Tuesday, October 31, 2017

Manufaktur Indonesia, Bisa!!!



Manufaktur Indonesia, Bisa!!!

Indonesia merupakan salah satu negara yang kontribusi industri manufakturnya terhadap PDB lebih dari 20 %. Dengan angka sebesar itu, Indonesia menduduki peringkat keempat setelah Korea Selatan dengan sumbangan 29 %, Tiongkok 27% dan Jerman sebesar 23%.

Tapi sayang kendala utama industri manufaktur kita adalah masih tergantung pada bahan baku yang harus Impor. Industri makanan dan minuman kita 80 -90 % bahan baku dari Impor, Industri Tembakau bahan lebih 60 % bahan baku juga Impor, Industri Tekstil 95 % bahan bakunya Impor, Industri Farmasi apalagi 98 % Impor bahan baku. Industri Baja juga masih impor.

Industri Tembakau misalnya, cukainya besar, tapi impornya juga besar lebih dari 60 % bahan baku tembakau impor dari luar negeri. Sejak tahun 2016, petani tembakau mengalami penurunan bahan baku hingga pabrik rokok hanya produksi 4 miliar batang dari 344 miliar batang sisanya impor. Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada kuartal III 2017 yang baru mencapai Rp77,89 triliun atau sekitar 57,2% dari target Rp 147,54 triliun pada tahun ini.Kita tembakau impor kok boro boro mau eksport. Udah gitu Cukainya terus dipalaki lagi. #Savekretek (saya penikmat semua jenis rokok kretek perusahaan lokal dalam negeri lho He3x)

Nah untuk menggenjot angka pertumbuhan dan serapan bahan baku Industri dalam negeri pemerintah rencana mau menerapkan larangan Impor dan pembatasan ( Lartas) untuk beberapa komoditas. Harus ada Program hilirisasi industri berbasis agro dan tambang mineral. Tapi pertanian harus dikuatkan, untuk pembatasan impor bahan baku juga harus dilihat. Tidak bisa dipukul rata, Industri yang tergantung bahan impor gak bisa dibatasi begitu saja, harus ada kebijakan lebih. Bisa mati Industri tembakau, industri makanan dan industri tekstil kita kalau dibatasi. Masak beli kacang garuda harus didatangkan dari Eropa. Saya percaya Manufaktur kita bakal tumbuh pesat, karena pasar dalam negeri kita terbuka dan luar biasa.Ekonomi kita akan terus tumbuh menjadi yang terbaik.

Notes : Video yang saya unduh dari Kementrian PU ini membangkitkan rasa optimisme saya.

Perbaikan infrastruktur akan mendukung pertumbuhan ekonomi, arus pengiriman barang, perputaran keuangan, dan arus eksport import. Bangga sebagai anak INDONESIA adalah hal yang luar biasa.

Monday, October 30, 2017

Core Economy-nya Jokowi

http://www.yuswohady.com/2016/09/10/core-economy-nya-jokowi/
by yuswohady
E=wMC2 | Marketing Becomes Horizontal

Random header image... Refresh for more!

Ada yang menarik dari pernyataan Presiden Jokowi di Sidang Kabinet Paripurna Jumat (9/9) lalu setelah mengikuti KTT G-20 di Tionkok dan Asean Summit di Laos. “Betapa kompetisi antar negara sangat sengit. Betapa nanti pertarungan antar negara dalam hal perebutan kue ekonomi, baik berupa investasi, baik berupa arus uang masuk, arus modal masuk itu, sangat sengit, sangat sengit sekali,” ujar Presiden.
Ia lalu menekankan bahwa semua pihak harus menentukan dan fokus apa yang akan menjadi core economy dan core business negara. Dengan fokus itulah, Jokowi meyakini pemerintah akan bisa membangun positioningdifferentiation, dan brand negara. “Sehingga mudah kita. Lebih mudah kita menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa harus kita kejar-kejaran apalagi kalah bersaing dengan negara lain.”
borobudur-2
Sumber gambar: wallpapershome.com
Competitive Strategy
Pernyataan Jokowi menarik, karena inilah untuk pertama kali presiden di republik ini secara gamblang menggunakan pendekatan strategi bersaing (competitive strategy) dalam mengembangkan ekonomi bangsa di kancah global. Dalam artikelnya di Harvard Business Review (1996) berjudul “What Is Strategy?” Prof. Porter, pencipta konsep tersebut, menyimpulkan bahwa esensinya strategi adalah positioning dan differentiaion: “Strategy is the creation of a unique and valuable position, involving a different set of activities,” ujarnya.
Seperti diungkapkan presiden, persaingan antar negara dalam memperebutkan investasi asing demikian ketat, karena itu Indonesia harus mengembangkan strategi bersaing yang solid dengan merumuskan positioning, differentiation, dan brand yang solid. Apa maksudnya ini? Kata kuncinya adalah positioningdifferentiation, dan branding.
Pertama, Indonesia harus secara tepat memosisikan dirinya di pasar global dimana posisi ini harus berfokus pada sektor/industri yang menjadi keunggulannya. Positioning is about portfolio strategy. Artinya Indonesia harus fokus memilih sektor-sektor atau industri-industri unggulan mana yang harus dikembangkan dan memiliki daya saing tinggi di pasar global. Di sektor/industri itulah kita membangun daya saing negara (competitive advantage of nation). Amerika fokus mengembangkan teknologi informasi; Jepang fokus di otomotif; Singapura dan Hong Kong fokus di sektor jasa karena perannya sebagai hub of Asia. Lalu Indonesia apa?
Kedua, sektor dan industri unggulan itu harus memiliki uniqeness (diferensiasi) yang tidak dimiliki oleh negara lain. Persis seperti kata Porter, “strategy is about being different”. Hanya dengan diferensiasi tersebut kita bisa memenangkan persaingan di pasar global. Ekonomi kita saat ini rawan karena ditopang oleh sektor komoditi (migas dan non-migas) yang tak memiliki diferensiasi sehingga harganya terus merosot dan diombang-ambingkan di pasar. Ketika kita memiliki diferensiasi maka kita menjadi price maker. Starbucks yang memiliki diferensiasi kokoh misalnya, harganya tak pernah dipengaruhi oleh naik-turunnya harga komoditas kopi. Starbucks tetap menjadi price maker yang mengendalikan pasar.
Ketiga, setelah kita memilih sektor/industri unggulan (positioning) dan membangun uniqueness (differentiation) di masing-masing sektor/industri tersebut, maka kemudian kita harus mengomunikasikannya ke target market yang kita tuju. Itulah yang disebut branding. Beberapa negara sukses melakukan country branding. Contohnya Swiss. Begitu mendengar kata Swiss apa yang ada di benak kita? Jam. Ya, karena jam-jam hebat di bikin di Swiss. Perancis dikenal dengan produk wine-nya. Jerman dikenal dengan mobil kelas atas kerena memiliki Mercedes dan BMW. Atau Amerika dengan Sillicon Valley-nya dikenal dengan produk-produk berteknologi tinggi. Sekali lagi, Indonesia apa?
Pariwisata: The Rising Star
Berbicara positioning atau sektor/industri yang harus dikembangkan, apa kira-kira sektor/industri yang bisa menjadi competitive advantage of nation bagi Indonesia? Dari banyak sektor/industri yang ada, pariwisata adalah salah satu pilihan terbaik. Ya, karena negeri ini begitu indah dengan kekayaan destinasi wisata alam dan budaya yang begitu mengagumkan. Itulah diferensiasi Indonesia yang sulit dipatahkan oleh negara lain manapun.
Ada dua pertimbangan mengapa sektor pariwisata menjadi kandidat terbaik untuk menjadi sektor unggulan bangsa ini.
Pertama dari sisi pertumbuhan, sektor ini tumbuh luar biasa selama lima tahun terakhir. Coba kita tengok kinerja mengesankan sektor ini beberapa tahun terakhir. Tahun 2015 lalu sektor ini menyumbang devisa USD12,6 miliar dengan pertumbuhan yang robust dua digit (rata-rata 10,3% pertahun selama 5 tahun terakhir). Dengan acuan kinerja lima tahun terakhir, kalau kita proyeksikan ke depan, maka bisa jadi 3 tahun ke depan sektor migas akan tersalib oleh pariwisata sebagai penghasil devisa terbesar. Dengan kekayaan alam dan budaya, potensi pariwisata kita bisa dibilang tak ada batasnya, tinggal bagaimana kita mampu mengolah dan mengembangkannya.
Kedua dari sisi pemerataan. Sektor ini bisa dibilang memiliki multiplier effect yang paling luas dibanding sektor-sektor lain. Datangnya wisatawan ke suatu obyek wisata akan menimbulkan kegiatan di sektor ekonomi lain seperti perhotelan, restoran, transportasi lokal, layanan paket wisata lokal, produk kerajinan lokal, hingga produk makanan-minuman lokal.
Ketika seorang wisatawan membelanjakan uangnya di suatu obyek wisata, maka uang tersebut akan beredar dalam kurun waktu cukup lama, bisa sampai setahun. Dengan adanya transaksi yang dilakukan oleh wisatawan, maka uang tersebut akan berpindah dari satu tangan ke tangan berikutnya, dari satu perusahaan ke perusahaan berikutnya. Uang yang beredar itulah yang membawa dampak positif karena mampu menggerakan perekonomian desa secara luas. Semua kalangan akan menerima “tetesan rezeki” yang dibawa oleh si wisatawan.
Tak heran kalau dikatakan bahwa industri pariwisata adalah penghasil multiplier effect yang pada gilirannya mewujudkan pemerataan kemakmuran. Berbeda dengan industri hitech yang umumnya hanya dinikmati kaum bermodal dan berpengetahuan, kucuran rezeki industri pariwisata bisa dinikmati semua kalangan dari lulusan doktor hingga lulusan SD Inpres.
Balik lagi ke judul tulisan ini. Jadi apa core economy yang dimaksudkan Jokowi? Jawaban saya adalah: pariwisata!

Thursday, October 26, 2017

Saturday, October 21, 2017

What the United States Did in Indonesia

https://www.theatlantic.com/international/archive/2017/10/the-indonesia-documents-and-the-us-agenda/543534/?utm_source=gltw

A trove of recently released documents confirms that Washington’s role in the country’s 1965 massacre was part of a bigger Cold War strategy.

General Suharto being sworn into the Indonesian Cabinet by President Sukarno
General Suharto being sworn into the Indonesian Cabinet by President Sukarno on July 29, 1966


In Indonesia in October 1965, General Suharto responded to the kidnapping and murder of six high-ranking military officers by accusing the Indonesian Communist Party (PKI) of organizing a brutal coup attempt. Over the months that followed, he oversaw the systematic extermination of up to a million Indonesians for affiliation with the party, or simply for being accused of harboring leftist sympathies. He then took power and ruled as dictator, with U.S. support, until 1998.

This week, the non-profit National Security Archive, along with the National Declassification Center, published a batch of U.S. diplomatic cables covering that dark period. While the newly declassified documents further illustrated the horror of Indonesia’s 1965 mass murder, they also confirmed that U.S. authorities backed Suharto’s purge. Perhaps even more striking: As the documents show, U.S. officials knew most of his victims were entirely innocent. U.S. embassy officials even received updates on the executions and offered help to suppress media coverage. While crucial documents that could provide insight into U.S. and Indonesian activities at the time are still lacking, the broad outlines of the atrocity and America’s role are there for anyone who cares to look them up.

What is often sorely lacking, however, is an appreciation of the importance of the event or how fundamental the violence was to achieving U.S. goals at the time. Compared with the Vietnam War or a subsequent series of right-wing coups in Latin America, Indonesia 1965 is virtually unknown. But considering the U.S. government’s foreign-policy goals at the time—halting the spread of communism and bringing countries around the world into its sphere of influence—Suharto’s bloody purge was a huge win. The decimation of the PKI and Suharto's rise to power constituted a major turning point in the Cold War

John Roosa is an associate professor of history at the University of British Columbia in Vancouver, and author of a seminal book on Indonesia in 1965. After reviewing the new documents and their media coverage this week, he told me that much “of the U.S. foreign policy establishment viewed it as a great victory that they were able to sort of ‘flip’ Indonesia very quickly.” Indonesia is the world's fourth-largest country by population size, and its communist party was the world's third-largestafter China and the Soviet Union.

Roosa added that a major problem with framing the events of 1965 is that it's often claimed the United States simply “stood by,” as the bloodbath occurred, which is incorrect. “It's easy for American commentators to fall into that approach, but the U.S. was part and parcel of the operation, strategizing with the Indonesian army and encouraging them to go after the PKI.”

Some elements within the U.S. government had been trying to undermine or overthrow Sukarno, Indonesia's anti-colonial independence leader and first president, far before 1965. In 1958, the CIA backed armed regional rebellions against the central government, only calling off operations after American pilot Allen Pope was captured while conducting bombing operations that killed Indonesian soldiers and civilians. Agents reportedly went so far as to stage and produce a pornographic film starring a man wearing a Sukarno mask, which they hoped to employ to discredit him. It was never used. Then for years, the United States trained and strengthened the Indonesian army. After John F. Kennedy's death derailed a planned presidential visit to Jakarta and relations worsened with the Johnson administration, Sukarno strengthened alliances with communist countries and employed anti-American rhetoric in 1964.

In 1965, when General Suharto blamed the military purge on a PKI coup plot, the CIA supplied communications equipment to help him spread his false reports before moving into power and overseeing the industrial-scale slaughter, as previously released government documents showed. Several of the documentsreleased this week indicate that the U.S. embassy had reliable information that placed blame on rank-and-file PKI members—information that was entirely inaccurate, but nevertheless had encouraged the army to exploit this narrative.

It has long been known that the United States provided Suharto with active support: In 1990, a U.S. embassy staff member admitted he handed over a list of communists to the Indonesian military as the terror was underway. “It really was a big help to the army,” Robert J. Martens, a former member of the embassy's political section, told The Washington Post. “They probably killed a lot of people, and I probably have a lot of blood on my hands, but that's not all bad.”

Much of the American press at the time did not take a radically different view. In a June 1966 column in The New York Times, entitled “A Gleam of Light in Asia,” James Reston wrote that “The savage transformation of Indonesia from a pro-Chinese policy under Sukarno to a defiantly anti-communist policy under General Suharto is the most important of these [hopeful] developments. Washington is being careful not to claim any credit ... but this does not mean Washington had nothing to do with it.”

It should not be entirely surprising that Washington would tolerate the deaths of so many civilians to further its Cold War goals. In Vietnam, the U.S. military may have killed up to 2 million civilians. But Indonesia was different: the PKI was a legal, unarmed party, operating openly in Indonesia’s political system. It had gained influence through elections and community outreach, but was nevertheless treated like an insurgency.

Earlier this month in Central Java at the Sekretariat Bersama 1965, one of Indonesia's main organizations for the remembrance of these events, I met a survivor of the 1965 massacre. “I believed in President Sukarno and our revolution. At the time our country had the official ‘NASAKOM’ ideology, which meant that Nationalists [NAS, from Nasionalisme], Muslim groups [A, for agama,or ‘religion’ in Indonesian] and Communists [Komunisme] were all supposed to work together to build the country,” he said. “Yes, I worked on the left side of politics, broadly under ‘KOM,’ and there was nothing wrong with that.”

Though he worked as a schoolteacher and not as an actual PKI member, he said he was arrested and tortured for days, before watching his cellmates dragged off one by one, never to return. He was spared, for reasons he never understood, and spent over a decade in prison. But it wasn't only communists and leftists who were victimized. Untold numbers of people were tortured, raped, and killed for being accused of being communists, or for belonging to an ethnic minority, or simply being an enemy of some member of the officially-sanctioned death squads.

Another common problem with the framing of Indonesia 1965 is that the mass violence is often couched as coincidental to Suharto's rise to power, rather than serving as a prerequisite for it. Historians broadly agree that the anti-communists in the military could have never taken power without crushing the PKI by some means.

“Suharto could not have come to power without the extermination of the PKI,” said Brad Simpson, the historian at the University of Connecticut who worked with the National Security Archive to digitize and publish U.S. embassy documents this week. He agrees with Roosa that the depiction of the United States as simply a bystander is problematic.

More documents revealing what happened in Indonesia in 1965 are likely to come, Simpson tells me. But they’re unlikely to offer a complete picture of what both governments were up to in 1965—they won’t for instance, include information from the U.S. military and the CIA. The Indonesian government has offered practically nothing. “Literally no Indonesian official records are publicly available anywhere, so we're really reliant on Western archives,” Simpson said.

