http://www.rakyatmerdekaonline.com/read/2011/10/13/42262/Barter-Gereja-dengan-Kolam-
Oleh: M. Aji Surya
DEMI sebuah kepercayaan, sebuah katedral berganti rupa menjadi kolam renang. Inilah bagian dari sejarah Rusia. Pelajaran bagi umat Manusia.
Menyusuri sungai Moskow dengan boat atau mengendarai mobil, gereja berwarna putih itu kelihatan sangatlah megahnya. Nangkring di salah satu bukit dan berlokasi di tepian sungai, sejajar dengan pusat budaya Kremlin. Kubah bawang bombai di tengah-tengahnya yang berwarna keemasan tampak akrab dikelilingi oleh kubah-kubah menengah dengan warna yang sama. Sekilas tampak seperti masjid atau malah Taj Mahal. Dari beberapa kilometer, mata pelancong tetap masih bisa mengaguminya. Maklumlah, gedung itu adalah gereja ortodoks terbaik dan terbesar di dunia.
Begitu mendekat, kekaguman pelancong sontak akan bertambah. Gereja kaum Kristen Ortodoks ini luasnya sekitar empat kali lapangan bola. Bangunannya masih kelihatan relatif baru meski nuansa lamanya masih tetap kental. Bahan bangunan yang terdiri dari batu, marmer, keramik, perunggu serta baja pilihan masih kelihatan mengkilap. Bahkan, persis di depan gereja terdapat sebuah jembatan pejalan kaki yang membelah sungai dengan arsitektur yang sangat modern. Perpaduan antara arsitek abad 19 dan 21.
Dari jembatan ini, bisa menikmati katedral tanpa penghalang sedikitpun. Kemegahan gereja langsung menyusup ke dua bola mata. Kalau mata kita digeser ke kanan sedikit, maka tampaklah keagungan Kremlin yang elok. Kita tarik sedikit mata kita ke bawah, aliran sungai Moskwa akan menghadirkan sensasi tersendiri dengan kapal-kapal pesiarnya yang penuh dengan penumpang. Sementara dari kejauhan, aneka bangunan menjulang kota Moskwa menghiasi pemandangan.
Memasuki Katedral, mata langsung melihat sebuah kemewahan. Nyaris semua ornamen dan lukisan dalam warna keemasan. Dinding-dindingnya dilukisi simbol-simbol Kristen Ortodoks dan para tokohnya. Mulai almarhum pimpinan gereja yang dianggap suci hingga Bunda Maria dan Yesus. Di hampir semua sisi terpampang lukisan orang-orang suci yang sangat hidup dan selalu menjadi perhatian para pengunjung. Mereka tidak segan menciumi dan memberikan penghormatan tertinggi.
Di langit-langit kubah bagian dalam, tampak lukisan seorang bapak dengan anak kecil yang dikelilingi para bidadari dan malaikat yang bersayap. Meskipun lukisan menghadap ke bawah, namun terasa bisa akrab berkomunikasi dengan pengunjung yang berada di bawahnya. Hanya seorang master yang bisa menorehkan gambar-gambar yang demikian hidup.
Meskipun bagunan ini bongsor, namun secara umum hanya terdiri dari dua lantai saja. Lantai pertama dipakai untuk acara yang bersifat umum, seperti pemberkatan pengantin dan aneka pertemuan, sedangkan lantai kedua khusus peribadatan. Semua peralatan yang terpampang disini masih kelihatan mengkilat dan eksklusif. Kebersihan selalu terjaga dan suasana sejuk terus bisa dirasakan.
Selain kubahnya yang sama dengan masjid di tempat kita, pengunjung wanitanya rata-rata berkerudung. Rupanya tradisi lama ortodoks masih sangat kuat di Rusia. Semua wanita yang memasuki gereja setengah diwajibkan untuk menggunakan kerudung putih dengan motif bordiran ataupun bernuansa bunga berwarna kalem. Mereka berdoa saat masuk gereja, di depan gambar orang suci, dan ketika meninggalkan gereja.
Itulah sekelumit gambaran gereja yang bernama Khram Khrista Spasitelya, Cathedral of Christ the Saviour atau Katedral Kristus Sang Penyelamat yang baru selesai pembagunannya pada tahun 2000 yang lalu. Karena pengucapannya memang agak sulit, orang Indonesia lebih suka menyebutnya Gereja Putih!
Meskipun saat ini tergolong megah, berwibawa dan terawat, namun katedral ini sempat berlinang air mata, dihancurkan seiring dengan perkembangan doktrin pemerintah Uni Soviet yang anti agama. Masa kelam tanpa agama lebih dari 70 tahun telah membawa Rusia tanpa kepercayaan terhadap Tuhan. Gereja dan masjid dimalfungsikan, buku agama dihabisi dan penyebaran agama sama sekali dilarang. Semua ternyata berakhir sia-sia.
