by Ioanes Rakhmat
Konsep tentang surga dan neraka dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen muncul dengan lengkap pertama kali dalam Kitab Daniel yang ditulis pada abad kedua S.M., ketika bangsa Yahudi sedang mengangkat senjata melawan pemerintahan lalim raja Syria Antiokhus IV Epifanes yang sedang melancarkan politik helenisasi besar-besaran atas negeri Israel (= politik dan militerisme untuk menjadikan kebudayaan dan agama-agama Yunani -- yang disebut helenisme-- sebagai kebudayaan dan agama-agama bangsa-bangsa jajahan Aleksander Agung dan para penerusnya).
Konsep surga dan neraka diciptakan pada awalnya oleh suatu komunitas keagamaan atau suatu bangsa beragama (dalam hal ini, bangsa Yahudi kuno) yang sedang ditindas suatu bangsa asing adidaya, dan mereka tak memiliki kekuatan militer yang unggul. Akibatnya mereka mengalami banyak kekalahan, dan tidak sedikit dari antara mereka mati dalam banyak perlawanan yang tampak sia-sia. Nah, para tokoh keagamaan mereka, yang juga bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan militer, menyusun konsep tentang surga dan neraka, baik berupa doktrin maupun berupa kisah-kisah kejuangan para martir.
Ada dua tujuan dalam mereka menyusun doktrin tentang surga dan neraka. Pertama, untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Kepada para pejuang ini, lewat doktrin surga dan neraka dan kisah-kisah para syuhadah, dijanjikan bahwa kendatipun mereka akan mati dalam perang, mereka harus jangan menyerah, sebab sekalipun mereka mati mereka akan diberi pahala masuk surga sesudah mati syahid. Janji pahala surga ini, dalam suatu perang, sangat efektif untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan, tentu kalau perangnya dilangsungkan karena alasan keagamaan.
Bangsa beragama yang terancam kalah ini dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Allah mereka diam saja, dan tampak kalah juga ketika berhadapan dengan musuh mereka? (Bagi bangsa beragama di zaman dulu, kalau bangsa ini kalah perang, berarti Allah mereka juga kalah.) Nah, sebagai tujuan kedua, pertanyaan besar ini dijawab dengan doktrin tentang neraka: Jangan takut dan jangan kehilangan kepercayaan, sebab akan tiba saatnya, ketika zaman dan sejarah dunia berakhir tak lama lagi, semua musuh mereka akan dengan adil dibalas oleh Allah dengan membuang mereka semua ke dalam api neraka, yang akan memanggang mereka selamanya. Doktrin tentang hukuman di neraka adalah sebuah doktrin tentang kebencian yang tak bisa hilang, tetapi dipelihara sampai ke alam baka.
Karena ada janji surga dan ancaman neraka, doktrin tentang surga dan neraka umumnya dilengkapi beberapa doktrin lain: doktrin-doktrin tentang kiamat (berakhirnya sejarah dunia), tentang bencana sejagat, tentang kebangkitan orang mati, tentang pengadilan di akhir zaman, tentang figur sang Hakim jagat raya dari kawasan adikodrati, dan tentang kitab kehidupan yang di dalamnya tercatat biografi orang per orangan selama mereka hidup di Bumi, yang akan dijadikan landasan pengadilan di akhir zaman.
Belakangan, doktrin tentang surga dan neraka mengalami pergeseran fungsi, khususnya ketika doktrin ini tetap dipercaya dan dipegang meskipun umat tidak sedang perang. Doktrin ini berubah fungsi menjadi sebuah doktrin yang digunakan para rohaniwan untuk mengontrol perilaku umat orang per orangan. Seperangkat aturan moral (moral code) disusun, seperangkat doktrin dibangun, dan seperangkat ritual ditetapkan, untuk diikuti dan dijalankan umat tanpa hak dan kewajiban bertanya.
Para rohaniwan mengingatkan mereka dengan keras: Jika moral code dan seperangkat doktrin dan ritual ini tidak diikuti dan dijalankan sepersisnya, orang yang melawan ini akan masuk neraka abadi. Sebaliknya, anggota umat yang menaati semuanya akan menerima pahala surga. Jelas, dengan bisa mengontrol perilaku dan keyakinan umat, para rohaniwan ini tetap memegang kendali atas seluruh komunitas, dan mereka tetap bisa menjadi leader dengan kedudukan politik yang kuat, yang dapat memberi mereka banyak keuntungan lain (ekonomi, hak istimewa, hak menetapkan doktrin, hak menentukan kebenaran atau kesalahan, hak menghakimi, dan lain-lain).
