Tuesday, January 24, 2012

TNI and counter-terrorism: Not a good mix






http://www.sr-indonesia.com/this-months-issue/point-of-view/125-tni-and-counter-terrorism-not-a-good-mix




Since 2009, there has been a concerted effort by the Indonesian government to give the country’s Armed Forces, or Tentara Nasional Indonesia (TNI), a larger role in counter-terrorism. This is not a good idea. However logical it may seem on the surface, the TNI is now almost 10 years out of date in understanding the nature of the terrorist threat. It prides itself on operational readiness, but it is readiness to confront a theoretical enemy. Without specialized knowledge of how extremist groups function in Indonesia today, the TNI’s involvement will bring no added value to the fight against terrorism: it is more likely to bring confusion, competition and duplication of effort.


Three developments have spurred the recent push for a TNI role, in addition to long-standing military resentment over access by the police to the flood of counter-terrorism funding that became available after the September 11 terrorist attacks. 


The first was the discovery of a plot to kill President Susilo Bambang Yudhoyono by the same men who carried out the July 2009 bombings of the Ritz-Carlton and JW Marriott hotels in Jakarta. Suddenly, the perception of terrorism shifted from a crime aimed at foreigners or local Christians to a major threat against state security, and the president himself wanted all hands on deck. 


Second was the debacle in Temanggung, Solo, Central Java province in August 2009 when hundreds of police were deployed against a lone suspect hiding in a farmhouse who was believed to be the region’s most wanted terrorist, Noordin M Top. After a 17-hour siege broadcast live on Indonesian television and the firing of thousands of rounds of ammunition in haphazard shooting at the house, the man in question was brought out dead – and turned out to be a terrorist involved in the hotel bombings, but not Noordin. The military’s contempt was palpable. One TNI officer said disparagingly: “We could have done it with six men and a dog – and brought him out alive.” The Temanggung siege was not the police’s finest hour, and more than any other incident, it reinforced a conviction among many in the military that they could do better.

Sidney Jones is a Senior Adviser at the International Crisis Group in Jakarta.

Monday, January 23, 2012

Jusman Dalle: Kepemimpinan Sulukiyah untuk Kesejahteraan

http://www.sindonews.com/read/2012/01/20/58/560446/kepemimpinan-sulukiyah-untuk-kesejahteraan

Di Indonesia, kritik banyak disemburkan dari apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai general opposition. Yaitu kelompok oposisi yang berada di luar mainstream politik praktis. Mulai dari media massa yang merepsentasi pandangan atau kepentingan pemilik, LSM, mahasiswa, cerdik cendikia hingga tokoh agama atau ulama.

Pada tahun–tahun yang lalu Presiden SBY diserang  kritik melalui pendekatan propagandis name calling. Frase lamban, senang curhat, musisi (karena meluncurkan album), dan berbagai semat-semat negatif lainnya, menjadi kosa kata perlawanan mereka. Kini muncul istilah baru yang seolah mengakumulasi semua “dosa-dosa” kepemimpinan Presiden SBY. Istilah baru tersebut adalah “negeri autopilot”.

Negeri Autopilot


Istilah ini menjadi populer seiring bertebarannya sejumlah spanduk pada tempat-tempat strategis di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan membedah tema “negeri autopilot” tersebut secara live dengan dihadiri berbagai komponen bangsa. Autopilot, menjadi penanda gerbang tahun politik. Menabuh intro politik tahun 2012. 

Meminjam analisis Efendi Ghazali, pakar komunikasi politik UI, bahwa salah satu pesan mendalam yang ingin disampaikan yang empunya spanduk tersebut adalah bahwa pemerintah saat ini tak lagi dirasakan keberadaannya oleh rakyat. Negara bergerak secara otomatis tanpa navigator, sebagaimana definisi terminologis autopilot. Secara ekstrim, bahkan ada yang mengatakan bahwa tanpa SBY-Boediono rakyat juga bisa makan. Artinya, rakyat tak lagi butuh pemerintah. Keberadaan negara dan pemimpinnya sering kali justru menjadi momok, sebagaimana kejadian di Bima, Mesuji dan Papua. 

Masih dalam konteks tematis tentang krisis kepemimpinan,  menarik kita cermati adalah mulai maraknya “kampanye” sejumlah tokoh partai politik yang bisa kita baca arahnya sebagai upaya memperkuat penokohan menuju pilpres 2014. Berupaya merebut empaty rakyat dengan pencitraan. 
Kehadiran mereka melalui sejumlah iklan, menjadi preposisi pesta demokrasi lima tahunan. Seperti ingin menjawab krisis kepemimpinan yang terjadi.

Namun, hampir semua tokoh yang dielu-elukan tersebut berasal dari kalangan  partai politik dan merupakan stock lama. Sebutlah misalnya Abu Rizal Bakrie, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Wiranto dan Hatta Rajasa.

