Sunday, May 15, 2016
Saturday, May 14, 2016
Kampung Tugu
http://travel.kompas.com/read/2015/10/22/100329527/Jejak.Portugis.di.Kampung.Tugu?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
http://travel.kompas.com/read/2016/05/07/150300827/Yuk.Jelajah.Kampung.Portugis.dari.Sisi.Kuliner.Hingga.Arsitekturnya?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Jejak Portugis di Kampung Tugu
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Gereja Tugu (GPIB Tugu) di Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Sabtu (17/10/2015). Gereja Tugu dan lonceng (slavenbel) yang dibuat pada abad ke-17 merupakan peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu.
GUIDO Quiko (46), warga keturunan Portugis, memainkan gitar kecil berdawai tiga di depan rumahnya di Kampung Tugu, Jakarta Utara, Sabtu (10/10/015). Di antara semilir angin, debu beterbangan, dan suara bising truk peti kemas yang melintas, Guido menyanyikan lagu berjudul ”Gatu Du Matu”.
”Yao la teng unga gatu
Swa kabelu pretu pretu dretu
Yo su ulu nungku bergonya
Buska filu, filu burnit
Teng Unga gatu anda ronda
Yo uni unga ratu kaba
Korsangnu yo kere intra
Buska filu yo kere kaja”
(Saya melihat ada seekor kucing/Dengan bulu lebat yang hitam/Saya melihat kucing itu tanpa terhalang apa pun/Bagaikan pemuda, pemuda yang tampan sekali/Seekor kucing yang terlihat sedang berkeliling/Siap menangkap tikus yang mau menggali (masuk)/Dalam hati, saya ingin masuk/Pemuda ini, saya ingin nikahi).
Itulah sepenggal lirik ”Gatu Du Matu” atau Kucing Hitam. ”Selama puluhan tahun menyanyikan lagu-lagu Portugis, saya tidak tahu apa artinya. Setelah ada mahasiswa dari Universitas Indonesia datang meneliti bahasa Kreol Tugu, saya baru tahu arti lagu itu,” kata Guido.
Pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu itu berdiri di hadapan belasan pelajar SMP yang mengikuti acara ”Pelatihan Dokumentasi Kebudayaan Tugu melalui Penulisan Populer”. Kegiatan diselenggarakan Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi FIB UI.
Guido menuturkan, keberadaan komunitas masyarakat Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia. Selama periode 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.
Pada 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.
Sejumlah pekerja yang sudah dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. ”Kami diasingkan ke daerah tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota,” katanya.
Kampung Tugu berasal dari kata por-tugu-ese. Kampung Tugu yang dulunya berupa hutan lebat dan tempat bersarangnya nyamuk malaria, kini berubah menjadi kawasan bisnis yang sibuk.
Setiap hari truk melintas dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.
Kreol Tugu
Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang. Mereka mempertahankan bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu yang banyak dipakai keturunan Portugis di Melaka. Setelah perang kemerdekaan Indonesia, masyarakat Tugu keturunan Portugis mulai tercerai-berai.
”Saya tidak tahu mereka pindah ke mana saja. Ada yang tetap tinggal di Jakarta, mungkin tinggal di daerah Kota, ada yang pindah ke Belanda,” kata Guido.
Sekarang, keluarga besar Kampung Tugu keturunan Portugis yang masih hidup merupakan generasi kedelapan. Lebih kurang saat ini ada 300 keluarga keturunan Portugis yang masih tinggal di Kampung Tugu.
Buku berjudul Keroncong Tugu yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta (2000) mencatat, orang keturunan Portugis masih memakai nama-nama leluhur mereka, seperti Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.
Di Kampung Tugu, kini masyarakat hidup membaur dengan warga lain yang berasal dari berbagai komunitas. Karena orang-orang lanjut usia yang bisa menggunakan bahasa Kreol Tugu sudah meninggal, sekarang tidak ada lagi generasi keturunan Portugis yang bisa menggunakan bahasa itu sehari-hari.
Gereja Tugu
Peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu adalah Gereja Tugu yang merupakan pemberian tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch, yang dibangun pada 1747. Vinch juga memberikan sebidang tanah untuk pemakaman.
Gereja Tugu (GPIB Tugu) yang ada sekarang adalah gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak. ”Gereja ketiga ini pernah nyaris musnah diamuk massa saat kami menjadi korban Gedoran Tugu,” kata Johan Sopaheluwakan, anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu, Yayasan Calouste Gulbenkian (Fundação Calouste Gulbenkian).
Gedoran Tugu terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Saat itu, warga lokal menyita semua barang orang keturunan Portugis karena dianggap warga asing.
Gereja Tugu dibuat dengan jendela-jendela besar khas arsitektur Eropa. Di bagian depan bangunan ada teras dengan empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berwarna coklat. Atap Gereja Tugu dibuat meruncing ke atas sebagai simbol surga di atas langit. Gereja Tugu dibuat menghadap Sungai Cakung yang dulu jadi jalur transportasi utama warga lokal.
Selain bangunan gereja yang merupakan peninggalan sejarah, benda-benda yang ada di dalamnya juga memiliki nilai historis tinggi. Salib dan mimbar pendeta, misalnya, terbuat dari kayu yang sudah ada sejak Gereja Tugu berdiri.
Di kanan dan kiri mimbar terdapat kursi kayu berwarna coklat untuk tempat duduk anggota majelis gereja dan kelompok paduan suara. Di depan gereja ada lonceng (slavenbel) yang masih berfungsi.
”Slaff berarti ’budak’, bel berarti ’lonceng’. Slavenbel dulu dipakai untuk memberi tanda kepada para pekerja Portugis kapan harus berkumpul untuk makan, berdoa, dan lainnya,” tutur ahli bahasa dan sejarah Belanda UI, Lilie Suratminto.
Keroncong
Hidup jauh dari pusat kota membuat komunitas masyarakat Tugu sengsara. Timbullah keinginan membuat peralatan musik, seperti gitar kecil menyerupai ukulele. ”Ketika dimainkan bunyi gitar ’crong… crong… crong….’ Orang lalu menyebut kami sedang main musik keroncong,” tutur Guido.
Kini, komunitas masyarakat Kampung Tugu dikenal terampil memainkan alat musik. Musik Keroncong Tugu juga terus berkembang. Dari yang awalnya terdiri dari tiga-empat gitar, kini mereka menambahkan suling, biola, gendang, rebana, dan alat musik lain. Lagu-lagu yang dimainkan juga beragam.
Salah satu lagu peninggalan Portugis yang masih eksis adalah ”Durmer Durmir Nenina” (Nina Bobo). Nina berasal dari kata Menina yang artinya ’gadis kecil’, sementara bobo berarti ’tidur’.
Terkepung berbagai kegiatan bisnis di sekitar Kampung Tugu, komunitas masyarakat Kampung Tugu berharap jejak peninggalan Portugis lestari. ”Ini tanggung jawab kita bersama mempertahankan budaya dan peninggalan sejarah,” ujar Guido.
Meskipun Gereja Tugu dan Keroncong Tugu adalah salah satu obyek wisata yang dibanggakan pemerintah, bahkan termasuk dalam 12 destinasi wisata andalan di Jakarta Utara, perhatian terhadap peninggalan bersejarah ini sangat minim.
”Kami mempromosikan Kampung Tugu dalam sejumlah kesempatan, baik melalui promosi langsung maupun website. Meski begitu, melihat kondisi lingkungan, sarana, dan prasarana pendukungnya, harus diakui untuk menjadi destinasi memang belum maksimal,” ucap Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Utara Suwarto.
Tidak adanya akses angkutan umum memadai membuat Kampung Tugu sulit dikunjungi wisatawan. Menurut Suwarto, perlu kerja sama dan koordinasi antarberbagai pihak mencakup penataan kota, perhubungan, pekerjaan umum, dan lainnya agar Kampung Tugu menjadi destinasi wisata yang baik.
Setidaknya dibutuhkan landasan aturan setingkat peraturan gubernur. Semoga saja harapan itu segera terwujud. (Denty Piawai Nastitie & Syaiful Rijal Yunus)
”Yao la teng unga gatu
Swa kabelu pretu pretu dretu
Yo su ulu nungku bergonya
Buska filu, filu burnit
Teng Unga gatu anda ronda
Yo uni unga ratu kaba
Korsangnu yo kere intra
Buska filu yo kere kaja”
(Saya melihat ada seekor kucing/Dengan bulu lebat yang hitam/Saya melihat kucing itu tanpa terhalang apa pun/Bagaikan pemuda, pemuda yang tampan sekali/Seekor kucing yang terlihat sedang berkeliling/Siap menangkap tikus yang mau menggali (masuk)/Dalam hati, saya ingin masuk/Pemuda ini, saya ingin nikahi).
Itulah sepenggal lirik ”Gatu Du Matu” atau Kucing Hitam. ”Selama puluhan tahun menyanyikan lagu-lagu Portugis, saya tidak tahu apa artinya. Setelah ada mahasiswa dari Universitas Indonesia datang meneliti bahasa Kreol Tugu, saya baru tahu arti lagu itu,” kata Guido.
Pemimpin kelompok musik Orkes Keroncong Cafrinho Tugu itu berdiri di hadapan belasan pelajar SMP yang mengikuti acara ”Pelatihan Dokumentasi Kebudayaan Tugu melalui Penulisan Populer”. Kegiatan diselenggarakan Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi FIB UI.
Guido menuturkan, keberadaan komunitas masyarakat Kampung Tugu tak lepas dari sejarah kota perdagangan di Malaka, Malaysia. Selama periode 1511-1641, Malaka berada di bawah kendali pasukan Portugis.
Pada 1648, Belanda menguasai Malaka. Tentara Portugis yang berasal dari Goa, Bengal, Malabar, dan daerah-daerah jajahan lainnya dijadikan tawanan perang. Mereka lalu dibawa ke Batavia untuk dijadikan pekerja atau serdadu VOC.
Sejumlah pekerja yang sudah dibebaskan dari perbudakan (disebut Mardijkers) dipaksa memeluk agama Kristen Protestan. ”Kami diasingkan ke daerah tenggara Batavia yang waktu itu sangat terpencil dan jauh dari keramaian kota,” katanya.
Kampung Tugu berasal dari kata por-tugu-ese. Kampung Tugu yang dulunya berupa hutan lebat dan tempat bersarangnya nyamuk malaria, kini berubah menjadi kawasan bisnis yang sibuk.
Setiap hari truk melintas dari dan menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.
Kreol Tugu
Di Kampung Tugu, orang-orang keturunan Portugis (mestizo) hidup dan berkembang. Mereka mempertahankan bahasa Kreol Portugis atau Kreol Tugu yang banyak dipakai keturunan Portugis di Melaka. Setelah perang kemerdekaan Indonesia, masyarakat Tugu keturunan Portugis mulai tercerai-berai.
”Saya tidak tahu mereka pindah ke mana saja. Ada yang tetap tinggal di Jakarta, mungkin tinggal di daerah Kota, ada yang pindah ke Belanda,” kata Guido.
Sekarang, keluarga besar Kampung Tugu keturunan Portugis yang masih hidup merupakan generasi kedelapan. Lebih kurang saat ini ada 300 keluarga keturunan Portugis yang masih tinggal di Kampung Tugu.
Buku berjudul Keroncong Tugu yang diterbitkan Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta (2000) mencatat, orang keturunan Portugis masih memakai nama-nama leluhur mereka, seperti Abraham, Andreas, Cornelis, Michiels, Salomons, Saymons, Quiko, dan Browne.
Di Kampung Tugu, kini masyarakat hidup membaur dengan warga lain yang berasal dari berbagai komunitas. Karena orang-orang lanjut usia yang bisa menggunakan bahasa Kreol Tugu sudah meninggal, sekarang tidak ada lagi generasi keturunan Portugis yang bisa menggunakan bahasa itu sehari-hari.
Gereja Tugu
Peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu adalah Gereja Tugu yang merupakan pemberian tuan tanah Belanda, Justinus van der Vinch, yang dibangun pada 1747. Vinch juga memberikan sebidang tanah untuk pemakaman.
Gereja Tugu (GPIB Tugu) yang ada sekarang adalah gereja ketiga. Gereja sebelumnya yang dari papan kayu dan bilik telah rusak. ”Gereja ketiga ini pernah nyaris musnah diamuk massa saat kami menjadi korban Gedoran Tugu,” kata Johan Sopaheluwakan, anggota Ikatan Keluarga Besar Tugu, Yayasan Calouste Gulbenkian (Fundação Calouste Gulbenkian).
Gedoran Tugu terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Saat itu, warga lokal menyita semua barang orang keturunan Portugis karena dianggap warga asing.
Gereja Tugu dibuat dengan jendela-jendela besar khas arsitektur Eropa. Di bagian depan bangunan ada teras dengan empat tiang penyangga yang dikelilingi pagar kayu berwarna coklat. Atap Gereja Tugu dibuat meruncing ke atas sebagai simbol surga di atas langit. Gereja Tugu dibuat menghadap Sungai Cakung yang dulu jadi jalur transportasi utama warga lokal.
Selain bangunan gereja yang merupakan peninggalan sejarah, benda-benda yang ada di dalamnya juga memiliki nilai historis tinggi. Salib dan mimbar pendeta, misalnya, terbuat dari kayu yang sudah ada sejak Gereja Tugu berdiri.
Di kanan dan kiri mimbar terdapat kursi kayu berwarna coklat untuk tempat duduk anggota majelis gereja dan kelompok paduan suara. Di depan gereja ada lonceng (slavenbel) yang masih berfungsi.
”Slaff berarti ’budak’, bel berarti ’lonceng’. Slavenbel dulu dipakai untuk memberi tanda kepada para pekerja Portugis kapan harus berkumpul untuk makan, berdoa, dan lainnya,” tutur ahli bahasa dan sejarah Belanda UI, Lilie Suratminto.
Keroncong
Hidup jauh dari pusat kota membuat komunitas masyarakat Tugu sengsara. Timbullah keinginan membuat peralatan musik, seperti gitar kecil menyerupai ukulele. ”Ketika dimainkan bunyi gitar ’crong… crong… crong….’ Orang lalu menyebut kami sedang main musik keroncong,” tutur Guido.
Kini, komunitas masyarakat Kampung Tugu dikenal terampil memainkan alat musik. Musik Keroncong Tugu juga terus berkembang. Dari yang awalnya terdiri dari tiga-empat gitar, kini mereka menambahkan suling, biola, gendang, rebana, dan alat musik lain. Lagu-lagu yang dimainkan juga beragam.
Salah satu lagu peninggalan Portugis yang masih eksis adalah ”Durmer Durmir Nenina” (Nina Bobo). Nina berasal dari kata Menina yang artinya ’gadis kecil’, sementara bobo berarti ’tidur’.
Terkepung berbagai kegiatan bisnis di sekitar Kampung Tugu, komunitas masyarakat Kampung Tugu berharap jejak peninggalan Portugis lestari. ”Ini tanggung jawab kita bersama mempertahankan budaya dan peninggalan sejarah,” ujar Guido.
Meskipun Gereja Tugu dan Keroncong Tugu adalah salah satu obyek wisata yang dibanggakan pemerintah, bahkan termasuk dalam 12 destinasi wisata andalan di Jakarta Utara, perhatian terhadap peninggalan bersejarah ini sangat minim.
”Kami mempromosikan Kampung Tugu dalam sejumlah kesempatan, baik melalui promosi langsung maupun website. Meski begitu, melihat kondisi lingkungan, sarana, dan prasarana pendukungnya, harus diakui untuk menjadi destinasi memang belum maksimal,” ucap Kepala Suku Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jakarta Utara Suwarto.
Tidak adanya akses angkutan umum memadai membuat Kampung Tugu sulit dikunjungi wisatawan. Menurut Suwarto, perlu kerja sama dan koordinasi antarberbagai pihak mencakup penataan kota, perhubungan, pekerjaan umum, dan lainnya agar Kampung Tugu menjadi destinasi wisata yang baik.