Dalam kehidupan Gereja Katolik Roma (GKR) sekarang ini, doktrin tentang penghukuman di api neraka diperluas dengan dua doktrin lain tentang bagian-bagian kehidupan di akhirat yang mengawali atau menggantikan kehidupan sengsara di api neraka, yakni doktrin tentang limbo dan purgatori.
Limbo adalah kehidupan di akhirat yang diberikan kepada orang-orang pagan yang tak jahat tetapi penuh kebaikan dan kebajikan, noble pagans, sehingga mereka tak pantas dimasukkan ke dalam neraka, dan juga kepada bayi-bayi yang meninggal ketika belum menerima baptisan Kristen untuk keselamatan mereka. Limbo dibayangkan sebagai suatu tempat yang di dalamnya tak ada siksaan berat dan kekal seperti di neraka, tetapi juga tidak ditemukan kesukaan dan kebahagiaan seperti hidup dalam surga. Limbo adalah situasi tengah-tengah antara neraka dan surga.
Doktrin tentang limbo ini dirancangbangun tak lain untuk mengurangi rasa bersalah para rohaniwan GKR yang semula mengancamkan neraka kepada semua kaum kafir yang berakhlak luhur dan orang-orang yang baik tetapi tidak termasuk ke dalam komunitas GKR, dan tentu juga untuk memperkuat doktrin tentang neraka sebagai suatu tempat yang disediakan untuk orang-orang yang memang sangat patut dan sah dimasukkan ke dalamnya. Debat di dalam GKR tentang apakah doktrin limbo masih harus dipertahankan makin menguat sekarang ini ketika kasus-kasus janin yang diaborsi semakin menggunung, sementara GKR sangat menentang aborsi yang dilakukan dengan alasan apapun.
Purgatori, yang dikenal juga sebagai "api penyucian", menyediakan suatu tempat dan kurun di mana seseorang dimungkinkan untuk terhindar dari hukuman abadi dalam api neraka, dengan menjalani suatu penghukuman sementara, yang sebenarnya lebih tepat disebut "penyucian" atau "pemurnian" dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya terbebaskan sama sekali dari siksa di neraka abadi. Menurut doktrin ini, ketika periode siksaan atau pemurnian terbatas ini selesai dijalani, orang yang menjalaninya dikeluarkan dari purgatori lalu diterima masuk ke dalam surga abadi, berdasarkan kalkulasi bahwa kejahatannya selama hidup di muka Bumi sudah lunas dibayar olehnya selama berada dalam purgatori. Orang semacam ini dikalkulasi tidak terlalu jahat tetapi juga tidak terlalu baik.
Kita tahu, reformator Gereja Protestan pada abad enam belas, Martin Luther, dibuat sangat murka ketika GKR pada zamannya memanfaatkan doktrin tentang purgatori ini untuk menggalang dana besar bagi pembangunan Gereja Santo Petrus di Vatikan. Pada masa itu, GKR mengajarkan, jika seorang Katolik yang berdosa telah dengan cukup memberi sumbangan uang ke kas GKR untuk membangun gereja besar ini, orang ini akan terhindar dari purgatori ketika dia wafat nanti dan arwahnya akan langsung masuk surga, atau, kalau orang ini memberi sumbangan uang demi seorang anggota keluarganya yang sudah meninggal, maka, begitu mata uang berdenting di kas gereja, arwah orang yang sudah meninggal ini dijamin gereja akan langsung dikeluarkan dari purgatori dan dimasukkan ke dalam surga abadi.
Jadi, doktrin tentang surga dan neraka adalah sebuah doktrin politis religius, yang semula disusun untuk kepentingan perang, dan kemudian untuk mengendalikan perilaku dan kehidupan umat oleh para rohaniwan ketika doktrin ini tetap dipegang dalam konteks bukan perang dan ditambahi dengan doktrin tentang limbo dan purgatori.
