Friday, February 18, 2011

Jangan Buang Air Mandi-Cuci

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/12/04334415/jangan.buang.air.mandi-cuci

 

SANITASI

 

 

 

 

 

 

 

Warga di Jalan Kejawan Gebang, Surabaya, Jawa Timur, menggunakan air olahan dari sisa limbah domestik, seperti air mandi dan sisa cucian, untuk mencuci perabot. Pengolahan limbah domestik bermanfaat di kawasan yang tidak terakses air bersih dan juga untuk menghemat air.

NINA SUSILO
Akses air bersih kerap menjadi masalah. Sebagian masyarakat di permukiman padat kebanyakan belum mendapatkan akses air bersih. Air mandi dan air minum diperoleh dengan harus membeli air per jeriken. Di sisi lain, jika kurang bijak dalam menggunakan air, akan menghasilkan kesia-siaan. 

Mencoba mengatasi masalah ketersediaan air bersih itu, tim peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya yang terdiri atas Prof Joni Hermana, Susi Wilujeng, dan asisten Ervin Nurhayati membuat reaktor pengolah air limbah domestik sederhana. Air sisa mandi dan cuci—bukan dari kakus—diolah sehingga jernih kembali dan layak digunakan. Air hujan juga bisa ditampung, diolah, dan digunakan kembali.

Tim dari Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) ITS ini menyebut reaktor sebagai Pandora-L. Prinsipnya, menurut Joni, yang memimpin tim peneliti, membersihkan limbah domestik sisa mandi dan cuci (grey water) dari pencemarnya dengan berbagai proses yang bisa dilakukan.

Pada limbah domestik, sisa mandi dan cuci terdapat beberapa kelompok pengotor. Pertama, lemak dan minyak serta detergen yang sifatnya mengapung. Kedua, zat padat yang bisa mengendap, seperti pasir dan partikel-partikel cemaran lain yang tersuspensi. Terakhir, bahan organik terlarut (biological oxygen demand/BOD) dan bahan anorganik, seperti mineral dan logam.

Pembersihan limbah
Pembersihan limbah domestik ini dimulai dari proses termudah. Zat padat diendapkan dalam bak penampung sementara. Zat-zat pencemar yang mengapung, seperti minyak, lemak, dan detergen, disaring dengan berbagai material penahan. Di bagian ini, digunakan lapisan penyaring sabut kelapa, ijuk, pecahan keramik, dan kerikil. Selain membantu pembersihan air, kerikil menyangga semua material penyaring supaya tidak amblas.

Zat-zat organik terlarut dibersihkan dengan proses biologis. Karena itu, digunakan bakteri anaerob yang bertugas mengurai pencemar organik.

Menurut Joni, yang menjabat sebagai Dekan FTSP ITS, bakteri anaerob yang digunakan sama dengan bakteri pengurai kotoran manusia. Tim ini juga mengambil bakteri dari instalasi pengolah limbah tinja di Surabaya, Jawa Timur.

Pada proses ini, diperlukan waktu reaksi. Karena itu, reaktor di bagian ini dibuat bersekat-sekat dengan pelat-pelat. Sekat (buffle) ini berfungsi meratakan aliran air limbah yang mulai jernih dan mempermudah kontak antara bakteri dan makanannya, bahan organik pencemar itu. Jumlah sekat yang digunakan pun disesuaikan dengan jumlah limbah yang diolah.

Untuk menghilangkan pencemar anorganik, seperti mineral dan logam, digunakan saringan berupa pasir, karbon aktif, dan zeolit (depth filter). Terakhir, untuk memastikan semua partikel terpisah dengan baik, air disaring dengan pecahan gerabah.

Karena memanfaatkan bakteri sebagai pengurai dalam salah satu prosesnya, masyarakat harus menjaga limbah domestik yang diolah ini tidak terkena desinfektan.

Pembersihan kamar mandi dengan desinfektan, misalnya, dilakukan setelah menutup saluran menuju reaktor pengolah air limbah ini, Pandora-L.

Tidak muluk-muluk
Penelitian yang dilakukan bekerja sama dengan Balai Teknologi Permukiman Dinas Permukiman Jatim ini mulai digunakan masyarakat sejak Oktober 2006. Harapannya, masyarakat yang nyaris tidak mendapat layanan sanitasi bisa memperoleh akses untuk air bersih.

Teknologi ini, kata Joni, memanfaatkan proses yang ada di alam. Teknologinya tidak muluk-muluk dan diupayakan tidak berbiaya tinggi.

Reaktor percobaan pertama yang ditempatkan di permukiman padat di Jalan Kejawan Gebang II, Surabaya, dimanfaatkan sekitar sepuluh warga. Warga kini menggunakan air olahan ini untuk masak dan mandi, tidak lagi harus membeli air atau mengangkut dari masjid yang berjarak sekitar 50 meter dari permukiman. Sementara pembersihan kamar mandi dengan desinfektan dilakukan bersama-sama pada hari yang disepakati.

Kini, reaktor pengolah air limbah ini sudah dibangun pula di permukiman warga sekitar sempadan Sungai Surabaya di Jalan Gunungsari II serta di permukiman dosen dan mahasiswa ITS.

Biaya pembangunan instalasi pengolah air limbah ini berkisar Rp 20 juta. Jumlah ini bisa ditanggung bersama misalnya sepuluh keluarga atau ditangani pemerintah. Namun, manfaatnya berlangsung lama. Bahkan, menurut Susi, yang juga pengajar Teknik Lingkungan ITS, warga perumahan bisa saja memanfaatkan reaktor ini untuk air penyiram toilet atau penyiram taman.

Kortanius Sabeleake , Inspirator Kemandirian Korban Tsunami

http://www.ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/nasional/sosial/5955-kortanius-sabeleake--inspirator-kemandirian-korban-tsunami.html

Rabu, 12 Januari 2011 10:20 Kortanius  Sabeleake adalah inspirator kemandirian korban bencana tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat, menjelang akhir Oktober 2010. Bersama sejumlah relawan Posko Lumbung Derma, Kortanius membangkitkan kepercayaan diri korban tsunami di dua dusun dari puluhan dusun terdampak. Mereka bangkit membangun kembali dusun mereka yang luluh lantak.

mentawaiDusun Tumalei, Desa Silabu, Kecamatan Pagai Utara di Pulau Pagai Utara dan Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan di Pulau Pagai Selatan adalah dusun-dusun yang dipilih untuk dibangun kembali secara Mandiri. Alasan Kortanius, karena kedua dusun itu merupakan yang terjauh dan relatif sulit dijangkau serta terdampak paling parah.

”Prinsip dasarnya, dua lokasi itu merupakan titik terjauh yang tidak diperhatikan pemerintah, sebab dusun-dusun yang dekat saja relatif tidak mendapat perhatian,” kata Kortanius. Para relawan Posko Lumbung Derma menggunakan metode partisipatif dengan peran hanya sebagai fasilitator yang membantu, tanpa menggurui.

Selama lebih dari sebulan sejak tsunami menghantam, Kortanius bolak-balik menghadapi ganasnya badai untuk mendistribusikan bantuan ke sejumlah dusun. Dia membangkitkan kepercayaan diri warga di dua dusun itu agar membangun kembali kampung mereka. ”Badai di laut itu tidak akan membunuh kita asalkan kita bisa berenang. Tidak seperti jika dihantam kayu,” katanya.

Semangat menolong yang membuatnya lupa makan minum itu bertambah ketika dia akhirnya sampai di Dusun Maonai, yang luluh lantak. Sebanyak 39 orang dari 172 orang warga desa itu tewas. Selama setengah jam pertama, ia hanya menemukan pandangan kosong seorang korban yang terus-terusan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menyelamatkan istri dan anak-anaknya.

”Setelah setengah jam, baru dia bereaksi dan memeluk saya. Saya katakan, saat ini sudah selesai dan mereka yang meninggal sudah jadi urusan Tuhan. Sekarang bagaimana tanggung jawab kita yang masih hidup,” ujar Kortanius.

Beberapa hari kemudian, dia bersama warga mencari lokasi permukiman baru di dataran yang lebih tinggi. Untuk membangkitkan semangat kerja, sejumlah relawan mesti menggunakan trik, misalnya untuk membuat tempat pendaratan helikopter.

”Semula warga ragu dan tidak percaya bahwa mereka bisa membangun sendiri. Selama ini mereka berpikir hanya pemerintah yang bisa melakukan pembangunan,” kata Kortanius yang bersama relawan dari Posko Lumbung Derma terus mendampingi.

Sejumlah warga di Dusun Tumalei, akhir Desember lalu, mengatakan, mereka sepakat menyerahkan lahan dan tanaman di atasnya untuk permukiman baru. Kepala Dusun Tumalei, Albinus Saogo, menyatakan peran Kortanius relatif besar dalam menggugah kesadaran warga untuk Mandiri.

Warga di dusun itu bekerja sukarela untuk membangun kembali kampung mereka. ”Pekerjaan di perkampungan itu dibagi habis kepada seluruh warga,” kata koordinator pembangunan hunian tetap di Dusun Tumalei, Reigen Sidarius Sakoikoi. Setiap hari Senin hingga Jumat, mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, semua warga bergotong royong membangun perkampungan.

”Hari Sabtu kesempatan warga mencari tambahan penghasilan untuk keperluan makan keluarga, dan hari Minggu untuk ibadah,” kata Reigen. Seluruh bahan kebutuhan untuk pembangunan rumah seperti kayu diambilkan dari lahan milik warga.

Tantangan terus dihadapi Kortanius ketika mendampingi warga selama proses itu. Mulai dari ketidakpercayaan warga, hasutan, penolakan, hingga tidak sinkronnya pembangunan Mandiri oleh korban bencana itu dengan pemerintah.

Pemerintah telah menetapkan sejumlah titik pembangunan hunian sementara bagi ribuan korban tsunami. Lokasinya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah di wilayah yang relatif jauh dari permukiman lama.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana menetapkan jumlah hunian sementara sebanyak 1.632 unit dengan biaya pembangunan Rp 24 juta per unit. Lokasi-lokasi pembangunan hunian sementara itu akan berada di sejumlah dusun di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora.

Gubernur Sumbar Irwan Prayitno selalu mengatakan, korban tsunami yang sebelumnya tinggal terpisah di sejumlah dusun harus disatukan permukimannya. Alasannya, penyatuan itu guna mendekatkan pelayanan pemerintah, seperti sekolah, puskesmas, dan sebagainya, termasuk pembangunan layanan telekomunikasi.

Kortanius tidak bisa menerima logika itu. Menurut dia, masyarakat Mentawai memiliki kekhususan karena tinggal di kepulauan. Kewajiban pemerintah melayani mereka, bukan sebaliknya. ”Saya pikir, masyarakat bisa merencanakan masa depan mereka sendiri. Kita tidak bisa mendeklarasikan soal masa depan masyarakat,” katanya.

Tantangan juga sempat datang dari warga. Tiga orang operator mesin pemotong kayu sempat mundur karena termakan hasutan, bahwa pembangunan di dusun dijatah uang yang banyak. Tetapi, akhirnya mereka bekerja kembali setelah melihat hampir semua warga ikut bergotong royong.

”Kalau dengan pola proyek, saya tidak mau, karena pasti semua orang akan menuntut bagian. Kami tumbuhkan gotong royong dan kami ikut di dalamnya sebagai bentuk keprihatinan,” ujar Kortanius.

Menurut dia, apa yang dilakukannya bersama relawan Posko Lumbung Derma sesungguhnya relatif mudah, murah, dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Apalagi, negara memiliki kewajiban untuk membebaskan warganya dari masalah. ”Karena kita sama-sama ingin masyarakat sejahtera dan keluar dari persoalan,” kata bapak tiga anak itu.