Setidaknya dibutuhkan landasan aturan setingkat peraturan gubernur. Semoga saja harapan itu segera terwujud. (Denty Piawai Nastitie & Syaiful Rijal Yunus)
Editor: I Made AsdhianaSumber: Harian Kompas
http://travel.kompas.com/read/2016/05/07/150300827/Yuk.Jelajah.Kampung.Portugis.dari.Sisi.Kuliner.Hingga.Arsitekturnya?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Yuk, Jelajah Kampung Portugis dari Sisi Kuliner Hingga Arsitekturnya
KOMPAS/DENTY PIAWAI NASTITIE
Gereja Tugu (GPIB Tugu) di Kampung Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Sabtu (17/10/2015). Gereja Tugu dan lonceng (slavenbel) yang dibuat pada abad ke-17 merupakan peninggalan Portugis yang masih tersisa di Kampung Tugu.
JAKARTA, KOMPAS.com - Portugis yang sempat "menduduki" Indonesia ternyata masih meninggalkan kebudayaan-kebudayaan khasnya. Mulai dari budaya Portuguese Folk Dance, kuliner egg tart, pindang seran, hingga arsitektur gereja klasik khas Portugis bisa kita nikmati saat ini.
Anda bisa menemukannya tak hanya di daerah yang pernah diduduki Portugis, seperti Jepara, dan Nusa Tenggara Timur, di Jakarta pun bisa.
Di ibu kota juga terdapat “Portuguese Settlement” yang kaya akan warisan budaya & kuliner ala Portugis. Di Kampung Tugu, Koja, Jakarta Utara, tepatnya terdapat permukiman keturunan Portugis. Konon penduduk di sana merupakan keturunan bangsa Portugis yang dibawa ke Batavia sebagai tawanan perang VOC Belanda.
Berbagai kebudayaan khas masih berkembang, citarasa kuliner Portugis pun dapat Anda cicipi dan pelajari di sana. Untuk melestarikan sekaligus mengangkat kembali keunikan di sana Jakarta Food Adventure mengadakan kegiatan jelajah budaya Portugis di Kampung Tugu, yang akan diselenggarakan Minggu, 8 Mei 2016.
Acara yang bertemakan “Explore Portuguese Village Kampung Tugu” ini akan memandu wisatawan mengeksplorasi berbagai “Mardijker Heritage” di Kampung Tugu. Mulai dari mengunjungi Gereja Tugu yang bersejarah, beramah tamah dengan Keluarga Besar Tugu, dan menikmati 10 macam kuliner ala Portugis Kampung tugu.
“Wisatawan bisa mencicipi hidangan khas mulai dari makanan ringan hingga masakan istimewa yang dibuat secara home made, tentu tidak dapat ditemukan di hari biasa,” ujar Ira selaku penyelenggara saat dihubungi KompasTravel, Sabtu (7/5/2016).
Tak hanya menikmati kulinernya, wisatawan yang ikut pun akan belajar membuat beberapa hidangan khas seperti Portuguese Egg Tart and Pindang Serani, dalam demo masak.
Bagi yang penasaran dengan kebudayaannya, Ira mengatakan dalam acara tersebut juga akan menampilkan Kerontjong Toegoe yang sangat legendaris dan sering tampil di perhelatan acara kenegaraan. Masih ada lagi, wisatawan pun berkesempatan untuk belajar Portuguese Folk Dance disana.
Tur yang akan dipandu guide profesional juga pecinta kuliner ini termasuk dalam kegiatan “Charity Walking Tour”, dimana hasil dari kegiatan in akan di donasikan ke Panti Sosial Perlindungan Bhakti Kasih, di Jaan Raya Tugu Semper, Jakarta Utara.
Pendaftaran akan dikenakan tiket Rp 250.000 sudah termasuk guiding service, konsumsi masakan khas Kampung Tugu, demo masak, pertunjukan keroncong, belajar tarian, dan donasi. Sayangnya pendaftar hanya dibatasi untuk 35 orang saja, jadi siapa cepat dia dapat.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : Ni Luh Made Pertiwi F |
http://travel.kompas.com/read/2016/05/11/191400827/Serunya.Menjelajahi.Sisa-sisa.Budaya.Portugis.di.Pesisir.Jakarta.?utm_source=travel&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&
Serunya Menjelajahi Sisa-sisa Budaya Portugis di Pesisir Jakarta
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Grup musik Kroncong Cafrinho Tugu yang sedang memainkan musik kroncong tugu. Musik kroncong tugu sendiri merupakan seni musik akulturasi dari budaya Prtugis, Melayu, Arab dan Betawi.
JAKARTA, KOMPAS.com - Ratusan tahun lalu, berbagai bangsa berebut kekuasaan di tanah nusantara yang kaya akan alamnya. Mereka saling berperang dan menempati wilayah kekuasaannya seperti Belanda, Jepang, juga Portugis.
Menapaki sisa-sisa kebudayaan mereka di Indonesia tampaknya bisa menjadi alternatif berlibur yang menarik. Salah satu tempatnya berada di pesisir Ibu Kota, yaitu Kampung Tugu, Jakarta Utara yang dahulu menjadi tempat tinggal bangsa Portugis.
Puluhan truk tronton terparkir rapi di setiap sudut kampung, adapun yang sibuk lalu-lalang mengantarkan peti. Kampung Tugu yang menyimpan sejarah seolah dikepung puluhan terminal truk peti kemas.
Terik matahari khas pesisir pun tak menyurutkan puluhan wisatawan untuk menapaki jejak bersejarah di sini. Mereka sedang mengikuti perjalanan wisata bertajuk “Charity Walking Tour” dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/4/2016).
Tempat pertama yang kami singgahi ialah Gereja Tugu. Gereja yang telah diresmikan menjadi salah satu cagar budaya di Jakarta Utara tersebut merupakan simbol kemerdekaan bangsa Portugis mulai tahun 1735.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Arsitektur khas eropa dengan bangunan tinggi beserta jendela dan pintu utamanya masih terjaga di Gereja Tugu.
Kedatangan wisatawan disambut arsitektur khas Eropa dengan bangunan tinggi beserta jendela dan pintu utamanya. Tampak berdiri di tengah seorang pria bernama Frenky Abrahams, pria keturunan Portugis yang merupakan pengurus Majelis Jemaat Gereja Tugu. Ia pun menceritakan awal mula kedatangan nenek moyangnya ke Indonesia, hingga keturunannya sampai saat ini.
“Dahulu nenek moyang kami merupakan tawanan VOC yang dibawa dari Malaka, setelah Portugis kalah dengan Belanda di Malaka 1648,” ujar Frenky kepada wisatawan.
Ia mengatakan sebelum bangsa Portugis tiba di daerah Tugu, mereka ditempatkan dahulu di Roa Malaka (dekat Stasiun Kota) saat 1661. Disana lah sekitar 80 persennya mati karena serangan penyakit malaria dan kelaparan karena kawasan tersebut masih hutan belantara.
“Sisanya, yang bisa bertahan lah yang dimerdekakan ke kawasan Tugu, tapi dengan syarat memeluk agama Kristen Protestan,” ujarnya. Ia pun mengatakan Belanda benar-benar ingin menghilangkan unsur Portugisnya, dari mulai bahasa, budaya, hingga agama.
Bersamaan dengan dimerdekakannya warga Portugis tersebut menjadi kaum mardijker (kaum yang merdeka), dibuat pula sebuah gereja Protestan, yang saat ini menjadi Gereja Tugu.
Frenky menunjukkan masih ada benda yang merupakan peninggalan Portugis langsung dari Roma, yaitu alat untuk membaptis anak. Selain itu arsitektur yang masih terjaga ialah dari jendela dan mimbarnya.
Beranjaklah dari sana ke samping gereja tersebut, terdapat makam-makam keturunan bangsa Portugis abad 20 dan 21, mereka menggunakan nama Portugis, seperti Seymons, Nicholas, Abrahams, Bernes, Michiels, dan Burkens.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Rumah tua berumur lebih dari 200 tahun sisa-sisa peninggalan nenek moyang Kampung Tugu dengan ornamen betawi bercampur Portugis.
Nama-nama tersebut sudah tidak lagi asli marga Portugis, karena kebijakan VOC pada masanya, nama Portugis dicampur dengan marga Protestan dari Belanda. “Orang keturunan Portugis di sini tahun 1959 banyak yang ke Belanda. Sisa sedikit sekitar 300 kepala, itu juga sudah berakulturasi dengan berbagai macam suku di Indonesia,” ujar Frenky.
Sayangnya makam leluhur mereka di sebelum abad 20 sudah tertumpuk oleh makam keturunannya saat ini. Dengan hanya sebidang tanah yang diberi VOC, mereka ingin tetap dimakamkan dekat Gereja, sesuai ajaran Portugis.
Wisatawan pun dipandu mengitari ke sekeliling Gereja oleh tim Jakarta Food Adventure. Terdapat sungai dengan lebar 3-5 meter, konon sungai itulah yang sejak satusan tahun lalu menjadi jalur transportasi warga.
Semula tak ada yang tahu pasti asal usul sungai tersebut, sampai rombongan bertemu dengan salah seorang tokoh masyarakat bernama Andre Michels sebelum marganya diganti VOC menjadi Van Mardijkers.
Andre mengatakan sungai tersebut dahulu dibangun abad kelima oleh raja Purnawarman dan diberi nama Sungai Chandrabaga Gomati. “Dahulu lebarnya 20 meter dengan dalam 5 meter, sayang sekarang sudah dangkal dan tak terurus,” ujar Van Mardijkers.
Ketika wisatawan berkeliling kompleks Protestan Tugu di sini akan terlihat lekuk-lekuk wajah masyarakat khas Portugis. Menurut Andre, tanah kompleks tersebut merupakan pemberian saudagar tanah Belanda Cornelis Chastelein, seluas empat hektar.
Tak lama wisatawan singgah di salah satu kediaman tokoh masyarakat bernama Erni Lissie Michiels. Di rumahnya tersebut akan dimulai tradisi adat Kampung Tugu, semacam misa bagi umat Protestan, namun bercampur adat leluhur.
Selain itu, ibu berusia 76 tahun ini menjelaskan tradisi lain yang masih dipegang masyarakat Kampung Tugu keturunan Portugis. Yaitu ada "rabo-rabo", semacam silaturahmi ke rumah-rumah warga saat Natal.
Setiap rumah yang didatangi wajib melantunkan tiga lagu untuk tamu yang datang. Selain itu ada "mandi-mandi", tradisi mengoleskan bedak ke pipi warga lain dengan artian meminta maaf dan saling membersihkan diri.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Warga Kampung Tugu bersama tim Jakarta Food Adventure menari diiringi musik khas Kroncong Cafrinho Tugu.
Beranjaklah sekitar 400 meter dari rumah Erni, di Gang Bineka nomor 28, sebuah rumah dengan gazebo kayu, tempat yang paling tersohor bagi penikmat musik Keroncong Cafrinho Tugu. Keroncong Cafrinho Tugu sendiri merupakan seni musik akulturasi dari budaya Portugis, Melayu, Arab dan Betawi.
Tak lama wisatawan datang, berdirilah tujuh orang personel memegang biola, bass, gitar, dan ukulele. Mereka memainkan lagu Keroncong Tugu berjudul bater a porta (ketuk pintu), sebagai lagu pembukaan.
Selain musik, yang tak kalah menarik juga di sini wisatawan akan disuguhkan camilan khas Kampung Tugu. Yaitu ketan unti, pisang udang dan apem kinca. Ketiganya merupakan camilan warisan nenek moyang mereka, dan mempunyai waktu tersendiri untuk menikmatinya.
Lelah menari-nari ala folk keroncong cafrinho, pemandu mengajak wisatawan beranjak ke suatu rumah tertua di Kampung Tugu. Ternyata sang pemilik ialah Andre Van Mardijkers. Menurut Andre, rumah tersebut berusia lebih dari 250 tahun.
Dengan masih mempertahankan atap, tiang-tiangnya, bangunan tersebut seperti ditelan bumi secara perlahan. Dari pengamatanKompasTravel, tinggi tanah diluar rumah lebih tinggi sekitar 50 centimeter dari permukaan lantai dalam rumah.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Walaupun banyak tersebar di benua Asia egg tart khas Portugis yang asli memiliki beberapa ciri tersendiri.
Keluarga besar Van Mardijkers pun menyambut wisatawan dengan permainan keroncong yang hampir sama dengan bahasa Portugis, tapi ada beberapa lagu yang diadopsi dari keroncong masa kini, seperti lagu gambang Semarang.
Di sinilah salah seorang keluarganya masih sangat fasih berbahasa Portugis. Frederico dan Debora, wisatawan asing asal Portugis dan Brazil itu pun berinteraksi dengan asyiknya.
Di sini, para wisatawan dijelaskan silsilah keluarga Van Mardijkers mulai nenek moyangnya yang mendiami rumah tersebut sejak zaman penjajahan.
Di sini, para wisatawan dijelaskan silsilah keluarga Van Mardijkers mulai nenek moyangnya yang mendiami rumah tersebut sejak zaman penjajahan.
Lelah bercerita, santap siang khas Kampung Tugu pun sudah tersedia, di antaranya ada pindang serani, gado-gado tugu, hingga kue khas egg tart.
Penasaran dengan resep dan cara memasaknya? Rosalia, istri Andre Van Mardijkers pun dengan ramah memperagakan demo memasak hidangan khas tersebut di depan wisatawan.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : I Made Asdhiana |
http://travel.kompas.com/read/2016/05/09/191200527/Kuliner.Warisan.Portugis.Ini.Wajib.Dicoba.Saat.Wisata.ke.Kampung.Tugu?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Kuliner Warisan Portugis Ini Wajib Dicoba Saat Wisata ke Kampung Tugu
OMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Berbagai kuliner tradisional dari Kampung Tugu yang dihidangkan ke wisatawan saat Charity Walking Tour 2016.
JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai bangsa yang pernah menguasai Indonesia pada masa lalu ternyata tak hanya mempengaruhi lewat kebijakan politik, tapi kebudayaan hingga kuliner. Berbagai kebudayaan hingga kuliner hasil peninggalan bangsa Portugis masih dapat dinikmati wisatawan di Kampung Tugu.
Berwisata ke kampung tempat berdiamnya ratusan orang Portugis tawanan VOC ratusan tahun silam memang banyak mengisahkan cerita. Selain akulturasi kebudayaan Portugis yang masih terasa, berbagai kuliner khas pun dapat dinikmati.
Terdapat berbagai kuliner khas yang murni dari Portugis, dan ada pula hasil akulturasi cita rasa Indonesia. Jika Anda berwisata sejarah ke Kampung Tugu yang terletak di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, jangan lewatkan beberapa kuliner khas ini:
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Ketan Unti, yang merupakan beras ketan putih, ditutupi dengan parutan kelapa yang sudah tercampur dengan gula merah.
Ketan Unti
Budaya Portugis di Kampung Tugu, memiliki tradisi mendoakan orang meninggal sebelum masuk ke dalam kubur. Saat itulah hidangan ketan unti dikeluarkan. Konon menurut warga warga kampung tugu, saat mendoakan jenazah yang masih belum dikubur harus ada hidangan tersebut.
“Sudah ajaran dari leluhur Portugis yang di sini, umat Kristiani kalau ada yang meninggal harus disertai ketan unti, tapi sebelum mayat dikubur,” ujar Eugeniana Quiko, seorang warga berdarah Portugis yang masih mahir membuat ketan unti, saat dikunjungi kediamannya oleh peserta Charity Walking Tour dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/5/2016).
Beras ketan yang putih ini ditutupi dengan parutan kelapa yang sudah tercampur dengan gula merah. Ketika disantap, akan terasa manis berpadu dengan gurihnya santan di ketan putih tersebut.
Pisang Udang
Masyarakat Tugu menyebutnya pisang udang, karena hidangan tersebut dibungkus daun pisang. Hidangan ini, berbahan dasar adonan dari tepung beras, dan berisi parutan pepaya muda dengan cacahan udang yang diberi bumbu.
Rasanya sangat gurih, ini dihasilkan dari cacahan udang di dalamnya yang bercampur dengan bumbu dan pepaya muda.
Eugeniana Quiko pun memaparkan cara membuat salah satu hidangan yang paling disukai banyak peserta tersebut. Ia mengatakan bahan dasar tepung beras dicampur dengan sagu. Kemudian adonan tersebut diberi isian, yaitu udang dan parutan pepaya muda dengan campuran bumbu.
“Udangnya dikupas dulu dan diulek sama lada, lalu ditumis sebentar, terakhir dicampur pepaya muda parut. Adonan dasarnya mirip kue nagasari,” ujar Eugenia.
Ia mengatakan, menghidangkannya harus dibungkus daun pisang, dengan lipatan segi tiga.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Hidangan apem kinca, sangat nikmat jika diguyur menggunakan kuah durian bercampur “kinca” atau gula merah.
Apem Kinca
Lazimnya apem berbentuk bulat merupakan hidangan yang dapat dijumpai di beberapa tempat, salah satunya Jawa Barat dan Jawa Tengah. Ternyata di Kampung Tugu, apem tidak berbentuk menyerupai bulatan, tapi balok jajaran genjang.
Berbahan dasar sama seperti kebanyakan, yaitu tepung beras. Hidangan tersebut sangat nikmat jika diguyur menggunakan kuah durian bercampur “kinca” atau gula merah.
Menurut Eugenia, hidangan tersebut biasa dinikmati ketika senja bersama kopi panas. DI beberapa perayaan budaya, ia kadang mejualnya dengan harga Rp 3.000 tiap satu balok lengkap dengan kuahnya.
Kediamannya yang berada di Jalan Raya Tugu, Gang Bineka nomor 28, merupakan salah satu yang masih giat memproduksi berbagai kue tradisional Kampung Tugu. Namun selain itu, wisatawan juga dapat menemukannya di beberapa rumah lainnya.
Frederico Brandao, salah satu wisatawan yang ikut dalam Charity Walking Tour, Minggu (8/5/2016), mengatakan kue sangat mirip dengan di negaranya, Portugal. “Ini mirip dengan roti di negara saya,” ujarnya. Ia pun terus menghabiskan satu demi satu apem tersebut.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Pindang serani yang merupaka kuliner khas warisan bangsa portugis, terkenal dengan bumbu rempahnya yang banyak.
Pindang Serani
Hidangan yang satu ini memang sudah tersohor ke berbagai daerah. Tak heran dari puluhan peserta Tour, banyak yang sudah familiar.
Dinamakan pindang serani, konon merupakan ikan pindang yang dimasak oleh orang Nasrani. Pada masa lalu masakan tersebut adalah masakan khas yang dimasak oleh kaum Nasrani keturunan Portugis.
Salah satu yang khas dalam hidangan ini ialah rempah-rempahnya yang kaya, dan meresap ke daging ikan. Berbagai rempah-rempah yang dipakai ialah serai, kunyit, asam jawa, jahe, lengkuas, bawang merah tanpa kupas, cabai rawit dan cabai merah besar bersama tangkainya, semuanya disangrai hingga hampir gosong sebelum dicampur dengan ikan.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Egg tart., kue yang berasal dari budaya portugis ini banyak terdapat di beberapa negara bekas jajahannya. Seperti Timor Leste, Hongkong, dan Macau.
Egg Tart
Selain hidangan tradisional, ada pula hidangan modern yang menggunakan berbagai alat canggih seperti oven dengan dua sisi panas, yaitu egg tart. Kue yang berasal dari budaya Portugis ini banyak terdapat di beberapa negara bekas jajahannya seperti Timor Leste, Hongkong, dan Macau.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : I Made Asdhiana |
http://travel.kompas.com/read/2016/05/13/061000227/Ingin.Tahu.Rasa.Egg.Tart.Portugis.yang.Mirip.Aslinya.?utm_source=travel&utm_medium=bp-kompas&utm_campaign=related&
Ingin Tahu Rasa Egg Tart Portugis yang Mirip Aslinya?
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Walaupun banyak tersebar di benua Asia egg tart khas Portugis yang asli memiliki beberapa ciri tersendiri.
JAKARTA, KOMPAS.com - Egg tart, kue berisikan adonan telur khas Portugis ini banyak ditemui di berbagai negara Asia. Tapi ternyata tidak semua tempat menghasilkan egg tart yang memiliki rasa yang sama lezat dengan aslinya.
Beberapa negara yang pernah dikuasai Portugis, seperti Timor Leste, Hongkong, Singapura, Malaysia, dan China dapat ditemui kue egg tart. Selain menyebarkan paham ideologi, Portugis juga menularkan kebudayaan hingga kulinernya kepada tempat-tempat tersebut, salah satunya egg tart dan apem kinca.
Namun, menurut Frederico Brandao, salah satu wisatawan asal Portugal yang sudah lalu-lalang di beberapa negara Asia, hanya ada sedikit tempat yang menyajikan egg tart senikmat aslinya, salah satunya di Indonesia.
“Sangat sedikit yang persis enak seperti di negara saya (Portugal), salah satunya ini,” ujar Frederico menunjuk egg tart yang ia makan di Kampung Tugu saat kegiatan Charity Walking Tour dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/4/2016).
Ia pun menceritakan beberapa ciri khas yang membuat egg tart tersebut nikmat dan persis menyerupai aslinya di Portugal. “Dua ciri khas dari kue ini yang sama dengan aslinya,” ujarnya kepada rekan-rekan wisatawan lain.
Pertama, yang membedakan ialah adonan dasarnya. Menurut Frederico, adonan dasar egg tart sebenarnya tidak padat, seperti croisant. Pada umumnya egg tart yang ia temukan di Asia memiliki tekstur padat seperti pie susu dari Bali.
Kedua, lanjut Frederico, tampilan gosong dari cara memanggang yang benar. Egg tart di Portugal dipanggang dengan suhu tinggi yakni 200 derajat celsius dengan waktu kurang dari 10 menit. Akibat suhu yang sangat panas tersebut permukaan kue terlihat gosong.
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Frederico Brandao wisatawan asal Portugal, dan Debora wisatawan asal Brazil yang mengikuti Charity Walking Tour ke Kampung Tugu dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/4/2016).
Gita, seorang perajin sekaligus penjual Portuguese egg tart yang kala itu menyajikannya di Kampung Tugu mengatakan cara memasak tersebut memberikan rasa khas.
“Beberapa tempat membuat permukaan atasnya gosong, hanya menembakan kue dengan api. Jadi nanti rasanya bisa beda,” ujarnya kepada KompasTravel saat demo memasak egg tart di Kampung Tugu, Minggu (8/4/2016).
Ketika memakannya, lapisan luar kue tersebut akan langsung hancur di mulut persis seperti croisant. Namun, tak begitu lama, fla yang merupakan isi atau bagian tengah dari kue memberikan rasa manis yang lembut.
Untuk mendapatkannya selain dalam acara tertentu di Kampung Tugu, Anda bisa mengunjungi media sosial “Bite a bit”. Bite a bit merupakan tempat pembuatan panganan ringan khas Portugis yang dimiliki Gita. Selain portuguese egg tart, terdapat juga orange marmalade tart, dan yang lainnya.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : I Made Asdhiana |
http://travel.kompas.com/read/2016/05/09/110300027/Gado-gado.Kampung.Tugu.Beda.dari.Gado-gado.Betawi.Ini.Rahasianya.?utm_source=RD&utm_medium=box&utm_campaign=Kaitrd
Gado-gado Kampung Tugu Beda dari Gado-gado Betawi, Ini Rahasianya...
KOMPAS.com/Muhammad Irzal Adiakurnia
Lezatnya bumbu kacang yang tersiram diatas sayuran segar gado-gado Kampung Tugu.
JAKARTA, KOMPAS.com — Saus kacang tersiram di atas sayuran segar gado-gado khas Kampung Tugu, Jakarta. Namun, tampaknya ada rasa asam yang berbeda di hidangan khas tersebut.
Tak hanya Betawi yang memiliki hidangan gado-gado. Di pinggiran kota yang masih dalam lingkup Jakarta memiliki ciri khas gado-gado sendiri dari resep turun-temurun.
Kampung Tugu, yang berlokasi di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, memang memiliki kebudayaan khas lokal setempat, termasuk kulinernya. Hal ini karena nenek moyang mereka adalah orang Portugis. Sejak tahun 1661, bangsa Portugis menetap di kawasan ini.
Salah satu yang diwariskan dalam bentuk kuliner ialah gado-gado khas Kampung Tugu. Gado-gado ini seakan menggambarkan akulturasi yang terjadi kala itu.
Rosalia, salah satu warga Kampung Tugu yang juga penggiat masakan khas daerah tersebut, mengatakan, resep gado-gado Tugu merupakan turunan dari nenek moyangnya.
“Resep warisan nenek moyang kita (masyarakat Kampung Tugu), makanya kalau seluruh warga sini bikin, pasti serempak resepnya sama,” ujarnya kepada KompasTravel saat mencicipi hidangan tersebut dalam kegiatan Charity Walking Tour dari Jakarta Food Adventure, Minggu (8/5/2016).
Ia memaparkan berbagai perbedaan resep antara gado-gado Jakarta atau Betawi dengan gado-gado Kampung Tugu. Pertama, gado-gado resep Kampung Tugu bumbunya menggunakan tambahan santan, kencur, dan kemiri. Santan dan kemiri digunakan agar lebih gurih.
Adapun sayuran yang digunakan juga unik, lazimnya gado-gado menggunakan kangkung, tetapi ini menggunakan bayam. Selain bayam, sayuran lainnya, seperti kacang panjang, tauge, wortel, dan yang lainnya direbus. Namun, hanya sayur kol yang dibiarkan mentah untuk menimbulkan tekstur renyah.
Berbagai sayuran itu pun diberi cuka masak agar menghasilkan rasa asam yang meresap. Namun, bukan seperti sayur basi karena tidak mengeluarkan bau.
Gado-gado sendiri pada umumnya hanya menggunakan jeruk nipis atau limo. Menurut Rosalia, jeruk tersebut hanya kuat di aromanya, tetapi asamnya masih kalah dengan cuka.
“Nenek moyang kami memang suka dengan perpaduan pedas, manis, dan asam dari cuka,” ujar Rosalia.
Untuk penyajiannya, sayuran dengan saus kacangnya tidak diaduk menjadi satu. Saus kacang disiram di atas sayuran yang sudah tertata, lalu diberikan potongan-potongan telur rebus, tahu, dan kentang. Hidangan tersebut wajib disajikan saat perayaan pernikahan, syukuran adat, dan yang lainnya bersama pindang serani.
Penulis | : Muhammad Irzal A |
Editor | : Ni Luh Made Pertiwi F |
Subscribe to:
Posts (Atom)