Sunday, August 20, 2017

Evolusi

Mengenang 200 Tahun Charles Darwin

http://travel.kompas.com/read/2009/02/11/04010511/~Sains~Biologi
Kompas.com - 11/02/2009, 04:01 WIB
Oleh NINOK LEKSONO

"Darwin melengkapi Revolusi Copernicus dengan memperkenalkan pemahaman alam sebagai sistem materi yang bergerak mengikuti kaidah hukum yang bisa dijelaskan oleh nalar manusia tanpa berpaling ke lembaga supernatural." (Francisco J Ayala, pakar biologi evolusioner University of California, Irvine, 2007)

Esok, Kamis, 12 Februari 2009, dunia memperingati 200 tahun Charles Robert Darwin. Sejak akhir tahun lalu, pelbagai penerbitan ilmiah menurunkan laporan mengenai ilmuwan Inggris yang telah mengubah cara pandang manusia tentang jagat natural ini. Berbagai universitas dan badan penelitian juga menyelenggarakan seminar dan pameran untuk menghormati tokoh besar ini.

Peletak dasar teori evolusi ini lahir di Shrewsbury, Shropshire, Inggris, dari satu keluarga kaya tahun 1809. Kakek dari ayahnya, Erasmus Darwin, adalah salah seorang intelektual terkemuka Inggris pada abad ke-18. Semula Darwin ingin belajar kedokteran dan masuk ke Universitas Edinburgh, tapi kemudian minatnya beralih ke teologi dan belajar di Cambridge.

Sosok dan pandangannya pun berubah setelah ia mengikuti ekspedisi ilmiah selama 5 tahun dengan kapal HMS Beagle yang meninggalkan Inggris tahun 1831. Saat itu, sebagian besar orang Eropa masih berpikiran bahwa dunia diciptakan Tuhan dalam tujuh hari.

Sebagaimana dikutip dalam Historic Figures BBC, dalam perjalanan Darwin membaca buku Prinsip-prinsip Geologi karya Charles Lyell yang menyarankan bahwa fosil yang ditemukan di bebatuan sebenarnya adalah binatang yang hidup ribuan, bahkan jutaan, tahun silam. Argumen Lyell ini tertanam, bahkan diperkuat, dalam pikiran Darwin melalui berbagai kehidupan satwa dan fitur geologi yang ia lihat sepanjang perjalanan.

Darwin mendapatkan pencerahan besar setelah mengunjungi Kepulauan Galapagos, sekitar 800 kilometer sebelah barat Amerika Selatan. Di sana, antara lain, ia mengamati bahwa setiap pulau mendukung berkembangnya burung finch (sejenis kutilang) yang khas untuk pulau itu. Burung-burung dari berbagai pulau di sana tampak mirip, tapi juga berbeda dalam banyak hal.

Teori evolusi

Sekembali ke Inggris tahun 1836, Darwin berusaha memecahkan teka-teki atas apa yang ia amati, juga yang menyangkut pertanyaan bagaimana spesies berevolusi. Dengan berbekal pemikiran Malthus, Darwin mengusulkan teori evolusi yang terjadi dengan proses seleksi alam. Hewan–atau tumbuhan–yang paling bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya paling besar peluangnya untuk bertahan hidup dan bereproduksi, sambil meneruskan karakteristik yang membantunya bertahan ke keturunannya.

Darwin mengerjakan teorinya itu selama 20 tahun. Di tengah jalan ia mendapat informasi bahwa naturalis Inggris lainnya, Alfred Russel Wallace, juga sampai pada ide yang sama. Kedua ilmuwan Inggris itu pun lalu menggelar pengumuman bersama mengenai penemuan mereka pada tahun 1858. Darwin sendiri, pada tahun 1859, menerbitkan mahakaryanya yang sangat masyhur, On the Origin of Species by Means of Natural Selection (Tentang Asal-usul Spesies Melalui Seleksi Alam).