This is because much of Indonesia's political elite still relies on Suharto's original—and false—narrative for their legitimacy. The country's powerful military leaders fight any investigations that might lay blame on them. Suharto's government produced a crude, wildly inaccurate propaganda film depicting Communists torturing and killing military officers while communist women perform a wild dance.

The methods Suharto used may have inspired other Washington-backed right-wing putsches around the world. According to several accounts of Santiago, Chile, in the days before the U.S.-backed coup that deposed Salvador Allende, cryptic graffiti showed up on walls around the city. Referring to the capital of Indonesia, they read, “Jakarta is coming.”

Kedutaan Besar AS mengikuti berjalannya pembunuhan massal di Indonesia pada tahun 1965

https://nsarchive.gwu.edu/kedutaan-besar-mengikuti-berjalannya-pembunuhan-massal-di-indonesia-pada-tahun-1965


30+ YEARS OF FREEDOM OF INFORMATION ACTION

Arsip Kedubes AS Jakarta yang baru saja dibuka merinci pembunuhan oleh AD, dan dukungan AS dalam penghancuran gerakan buruh berorientasi kiri

Washington, D.C., 17 Oktober 2017 – Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengetahui secara mendetail bahwa bagian Angkatan Darat (AD) dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan operasi pembunuhan massal terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965, menurut dokumen-dokumen yang baru saja dibuka (tidak dirahasiakan lagi) dan diposting hari ini oleh Arsip Keamanan Nasional (National Security Archive) di George Washington University. Bahan-bahan baru ini menunjukkan lebih jauh bahwa para diplomat di Kedutaan Besar AS di Jakarta menyimpan catatan identitas para pemimpin PKI yang dibunuh, dan para pejabat AS mendukung secara aktif upaya-upaya AD untuk menghancurkan gerakan buruh yang berorientasi kiri di Indonesia.
Ketigapuluh sembilan dokumen yang diturunkan hari ini berasal dari sebuah kumpulan hampir 30.000 halaman arsip catatan harian Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia, dari 1964 hingga 1968. Kumpulan ini, yang kebanyakan sebelumnya dirahasiakan (classified), diproses oleh National Declassification Center sebagai tanggapan terhadap tumbuhnya minat publik mengetahui lebih jauh tentang dokumen-dokumen AS lainnya berkaitan dengan pembunuhan massal 1965-66. Aktivis hak asasi manusia dan kebebasan informasi dari Amerika dan Indonesia, pembuat film, serta sekelompok senator AS yang dipimpin oleh Tom Udall (Demokrat, New Mexico), menyerukan agar arsip-arsip ini di-deklasifikasikan.
Dokumen-dokumen ini berkaitan dengan salah satu periode sejarah Indonesia dan hubungan AS-Indonesia yang paling penting dan bergolak. Dalam periode tersebut, terjadi beberapa perkembangan politik. Di antaranya, runtuhnya secara perlahan-lahan pertalian antara Jakarta and Washington, pecahnya sebuah perang skala rendah dengan Inggris akibat dibentuknya Malaysia, meningkatnya ketegangan antara AD dan PKI, makin radikalnya Presiden Indonesia Sukarno, serta diperkuatnya operasi rahasia AS yang bertujuan memprovokasi bentrokan antara PKI dan AD. Ketegangan-ketegangan ini meledak sesudah upaya pembersihan atas tubuh AD oleh Gerakan 30
September – sekelompok perwira militer yang bekerja sama dengan segelintir pemimpin PKI. Sesudah menghancurkan G30S - yang menculik dan membunuh enam jendral AD - bersama dengan sekutu paramiliternya, AD meluncurkan sebuah kampanye pembasmian terhadap PKI dan organisasi-organisasi massa yang berafiliasi pada PKI. Dalam kampanye pembasmian ini, 500.000 orang yang dituduh pendukung PKI dibunuh antara bulan Oktober 1965 dan Maret 1966 dan hingga satu juta orang ditahan. Akhirnya Sukarno dilengserkan dan diganti oleh Jendral Suharto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun kemudian. Pada bulan Mei 1998, Suharto jatuh dari jabatannya sebagai presiden.
Untuk pertama kalinya, National Security Archive bekerja sama dengan National Declassification Center (NDC) untuk menyediakan seluruh kumpulan ini pada publik dengan memindai dan mendigitalisasinya. Kumpulan ini kemudian akan digabungkan ke dalam pembantu pencarian digital (digital finding aids) Administrasi Arsip dan Catatan Nasional (National Archives and Records Administration, NARA). Dengan selesainya proses itu, ilmuwan, jurnalis dan peneliti akan dapat menelusuri dokumen dengan mencari menggunakan tanggal, kata kunci, atau nama – dengan itu memberikan akses tak tertandingi, terutama bagi khalayak umum di Indonesia, pada kumpulan catatan mengenai salah satu periode terpenting dalam sejarah Indonesia.
Dari 30.000 halaman yang telah diproses oleh NDC, beberapa ratus dokumen masih tetap dirahasiakan, dan dokumen-dokumen tersebut masih sedang menjalani pengkajian ulang sebelum dibuka, menurut jadwal, pada awal tahun 2018. Meskipun sebagian dokumen dalam kumpulan ini telah dibukakan sebelumnya dan disimpan di NARA atau di Perpustakaan Kepresidenan Lyndon Johnson pada akhir 1990an, ribuan halaman tersedia untuk pertama kali dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun.

DOKUMEN-DOKUMEN

Terdapat berbagai jenis dokumen dalam arsip Kedutaan Besar AS di Jakarta, mulai dari operasi sehari-hari Kedubes sampai pengamatan-pengamatan tentang politik, ekonomi, kebijakan asing dan urusan militer Indonesia, serta konflik antara AS dan Sukarno, antara AD dan PKI; Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, dan konsolidasi rejim Suharto. Sementara kebanyakan dokumen dalam buku ulasan ini membahas kejadian-kejadian seputar 30 September 1965, beberapa dokumen lain di antaranya telah kami ikutsertakan untuk memberikan gambaran tentang luas dan pentingnya kumpulan dokumen ini secara keseluruhan dalam memahami lebih lanjut konsolidasi rejim Suharto.

U.S. Consulate in Medan, Telegram 509 to Jakarta, Limited Official Use
1965-06-08
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 12, Folder 8 Pol 12 PKI-Army
Konsul AS di Medan melaporkan bahwa pejabat-pejabat AD di Medan telah mengesampingkan pejabat-pejabat setempat dengan menggunakan kekuasaan di bawah Komando Dwikora yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk memberikan kekuasaan yang lebih besar pada ABRI dalam konteks perang Konfrontasi dengan Inggris soal pembentukan Malaysia. Pada tanggal 1 Oktober, seperti dipaparkan oleh sejarawan Jess Melvin, para komandan militer di Medan menggunakan kekuasaan yang sama untuk mengumumkan darurat militer dan melancarkan pembunuhan pertama terhadap mereka yang dituduh pendukung PKI. 

Copy of Letter from Sjafruddin Prawiranegara to Edwin L. Fox, Enclosure 1, Airgram A-125 from U.S. Embassy Jakarta to State, Secret
1965-08-05
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 3, Folder 22 - POL - POLITICAL AFF. And REL. 1965 general
Dalam surat kepada mantan administrator USAID Edwin Fox, Sjafruddin Prawiranegara (mantan Menteri Keuangan dan perdana menteri pemerintahan PRRI selama perang sipil di Indonesia dari 1958-1961) memberikan pembelaan yang kuat terhadap perang AS di Vietnam. Sjafruddin, anggota partai Islam Masyumi yang pada saat itu dipenjara, mempertahankan bahwa AS “mengikuti satu-satunya jalan yang benar menuju … pembendungan yang diperlukan terhadap komunisme yang agresif” di wilayah Asia Tenggara. Dukungan antusias Sjafruddin terhadap perang Vietnam luar biasa, karena kebijakan asing AS di wilayah Asia Tenggara mendapat banyak perlawanan, termasuk di antara para perwira ABRI yang anti-komunis, yang banyak di antara mereka bersimpati dalam dengan orang Vietnam yang melawan AS.