Akan tetapi, di luar “stock lama” yang tawarkan parpol tersebut, ada juga tokoh yang namanya santer dikaitkan dengan pilpres 2014 dan ia berasal dari luar parpol (non partisan). Dialah Dahlan Iskan (sekarang lebih populer diakronikman dengan DIS). Berbeda dengan tokoh dari parpol yang memang sengaja menyosialisasikan dirinya dengan berbagai perangkat propaganda, termasuk melalui struktur kekuatannya pada parpol, perusahaan atau lembaga lain yang sepatron, nama DIS justru lahir dari dorongan publik. 

Bahkan, beberapa parpol juga turut mengapresasi munculnya nama DIS. Namun menurut penulis, dukungan parpol tersebut tidak lepas dari aksi profit taking (ambil untung) dari daya magnetis tokoh DIS, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) KIB Jilid II hasil reshuffle kabinet 2011.
DIS menarik perhatian publik karena berbagai alasan. Diantaranya, prestasi DIS selama memimpin PLN dan gebrakannya ketika menduduki jabatan Menteri BUMN. Tapi lebih dari itu, jika kita flash back menjejaki rekam politik Indonesia pasca reformasi,  setidaknya ada tiga alasan kuat yang sebenarnya menjadi stimulan mengapa tokoh independen lebih diterima oleh publik. 

Pertama, demokrasi pascareformasi terjebak dalam demokrasi prosedural yang berbiaya tinggi. Akibatnya (kedua), yang muncul adalah pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki integritas. Yaitu pemimpin yang dilahirkan dari rongga-rongga kapital. Pola ini, menjebak demokrasi terbungkam oleh katel ekonomi politik. 

Akhirnya (ketiga), radius korupsi meluas dari sentrumnya. Hasrat berkuasa memaksa mereka menghalalkan segala cara. Termasuk menggerogoti uang negara demi mengepulkan mesin politik. Apatah lagi dengan otonomi daerah, maka korupsi menggurita, jika pada masa Orde Baru korupsi hanya terpusat di Jakarta, kini korupsi  hingga ke daerah-daerah. Salah satu faktanya, Kementrian Dalam Negeri melansir, sejak 2004 ada 155 kepala daerah yang tersangkut korupsi. 

Oleh karenanya, dengan pola rekrutmen dan regenerasi kepemimpinan berintegritas, maka  kultur demokrasi Indonesia bisa direkonstruksi. Penulis haqqul yaqin bahwa ongkos politik menjadi lebih murah. Mereka yang bermental korup dan tak memiliki integritas, tak lagi tertarik terjun ke dunia politik karena “tidak laku”.

Kepemimpinan Sufistik


Seperti ditulis oleh John Adair (2010), mengutip dari penyair Inggris William Words Worth di dalam Happy Warrior, pemimpin berintegritas adalah “Who comprehends his trust, and to the same. Keef faithfull with singleness of aim. And therefore does not stop, nor lie in wait. For wealth or honour, or for wordly state.” Yang berarti “yang memahamai kepercayaan, dan karenanya, menjaga kesetiaan dengan satu tujuan. Sehingga tidak berhenti apa lagi menanti kekayaan atau kehormatan atau menikmati duniawi”. Artinya bahwa kepemimpinan berintegritas menjadi transformasi nilai-nilai yang transenden. 

Di dalam tradisi sufistik, dikenal istilah sulukiyah. Mengutip dari Aprinus Salam (2004), suluk berasal dari kata salaka yang berarti menempuh, melalui atau cara. Sedangkan secara termin, sulukiyah berarti jalan yang ditempuh menuju Sang Maha Pencipta. Artinya bahwa sulukiyah mewujud transformasi sikap mental spiritual menuju titik terdekat dengan Allah SWT melalui proses taqarrub. Baik dimediasi oleh amal individu maupun oleh amal sosial.

Dalam konteks kepemimpinan, maka menjaga amanah tersebut merupakan bagian dari upaya taqarrub kepada Allah SWT. Jika dikawinkan dengan manajemen modern, model ini adalah antitesa pseudo leadership atau kepemimpinan kamuflase, yang oleh pakar manajemen John Maxwell, ia sederhanakan melalui ungkapan Donna Harrison. Yaitu berusaha keras mencapai tingkat pencapaian yang lebih tinggi demi mewujudkan visi kepemimpinan untuk publik. Bergerak memintal potensi integritas dari satu ruang kepemimpinan tersebut.