Ia membayangkan, pemerintah dan sejumlah organisasi kemasyarakatan bisa duduk bersama dan berdiskusi secara terbuka mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing. ”Saya bayangkan, jika itu terjadi, alangkah indahnya hidup bernegara ini,” ujar Kortanius. (*/Kompas Cetak)

Pengelolaan Tinja Masih Terabaikan

http://cetak.kompas.com/read/2011/01/13/04472569/Pengelolaan.Tinja.Masih.Terabaikan


Jakarta, Kompas - Setiap tahun, setiap orang rata-rata menghasilkan 30 liter tinja kering, tanpa memperhitungkan jumlah air yang digunakan untuk membersihkannya. Jika penduduk Indonesia tahun lalu mencapai 237,6 juta jiwa, selama 2010 dihasilkan 7,13 miliar liter tinja kering.

Jumlah tinja sebanyak itu tentu tidak bisa dianggap sepele. Salah dalam mengelola, bisa menimbulkan persoalan kesehatan dan lingkungan yang serius dampaknya bagi masyarakat.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, sebanyak 15,8 persen rumah tangga tidak memiliki tempat pembuangan air besar atau kakus. Artinya, tinja keluarga itu dibuang secara terbuka, baik di tegalan, sawah, kolam, atau sungai.

Rumah tangga yang memiliki kakus sendiri hanya 69,7 persen. Sementara sisanya menggunakan kakus umum atau bersama.

Provinsi dengan jumlah rumah tangga terbesar yang tidak memiliki akses terhadap kakus itu adalah Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah, yaitu 38-39 persen dari rumah tangga yang ada.

Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/1), mengatakan, pembuangan tinja di tempat terbuka itu tidak terlalu menimbulkan persoalan di pedesaan karena daya dukung lingkungannya masih memadai.

Namun, cara ini rentan menimbulkan penyebaran penyakit, khususnya jika dalam tinja terkandung kuman penyakit, seperti disentri. Selain itu, cara ini mengurangi estetika lingkungan.

Dalam Riskesdas juga disebutkan, mereka yang tidak memiliki kakus sendiri umumnya tingkat pengeluaran rumah tangganya rendah alias keluarga miskin. Mereka paling banyak berada di pedesaan sebesar 25,5 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 6,7 persen.

Meski memiliki kakus sendiri, hanya 2,9 persen rumah tangga yang pembuangan akhir tinjanya terjangkau oleh sarana pembuangan air limbah (SPAL). Sebanyak 59,3 persennya dibuang ke tangki septik. Sementara sisanya dibuang ke kolam, sawah sungai, danau, lubang tanah, hingga kebun dan pantai.

Enri mengingatkan, jarak ideal antara tangki septik dan sumber air minum, seperti sumur, adalah 10 meter. Namun, jarak tersebut sulit dipenuhi rumah tangga di perkotaan karena padatnya permukiman. Oleh karena itu, permukiman di perkotaan butuh sistem pembuangan air limbah secara terpusat. Namun, sistem pembuangan air limbah terpadu sulit diwujudkan karena belum menjadi prioritas pemerintah.

Permukiman kumuh
Pemerintah dan masyarakat masih terfokus pada penyediaan rumah tinggal yang layak.

Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan, kebutuhan ruang bagi rumah tapak untuk setiap keluarga minimal adalah 36 meter persegi. Artinya, rumah tapak yang ukurannya lebih kecil dianggap tidak layak huni. Ketentuan ini dikecualikan untuk rumah susun atau apartemen.

Jumlah kekurangan rumah tinggal di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 8,2 juta unit. Jumlah tersebut berarti naik 64 persen dibandingkan dengan kebutuhan pada tahun 2004.

Ketidakmampuan pemerintah menyediakan rumah bagi seluruh rakyat membuat sebagian masyarakat terpaksa tinggal di permukiman kumuh, khususnya di perkotaan.

Berdasarkan data Kementerian Sosial, sebanyak 2,3 juta keluarga perkotaan seluruh Indonesia tinggal di rumah tidak layak.

Luas kawasan kumuh juga semakin meningkat. Kawasan kumuh pada 2004 tersebar di 10.065 titik dengan luas mencapai 54.000 hektar. Pada tahun 2009, luas kawasan kumuh menjadi 57.800 hektar.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengingatkan, kepadatan penduduk rentan memunculkan infeksi penyakit menular. Semakin padat permukiman, maka makin mudah penularan penyakit infeksi dan jumlahnya pun akan semakin besar.