Dari studinya, Darwin menyimpulkan bahwa 1) evolusi terjadi di alam; 2) perubahan evolusioner terjadi secara perlahan-lahan (gradual) dalam tempo ribuan sampai jutaan tahun; 3) mekanisme utama dalam terjadinya evolusi adalah satu proses yang disebut seleksi alam; dan 4) jutaan spesies yang hidup dewasa ini berasal dari satu bentuk kehidupan asli tunggal melalui proses pencabangan yang dikenal dengan nama spesiasi (speciation) (Lucidcafe Library).

Buku itu di satu sisi demikian masyhur, tapi pada sisi lain juga menjadi sangat kontroversial. Ini karena kelanjutan logis Teori Darwin adalah bahwa manusia (Homo sapiens) hanyalah wujud lain hewan. Melalui teori itu lalu jadi tidak mustahil bahwa manusia telah mengalami evolusi–mungkin dari kera–dan dengan itu menghancurkan keyakinan yang diajarkan agama tentang asal-usul penciptaan. Darwin diserang dengan dahsyat.

Namun, apa yang dicetuskan Darwin tak lama kemudian juga mendapat banyak dukungan dan malah kemudian menjadi ortodoksi baru.

Darwin wafat tanggal 19 April 1882 dan dimakamkan di Westminster Abbey, London, bersama dengan ilmuwan Inggris terkemuka lain, seperti Sir Isaac Newton.

Perkembangan mutakhir

Seiring dengan peringatan dua abad Darwin, diakui bahwa teori evolusi sendiri sudah bertahan selama 150 tahun di tengah berbagai kritik dan kecaman. Pada sisi lain, wacana tentang evolusi sendiri kini telah jauh melebar dan berubah seiring dengan makin luasnya campur tangan ilmu genetika. Adapun ilmu biologi evolusi sendiri hingga kini masih harus bergulat menjawab pertanyaan yang dulu juga sudah menyibukkan Darwin: Jadi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan spesies?

Kini, para ahli biologi juga sedang mencari hasil eksperimen yang bisa menjelaskan bagaimana seleksi alam berlangsung pada level molekuler–dan bagaimana hal itu memengaruhi perkembangan spesies-spesies baru (Scientific American, 12/2008).

Pada sisi lain, biolog evolusioner seperti Peter Grant dan Rosemary Grant dari Universitas Princeton yang mempelajari 20.000 burung kutilang di Galapagos menemukan bahwa sekali waktu, evolusi juga bisa berlangsung bak letupan, dengan jangka waktu beberapa tahun saja, tidak ribuan atau jutaan tahun. Ini bertentangan dengan pemahaman Darwin mengenai evolusi yang berlangsung secara lambat. Pasangan Grant yang beruntung bisa menyaksikan evolusi ”in action” juga berhasil menuturkan secara runut waktu (chronicle) apa yang diduga merupakan spesies baru yang sedang dalam proses muncul, seperti yang tampak dari pengamatan katak Eleutherodactylus dari Amerika Tengah dan Selatan serta Karibia.

Diakui bahwa pemikiran awal mengenai evolusi–bahkan ide bahwa hanya yang paling tangguh yang akan bertahan–sudah ada sejak zaman kuno, lebih awal dari Socrates. Spekulasi mengenai bagaimana kehidupan berevolusi juga bermunculan pada abad ke-18. Namun, apa yang dicetuskan Darwin-lah yang bisa bertahan dari ujian ilmiah pada abad ke-19 dan sesudahnya.

Kini, penyelidik modern yang dilengkapi dengan kamera canggih, komputer, dan alat pemeriksa DNA menghasilkan temuan yang tetap mendukung karya Darwin. Karya Darwin dipandang tetap memiliki relevansi dengan sains dasar dan tujuan praktis–mulai dari bioteknologi hingga ilmu forensik–dan karena itu pula hari lahir Sang Naturalis besar ini, yang bertepatan dengan 150 tahun kelahiran karya agungnya, lalu dirayakan di seluruh dunia.

Teori Darwin dewasa ini menjadi satu pilar dasar sains modern, berjajar di samping relativitas dan mekanika kuantum. Seperti halnya Copernicus yang menggeser Bumi dari pusat semesta, semesta Darwin menggeser manusia sebagai episenter jagat alam. Seleksi alam bertanggung jawab atas lahirnya apa yang disebut Ayala ”desain tanpa desainer”, istilah yang mematahkan upaya keras yang kini masih dilakukan oleh sejumlah teolog untuk menjatuhkan teori evolusi.

Tanda Kehidupan Tertua Buktikan Prediksi Charles Darwin

http://sains.kompas.com/read/2017/05/11/18070031/tanda.kehidupan.tertua.buktikan.prediksi.charles.darwin
Kompas.com - 11/05/2017, 18:07 WIB
SHIERINE WANGSA WIBAWA

Gelembung yang ditemukan para peneliti pada batu berusia 3,48 miliar tahun.

Dalam suratnya kepada Joseph Hooker pada tahun 1871, Charles Darwin pernah mengusulkan bahwa kehidupan bermula dari sebuah kolam kecil yang hangat.

“Tapi kalau (dan kalau yang sangat besar) kita dapat membayangkan (bahwa ) dalam sebuah kolam kecil yang hangat, dengan semua jenis ammonia, garam fosfat, cahaya, panas, listrik, dan lain-lain; sebuah senyawa protein terbentuk secara kimia dan siap untuk memulai perubahan yang lebih kompleks...,” tulisnya.

Tampaknya prediksi Darwin memang benar. Sekelompok peneliti baru saja menemukan tanda-tanda kehidupan tertua pada batu sisa mata air panas yang berusia 3,48 miliar tahun, mengalahkan penemuan sebelumnya yang memperkirakan bahwa kehidupan baru dimulai sekitar 2,7 hingga 2,9 miliar tahun yang lalu.

“Penemuan kami tidak hanya menggeser sejarah kehidupan yang hidup di mata air panas menjadi tiga miliar tahun, mereka menunjukkan bahwa kehidupan telah dimulai di daratan lebih awal dari yang dikira,” kata anggota tim peneliti, Tara Djokic dari University of New South Wales (UNSW), Australia.

Dia melanjutkan, penemuan ini juga bisa menjadi bukti bahwa kehidupan dimulai dari mata air tawar panas yang berada di daratan, bukan di lautan lalu beradaptasi ke daratan seperti yang didiskusikan sebelumnya.

Bukti tersebut ditemukan oleh para peneliti ketika sedang menganalisa sisa bebatuan dari Formasi Dresser di Pilbara Craton, Australia Barat.

Sebelumnya, bebatuan dari Formasi Dresser diidentifikasi seagai sisa lingkungan kelautan yang telah hilang, tetapi studi terbaru ini menunjukkan bahwa Formasi Dresser mengandung tanda-tanda daratan, yaitu sebuah mineral yang disebut geyserite. Mineral ini hanya ditemukan di lingkungan sekitar mata air panas daratan dan geiser.

Selain itu, para peneliti juga menemukan sekelompok ciri khas biologis baru pada bebatuan, yaitu dua tipe stromalit (lapisan sendimen yang dibentuk oleh koloni bakteri air kuno), tekstur mikroba berbentuk palisade, dan gelembung-gelembung yang mungkin terperangkap dalam zat lengket buatan organisme mikroskopis.

Berdasarkan bukti-bukti kehidupan tersebut, para peneliti menduga bahwa pada masa lalu, Formasi Dresser adalah kawah volkano dengan kolam air panas yang kaya mineral. Kondisi yang hangat ini sangat pas untuk menciptakan bentuk kehidupan primitif.

“Penemuan ini menunjukkan bahwa bermacam-macam jenis kehidupan pernah hidup di air tawar dan daratan ketika Bumi masih muda,” kata anggota tim lainnya, Martin Van Kranendonk yang juga dari UNSW.