Dengan hadirnya kepemimpinan yang mengambil lajur sulukiyah ini, maka korupsi yang banyak berakar dari perilaku politik, akan tereduksi perlahan sehingga berimplikasi positif bagi peningkatan ekonomi rakyat. Kebocoran anggaran negara yang selama ini dirampok oleh mafia anggaran, bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Alokasi bagi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat pun lebih optimal. Inilah korelasi antara kepemimpinan yang berpusat pada energi sulukiyah dengan kesejahteraan rakyat. Yang pasti, kepemimpinan sulukiyah akan mengeliminasi stigma negeri autopilot.


Jusman Dalle
• Analis Ekonomi-Politik pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universita Muslim Indonesia (UMI) Makassar
• Penulis Opini dan Essay di Koran Nasional

Monday, January 09, 2012

Apa Maumu, Arab?

http://analisis.vivanews.com/news/read/278409-apa-maumu--arab-
MANSOUR MOADDEL



Perubahan terjadi di ranah politik sekuler serta melemahnya dukungan kepada hukum Islam

SENIN, 9 JANUARI 2012, 11:14 WIB

VIVAnews – Seorang pedagang kaki lima bernama Muhammad Bouazizi di jalanan Tunisia membakar dirinya tahun lalu. Aksi itu membangkitkan gelombang demonstrasi yang menggulung dunia Arab dan menjungkalkan para diktator termasyhur di Mesir, Libya, dan Yaman dari tampuk pemerintahan. Kini, hal yang sama mengintip Suriah. Presiden Bashar al-Assad agaknya kian dekat dengan akhir kekuasaannya. 
Dunia menamai gerakan protes yang timbul secara hampir bersamaan itu sebagai Kebangkitan Bangsa Arab. Namun, sesungguhnya apa nilai-nilai yang mendorong munculnya gerakan itu? Jenis perubahan macam apa yang mereka inginkan? Serangkaian survei yang dilakukan pada pertengahan tahun lalu menunjukkan adanya perbedaan pendapat di antara masyarakat.
Melalui survei itu, terkuak hal bahwa 84% dari warga Mesir dan 66% penduduk Libanon memilih demokrasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari Kebangkitan Bangsa Arab. Di kedua negara itu, hanya sekitar 9% belaka yang percaya bahwa unjuk rasa besar-besaran itu diarahkan demi membentuk pemerintahan Syariat Islam. 
Di Mesir, Irak, serta Arab Saudi, Kebangkitan Bangsa Arab mencerminkan adanya pergeseran pemikiran yang menonjol di antara masyarakat mengenai hal-ihwal identitas nasional. Pada tahun 2001, hanya sekitar 8% penduduk Mesir saja yang menganggap diri mereka ‘orang Mesir,’ sementara 81% lain lebih merasa sebagai Muslim. Cara pandang yang sama masih bertahan hingga 2007. 
Pasca Kebangkitan itu, jumlah itu berubah drastis. Mereka yang merasa sebagai ‘orang Mesir’ meningkat menjadi 50%, 2% lebih banyak dari jumlah masyarakat yang mengukuhkan identitas sebagai Muslim. Sementara itu, di Irak, jumlah warga yang merasa diri sebagai ‘orang Irak’ meningkat pesat. Pada tahun 2004, jumlah mereka hanya sekitar 23%. Pada tahun 2011, persentase itu menjadi 46%. Di lain pihak, mereka yang mendefinisikan diri sebagai Muslim turun dari 75% menjadi 44%. 
Perubahan juga terjadi di ranah politik sekuler serta melemahnya dukungan kepada hukum Islam. Di antara penduduk Irak, persentase masyarakat yang percaya bahwa Irak akan menjadi lebih baik jika politik dipisahkan dari agama meningkat sekitar 20%: pada 2004, jumlahnya 50%; sementara di 2011, angka itu menjadi 70%. Mesir dan Arab Saudi tak merekam data yang sama. 
Namun, di kedua negara itu, dukungan bagi penyelenggaraan hukum Islam menurun drastis. Di Mesir, masyarakat yang menganggap bahwa pelaksanaan hukum Islam adalah “sangat penting” persentasenya jatuh dari 48% di 2001 menjadi 28% di 2011. Bagi penduduk Arab Saudi, persentasi yang sama turun daru 69% di 2003 menjadi 31% pada tahun 2011. 
Lantas, sebuah analisis survei atas 3.500 warga Mesir dewasa yang mewakili negeri itu, berkaitan dengan gerakan anti-Mubarak, menunjukkan bahwa kebanyakan peserta survey adalah pemuda dengan status sosial dan ekonomi yang tinggi, pengguna Internet, pembaca koran, penduduk kota, serta percaya dengan nilai-nilai modernitas serta mengagungkan kebebasan. 
Mereka tak memiliki masalah jika yang menjadi tetangganya adalah orang Amerika, Inggris, atau Perancis. Relijiusitas tak menjamin partisipasi, sementara ketakrukunan antar umat beragama mengurangi partisipasi.  
Angka itu sepertinya bertentangan dengan hasil pemilihan wakil rakyat yang dilangsungkan barusan. Dalam pemilihan itu, Persaudaraan Muslim (Muslim Brothers) serta para fundamentalis Salafi bersama-sama mendulang 65% suara. Benar bahwa agama masih merupakan faktor penting bagi para pemilih. 66% dari responden “amat sepakat” atau “sepakat” bahwa orang saleh diharapkan menjadi pejabat public. 
Sementara itu, 57% dari responden percaya bahwa penerapan hukum Islam merupakan “hal teramat penting” atau “penting.” Tetap saja, nasionalisme mengalahkan agama. Sebanyak 78% sepakat bahwa mereka yang memiliki komitmen nasional lebih difavoritkan sebagai pejabat publik daripada kaum yang memegang teguh prinsip-prinsip agama.
Bagaimana kiranya menjelaskan ketakselarasan yang mendera data survei serta hasil pemilihan di Mesir? Pertama, para fundamentalis diuntungkan oleh organisasi kepolitikan serta aktivisme lain yang telah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Karena itu, mereka lebih mudah menggerakkan para pendukungnya. 
Sementara itu, kaum liberal, yang memimpin gerakan protes melawan rezim yang berkuasa, tak memiliki organisasi yang sifatnya nasional. Mereka juga tak memiliki banyak waktu untuk menerjemahkan modal politik yang baru saja digenggam pada pemilihan lalu. 
Kedua, kaum liberal tak punya kecakapan mengalokasikan prioritas. Alih-alih mengampanyekan agenda mereka kepada bangsa Mesir, mereka malah memilih musuh yang salah. Waktu yang teramat berharga dihabiskan untuk berhadapan dengan tentara.
Pada akhirnya, hasil pemilihan memang tak terlampau buruk. Liberalisme selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi target serangan dari para ekstremis dan lembaga keagamaan. Sementara itu, banyak organisasi liberal dikekang oleh penguasa bertangan besi. 
Jika saja rezim Mubarak tumbang di bawah panji Islam, para Muslim fundamentalis pasti akan berada pada posisi lebih menguntungkan untuk mengajukan klaim atas revolusi Mesir serta masa depan negeri itu. 
Tapi, kenyataannya, kaum liberal mendorong jatuhnya sang despot. Hal ini, tentunya, memberikan legitimasi bagi kaum liberalis serta menumbuhkan perasaan kebangsaan yang kuat di antara penduduk Mesir. Hasilnya, dukungan bagi hukum Islam menyusut dan identitas nasional melesat kian popular. 
Sejauh wacana politik difokuskan kepada pembangunan-ulang bangsa serta kemerdekaan, para fundamentalis Islam di Mesir serta di mana pun di dunia akan menghadapi pertempuran yang sulit. 
Mansour Moaddel adalah Professor Sosiologi di Eastern Michigan University. Artikel ini diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org