Penyakit yang mudah menular karena kepadatan permukiman antara lain infeksi saluran pernapasan akut, tuberkulosis, diare, dan demam berdarah dengue.
(INE/LKT/MZW)

Kota Lestari Pertama di Dunia

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/31/0304539/kota.lestari.pertama.di.dunia

LINGKUNGAN

 

Proyek uji coba sistem pendingin ruangan di Masdar City, sebuah proyek pembangunan kota lestari pertama di dunia, di pinggir Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kota ini akan memiliki sistem energi lestari, pemanfaatan limbah, dan juga aktivitas karbon netral.

ANDREAS MARYOTO
Di tengah berbagai isu mengenai lingkungan global, sebuah proyek ambisius tengah dibangun di Uni Emirat Arab. Proyek ini bukan main-main! Sebuah proyek pembangunan kota dengan hampir seluruh sistem di kota itu dikembangkan dengan konsep lestari.

Apabila semuanya berjalan lancar, Masdar City di Uni Emirat Arab akan menjadi kota lestari pertama di dunia. Proyek ini mulai dibangun pada tahun 2008. Pada tahun 2010 ini sudah dua bangunan diselesaikan, yaitu bangunan pertama dari enam bangunan utama dan Masdar Institute of Science and Technology. Pada tahun 2013 diharapkan perusahaan pertama akan beroperasi di tempat itu.

Dalam hal ini, Masdar City yang terletak di pinggiran Abu Dhabi—ibu kota Uni Emirat Arab—akan menjadi kota yang menerapkan karbon netral, pemanfaatan limbah secara lestari, dan menggunakan energi yang bisa diperbarui. Pengertian karbon netral adalah aktivitas yang ada tidak menambah produksi karbon dioksida ke atmosfer atau kalau mengeluarkan karbon dioksida pada penggunaan karbon dioksida juga dalam jumlah yang sama.

Kota yang berjarak 17 kilometer dari pusat kota Abu Dhabi ini akan menjadi kawasan ekonomi khusus yang dihuni oleh pengelola perusahaan, peneliti, dan juga akademisi dari beberapa negara. Ketika Kompas berkunjung pada pertengahan Desember lalu, orang dari beberapa negara bekerja di tempat tersebut.

”Visi pembangunan Masdar City adalah membangun kota lestari di semua sudut kota,” kata Direktur Masdar City Alan Frost ketika ditemui wartawan dari beberapa negara di Masdar, Uni Emirat Arab, dalam program kunjungan media yang dilaksanakan oleh General Electric Timur Tengah dan Afrika.

Dengan konsep lestari, Masdar City akan dipasok energi lestari dari pemanfaatan energi sinar matahari. Saat ini tengah dilakukan pilot proyek pembangkitan energi. Untuk pembangkitan listrik sebesar 40-60 megawatt, mereka tengah membangun pembangkit listrik dari sel surya.

Mereka terus berupaya mengefektifkan penggunaan sinar matahari agar produksi listrik maksimal. Pasokan energi lainnya dari geotermal, pembangkit listrik tenaga angin, dan penggunaan limbah untuk energi listrik. Di sisi lain, mereka juga tengah melakukan penelitian upaya-upaya yang bisa dilakukan agar penggunaan energi di kota itu bisa 51 persen lebih rendah dibandingkan dengan permukiman pada umumnya.

Pembangunan sistem pendingin ruangan dengan menggunakan energi sinar matahari tengah diuji coba. Sistem ini disebut solar thermal cooling system. Sistem ini secara sederhana bisa disebut mendinginkan ruangan dengan menggunakan energi sinar matahari. Ada juga yang menyebut AC hijau.

”Kami tengah menguji sistem ini. Jika sukses, sistem ini bisa digunakan untuk membuat pendingin ruangan,” kata Manajer Proyek Uji Coba Sistem Pendingin Sel Surya Simon Brauniger.

Sistem pendingin ini pertama akan memanfaatkan listrik dari sinar matahari untuk sistem kompresinya, dan kedua akan menggunakan panas untuk mengaktivasi senyawa kimia yang bisa menghasilkan air dingin yang berfungsi untuk mendinginkan ruangan. Sudah pasti mereka merahasiakan detail proyek ini karena terkait dengan hak paten.

Soal pendingin ruangan ini menjadi penting karena sistem pendingin menjadi sangat penting bagi kota-kota di kawasan Teluk. Saat musim panas, temperatur udara bisa mencapai di atas 40 derajat celsius. Selama ini, penggunaan pendingin membutuhkan energi yang besar. Untuk itu, sistem pendinginan dengan tenaga matahari diharapkan bisa menekan penggunaan energi secara keseluruhan serta memanfaatkan energi lestari.

Pemanfaatan limbah
Di samping meneliti sistem pendingin ruangan. Mereka juga tengah meriset pembuatan pemanas air untuk kebutuhan warga, juga menggunakan sinar matahari. Cara ini relatif lebih dikenal. Meski demikian, mereka tetap mencari cara yang efisien untuk menghasilkan air panas.

Untuk pemanfaatan limbah, Masdar City memperkirakan 95 persen limbah akan didaur ulang. Masdar City juga akan menggunakan material berkarbon rendah. Kota ini akan berupaya memperkecil penggunaan air hingga 54 persen dibandingkan dengan kota-kota lain pada umumnya.

Luas Masdar City mencapai 700 hektar atau sekitar 3,7 juta meter persegi. Kota ini diproyeksikan akan dihuni 40.000 warga. Kepadatan penduduk diperkirakan 140 warga per hektar. Pengembang telah menghitung jumlah pemakaian lahan kota itu. Rinciannya sebanyak 52 persen untuk tempat tinggal, 38 area komersial, dua persen untuk usaha ritel, dan 18 persen untuk kepentingan komunitas.

Uji coba lainnya yang sudah dilaksanakan adalah penggunaan personal rapid transit (PRT) untuk alat transportasi warga. PRT ini dijalankan dengan menggunakan listrik. Jadi tidak ada mobil konvensional di tempat ini. Saat kunjungan media, transportasi ini sudah bisa dipakai dan memiliki terminal untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Kapasitas PRT sebanyak 6 orang.

Di lokasi proyek telah didirikan Masdar Institute of Science and Technology. Lembaga ini merupakan lembaga pendidikan yang berfokus pada energi masa depan dan teknologi lestari. Mahasiswa lembaga ini diharapkan bisa berpraktik langsung dengan pengembangan kota lestari itu.

Kota masa depan
Proyek Masdar City ini dikelola oleh Abu Dhabi Future Energy Company, sebuah perusahaan di bawah grup Mubadala yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Uni Emirat Arab. Di samping membangun kota Masdar, Abu Dhabi Future Energy Company juga membawahi Masdar Carbon, Masdar Energy, Masdar Institute of Science and Technology, dan Masdar Capital.

General Electric adalah partner strategis Masdar City. Perusahaan itu akan mendirikan Ecomagination Center di kota itu. Lembaga ini akan mempromosikan bisnis yang bersifat lestari dan membangun riset yang mendukung penggunaan teknologi di kota itu sebagai kota berteknologi bersih.

”Masdar City dan Abu Dhabi merupakan lokasi yang bagus bagi General Electric untuk membangun Ecomagination Center yang pertama. Kami melihat banyak peluang untuk menerapkan teknologi lestari di wilayah ini, mendorong inovasi baru, dan memanfaatkan minat dan kesungguhan untuk menggunakan teknologi,” kata Presiden dan CEO General Electric Timur Tengah dan Afrika Nabil Habayeb.

Untuk soal energi saja, Masdar City menjadi contoh bagaimana sebuah perusahaan melakukan pendekatan holistik terhadap masalah energi, baik dari sisi pembangkitan, transmisi, maupun konsumsi. Selama ini, kota-kota di dunia selalu memiliki banyak masalah terkait dengan energi.

Apabila kelak sudah selesai dibangun, setidaknya dunia memiliki contoh bagaimana sebuah kota pada masa depan. Contoh bagi mereka yang akan membangun kota yang layak bagi warganya, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. Di Masdar City kelak akan tergambar bagaimana penduduknya mengalami kehidupan dan juga bekerja sehari-hari.

Kampung Energi Matahari

http://cetak.kompas.com/read/2010/12/31/02540852/.kampung.energi.matahari

DAERAH TERPENCIL

Jumat,
18 Februari 2011
Tanpa jangkauan jaringan kabel dari Perusahaan Listrik Negara, Kampung Terentang tidak lantas gelap gulita. Pada malam hari, permukiman komunitas adat terpencil di Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, itu berhias nyala lampu listrik.

Energinya berasal dari matahari yang sinarnya berlimpah dan tanpa perlu membeli. Terentang memang agak sulit dijangkau jaringan kabel listrik. Jaringan terdekat baru ada di ibu kota kecamatan, sekitar 30 kilometer dari Terentang.

Kampung tersebut juga sangat jauh dari sungai, sumber pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Lalu, satu-satunya pilihan untuk penyediaan energi listrik bagi mereka adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Ketua RT 09 RW 04 Kampung Terentang Julius Atong mengatakan, PLTS adalah paket bantuan dari Dinas Sosial Provinsi Kalbar untuk melengkapi bantuan permukiman yang sebelumnya diberikan kepada masyarakat.

”Setiap rumah mendapat bantuan panel surya dan aki penyimpan energi. Walaupun hanya bisa dipakai untuk menghidupkan tiga lampu pada malam hari, itu sudah cukup membantu daripada gelap sama sekali,” kata Atong.

Kapasitas penyimpanan energi matahari di setiap rumah memang terbatas sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan lampu pada malam hari. Akan tetapi, bagi masyarakat Terentang yang sedang merangkak, ketersediaan penerangan dari energi listrik pada malam hari sudah lebih dari cukup. ”Bagi kami, yang penting anak-anak tidak perlu lagi belajar menggunakan lentera. Kasihan kalau masih harus menggunakan pelita,” kata Mono (22), salah satu pemuda Terentang.

Ketersediaan energi listrik yang murah, walaupun hanya cukup untuk penerangan kala malam hari, sudah cukup membantu perekonomian masyarakat Terentang yang sebagian besar merupakan petani dan penyadap getah karet.

Kemiskinan
Panel surya adalah simbol yang terlihat di permukaan dari persoalan besar yang dihadapi masyarakat Terentang. Daerah ini pada mulanya adalah perkampungan masyarakat adat Dayak yang terletak di pedalaman Desa Subah.

Permukiman tersebut sangat sulit dijangkau karena tidak tersedia jalan untuk kendaraan. Pada tahun 2000-an kegelisahan masyarakat semakin menjadi-jadi karena sudah dua ibu hamil dan seorang bayi yang meninggal karena terlambat dibawa ke pusat kesehatan masyarakat di Tayan.

”Salah satu yang meninggal adalah bayi yang dilahirkan oleh kakak saya. Waktu itu, untuk menuju kampung kami memang sangat sulit, butuh beberapa jam dari jalan raya,” kata Mono. Kegelisahan masyarakat atas dampak dari jalan buruk itu tak bisa ditahan lagi.

”Warga kampung lalu sepakat mengutus kepala kampung untuk menyampaikan persoalan kepada bupati. Dari bupati, persoalan itu diteruskan ke Dinas Sosial Kalimantan Barat,” ujar Atong.

Sekitar dua tahun menunggu, masyarakat lalu dipindahkan ke permukiman di pinggir jalan trans-Kalimantan. Dinas Sosial Kalbar menyiapkan rumah- rumah berdinding papan kayu. Namun, baru setahun lalu masyarakat menikmati energi listrik dari PLTS.

Masyarakat masih menghadapi persoalan lain, seperti tidak adanya sumber air bersih dan letak perkebunan karet yang jauh dari permukiman. Mereka hanya bergantung pada air hujan untuk minum dan memasak. Mereka juga harus berangkat pagi-pagi benar untuk menyadap karet dan baru sampai di rumah lagi sekitar pukul 14.00. Kendati demikian, mereka masih tetap bersyukur bahwa malam tak lagi gulita.(Agustinus Handoko)