Selain membuktikan bahwa kehidupan dimulai di mata air tawar, penemuan tersebut juga membuka peluang untuk menemukan tanda-tanda kehidupan di planet lain seperti Mars yang juga terbukti memiliki mata air panas di masa lalu.

“Bebatuan Pilbara memiliki usia yang sama dengan kerak Mars. Oleh karena itu, sisa bebatuan dari mata air di planet merah tersebut juga bisa menjadi target yang menarik untuk mencari fosil kehidupan,” tambah Van Kranendonk.


Jengah Tenar, Wallace Biarkan Darwin Publikasikan Teori Evolusi

http://sains.kompas.com/read/2017/07/25/080700323/jengah-tenar-wallace-biarkan-darwin-publikasikan-teori-evolusi
Kompas.com - 25/07/2017, 08:07 WIB
MONIKA NOVENA

Alfred Russel Wallace
Alfred Russel Wallace(London Stereoscopic & Photographic Company/Borderland Magazine)

Nama Charles Darwin akan selalu dikenal sebagai penemu teori evolusi. Sementara rekannya, Affred Russel Wallace, orang yang justru pertama kali menciptakan istilah 'origin of species' atau asal usul spesies, tak banyak dikenang.

Namun, baru-baru ini surat-surat Wallace mengungkapkan fakta baru mengapa dia memilih untuk menjadi orang kedua dari lahirnya teori evolusi.

Surat dengan tulisan tangan ini mengungkap bagaimana ahli biologi Inggris ini tidak suka dengan publisitas dan lelah dengan penghargaan sepanjang hidupnya. Bukti ini sekaligus meruntuhkan spekulasi sebelumnya yang menyebutkan jika Darwin telah mencurangi Wallace.

Dalam surat kepada redakturnya, James Marchant, Wallace mengeluh jika ia lelah dengan puluhan medali-medali yang disematkan sepanjang hidupnya. Surat lain juga mengungkapkan bagaimana Wallace menolak untuk dilukis oleh John Collier, pelukis yang juga bertanggung jawab untuk melukis wajah Charles Darwin.

"Saya pikir mungkin saya terlalu tiba-tiba dalam menolak dan mungkin Collier merasa terluka," tulis Wallace dalam surat tersebut.

Surat-surat tersebut merupakan koleksi pribadi yang didalamnya terdapat juga tulisan tangan rancangan sebuah buku berjudul "Darwin and Wallace". Buku tersebut sudah dikerjakan olehnya, tetapi belum terselesaikan hingga akhirnya kematian menjemput Wallace pada tahun 1913.

Dalam draft tersebut, Wallace menjelaskan bagaimana dia dan Darwin sama-sama berkontribusi dalam teori evolusi.

Masih ada juga surat Wallace yang ditujukan kepada temannya. Saat itu Wallace dianugerahi Order of Merit, salah satu penghargaan tertinggi yang bisa diberikan kepada seorang warga sipil.
Namun, dalam sepucuk surat kepada temannya itu Wallace menolak undangan untuk menerima hadiah di Istana Buckingham karena dia tidak ingin membeli baju baru untuk acara tersebut.
Sebagai gantinya, Raja harus mengirim seorang petinggi ke rumah Wallace di Dorset untuk memberikan medali itu.

Selain surat Wallace, terdapat juga surat dari anak laki-lakinya, William, beberapa saat sebelum kematian Wallece. Dalam surat tersebut, William menolak tawaran agar Wallace dimakamkan di Westminster Abbey.

"Baik ibu juga ayahku sendiri tidak menginginkannya," tulis William Wallace.
"Kita semua menolak publisitas dan upacara yang tidak perlu," katanya lagi.
Dr George Beccaloni, direktur Alfred Russel Wallace Correspondence Project menyebut surat-surat Wallace sebagai hal yang mengagumkan.