Saturday, January 07, 2012

Kode nomor polisi

http://id.wikipedia.org/wiki/Tanda_nomor_kendaraan_bermotor


Kode wilayah pendaftaran kendaraan bermotor ditetapkan oleh Peraturan Kapolri Nomor Polisi 4 Tahun 2006



Sumatera


Jawa


DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat

Jawa Tengah dan DI Yogyakarta

Jawa Timur


Bali dan Nusa Tenggara


Kalimantan


Sulawesi


Maluku dan Papua


Presiden dan pejabat pemerintahan pusat

Mobil dinas pejabat negara memiliki plat nomor khusus. Jika pada saat pejabat tersebut bertugas ke wilayah di luar ibukota RI atau kunjungan dinas ke luar negeri, maka plat nomor tersebut akan dipasangkan pada mobil yang dinaiki oleh pejabat bersangkutan.
Berikut adalah daftar nomor polisi untuk kenderaan pejabat penting di Indonesia:
Catatan: Nomor kendaraan Pejabat Negara / Menteri sering berganti, hal ini disesuaikan dengan jumlah anggota Kabinet. Misalnya pada Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-2014) Jabatan Sekretaris Kabinet bukan setingkat menteri, sehingga Nomor Kendaraan untuk beberapa menteri berubah. Sebagai contoh saat ini Kepala BIN menggunakan RI 49.

Korps diplomatik dan konsuler

Mobil milik korps diplomatik (Kedutaan besar maupun organisasi internasional) memiliki kode khusus, yakni CD (singkatan dari Corps Diplomatique) atau CC (singkatan dari Corps Consulaire), diikuti dengan angka. Untuk mendapatkan STNK dan BPKB, haruslah mendapatkan rekomendasi dari Departemen Luar Negeri. Kendaraan dengan nomor polisi ini secara sah sudah berada di luar teritori (extrateritorial) hukum dan regulasi Republik Indonesia.
Berikut adalah daftar nomor polisi untuk korps diplomatik di Indonesia: