Rabu, 05 Januari 2011 08:43 |
Demi menyelesaikan studi jenjang doktoral di Brandenburgische Technische Universität Cottbus, Jerman, dalam dua tahun terakhir Suhendra berusaha mencukupi kekurangan uangnya dengan memulung botol di Berlin. Kemandiriannya berbuah pada penguasaan kemampuan spesifik hingga menjadikan dia satu-satunya doktor dari negara lain yang dibutuhkan sebuah institusi Pemerintah Jerman. ”Saya memulung pada waktu senggang, biasanya sehabis subuh agar tak ketahuan orang (Indonesia),” kata Suhendra, salah seorang peserta International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), 16-18 Desember 2010, di Jakarta. Ia memulung botol bekas wadah minuman di stasiun pemberhentian kereta api, terminal bus, dan bandara. Satu botol bekas minuman air mineral dihargai 25 sen euro. Sementara botol bekas minuman berkarbonasi dihargai 15 sen euro. Untuk menguangkan botol-botol itu, ia membawanya ke mesin otomatis yang ada di stasiun kereta api. Sabtu dan Minggu merupakan hari penuh berkah karena botol bekas relatif berlimpah. Dalam sehari dia bisa mendapatkan 40-50 botol. ”Mesin-mesin otomatis itu seperti ATM. Botol yang saya masukkan diganti voucher yang bisa ditukar dengan uang,” kata Suhendra yang memulung tahun 2004-2006, saat mengambil doktor bidang environmental safety for petroleum project (sistem keamanan lingkungan untuk industri tambang minyak). Hasil memulung memang tak cukup untuk membayar sewa apartemen, biaya makan, dan asuransi. Suhendra pun bekerja paruh waktu di pabrik cokelat. ”Pekerjaan saya di bidang perawatan. Tetapi, itu sesungguhnya pekerjaan bersih-bersih lantai dan mesin pabrik.” Suhendra menikahi Dewi Yuniasih tahun 1999, dan mulai 2002 istrinya Suhendra menempuh studi S-1 di Universitas Diponegoro, dan lulus di bidangjuga menetap di Jerman. Kini Dewi masih menuntaskan program studi kedokteran di Humboldt University of Berlin. teknik kimia. Ia melanjutkan S-2 di Institut Teknologi Bandung dan mendapat beasiswa program master double degree di Brandenburgische Technische Universität (BTU) untuk periode 2000-2002. Jenjang studi S-2 dia selesaikan setahun di ITB dan setahun di BTU. ”Program master saya di Jerman dengan riset industri bidang teknik kimia di Max Planck Institute (MPI),” katanya. Di MPI, dia meneliti penentuan kinetik pada reaksi kimia. Ini lalu jadi keahlian spesifik Suhendra. Aplikasinya pada reaksi eksplosif pada metal. Ia melanjutkan studi S-3 di tempat sama tahun 2002-2006. Selama 2002-2004 ia memperoleh beasiswa, tetapi dua tahun berikutnya harus biaya sendiri. Tahun 2006, ia menuntaskan studi dengan hasil penelitian kerangka kerja untuk penilaian kondisi minyak yang aman serta ramah lingkungan. ”Berupa parameter untuk kerangka kerja dan indikator operasi kilang minyak yang aman dan ramah lingkungan,” kata Suhendra yang mendapatkan ijazahnya pada Februari 2007. Dia lalu melamar kerja di Badan Penelitian Jerman, Federal Institute for Materials Research and Testing (Bundesanstalt für Materialforschung und-prüfung/BAM) di Berlin. Ini seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tetapi di bawah Kementerian Ekonomi dan Teknologi Jerman. ”Ada slogan menarik di lembaga ini,” katanya. Kira-kira demikian, ”Alokasikan uang yang banyak untuk riset, maka riset akan memberikan uang yang lebih banyak.” Pada April 2007, setelah melalui verifikasi dinas ketenagakerjaan setempat, dia diterima di BAM. ”Kemungkinan saya diterima di BAM karena keahlian spesifik untuk bidang material eksplosif. Latar belakang keilmuan saya sesuai dengan yang dicari,” katanya. Di lingkup kerja BAM, Suhendra mengerjakan model simulasi matematik untuk kebakaran tambang batu bara bawah tanah. Ia mengembangkan pula model simulasi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan tambang batu bara bawah tanah. ”Saya mengembangkan simulasi kecepatan perambatan api pada tambang batu bara bawah tanah,” ujarnya. Keberhasilan itu mengantar Suhendra memimpin kerja sama Jerman-China pada 2008 di bidang penanganan kebakaran tambang batu bara bawah tanah di China. ”Korban sekitar 6.000 jiwa per tahun terjadi di China akibat kebakaran tambang batu bara. Saya diserahi proyek untuk kerja sama penanganan masalah ini,” katanya. Dia pun banyak hadir dalam forum ilmiah China untuk menyebarkan ilmu penanganan dan pencegahan kebakaran tambang batu bara bawah tanah. Belakangan, Suhendra beranjak pada kegiatan urban minning yang secara harfiah bisa diartikan menambang di kawasan urban atau kota. Menambang di kota tak ubahnya dengan kegiatan memulung, yaitu menghasilkan uang dari limbah yang terbuang. Menurut Suhendra, konsep urban minning tak sesederhana proses daur ulang. Urban minning mempersyaratkan teknologi lebih rumit dibandingkan dengan sekadar proses daur ulang. Ia mencontohkan bagaimana memulihkan komponen vital dan paling berbahaya kadmium bagi lingkungan dari proses industri sel surya. ”Di Uni Eropa, urban minning memanfaatkan pula limbah logam seperti aluminium dan besi, juga kegiatan produksi fosfor dari limbah kotoran manusia.” Pada 2008 Uni Eropa sempat kekurangan fosfor untuk bahan utama pupuk. Suhendra lalu mengembangkan rekayasa pengolahan limbah kotoran manusia secara lebih optimal untuk meningkatkan produksi fosfor. Seperti di Jerman, limbah kotoran manusia disalurkan ke sebuah penampungan. Ini memudahkan pengolahannya. Limbah juga dijadikan biogas. Tahun 2009, BAM menugasinya memimpin proyek Sustainable and Safe Re-use of Municipal Sewage Sludge for Nutrient Recovery (Susan). Ini proyek penanganan berbagai limbah industri di kota, yang juga bisa diimplementasikan di Indonesia yang sumbernya berlimpah. (*/Kompas Cetak) |
Wednesday, January 05, 2011
Cukupi Biaya Kuliah dengan Memulung Botol
http://ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/nasional/130-akademik/5800-cukupi-biayai-kuliah-dengan-memulung-botol.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment