarbohidrat seperti singkong sendiri sudah ada sejak 30 tahun lalu dan kini banyak beredar di Internet. Proses kerja Ecoplas yakni dengan menggunakan starch (tepung) singkong untuk dibuat plastik. “Kami pilih singkong karena merupakan tanaman berkabohidrat termurah. Bandingkan dengan beras, kentang maupun jagung,” kata Sugianto.
Nah, teknologi yang masih langka adalah Oxium yang menggunakan teknologi oxodegradable. Oxium bekerja dengan mencampurkan zat aditif tersebut sebanyak 10% dari total bahan baku pembuatan plastik biasa. Di dunia hanya ada beberapa perusahaan yang menguasai teknologi zat aditif pengurai plastik dalam waktu singkat, yakni EPI dari Kanada, D2W dari Inggris, Willoridge dari AS, dan Symphony.
Begitu produk dan merek rampung, dimulailah pemasaran melalui presentasi ke klien-klien potensial, para peritel modern market. “Karena mereka yang sadar lingkungan, dan begitu mereka menggunakan, pasti yang lain mengikuti,” ujar Sugianto. Betul juga. Begitu satu peritel memakai kantong plastik dengan label Oxium, yang lain mengikuti. Langsung saja produknya menyebar cepat. Hingga kini, nyaris tidak ada modern channel yang tidak memakai plastik Oxium atau Ecoplas. “Di Indonesia, Oxium lebih laku karena harganya lebih murah daripada Ecoplas,” tuturnya.
Mengingat besarnya permintaan dan keinginan melakukan efisiensi, Sugianto pun memasarkan zat aditif Oxium ke-16 pabrik plastik lainnya. “Kami juga tidak ingin mematikan teman-teman pemain lain. Pasarnya besar, pasti kita bisa bekerja sama,” ujarnya. Ia memperkirakan, total produksi kantong plastik Oxium dan Ecoplas yang diproduksi Tirta Marta dan ke-16 mitranya mencapai 3.000 ton/bulan. Adapun jumlah zat aditif Oxium yang diproduksi Tirta Marta mencapai 300 ton/bulan.
Meski ingin membesarkan pasar dengan cepat, Sugianto sangat selektif memilih mitra. Sebab, ia tidak ingin produknya “diakali” mitra yang akhirnya akan menghilangkan kepercayaan konsumen.
Adrian Sudirgo, GM Operasional dan Pemasaran perusahaan plastik PT Intiperdana Bumi Tirta, membenarkan ucapan Sugianto. Tirta Marta, dikatakan Adrian, menerapkan seleksi bagi calon mitranya. Ada beberapa aspek yang dilihat Sugianto dalam memilih mitra. Di antaranya, perusahaan mitra harus kredibel dengan rekam jejak yang jelas serta memiliki akses kemodern channel.
Selain itu, setelah menjadi mitra, diterapkan evaluasi berkala untuk mencegah pelanggaran prosedur kerja. “Setiap beberapa periode, mereka melakukan sampling produk untuk mengecek ketepatan kandungan Oxium,” kata Adrian seraya memaparkan, perusahaannya telah bekerja sama dengan Tirta Marta sejak kuartal III/2009. Adapun klien Intiperdana mencakup Indomaret, Alfamart, Hypermart dan berbagai modern channel lainnya.
Sugianto menjelaskan, salah satu alasan mengapa banyak perusahaan mitra tertarik bekerja sama karena mereka tidak perlu berinvestasi menggunakan mesin-mesin baru. Di luar itu, biaya produksi kantong plastik Oxium tidak terlalu mahal, hanya menambah biaya produksi 5%-10%. Adapun biaya tambahan penggunaan Ecoplas lebih mahal 15%-20% daripada plastik konvensional.
Pada gilirannya, rendahnya biaya investasi ini membuat biaya ekstra yang dibebankan ke konsumen akhir tidak besar, hanya 5%-10% lebih mahal ketimbang plastik konvensional. “Membuat produk akhir yang terjangkau itulah tantangan yang sangat besar dalam meriset,” ungkap Sugianto
Indomaret sebagai salah satu klien pertama Tirta Marta mengaku tidak terkendala dengan harga plastik Oxium yang hanya sedikit lebih mahal ketimbang kantong plastik biasa. Ketika ditanya kemungkinan penggunaan Oxium mengurangi laba Indomaret, Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama, Wiwiek Yusuf, menjawab, “Secara siginifikan rasanya tidak. Bahwa harganya lebih mahal10% dibanding kantong plastik biasa, itu benar,” ujarnya. Dalam sebulan, rata-rata gerai Indomaret memakai kantong plastik 50 kg. Setiap kilo berisi 357 lembar kantong plastik. Dengan jumlah gerai 5.004 pada Januari 2011, Indomaret membutuhkan 250,2 ton kantong plastik/bulan. “Kebutuhan ini akan terus meningkat seiring perkembangan gerai,” kata Wiwiek.
Indomaret memakai kantong plastik Oxium secara bertahap sejak Juli 2009 dan pada September 2009 sudah merata di seluruh gerai. “Tujuannya, menekan jumlah kantong plastik yang telah mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. Program ini merupakan komitmen Indomaret dalam menjaga kelestarian alam dan mendukung program pemerintah dengan dikeluarkannya UU No.18/2008 tentang pengelolaan sampah,” Wiwiek menambahkan.
Sugianto tak berniat jadi jago kandang. Ia ingin hasil inovasi Indonesia dikenal sampai mancanegara. Ia pun sudah roadshow ke berbagai produsen dan peritel AS hingga akhirnya mendapatkan klien-klien seperti Nickelodeon, Mall of America, Zara dan Lake Winds.
Menanggapi mimpi besar Sugianto, Steve Sudjatmiko, pakar manajemen perubahan, menyarankan beberapa langkah bagi Sugianto untuk membesarkan produknya yang notabene adalah produk hijau. “Dia bisa melobi pemerintah agar mewajibkan penggunaan produknya, mendidik anak sekolah, mengedukasi pabrik, menghubungi yayasan-yayasan CSR (corporate social responsibility) untuk meminta dukungan, hingga melakukan seminar ramah lingkungan dengan Al Gore,” kata Direktur SDM PT Dima Indonesia, distributor bir Guinness di Indonesia, itu.
Steve juga menyetujui metode penjualan zat aditif saja tanpa memproduksi produk jadi. “Dengan demikian, Sugianto mendapatkan beberapa keuntungan, yakni mempercepat penetrasi pasar, memasarkan dengan biaya murah, menjual dalam jumlah besar dan memopulerkan brand produknya.”
Bagi Sugianto, langkahnya saat ini merupakan fase awal aplikasi Oxium dan Ecoplas. Selanjutnya, ia siap mengaplikasikan Oxium ke berbagai produk berbasis plastik lainnya. “Rencananya, mulai tahun 2011 ini setiap semester saya meluncurkan produk baru, semua ada waktunya,” ungkap pria kalem yang murah senyum ini.(*)
Riset: Evi