Telegram 542 A from Secretary of State to American Embassy in Jakarta
1965-09-15
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 5, Folder 13 Assistance to US citizens - Lovestrand 1965
Telegram ini berkomentar tentang kondisi di Irian Barat (Papua Barat) pada pertengahan September 1965, sebagaimana diceritakan oleh seorang misionaris Protestan Belanda yang melaporkan tentang dipenjarakannya seorang misionaris, Harold Lovestrand. Misionaris ini mengungkapkan bahwa terdapat “pembicaraan tentang pemberontakan terbuka oleh orang Papua,” dan sebuah tindakan keras oleh militer Indonesia sesudah tiga orang prajurit ditembak selama sebuah upacara pengibaran bendera. “Prajurit esoknya menembaki semua orang Papua yang terlihat dan banyak orang tak berdosa yang sedang dalam perjalanan tertembak di jalanan.”

US Embassy in Jakarta, Telegram 971 to Secretary of State, Secret
1965-10-12
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 4, Folder 7 pol 23-9 rebellion. Coups. 30th September Movement 1965
Duta Besar AS di Indonesia, Marshall Green, melaporkan tentang sebuah percakapan dengan duta besar Jerman Barat. Menurut dubes Jerman Barat, “AD Indonesia sekarang mempertimbangkan kemungkinan menggulingkan Sukarno sendiri dan sedang mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat untuk memberitahukan bahwa tindakan ini mungkin terjadi.” Seorang wakil AD mendekati duta besar Jerman sesudah Sukarno nampaknya mengacuhkan upaya AD menunjukkan beliau bukti “keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September.”

Telegram 779A from American Embassy in Jakarta to Secretary of State in Washington, Secret
1965-10-18
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 3
Dokumen ini mencatat sebuah percakapan antara staf Kedubes dan Surtarto, asisten khusus Ruslan Abdulgani. Dicatat bahwa “aksi-aksi anti-PKI” sekarang terjadi di Medan, Sumatra Selatan, dan Makassar, sementara Jawa Tengah sedang “bergolak.” “Aksi anti-PKI” ini dilaporkan sedang dipimpin oleh “[kelompok-kelompok] AD/Islam.” Surtarto dengan bebas membahas interogasi Untung (salah satu pemimpin Gerakan 30 September) dan menyarankan “mungkin kita harus menggantung” para pemimpin inti PKI dan “membunuh” Komandan Angkatan Udara (AU) Omar Dani. Staf Kedubes AS dicatat bertanya apakah tindakan-tindakan AD akan mencapai “lebih dari” demonstrasi-demonstrasi anti-PKI yang sedang berlangsung dan “penjarahan” instalasi dan rumah-rumah pribadi yang berhubungan dengan PKI. Rencana AD mengadakan aksi-aksi di Kedubes Republik Rakyat Cina juga dilaporkan.

US Embassy in Jakarta, Telegram 1168 to Secretary of State, Secret
1965-10-23
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 1-POL 23-9 Rebellion Coup 30 September Movement Oct.20-25, 1965
Laporan dari Duta Besar AS Marshall Green ini menggambarkan upaya-upaya AD untuk melarang Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), sebuah konfederasi serikat buruh yang berafiliasi pada PKI, yang dituduh secara terbuka oleh AD terlibat dalam Gerakan 30 September, dan untuk memecat Menteri Perburuhan, Sutomo. Memo dari Green ini membahas dilema AD (dan dilema AS) dalam memutuskan bagaimana menangani Menteri Perburuhan, yang tidak mau bekerja sama sepenuhnya dengan AD untuk menyerang SOBSI. Meskipun Green menganggapnya “hampir tidak mungkin” bahwa SOBSI mengetahui apapun – atau terlibat dalam – Gerakan 30 September, Green mencatat bahwa AD menganggap SOBSI sebagai “kekuatan politik yang mandiri” dan dengan demikian merupakan ancaman terhadap rencananya mengkonsolidasikan kekuasaan.

US Embassy in Jakarta, Telegram A 298 to Secretary of State, Secret; Memorandum of Conversation: The Situation in Indonesia After the Coup Attempt and Efforts of Indonesian Moderates to Assist the Army to Destroy the PKI.
1965-10-23
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 1-POL 23-9 Rebellion Coup 30 September Movement Oct.20-25, 1965
Memorandum ini menceritakan ulang percakapan antara Sekretaris Kedua Kedubes Robert Rich dan Adnan Buyung Nasution, sebagai asisten jaksa agung (dan kelak kritik Suharto dan pendiri lembaga hak asasi manusia pertama di Indonesia). Nasution memberitahu Rich bahwa ini adalah saat kritis bagi kaum moderat Indonesia, seperti misalnya anggota PNI and Masyumi, yang harus “melanjutkan tindakan keras terhadap kaum komunis untuk sepenuhnya mematahkan kekuasaan PKI…” Nasution berkata bahwa, “ AD sudah mengeksekusi banyak komunis, tapi kenyataan ini harus ditutup dengan rapat” dan bahwa “tingkat represi AD terhadap PKI sedang disembunyikan dari Sukarno.” Memo menyarankan bahwa terdapat dukungan luas bagi pembunuhan massal oleh AD, termasuk di antara unsur-unsur politik moderat di Indonesia.

Letter from Norman Hannah, CINCPAC to Marshall Green, Secret
1965-10-23
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Mvt Nov 10-19 1965
Dalam surat ini, Hannah, penasihat politik pada komandan pasukan AS di Pasifik (commander-in-chief for the Pacific, CINCPAC) menanyai Dubes AS Green bagaimana CINCPAC dan AS patut menanggapi “kemungkinan yang cukup tinggi bahwa AD Indonesia akan meminta bantuan kita untuk melawan pemberontakan PKI.” Permintaan semacam itu, dia berspekulasi, “dapat mencakup apapun mulai dari operasi dan bantuan tersembunyi hingga angkutan, dana, peralatan komunikasi, maupun senjata.” Seminggu kemudian, Green mengajukan permohonan agar pemerintahan Johnson “menjelajahi kemungkinan diberikannya bantuan jangka pendek satu kali saja, secara tersembunyi dan tanpa bisa dilacak sumber bantuan tersebut” sebagai tanda dukungan AS, dengan ini memulai perluasan dukungan tersembunyi AS pada AD yang kemudian mencakup dana, peralatan komunikasi, dan senjata.

Telegram 1290 from American Embassy Jakarta to Department of State, Confidential
1965-11-01
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965
Dalam telegram ini dari awal Nopember 1965, Dubes AS Marshall Green menggambarkan keadaan di Sumatra Utara (daerah yang termasuk salah satu tempat pembunuhan terburuk sesudah 1 Oktober) dan upaya AD untuk menghancurkan serikat buruh minyak yang berafiliasi pada PKI, PERBUM. Telegram itu mencatat bahwa “dilaporkan 600 komunis sudah ditahan dan penangkapan-penangkapan terus berlanjut,” termasuk “semua pemimpin serikat buruh minyak PERBUM.” Green juga mencatat, “Para pemimpin tinggi SOBSI di kilang minyak Shell dan Stanvac kedua-duanya, dan di pabrik pupuk PUSRI adalah di antara mereka yang diambil.” Pada saat itu, baik Stanvac maupun Shell, dua dari tiga perusahaan minyak asing terbesar yang beroperasi di Indonesia, sedang mengadakan negosiasi mengalihkan kepemilikan kilang kepada pemerintah Indonesia. Rencana pengalihan ini dihentikan di kemudian hari berdasarkan tekanan berat dari pejabat-pejabat AS.

Report from the Director of Intelligence, Indonesian Air Force on the situation in East Java (No. 51/ch/Pr/i/65)
1965-10-29
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 4 pol 23-9 September 30th Mvt November 1-9, 1965
Laporan ini, ditulis dalam Bahasa Indonesia oleh direktur intelijen AU, memberikan gambaran yang jarang terdapat, tentang pelaporan internal ABRI sesudah Gerakan 30 September. Laporan ini menggambarkan kegiatan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di daerah sekitar Surakarta, terutama Solo, yang diperlakukan sebagai zona perang oleh AD karena populernya PKI di daerah tersebut. Pasukan RKPAD sebelumnya dikerahkan dalam kampanye Konfrontasi melawan Inggris seputar pembentukan Malaysia. Laporan ini menunjukkan bahwa pasukan RPKAD dialihkan dari Konfrontasi ke upaya penyerangan terhadap PKI.

Telegram 194 from American Consul in Surabaya to Jakarta, Limited Official Use
1965-11-04
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Telegram menggambarkan represi AD terhadap PKI di berbagai bagian Jawa Timur saat mulainya pembunuhan massal. Menurut telegram ini, Jawa Timur sebagian besar terkendali.