Kalau ditanya, apakah surga dan neraka betulan akan ada dan dialami sesudah kematian, jawabnya adalah: seandainya manusia hidup terus dalam rupa roh sesudah kematian fisik di muka Bumi, maka roh yang tak memiliki tubuh, indra dan otak sama sekali tak akan bisa merasakan entah nikmat surga atau pun siksa neraka. Ketika otak lenyap, maka pikiran dan perasaan pun lenyap. Surga dan neraka sesudah kematian hanya ada dalam doktrin, dalam kisah, dalam mitologi, dan tidak ada dalam realitas faktual apapun.
Orang umumnya beranggapan, kalau doktrin tentang surga dan neraka sesudah kematian tak diajarkan, kejahatan di muka Bumi akan semakin meningkat. Anggapan ini salah, karena beberapa alasan.
Pertama, kekuasaan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman di muka Bumi ada pada pemerintah suatu negara. Jadi, untuk mengurangi atau menekan angka prevalensi kejahatan di muka Bumi, hukum positif dalam suatu negara harus dibangun, ditegakkan dan diberlakukan dengan konsekwen dan konsisten pada semua orang tanpa pilih bulu.
Kalau ada orang bisa lolos dari jerat hukum, misalnya karena pemerintahan di dalam suatu negara lemah, buruk dan korup, jalan keluarnya bukanlah menakut-nakuti rakyat dengan doktrin tentang neraka yang panas dan berlangsung abadi, melainkan membereskan hukum dalam negara itu dengan sungguh-sungguh.
Kini, dalam era globalisasi, yang mengikat manusia di suatu negara bukan hanya hukum positif nasional, tetapi juga hukum internasional; dan yang ada bukan hanya lembaga pengadilan dalam negeri, tetapi juga lembaga pengadilan internasional. Sudah banyak terjadi, seorang yang lolos dari jerat hukum di negerinya sendiri akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman di luar negeri.
Kedua, perlu kita ketahui bahwa dalam zaman modern ini jumlah orang yang tak lagi bisa menerima doktrin tentang surga dan neraka sangat banyak, di antara mereka termasuk orang-orang yang potensial melakukan kejahatan. Kalau orang zaman modern ditakuti-takuti hanya dengan sebuah doktrin keagamaan tentang hukuman di neraka, dan hukum positif dalam suatu negara tak ada atau dihapuskan, jelas kejahatan di dunia akan semakin meningkat.
Ketiga, ketaatan yang ditimbulkan oleh doktrin tentang api neraka adalah ketaatan yang tak dewasa, immature, tak keluar dari kesadaran nurani sendiri, tetapi muncul karena rasa takut yang besar. Doktrin tentang hukuman di neraka melahirkan bukanconscience, nurani, melainkan fear, ketakutan. Untuk membangun suatu masyarakat yang warganya taat hukum dan tak melakukan kejahatan, yang dibutuhkan adalah pembinaan moralitas bertahap dan terus-menerus untuk menghasilkan nurani yang fungsional, mature dan accountable. Dalam rangka membangun suatu moralitas individual dan sosial semacam ini pendekatan “reward and punishment” sekuler dipakai. Doktrin tentang ancaman api neraka tak akan menghasilkan conscience yang fungsional, accountable dan mature dalam diri warga masyarakat, melainkan akan menghasilkan suatu masyarakat yang penuh ketakutan yang tak membangun, a society of fear.
Keempat, kalau orang baru mau hidup beragama dan bermoral dengan baik hanya jika mereka ditakut-takuti ancaman hukuman di api neraka, kehidupan bermoral dan beragama semacam ini berada baru pada tahap kanak-kanak, bukan tahap dewasa. Kita tahu umumnya kanak-kanak akan baru mau belajar dengan baik jika kepadanya diiming-imingi hadiah permen atau sebuah boneka, atau bahkan kalau kepadanya diperlihatkan sebilah rotan yang siap dipukulkan ke pantatnya. Orang yang beragama baru pada tahap kanak-kanak ini, yakni beragama secara egoistik dan dipenuhi ketakutan, akan memakai agamanya sebagai alat untuk mencapai kepuasan pribadinya saja, dan untuk mendatangkan kesusahan pada orang lain. Seorang anak sangat senang jika boneka milik kakaknya atau boneka milik temannya direbut untuk diberikan kepadanya, dan dia tak akan perduli kalau kakaknya atau temannya itu jadi menangis sedih.
