Budi Santosa Purwokartiko
Beyond religion
Pagi saya mulai dengan menulis cerita, lalu balas2 komen di FB. Tidak mau larut , saya lanjut menyapu halaman belakang rumah dan lihat kebun yang ternyata ada pisang masak. Lanjut mengantar anak ke lapangan ITS.
Lagi hangat2nya menyimpan memori dari Jepang , jelas saya kaget melihat sampah bertebaran di depan lapangan futsal indoor dan di depan kantor bank di sisi depan stadion. Saya tidak sedang menjelekkan. Sekedar membandingkan. Dan banyak terjadi di tempat lain. Itulah kita semua, saya juga di dalamnya.
Kemarin di Jepang melintasi sekian puluh km2 cuma saya temukan satu sampah plastik yang tercecer. Semua serba bersih. Lalu saya lihat di sekitarku di Surabaya pemandangan yang kontras.
Maka saya ingat lagi celoteh dua teman saya di facebook sebaiknya umat islam umroh dan haji ke Jepang biar bisa melihat bagaimana negeri yang yang sudah jadi. Celoteh yang bagi sebagian orang langsung membuat merah kupingnya. Tapi bagi saya itu celoteh cerdas. Perjalanan spiritual mestinya mendatangkan spirit kehidupan yang lebih baik . Spirit tentang kebersihan, ketertiban dan kejujuran. Di Jepanglah semua itu bisa ditemukan dengan nyata.
Termasuk sikap hormat dan humble rakyatnya. Polisi Jepang terlalu sopan bagi kita. Begitu kata mahasiswa kita di Jepang. Pernah dibentak polisi Saudi di Ka'bah? jauh sekali perangainya.
Saya menamakan apa yang terjadi di Jepang adalah beyond religion, lebih dari agama. Mereka tidak bicara syariah atau dosa dan pahala. Mereka sudah menikmati perilaku jujur, bersih dan tertib, tanpa imbalan apapun.
Ada yang bertanya mengapa bunuh diri di jepang tinggi?
Pasti ada yang langsung ngecap gara-gara di sana tidak kenal agama. Itu senjata mematikan yang akan menjadi alasan kita nggak maju. Orang Jepang menganut Shinto atau Buddha, sedikit Kristen. Mereka tidak betengkar soal agama. Di kuil Shinto di pulau Miyajima orang akan membungkukkan badan sebagai peribadatan kepada Tuhan. Mereka dua kali membungkukkan badan sambil mengucap syukur disertai satu tepukan tangan. Ketika kami bertanya pada tour guide apa yang dia bilang soal ini?
"Kami malu meminta pada Tuhan, seperti anak kecil, banyak permintaan. Kami hanya bersyukur karena sudah banyak diberi"
Wow sudahkah kita kaum agamis sampai pada level itu?
Lalu mengapa mereka bunuh diri? Bisa jadi relasi-relasi sosial yang kurang terbentuk seperti di masyarakat kita. Mungkin banyak orang kesepian karena kurangnya acara2 sosial sepeti kita. Bisa juga faktor lain. Kenyataannya negara2 dengan indeks kebahagiaan tinggi juga bukan negara yang religius. Jadi agama juga bukan alasan rendahnya tingkat bunuh diri dan hidup bahagia.
Jadi ingat beberapa waktu lalu ada pemintaan dana masyarakat Indonesia untuk membangun mesjid di jepang. Melihat kenyataan kehidupan di Jepang saya jadi bertanya apakah Jepang butuh mesjid? Yang mengajak membangun mesjid di Jepang saya pikir masih berada pada level bawah pelaksanaan agama. Seharusnya mereka belajar mencari Tuhan dari orang jepang. Sementara kehidupan mereka sudah di atas agama, hakikat mereka sudah sangat agamis. Sedangkan meminta pada Tuhan saja mereka malu. Kita masih tertatih meniti jalan menuju ke kesejatian agama.
Saat acara jamuan makan beberapa kali kudengar " halal nggak, halal nggak ". Aduh saya malu banget. Di Jepang standard hiegenis sangat tinggi, sangat bersih dan sehat. Kita sibuk bertanya halal nggak, seakan di negeri kita semua sudah sempurna. Jadi nggak pernah kita bertanya hieginis nggak. Padahal dalam membunuh binatang hanya satu bedanya: kita atas nama Allah, mereka demi kelangsungan hidupnya.