Telegram 1425 from American Embassy Jakarta to Secretary of State, Secret
1965-11-12
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Mvt Nov 10-19 1965
Telegram dari Dubes Marshall Green meringkas keadaan politik dan keamanan di Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur, saat represi yang didukung dan diatur oleh AD terhadap mereka yang dituduh pendukung PKI, dan juga warga Tionghoa, terus meluas. Menurut Green, seorang pemuka Protestan Sulawesi melaporkan bahwa “90% dari toko-toko Tionghoa di Makassar diserbu dan isinya dihancurkan selama kerusuhan 10 Nopember yang dinyatakan melibatkan hampir seluruh penduduk.” Pemuka Protestan tersebut “juga melaporkan kekerasan anti-PKI yang luas di daerah Bugis di Sulawesi. Warga Muslim di Bone dilaporkan merangsek masuk ke dalam sebuah kamp tahanan dan membunuh 200 tahanan PKI.”

Telegram 1485 from American Embassy in Jakarta to Secretary of State in Washington, Secret
1965-11-18
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 4
Telegram ini melaporkan bahwa meski kedubes belum mendengar apa-apa tentang upaya-upaya khusus AD untuk membawa partai-partai Islam di Jakarta “di bawah organisasi payung ‘Komite Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September,’” dipahami bahwa AD sedang membangun sebuah koalisi dengan partai Islam dan Kristen dan sayap kanan PNI. Dilaporkan pula bahwa komandan antar-daerah untuk Sumatra, Mokoginta, telah mengemukakan pandangan bahwa AD tidak akan mentolerir “politik partai politik bebas atau gerakan serikat buruh bebas.”

Telegram 1516 from American Embassy in Jakarta to Secretary of State, Secret
1965-11-20
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 6 pol 23-9 September 30th Mvt, November 20-30, 1965
Telegram penting ini melaporkan percakapan antara pengamat-pengamat Barat dan aktivis PKI di Jakarta dan Jawa Tengah, termasuk Jogjakarta. Menurut seorang “jurnalis Australia yang bisa diandalkan” yang baru kembali dari Jawa Tengah, “sebuah sumber PKI yang menyatakan dirinya dekat dengan 50 orang tokoh terpenting PKI Jogjakarta menyatakan PKI tidak menerima pemberitahuan sebelumnya tentang Gerakan 30 September dan bahwa terdapat kebingungan besar dalam partai tentang apa yang perlu dilakukan mereka.” Orang Australia itu, fasih berbahasa Indonesia, “adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah pada tanggal 10 Oktober” dan menemukan kader-kader PKI setempat “sepenuhnya bingung dan menyatakan tidak tahu apa-apa tentang Gerakan 30 September sebelum terjadinya peristiwa.” Telegram ini sepertinya menunjukkan bahwa para pejabat AS mengetahui betul bahwa mereka yang dituduh pendukung dan anggota PKI, yang sedang ditangkapi atau dibunuh dalam kampanye represi dan pembunuhan massal yang dipimpin AD, tidak mempunyai peran, bahkan pengetahuan, tentang Gerakan 30 September, sekalipun pada saat yang bersamaan AS mulai menawarkan dukungan tersembunyi yang cukup berarti bagi kampanye pembersihan itu.

Action Telegram 183 from American Consul Surabaya to Jakarta, Confidential
1965-11-26
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 6 pol 23-9 September 30th Mvt, November 20-30, 1965. (This cable appears in the State Department Central Files as Telegram 41 from Surabaya to State, November 27, 1965, RG 59, Central Files, 1964-1966, POL 23-8, NARA)
Telegram terperinci dari petugas konsulat AS di Surabaya ini memberikan beberapa laporan paling rinci (dan berdarah) mengenai kampanye yang dipimpin AD melawan PKI. Petugas mencatat bahwa “kami terus menerima laporan bahwa PKI sedang dibantai di banyak wilayah Jawa Timur. Misionaris, yang kembali dari Kediri pada tanggal 21 Nopember mendengar pembantaian terbesar terjadi di Tulungagung di mana dilaporkan 15.000 orang komunis terbunuh. Pembunuhan di Jawa Timur “mempunya nuansa Perang Suci: pembunuhan terhadap orang kafir seharusnya memberi tiket ke surga dan jika darah korban digosokkan di wajah, jalan menuju surga bahkan lebih pasti lagi.” Meski dengan pertimbangan kemungkinan adanya klaim berlebihan, konsulat melaporkan bahwa sebuah “pembantaian luas” sedang terjadi.

Airgram A-353, Joint Weeka No. 45 from U.S. Embassy Jakarta to State, Secret.
1965-11-30
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 10, Folder 12-POL 2-1 Joint Weeks Sept. 1-December 31, 1965
“Joint Weeka” ini, sebuah ringkasan mingguan peristiwa, menunjukkan salah satu pengakuan atas adanya dukungan oleh Suharto atau perintah dari Suharto untuk pembunuhan massal terhadap pendukung PKI. Kedubes melaporkan, “Dalam serangkaian pertemuan dengan para pemimpin pemuda dari beberapa partai, Jenderal Nasution menyatakan tekadnya untuk melanjutkan kampanye represi PKI, yang telah mencapai tahap eksekusi massal di beberapa propinsi di Indonesia, tampaknya, di Jawa Tengah setidaknya, atas perintah Jenderal Suharto.” “Baik di propinsi-propinsi maupun di Jakarta, represi terhadap PKI berlanjut, dengan masalah utama yang dihadapi yaitu apa yang akan diberikan kepada para tahanan untuk dimakan dan di mana mereka akan ditempatkan. Banyak provinsi tampaknya berhasil mengatasi masalah ini dengan mengeksekusi tahanan PKI mereka, atau dengan membunuh mereka sebelum ditangkap, sebuah tugas di mana kelompok pemuda Muslim memberikan bantuan.”

Telegram 1025 A from American Embassy Jakarta to Secretary of State, Confidential
1965-11-30
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Dokumen luar biasa ini menggambarkan sebuah pertemuan antara staf Kedubes dan Sekretaris Pertama Polandia Andrzej Gradziuk. Gradziuk memberikan catatan yang sangat berbeda tentang Gerakan 30 September dengan apa yang dipromosikan oleh AD. Dia mengusulkan “gagasan itu berasal dari luar PKI” dan bahwa hal itu dimaksudkan sebagai “operasi intra-pemerintah untuk menangkap sejumlah jenderal-jenderal penting di kalangan jenderal teratas.” Tidak ada niat, dia menjelaskan, untuk membunuh para jenderal. Gradziuk juga mencatat bahwa pihak Soviet merasa khawatir bahwa target AD telah menjangkau lebih dari PKI dan mencapai “kelompok progresif lainnya” di dalam masyarakat Indonesia. Dia tidak dapat mengerti, dilaporkan, mengapa PKI tidak bertindak dalam menghadapi penindasan AD.” Diperkirakan mungkin PKI terlalu terbiasa menerima perintah dari Sukarno untuk mengetahui bagaimana bertindak secara independen begitu rencana semula tidak berjalan semestinya. Penulis laporan tersebut mengatakan bahwa mungkin saja cerita dari Kedutaan Besar Polandia ini (bahwa Gerakan 30 September memang direncanakan sebagai urusan internal tentara) “dimanipulasi”, namun penulis tampaknya tidak yakin apakah mungkin cerita tersebut mengandung kebenaran juga, menunjukkan tidak semua staf KBRI sepenuhnya percaya pada versi propaganda resmi AD (atau tahu bahwa itu memang palsu).

Telegram 184A From American Consulate in Medan to the American Embassy in Jakarta, Confidential
1965-12-06
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Laporan ini melaporkan bahwa kelompok Islam Muhammadiah di Medan sedang mengeluarkan instruksi-instruksi yang menyatakan bahwa adalah suatu kewajiban agama untuk membunuh “PKI.” Instruksi ini (bahwa anggota PKI adalah tingkat kafir terendah yang “penumpahan darahnya sebanding dengan membunuh ayam") disebarkan di mesjid-mesjid. Instruksi-instruksi ini, dilaporkan, ditafsirkan sebagai “ijin luas untuk melakukan pembunuhan.” Organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) dikatakan memiliki posisi yang sama.

Telegram 183 A From American Consulate in Medan to American Embassy in Jakarta, Confidential
1965-12-06
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Laporan ini menjelaskan militer "memperkuat cengkeramannya pada semua aspek kehidupan politik" di Sumatra. Laporan tersebut melaporkan bahwa gubernur dan pemerintah kabupaten kepulauan sekarang berada di bawah kendali militer. Pihak militer juga membentuk sebuah "organisasi payung Muslim untuk merangkul dan mengendalikan semua organisasi Muslim." Dicatat keinginan militer agar partai politik tetap ditekan, karena lebih suka memerintah melalui kelompok fungsional yang didirikan di bawah Demokrasi Terpimpin. Memang, militer melanjutkan proses ini lebih jauh. Front Nasional, laporan tersebut menjelaskan, sekarang akan menjadi “instrumen tentara untuk mengendalikan partai dan ormas.” Pers berada di bawah kendali AD. AD juga terus mempersenjatai unit-unit Hansip untuk “memperluas komando militer langsung ke setiap desa di Sumatera.” Tidak ada perlawanan yang kuat terhadap hal ini karena pemandulan partai politik. Laporan tersebut menyatakan bahwa terlepas dari perkembangan di Jawa, kemungkinan militer akan terus mempertahankan pegangan besinya di Sumatra.

Airgram A-373, Joint Weeka No. 46 from U.S. Embassy Jakarta to State, Secret.
1965-12-07
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 10, Folder 12-POL 2-1 Joint Weeks Sept. 1-December 31, 1965
Joint Weeka ini melaporkan tentang kampanye yang sedang berlangsung melawan PKI, mencatat penangkapan sampai 34.000 anggota terduga PKI di Jawa saja dan penangkapan atau eksekusi di luar hukum terhadap anggota terkemuka Politbiro PKI. Laporan tersebut mencatat bahwa “aset cair penduduk asli Cina/Tionghoa di Indonesia disita di beberapa provinsi” dan bahwa “komandan militer regional akan mengambil alih semua penggilingan padi dan perusahaan tekstil yang dimiliki oleh anggota Asosiasi Komunitas Tionghoa Baperki,” sebuah tindakan oportunis yang dilakukan dengan cara menghubungkan orang Tionghoa setempat dengan Gerakan 30 September.

Telegram 187 from American Consulate Surabaya to American Embassy Jakarta, 'Joint sitrep 19', Confidential
1965-12-10
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Telegram ini merinci operasi “pembersihan” militer di Jawa Timur. Laporan tersebut melaporkan bahwa “massa PKI” di Kediri telah “dihancurkan” dan bahwa, sebagai hasilnya, AD sekarang “berusaha menghentikan pembunuhan.” Laporan tersebut menggambarkan pembunuhan tersebut telah dipimpin oleh “orang Islam.” Operasi pembersihan di Surabaya dilaporkan memakan waktu lebih lama karena banyaknya simpatisan PKI di daerah tersebut. Wakil Gubernur PKI Jawa Timur Satryo dilaporkan “tinggal diam di rumah” selama pembersihan terjadi.

Telegram A-386 From American Embassy Jakarta to Secretary of State, 'The PKI Hunt in Central Java', Confidential.
1965-12-10
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Laporan ini memberikan gambaran umum operasi AD di Jawa Tengah. Laporan ini menjelaskan RPKAD mempertemukan partai Katolik, IP-KI, dan NU untuk “membasmi” elemen PKI. NU dikatakan memberikan “sebagian besar dukungan” untuk operasi ini. Dilaporkan bahwa AD memiliki beberapa kesulitan untuk mengendalikan organisasi pemuda NU Ansor, yang dikatakan menyerang dengan keras tidak hanya “unsur-unsur PKI” tapi juga “korban non-PKI” yang konon terlibat dalam “perseteruan pribadi dengan anggota Ansor.” Masyarakat Tionghoa, dilaporkan, juga sedang diserang. Daftar “200 anggota Baperki” telah diberikan kepada AD. Daftar ini dikatakan sebagai “Who's Who” dari komunitas pengusaha Kudus. AD dilaporkan telah mengumumkan bahwa orang-orang yang terdaftar ini akan diinterogasi dan dipenjara tanpa batas waktu jika ditemukan sebagai aktivis Baperki. Banyak di antara mereka yang “hilang.” Kudus dikatakan sekarang “bebas dari unsur-unsur PKI.

US Department of State, Airgram A-398 to U.S. Embassy Jakarta, Secret
1965-12-17
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 12, Folder 9 PKI 1965
Dokumen luar biasa ini, yang dirangkum oleh Sekretaris Pertama Kedubes Mary Vance Trent, melaporkan nasib pemimpin PKI pada puncak pembunuhan massal, menunjukkan pengetahuan yang mendalam tentang operasi AD untuk menangkap atau membunuh anggota PKI yang berpangkat tinggi. Laporan tersebut juga mencatat “pemalsuan luas dari banyak dokumen misalnya yang dikatakan pernyataan pengakuan,” mengutip kasus anggota Politbiro PKI Njono, yang telah ditangkap oleh AD dan ditahan di Jakarta.

Airgram A-408, Joint Weeka No. 48 from U.S. Embassy Jakarta to State, Secret.
1965-12-21
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 10, Folder 12-POL 2-1 Joint Weeks Sept. 1-December 31, 1965
Dalam Joint Weeka ini, yang dirangkum oleh Sekretaris Kedubes Pertama Mary Louise Trent, Kedubes mencatat “keberhasilan AD yang mencolok” dalam upayanya untuk memusatkan kekuasaan di bawah naungan Komando Operasi Tertinggi yang baru dibentuk, atau KOTI, serta dalam upayanya membatasi kekuatan Sukarno dan menegaskan kekuasaan AD atas beliau. Laporan tersebut kemudian mencatat bahwa setidaknya 100.000 orang telah dibunuh dalam kampanye yang diorganisir AD melawan terduga pendukung PKI, termasuk setidaknya 10.000 orang di Bali. Menurut sebagian besar ilmuwan, pembunuhan di Bali dimulai pada awal Desember ketika RPKAD dan satuan-satuan pasukan Brawijaya di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo tiba. Pembunuhan lalu berlanjut selama beberapa bulan lagi, mengakibatkan sekitar 80.000 orang tewas.

Telegram 203 from American Consul in Surabaya to Jakarta, Confidential
1965-12-22
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Telegram ini melaporkan bahwa meskipun “pembunuhan tanpa pandang bulu” diduga telah berhenti di Jawa Timur, “tentara secara diam-diam melepaskan 10 sampai 15 tahanan kepada umat Islam untuk dieksekusi.” Laporan serupa dikatakan telah didengar dari sumber-sumber lain. Metode ini, dilaporkan, tampaknya sedang digunakan sehingga AD dapat mengklaim bahwa situasinya terkendali sementara “mengizinkan” umat Islam untuk “menerapkan tekad mereka untuk menghapus PKI.” Pernyataan ini tidak jujur - kelompok Muslim dengan jelas membantu militer untuk menerapkan kebijakannya sendiri sambil membiarkan militer menangkis tanggung jawab atas kekerasan tersebut. Laporan tersebut juga mencatat pembakaran toko-toko Cina di Bali. Kekerasan ini tidak hanya terbatas pada “orang Cina Merah”, meskipun ada upaya resmi untuk melindungi orang-orang Cina pro-Kuomintang. “Orang Cina komunis” dilaporkan meminta dievakuasi ke daratan Cina.

Telegram from 212 American Consul in Surabaya to Jakarta, 'Joint Sitrep 22', Confidential
1965-12-28
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 7 pol 23-9 September 30th Mvt, dec 1-31, 1965
Telegram ini melaporkan bahwa “pembunuhan terhadap terduga PKI terus berlanjut” di Jawa Timur namun “dalam skala yang lebih rendah dan lebih berhati-hati.” Telegram ini menggambarkan proses di mana korban dibunuh - korban, dilaporkan, sekarang “diambil dari daerah pemukiman sebelum dibunuh” dan mayat mereka “dikuburkan daripada dilempar ke sungai.” Dilaporkan bahwa NU membantu memimpin “kampanye untuk memusnahkan PKI” di Jawa Timur. Di Madiun, tahanan PKI sekarang “dikirim ke warga sipil untuk disembelih.” Kapolda Jatim Sumarsono dilaporkan mengatakan “sangat sulit untuk menghentikan pembunuhan.” Komentar ini harus diambil dalam konteks. Beberapa pemimpin PKI diduga masih bersembunyi di Surabaya. Karena efek inflasi, beras “hampir tidak dapat diperoleh.”

Telegram A-503 from American Embassy Jakarta to the Secretary of State in Washington, Secret
1966-02-07
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 23, Folder 4 POL INDO 1966
Ditulis satu bulan sebelum terjadinya transfer kekuasaan resmi dari Sukarno ke Suharto, laporan ini mencatat “permainan istana” Sukarno dan pimpinan puncaknya. Mobilisasi massa sebagai cara untuk menggulingkan Sukarno tidak dianjurkan karena dugaan “apatisme massa Indonesia” yang dicatat, telah “menunjukkan keengganan mereka untuk bergerak tanpa senjata AD di punggung mereka.” Bagaimana persisnya pengalihan kekuasaan akan terjadi tampaknya tidak diketahui. Ada kekhawatiran bahwa para pemimpin AD juga ditarik ke dalam intrik istana dan mungkin tidak lagi mendesak penggantian Sukarno. Laporan tersebut memberikan gambaran rinci tentang keseimbangan kekuatan di Indonesia pada saat itu.

Telegram 222 from American Consul General Hong Kong to American Embassy Jakarta, Limited Official Use
1966-04-27
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 27, Folder 14 Pol 23-9 rebellions and coups 1966
Laporan ini mengkonfirmasikan bahwa informasi yang beredar pada tanggal 1 Oktober 1965, yaitu bahwa Mao dan Republik Rakyat Cina telah terlibat dalam tindakan Gerakan 30 September adalah “tipuan.” Penulis menjelaskan sebuah artikel yang muncul dalam surat kabar yang disponsor militer, Angkatan Bersendjata pada tanggal 26 April 1966 adalah sebuah artikel yang “mereproduksi kata demi kata” sebuah artikel yang pernah muncul pada tanggal 16 Desember 1965 dalam surat kabar dwi-mingguan bahasa Cina yang bermarkas di Hong Kong. Artikel asli, catatan penulis, telah “jelas-jelas ditulis untuk menertawakan rezim Peking.” Kedua artikel tersebut menggambarkan Mao telah membantu Ketua PKI Aidit merencanakan usaha kudeta Gerakan 30 September, termasuk waktunya. Mao juga dicatat telah mendesak Aidit untuk “tegas dalam mengenyahkan para jenderal.” Kedua artikel tersebut selanjutnya menyarankan Mao menetapkan bahwa pembunuhan terhadap “kader dan tentara” mungkin diperlukan - karena Mao sendiri telah “membunuh lebih dari 20.000 kader dan tentara” selama naiknya ke tahta kekuasaan. Penyebaran informasi salah ini tidak hanya mendukung klaim militer bahwa Mao telah membantu Aidit merencanakan “kudeta gagal” Gerakan 30 September, namun juga klaim militer bahwa PKI berencana untuk melakukan pembunuhan massal terhadap lawan-lawannya, sehingga membenarkan kampanye pembunuhan militer sendiri terhadap PKI.

Enclosure 1: A-666, Djakarta',
1966-04-27
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 27, Folder 14 Pol 23-9 rebellions and coups 1966 'The History of the Gestapu Abortive Coup, Engineered in Peking'
Laporan ini mereproduksi sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Angkatan Bersendjata yang disponsor militer pada tanggal 25-26 April 1966. Melalui artikel ini, Mao digambarkan telah memerintahkan Aidit untuk melaksanakan Gerakan 30 September pada malam hari tanggal 30 September, “supaya hari nasional Republik Rakyat Indonesia Cina akan jatuh pada tanggal 1 Oktober, hari nasional RRC.” Di sini disarankan bahwa Indonesia akan menjadi bawahan Cina apabila Gerakan 30 September berhasil. Aidit, sementara itu, digambarkan ragu untuk melakukan tindakan tersebut. Dia diduga telah mengirim telegram pada Mao yang meminta agar tindakan tersebut ditunda karena ketidaksiapan komplotan tersebut. Mao dikatakan telah menjelaskan penolakannya menerima penundaan itu karena ingin memastikan Aidit mentaati rencana konspirasinya. Selain menggambarkan Aidit dalam posisi subordinat kepada Mao, laporan ini mungkin dimaksudkan untuk menjelaskan kekacauan pengaturan dan kegagalan Gerakan 30 September.
Artikel tersebut juga menyarankan bahwa Mao memerintahkan pembunuhan para jenderal. Mao dikatakan telah mendorong Aidit untuk membunuh “semua perwira senior reaksioner seperti Nasution, Yani dan Suharto dalam satu pukulan” sehingga Angkatan Bersenjata menjadi “seperti naga tanpa kepala” yang kemudian akan “menyerah” kepada Aidit. Selain mensinyalir bahwa Mao dan Aidit merencanakan pembunuhan tersebut - dan bermaksud membunuh lebih banyak orang kalau mereka tidak dihentikan oleh AD – versi cerita ini bermaksud untuk menjelaskan bahwa Suharto menjadi sasaran pertama Gerakan 30 September. Bahwa Suharto tidak menjadi sasaran Gerakan 30 September dan malah bertindak begitu cepat untuk menguasai ABRI telah lama dipandang sebagai bukti bahwa Suharto mungkin terlibat dalam tindakan-tindakan Gerakan 30 September.

Telegram A-673 from American Embassy to Department of State, Confidential. 'Example of Anti-Chinese Propaganda'
1966-03-04
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 27, Folder 14 Pol 23-9 rebellions and coups 1966
Laporan ini memperkenalkan sebuah salinan artikel surat kabar terlampir yang dipakai untuk menyebarkan garis propaganda militer bahwa PKI dan Cina berada di balik Gerakan 30 September. Penulis, Duta Besar Green, mengakui bahwa tuduhan telah dilontarkan untuk melayani “kebutuhan propaganda saat ini.” Militer, Green menjelaskan, ingin mengalihkan kesalahan dari Sukarno sambil mendorong gagasan bahwa “gerakan pro-komunis secara keseluruhan... harus dianggap bersalah ‘secara prinsip’.” Green menyatakan dengan jelas bahwa “kita tidak berpikir Cina adalah faktor utama dalam Gerakan 30 September.”

Airgram from American Embassy in Jakarta to Department of State, 'Public Finance: Foreign Exchange Fragmentation', Secret
1966-06-22
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 4
Laporan panjang ini, yang disusun oleh Kedutaan Besar namun tidak pernah dikirim ke Departemen Luar Negeri, merinci fragmentasi valuta asing di Indonesia. Laporan tersebut mencatat bahwa beberapa pejabat dan perwira AD “terus mengoperasikan sektor ekonomi seakan-akan seperti wilayah kekuasaan pribadi.” Kedutaan Besar mencatat bahwa sulit untuk mengkonfirmasi cerita-cerita ini tanpa akses ke catatan Bank Sentral dan berharap IMF (Dana Moneter Internasional) akan berusaha mengatasi masalah tersebut. Setelah Oktober 1965, pejabat AS mengamati (dan menyetujui) pejabat militer Indonesia yang bersekutu dengan Jenderal Suharto mendekati perusahaan asing dan meminta agar mereka menyetor royalti dan uang sewa ke rekening bank yang dikuasai AD sebagai alat untuk meruntuhkan pengaturan valuta asing Sukarno dan mempercepat runtuhnya Indonesia, untuk melegitimasi pengambilalihan kekuasaan oleh AD.

Telegram A-808 from American Embassy to Department of State, 'Army Military Police Corps Assuming Role as Thought Police?', Confidential
1966-06-29
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 23, Folder 12 - DEF6 Armed forces 1966
Laporan ini menguraikan proses baru untuk meresmikan pembersihan pegawai negeri sipil di Indonesia. Pegawai negeri sipil “diuji” dan diberi serangkaian pertanyaan yang harus dijawab mereka, termasuk melaporkan semua afiliasi politik yang mungkin mereka miliki, “kesalahan” apapun yang mungkin mereka lakukan sebelum 30 September 1965, dan bagaimana mereka membuktikan kesetiaan mereka terhadap gerakan anti-Gerakan 30 September. Diamati bahwa meski proses ini sangat menyeluruh, pengujian semacam itu mungkin sulit dilakukan di luar Jakarta. Tes tersebut, dicatat, sedang dikelola oleh Korps Polisi Militer AD, yang melihat peran mereka sebagai “menjaga ideologi negara.” Peran mereka, dijelaskan, adalah untuk menjadi semacam “polisi pikiran” - peran yang di bawah Sukarno tadinya semakin dimainkan oleh resimen Tjakrabirawa.

Telegram A-65 from American Embassy to Department of State, 'Conditions and Attitudes in East Nusatenggara', Confidential
1966-08-03
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 27, Folder 14 Pol 23-9 rebellions and coups 1966
Laporan ini menceritakan pengamatan seorang antropolog Amerika, Bapak James Fox, dan istrinya yang telah menghubungi Kedutaan Besar untuk menggambarkan kejadian-kejadian di Roti, tempat mereka tinggal, selama masa pembunuhan tersebut. Fox melaporkan bahwa pada bulan Januari atau Februari 1966, sebuah detasemen AD tiba di Roti dan mengeksekusi pemimpin PKI setempat dan seorang kader partai dari Jakarta bernama Sukirno. AD kemudian datang lagi pada pertengahan Maret dan mengeksekusi “antara 40 sampai 50 komunis Roti lokal ditambah 30 komunis lainnya” dari pulau tetangga, Sawu. Dari diskusi dengan penduduk setempat, Pak Fox berpendapat bahwa antara 800-1.000 orang yang dituduh komunis dieksekusi oleh AD di Nusatenggara Timur.

Telegram A-218 American Embassy Jakarta to Department of State, 'The Army Takes Hold in Central Java', Secret
1966-11-05
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 23, Folder 12 - DEF6 Armed forces 1966
Laporan ini mencatat sebuah perjalanan yang dilakukan petugas Kedutaan dengan seorang jurnalis New York Times ke Jawa Tengah. Ini adalah contoh jurnalisme “tertanam” karena perwakilan AD juga menyertai mereka. Tujuannya adalah supaya AD dapat menunjukkan kepada para pengunjung beberapa contoh “model” desa-desa di Indonesia yang berada di bawah kendali militer. Penulis mencatat bahwa AD telah memberlakukan “pegangan ketat” di propinsi tersebut. Rincian diberikan tentang penggunaan penghalang jalan, kartu identitas, larangan pertemuan lima orang atau lebih dan pencarian dari rumah ke rumah sebagai sarana untuk mengendalikan wilayah ini. Kegiatan militer, dicatat, telah diperluas dari “urusan keamanan dasar” ke upaya untuk "mengarahkan kembali kehidupan politik." Militer juga menjalankan program sosialisasi untuk menyebarluaskan program politik militer sebagaimana dirumuskan di Seminar AD di Bandung. Warga sipil yang menghadiri pertemuan ini ditanyai pertanyaan tentang “orde baru” [sebuah istilah yang masih baru pada waktu itu]. Penulis mencatat bahwa partai politik telah diberangus dan terdapat jumlah tahanan politik yang sangat besar. Militer digambarkan sebagai “penengah politik baru, inovator ekonomi dan pendidik lokal.”

Telegram 1626 from American Embassy in Jakarta to Secretary of State in Washington, Secret
1967-01-20
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 5
Telegram ini mencatat sebuah diskusi antara staf Kedutaan Besar dan Mayor Jenderal Sjarif Thajeb. Sjarif mencatat bahwa walaupun Suharto membutuhkan waktu lebih lama untuk menggulingkan Sukarno daripada yang diinginkan olehnya dan “orang-orang keras” lain seperti dirinya, dia akan segera bertindak untuk meresmikan transisi. Sukarno diperkirakan akan memberikan pidato kepada MPRS dalam beberapa hari ke depan, di mana dia akan berusaha untuk mengurangi keterlibatan PKI dalam tindakan Gerakan 30 September. Sjarif menyarankan Sukarno berencana untuk lebih menyalahkan “Nekolim” (yang berarti CIA) dan “teman tentara lokalnya,” dengan demikian, Nasution. Ini, Sjarif menyarankan, akan membantu mengeraskan pendapat militer terhadap Sukarno. Sjarif berencana menggunakan momentum ini untuk bergerak melawan Sukarno dan meramalkan pertumpahan darah lebih lanjut jika Sukarno menolak.

Telegram 2997 from American Embassy in Jakarta to Secretary of State in Washington, Confidential
1967-06-20
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 5
Telegram ini mencatat sebuah diskusi antara staf Kedutaan Besar dan Menteri Luar Negeri Adam Malik mengenai penunjukan “mantan antek dan ahli propaganda Sukarno” dan anggota PNI Ruslan Abdulgani sebagai wakil tetap Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Malik mengungkapkan ketidakpuasannya dalam pengangkatan tersebut, yang dalam pendapatnya menunjukkan bahwa Suharto terlalu ramah terhadap seseorang yang sangat terkait dengan “Rezim Lama.” Malik percaya bahwa Suharto mulai melihat PNI sebagai satu-satunya partai politik yang cukup besar untuk bertindak sebagai “lawan” terhadap “kelompok Islam” yang semakin dilihatnya sebagai ancaman dalam negeri terbesarnya. Perlu dicatat bahwa pemilihan tidak diantisipasi sebelum tahun 1970.

Airgram A-12 from American Embassy in Jakarta to Department of State, Basic Problems in our Dealings with Indonesia, Secret.
1967-07-21
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 5
Laporan setebal sebelas halaman ini menguraikan pendapat Kedubes tentang rezim Indonesia. Terbalut dalam bahasa pembangunan dan teori modernisasi yang populer saat itu, laporan ini mengacu pada kiasan budaya “orang Jawa” untuk mengemukakan adanya perbedaan budaya yang mendalam yang membedakan sikap antara orang Indonesia dan Amerika. Tujuan pemerintah AS, laporan tersebut menyarankan, mestinya “mengidentifikasi dan mendukung unsur ‘modernisasi’ di dalam kepemimpinan nasional” sambil menghindari kesalahpahaman budaya. Diusulkan berbagai cara untuk berurusan dengan pejabat Indonesia secara produktif. Laporan ini menjelaskan bahwa AS memiliki “kepentingan besar” dalam keberhasilan pemerintah Indonesia saat ini.

Telegram A-521 from the American Embassy in Jakarta to the Department of State, Limited Official Use.
1967-05-10
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 31, Folder 10 TP 15 trade and investment opportunities 1967 (m-z)
Dokumen ini dan selanjutnya berkaitan dengan upaya rezim Suharto mendorong perusahaan-perusahaan Barat untuk kembali ke Indonesia melalui penyusunan undang-undang investasi asing baru, serta penandatanganan kesepakatan konsesi dengan perusahaan minyak, pertambangan, dan kayu. Yang pertama mencatat kegiatan Misi Dagang Pasifik Kamar Dagang San Francisco Raya yang tiba di Jakarta pada tanggal 18 April 1967, untuk tinggal selama seminggu. Laporan ini menawarkan pandangan pemikiran dan strategi yang luar biasa rinci dan jujur mengenai pemikiran dan strategi pengusaha AS dan pejabat Indonesia saat para pejabat tersebut berusaha menarik investor Barat kembali ke Jakarta.

Elliott Haynes' Indonesian Diary', Unclassified
1967-12-00
Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 31, Folder 10 TP 15 trade and investment opportunities 1967 (m-z)
Dokumen luar biasa ini menawarkan pengamatan Ketua Business International Corporation (BIC) Elliot Haynes dari lebih dari 40 pertemuan dengan tokoh kunci Indonesia dan eksekutif internasional dari Eropa, AS dan Jepang, yang diadakan untuk mendiskusikan sebuah pertemuan meja bundar mengenai investasi di Indonesia. Haynes juga dengan jujur membahas pendapatnya tentang berbagai politisi dan fungsi rezim baru di bawah Suharto. Topik diskusi termasuk kekhawatiran tentang korupsi dan “militerisme yang merayap.” Setelah bertemu dengan Marshall Green, Haynes menyimpulkan bahwa pengaruh militer dalam pemerintahan telah meningkat secara nyata, mencatat bahwa “tentara telah mengambil alih pemerintahan provinsi sampai ke tingkat yang sangat rendah, tingkat politik akar rumput yang dapat menciptakan kontrol oleh AD yang meluas dan bertahan dalam jangka panjang,” (hal.5) dan bahwa negara “tidak siap untuk pemilihan.” Dia mencatat bahwa perusahaan multinasional, termasuk Uniroyal dan Goodyear, tertarik untuk mendirikan operasi di Indonesia. Perusahaan seperti Alcoa dilaporkan menginginkan pajak penghasilan yang lebih rendah. Sebagian besar tokoh Indonesia yang diajaknya berbicara sangat ingin merestrukturisasi ekonomi Indonesia untuk mempermudah investasi asing.