Kelima, doktrin tentang hadiah surga dan hukuman di neraka sesudah kematian menghasilkan orang beragama yang melihat kehidupan yang bermakna hanya ada di alam baka setelah kematian. Bagi mereka, kehidupan di Bumi sekarang ini hanya sementara, hanya untuk dilintasi, tak bermakna penuh, bahkan maya saja. Orang beragama yang berpandangan semacam ini bisa tak akan perduli pada banyak persoalan dan penyakit sosial di dunia masa kini, dan tak menyumbang apapun dalam usaha global memerangi banyak kejahatan. For example, para pejihad Muslim yang sangat percaya pada keberadaan surga dan neraka, sangat ingin segera masuk surga dan menerima banyak hadiah istimewa dari Alloh SWT, dengan melakukan terorisme atas nama Alloh ini untuk membunuh kaum kafir, infidel, sebanyak-banyaknya! Syukurlah, kaum Muslim yang sudah mature beragama menolak terorisme sebagai suatu jalan masuk ke surga!
Catatan:
Sheol (Ibrani) dan Hades (Yunani) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata neraka atau kata jahanam (gehena).
Sheol, dalam Yudaisme kuno pra-Zoroastrianisme, dipahami sebagai kawasan bayang-bayang, non-fisikal, dan sebagai bayang-bayang orang yang sudah meninggal tak punya emosi dan pikiran apapun dan tak menunggu ganjaran atau pahala apapun--- suatu kondisi kehidupan tanpa makna dan tanpa substans.
Sheol juga dibayangkan sebagai tempat di bawah muka Bumi, dalam tanah, kuburan orang mati; dan di beberapa kawasan Palestina kuno, kawasan pekuburan juga berdekatan letaknya dengan kawasan pembakaran sampah, dan dari sini dikembangkanlah konsep tentang api neraka yang panas di bawah muka Bumi, dan dikembangkan lebih jauh sebagai tempat penghukuman orang jahat yang tidak lagi dipandang hanya sebagai bayang-bayang, tetapi sebagai entitas personal yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka selama masih hidup dalam dunia.
Dalam mitologi Yunani, yang diadopsi oleh kekristenan perdana, dibayangkan dunia di bawah muka Bumi yang dikuasai Hades, Dewa kematian dan hakim atas arwah-arwah.
Karena pengaruh agama Persia (Zoroastrianisme), Yudaisme kuno membayangkan sheol bukan lagi di bawah muka bumi, tetapi suatu kawasan adikodrati yang tak bisa ditentukan lokasinya, yang corak dan sifatnya dipertentangkan secara dualistik dengan surga adikodrati yang juga lokasinya tak bisa ditentukan. Dan setiap kawasan ini dibayangkan ada penguasanya sendiri-sendiri.
Sheol, dalam Yudaisme kuno pra-Zoroastrianisme, dipahami sebagai kawasan bayang-bayang, non-fisikal, dan sebagai bayang-bayang orang yang sudah meninggal tak punya emosi dan pikiran apapun dan tak menunggu ganjaran atau pahala apapun--- suatu kondisi kehidupan tanpa makna dan tanpa substans.
Sheol juga dibayangkan sebagai tempat di bawah muka Bumi, dalam tanah, kuburan orang mati; dan di beberapa kawasan Palestina kuno, kawasan pekuburan juga berdekatan letaknya dengan kawasan pembakaran sampah, dan dari sini dikembangkanlah konsep tentang api neraka yang panas di bawah muka Bumi, dan dikembangkan lebih jauh sebagai tempat penghukuman orang jahat yang tidak lagi dipandang hanya sebagai bayang-bayang, tetapi sebagai entitas personal yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka selama masih hidup dalam dunia.
Dalam mitologi Yunani, yang diadopsi oleh kekristenan perdana, dibayangkan dunia di bawah muka Bumi yang dikuasai Hades, Dewa kematian dan hakim atas arwah-arwah.
Karena pengaruh agama Persia (Zoroastrianisme), Yudaisme kuno membayangkan sheol bukan lagi di bawah muka bumi, tetapi suatu kawasan adikodrati yang tak bisa ditentukan lokasinya, yang corak dan sifatnya dipertentangkan secara dualistik dengan surga adikodrati yang juga lokasinya tak bisa ditentukan. Dan setiap kawasan ini dibayangkan ada penguasanya sendiri-sendiri.
No comments:
Post a Comment