Surat-surat itu menunjukkan sudut pandang dari Wallace, menunjukkan bahwa Wallace tidak banyak mempublikasikan diri. Dia melewatkan kesempatan publisitas yang sangat bagus," katanya seperti dikutip dari Guardian, Jumat (14/7/2017).

Selama beberapa tahun terakhir memang telah terjadi peningkatan minat terhadap Wallace. Museum Sejarah Alam sendiri telah mengembalikan potretnya ke aula utama museum dan beberapa dokumenter menyoroti kontribusi besarnya.

Namun, tampaknya Wallace sendiri juga tak akan peduli atas upaya untuk mengembalikan namanya ke tempat yang benar dalam sejarah.

"Saya pikir dia acuh tak acuh. Seperti setiap kali ia menerima medali penting di Inggris, dia justru jengkel karenanya," kata Beccaloni.

Wallace awalnya menulis surat kepada Darwin dari pulau Halmahera di Indonesia untuk berbagi gagasan revolusionernya. Darwin, yang telah mengembangkan teori evolusinya sendiri selama lebih dari satu dekade, diminta untuk mengatur kedua versi agar bisa dibaca oleh anggota Linnean Society pada tahun 1858.

Misteri Hewan yang Bikin Charles Darwin Bingung Kini Terpecahkan

http://sains.kompas.com/read/2017/07/03/171253423/misteri.hewan.yang.bikin.charles.darwin.bingung.kini.terpecahkan
Kompas.com - 03/07/2017, 17:12 WIB
LUTFY MAIRIZAL PUTRA

Macrauchenia patachonica( REUTERS/Peter Schouten/Handout)

Seperti umumnya manusia, Charles Darwin, bapakevolusi, juga pernah bingung.

Satu hal yang pernah membingungkannya adalah hewan aneh yang ditemuinya di Amerika Selatan tahun 1834.

Hidung hewan itu terletak tepat di antara kedua mata, seperti belalai gajah. Lehernya panjang dan bobotnya setara kuda.

Macrauchenia patachonica, spesies hewan yang secara taksonomi penuh teka-teki itu, sempat dikira Ilama raksasa.

Ilmuwan dari University of Postdam di Jerman dan American Museum of Natural History melakukan analisis DNA mitokondira hewan itu. Sampel DNA diambil dari fosil yang ditemukan di Chile.
Hasil anasis DNA menunjukkan bahwa M patachonica adalah kerabat jauh dari kuda, badak, dan tapir. Jadi bisa dibilang, M patachonicaadalah tiga hewan itu sekaligus.

"Kami berhasil, untuk pertama kalinya menggunakan bukti DNA, menempatkan mamalia yang sangat aneh dalam konteks evolusioner yang tepat," Ross MacPhee, kurator Museum Sejarah Alam Amerika yang terlibat riset.

M patachonica masuk dalam kelompok Perissodactyla. Garis keturunan hewan perissodactyl modern, mencakup zebra dan badak, terbelah sekitar 66 juta tahun yang lalu, sekitar masa kepunahan dinosaurus.

Dalam mempelajari DNA purba, para ilmuwan biasanya mengandalkan bahan genetik dari evolusi famili yang dekat dengan spesies.

Namun, karena M patachonica tidak memiliki kerabat dekat, para ilmuwan harus menemukan cara lain untuk merekonstruksi susunan genetik.

Para ilmuwan menggunakan DNA sejumlah spesies hidup sebagai titik referensi dan akhirnya menemukan sekitar 80 persen genom mitokondria M patachonica.

Sebetulnya, riset M patachonica telah dilakukan mulai tahun 2015. Ilmuwan menganalisis protein dari tulang Marcrauchenia dan Toxodon, makhluk aneh lain pada zaman itu.

Hasil riset terbaru kali ini melengkapi studi sebelumnya, memberi terang pada proses evolusi M patachonica walaupun belum bisa menerangkan tentang Toxodon.

"Dalam sains, selalu penting untuk menguatkan hasil, menggunakan pendekatan yang berbeda, molekul yang berbeda," kata MacPhee.

Macrauchenia dan Toxodon adalah hewan asli Amerika Selatan, kelompok mamalia berkuku yang sangat beragam yang menjelajahi benua jutaan tahun yang lalu.

Banyak dari mereka menghilang 20.000 tahun yang lalu. Macrauchenia dan Toxodon lenyap sekitar 10.000 tahun yang lalu.

Darwin menemukan fosil Macrauchenia dan Toxodon pertama di tahun 1834 selama perjalanannya ke Amerika Selatan. Dia menemukan Macrauchenia di pantai selatan Argentina.


Jangan Ditanyakan Lagi, Ini Alasan Kera Tidak Berevolusi Jadi Manusia

http://sains.kompas.com/read/2017/08/20/200400623/jangan-ditanyakan-lagi-ini-alasan-kera-tidak-berevolusi-jadi-manusia
Kompas.com - 20/08/2017, 20:04 WIB
SHIERINE WANGSA WIBAWA

Ilustrasi March of Progress oleh Rudolph Zallinger yang dimuat di buku Early Man (1965). Ilustrasi ikonis ini membuat banyak orang salah memahami evolusi.
Ilustrasi March of Progress oleh Rudolph Zallinger yang dimuat di buku Early Man (1965). Ilustrasi ikonis ini membuat banyak orang salah memahami evolusi.(Rudolph Zallinger/Early Man)

Tim jurnalis sains di Washington Post pernah mendapat sebuah pertanyaan menarik. Kira-kira begini bunyinya: “Mengapa tidak ada Hominini yang tersisa di bumi? Kalau evolusi selalu terjadi dan spesies selalu berubah dan beradaptasi, tidakkah kita seharusnya bisa melihat spesies manusia baru yang merupakan hasil evolusi dari kera?”

Di Indonesia pun, pertanyaan ini sering kali ditanyakan, meskipun sebenarnya ada banyak kesalahan di dalamnya.

Pertama-tama, Homininii yang merupakan bahasa ilmiah untuk manusia masih ada di bumi, yaitu kita yang Homo sapiens.

Lalu, kita termasuk kelompok kera besar yang disebut sebagai keluarga taksonomi hominid atau hominidae. Begitu juga neanderthal, australopitechus, manusia purba lain, orangutan, gorila, bonobo dan simpanse yang berevolusi dari nenek moyang yang sama sekitar 14 juta tahun yang lalu.

Jadi, bisa dibilang bahwa makhluk yang kini kita sebut kera bukanlah nenek moyang, tetapi saudara jauh kita.

“Bertanya mengapa gorila tidak berevolusi menjadi manusia purba sama dengan bertanya mengapa anak-anak dari sepupu Anda tidak mirip Anda,” kata Matt Tocheri, seorang dosen antropologi di Lakehead University dan peneliti dari Program Asal Manusia di National Museum of Natural History.
Dia melanjutkan, makhluk-makhluk ini sudah memiliki garis keturunannya sendiri selama 10 juta tahun. Mereka tidak bisa mundur kembali dan turun menjadi manusia.

Selain itu, belum tentu para gorila, bonobo, simpanse, dan kera-kera modern lainnya ingin menjadi manusia.

Nina Jablonski, seorang paleoantropolog di Evan Pugh University berkata bahwa evolusi tidak selinear dan seprogresif yang Anda kira, meskipun sangat mudah untuk membayangkannya sebagai amoba bersel satu yang terus menerus berubah menjadi semakin kompleks hingga berakhir sebagai manusia.
Di dunia nyata, evolusi justru lebih suka menyederhanakan dan menghilangkan fitur-fitur tubuh yang dianggapnya tidak diperlukan.

Itulah sebabnya makhluk-makhluk yang hidup di gua dan laut dalam kehilangan pengelihatannya, dan paus yang merupakan keturunan mamalia darat hampir kehilangan seluruh tulang kakinya. Bahkan, landak laut yang nenek moyangnya memiliki otak kini tidak memiliki sistem sistem saraf pusat sama sekali.

Jablonski mengatakan, evolusi adalah usaha untuk bertahan hidup dalam kondisi tertentu, dan mutasi acak. Ada elemen keberuntungan yang besar dan tidak ada elemen arah di dalamnya. Makhluk hidup hanya berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Hal ini pun terlihat pada keberagaman Hominini di tahap evolusi awal. Australopithecus afarensis, misalnya, berevolusi untuk memiliki pinggang seperti manusia agar bisa berjalan dengan dua kaki dan membawa benda. Kemampuan ini sangat diperlukan untuk mengumpulkan makanan di padang rumput.

Sementara itu, Paranthropus robustus yang hidup di lingkungan kering berevolusi untuk memiliki rahang yang kuat agar bisa mengunyah makanan yang keras, dan Homo habilis yang memiliki otak yang besar membantu mereka untuk membuat alat-alat dari batu.

Namun, seiring dengan perkembangan alat-alat yang dapat dibuat, spesies Hominini yang lebih baru tidak lagi harus memilih antara gusi yang besar untuk mengunyah biji atau taring yang tajam untuk menyobek daging. Menggunakan alat yang mereka ciptakan, Hominini yang lebih modern bisa memotong makanan mereka dan mengonsumsinya.

Alhasil, evolusi pun lebih memilih spesies dengan otak yang besar dan gigi yang lebih kecil untuk menciptakan lebih banyak alat yang bisa membantu mereka untuk berburu, menjelajah, dan menghindari ancaman.

Jablonski berkata bahwa ketika spesies kita (Homo sapiens)muncul sekitar 200.000 tahun yang lalu, kita sudah dapat bertahan hidup dalam segala lingkungan dan kondisi. Menggunakan alat-alat yang lebih canggih dari spesies lainnya, kita pun bisa bertahan hidup dan melalui berbagai perubahan iklim yang membunuh spesies Hominini lainnya.

Nah, bagaimana dengan makhluk-makhluk yang kini kita sebut kera?

Menurut Jablonski, mereka biasanya hidup di hutan sehingga kemampuan untuk memanjat pohon lebih dibutuhkan daripada berjalan dengan dua kaki seperti manusia.

Tanpa otak yang besar dan menghabiskan energi sekalipun, penelitian juga telah menunjukkan bahwa simpanse dan bonobo mampu membangun sarang mereka, menggunakan alat yang belum sempurna, menghargai keindahan, dan menangisi kematian komunitasnya.

“Ketika kita melihat saudara kera sekarang, mereka baik-baik saja berperilaku seperti kera. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh simpanse, orangutan, dan gorila; dan mampu bertahan hidup tanpa menjadi manusia,” katanya.

“Tentunya itu dengan catatan manusia tidak menggunduli seluruh hutan mereka dan mengeluarkan mereka dari habitat aslinya. Namun, itu adalah masalah yang berbeda,” ujarnya lagi.

Apakah Manusia Masih Berevolusi?

http://sains.kompas.com/read/2009/10/27/14302554/apakah.manusia.masih.berevolusi
Kompas.com - 27/10/2009, 14:30 WIB
Editorwsn

Manusia modern (Homo sapiens) masih terus berevolusi. Meski banyak yang meyakini bahwa seleksi alam telah berhenti karena kini hampir setiap orang hidup cukup lama untuk memiliki anak, penelitian baru dari Massachussets mengenai populasi membuktikan bahwa evolusi masih berlangsung.

Sebuah tim peneliti yang dipimpin ahli Biologi Evolusi Universitas Yale, Stephen Stearns, mendapati bahwa seleksi alam tak lagi didorong kemampuan survival, tetapi tergantung pada perbedaan kesuburan perempuan. “Variasi dari kesuksesan reproduksi masih ada di antara kita sehingga beberapa sifat yang berhubungan dengan kesuburan terus dibentuk oleh seleksi alam,” kata Stearns. Artinya, wanita dengan lebih banyak anak akan lebih mudah menurunkan sifat-sifat tertentu pada keturunannya.

Tim Stearns memeriksa statistik 2.238 wanita pasca-menopause yang berpartisipasi pada Penelitian Jantung Framingheart, yang mencatat sejarah medis 14.000 penduduk di Framingham sejak 1948. Para peneliti mencari hubungan antara karakteristik fisik wanita—termasuk tinggi, berat, tekanan darah, serta kadar kolesterol—dan jumlah keturunan mereka.

Mereka menemukan, wanita yang gemuk (bukan kegemukan) cenderung memiliki banyak anak. “Wanita dengan kadar lemak yang sedikit, tak berovulasi,” ujar Stearns. Hal sama juga terjadi pada wanita dengan tekanan darah dan kadar kolesterol yang rendah.

Menggunakan analisis statistik canggih yang memasukkan faktor-faktor sosial dan budaya yang bisa memengaruhi angka kelahiran, para peneliti menemukan bahwa ciri-ciri tersebut diturunkan dari ibu ke anak perempuan dan cucu perempuannya. 

Bila tren tersebut terus berlanjut tanpa perubahan hingga 10 generasi mendatang, rata-rata wanita Framingham pada tahun 2409 akan lebih pendek 2 cm, 1 kg lebih berat, mempunyai jantung yang lebih sehat, memiliki anak pertama 5 bulan lebih cepat, dan memasuki menopause 10 bulan lebih lambat dari wanita sekarang.

“Evolusi ini berjalan lambat, tapi mirip dengan apa yang kita lihat pada tumbuhan dan hewan. Sepertinya tak ada pengecualian terhadap manusia,” ujar Stearns mengenai penelitian yang dipublikasikan pada 21 Oktober dalam Procceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).

Douglas Ewbank, seorang demografer di Universitas Pennsylvania yang juga berperan dalam analisis statistik, mengatakan bahwa faktor budaya yang cenderung berdampak lebih menonjol dari seleksi alam pada pembentukan generasi mendatang menyebabkan orang-orang cenderung menyepelekan efek evolusi.

“Perubahan yang kita ramalkan tahun 2409 dapat saja terhapus oleh hal sederhana, seperti, katakanlah, program makan siang di sekolah. Namun, apa pun yang terjadi, tahun 2409, wanita Framingham cenderung akan lebih pendek 2 cm dan 1 kg lebih berat dibanding mereka yang tidak mengalami seleksi alam. “Evolusi merupakan proses yang lambat. Kita tak melihatnya pada kakek nenek kita, tapi seleksi itu ada.”

Sementara itu, Steve Jones, ahli biologi evolusi di Universitas College London yang pernah mengatakan bahwa evolusi manusia mendekati akhir, menganggap studi Framingham merupakan contoh penting bagaimana seleksi alam masih berjalan melalui perbedaan kemampuan reproduksi. Namun, Jones menganggap bahwa variasi kesuburan wanita seperti yang diukur dalam studi Framingham kurang penting dalam mempengaruhi evolusi manusia, dibanding variasi kesuburan pria. Menurutnya, sperma memiliki lebih banyak kemungkinan mutasi dibanding indung telur, terutama di kalangan pria berusia lebih tua.

"Bila dahulu lazim jika seorang pria memiliki banyak anak di usia senja dari beberapa istri, kini pria cenderung hanya memiliki satu istri dan sedikit anak di usia muda. Berkurangnya jumlah ayah berusia senja memiliki efek pada laju mutasi dan mengurangi munculnya diversitas baru. Padahal, inilah yang menjadi material utama evolusi," kata Jones. "Namun (meski materi evolusi makin jarang) mesin evolusi Darwin tidaklah berhenti. Ia hanya menjadi sangat melambat."


Friday, August 11, 2017