Kepercayaan vs Ambisi
Ide pembangunan Khram Khrista Spasitelya bermula di awal abad 19. Ketika akhirnya Nopoleon dengan 600.000 tentaranya angkat kaki dari tanah Rusia, Tsar Alexander I menandatangani sebuah manifesto (25 Desember 1812) yang isinya tekad membangun katedral sebagai rasa syukur atas nikmat Tuhan. Selain itu, gereja ini dimaksudkan juga sebagai monumen penghormatan atas jasa-jasa dan pengorbanan rakyat Rusia yang selalu gagah gempita mengusir penjajah. Meski rancangan bangunan telah dibuat, namun ajal lebih dahulu menjemput sang Tsar.
Oleh penggantinya, Nicholas I, rancangan Alexander I yang bernuansa neoklasik dibatalkan. Ia kemudian memilih kreasi seorang arsitek dari St. Petersburg, Konstantin Thon, yang mengambil model Haga Sophia di Konstantinopel, Turki. Design bercorak neo-bizantium ini disetujui pada tahun 1832 dan lokasi pembangunan ditetapkan di sebuah bukit dekat Kremlin (1837). Baru dua tahun kemudian peletakan batu pertama dilakukan.
Beberapa pelukis terkemuka seperti Ivan Kramskoi, Vasily Surikov dan Vasily Vereshchagin dikerahkan. Bagian dalam katedral terdiri dari dua lantai yang diisi dengan berbagai benda yang terbuat dari batu granit, marmer pilihan dan batu mulia lainnya. Lantai pertama, didedikasikan sebagai tempat mengenang enyahnya Napoleon. Dindingnya yang terbuat dari lebih 1000 meter marmer carra bianca berisi nama-nama komandan, resimen dan tentara yang gugur dalam Perang Heroik tahun 1812. Sedangkan lantai kedua berisi altar yang hanya dipakai untuk peribadatan.
Pembangunan katedral ini sangat rumit sehingga memakan waktu sangat lama, 41 tahun. Dinding dan bangunan bagian bawah perlu waktu penyelesaian 2 tahun tanpa henti. Pemasangan kubah yang unik itu selesai 8 tahun kemudian (1849). Semua atap baru beres tahun 1862, sedangkan bagian eksteriornya baru terlihat nyata keindahannya menjelang tahun 1880. Akhirnya, katedral diresmikan pada saat Alexander III naik tahta, 26 Mei 1883.
Setelah revolusi Bolshevic berlangsung, atau lebih tepatnya pasca kematian Lenin, tempat katedral berdiri telah dipilih oleh Pemerintahan Soviet sebagai lokasi monumen peringatan ajaran sosialis yang diberi nama Palace of the Soviets. Gedung ini rencananya akan menjadi salah satu pencakar langit paling modern di dunia dengan patung Lenin yang mengangkat tangan di puncaknya.
Pada 5 Desember 1931, atas perintah seorang menteri masa Pemerintahan Stalin, katedral agung itu mulai dihancurkan. Kubahnya mulai dicopot dan ditarik ramai-ramai secara paksa. Lalu semua dindingnya dipasangi dinamit untuk diledakkan. Saat itu, para penduduk menonton dari balik jendela sambil komat kamit melantunkan doa agar terjadi kegagalan dalam upaya penghancuran gedung. Blaaar blaaar! Bangunan tetap utuh. Tegak dan gagah. Menurut penuturan saksi mata, dinamit pertama yang dipasang tersebut tidak mampu menggoyahkan bangunan katedral. Hanya debu saja yang berhamburan.
Setelah dilakukan peledakan beberapa kali, gedung katedral itu akhirnya tersungkur menyerah. Namun, lagi-lagi keperkasaannya masih tampak. Saking banyak material kelas wahid di dalamnya, maka pembersihan reruntuhan gedung memerlukan waktu satu tahun. Banyak marmernya yang kemudian dipakai untuk pembangunan metro bawah tanah. Sedangkan marmer dalam diameter yang besar sampai saat ini masih disimpan di Donskoy Monastery sebagai kenang-kenangan.
Apesnya, pembangunan pencakar langit dengan puncak patung Lenin yang sudah digadang-gadang itu terkendala oleh dana yang terbatas, meluapnya sungai Moskwa yang berada di sampingnya serta meletusnya peperangan. Bahkan, karena kebutuhan perang maka besi baja yang telah disiapkan kemudian dialihka untuk membuat tank dan alat perang lainnya. Akhirul kalam, presiden Nikita Khrushchev membatalkan rencana pembangunan Palace of the Soviets dan menjadikan lokasi emas itu sebuah kolam renang terbuka terbesar di dunia dengan nama Moskva Pool.
Menjelang ambruknya rejim Soviet dan mulai munculnya tanda-tanda kemenangan perestroika dan glasnost, pimpinan gereja ortodoks Rusia mendapatkan izin untuk kembali membangun Cathedral of Christ the Saviour. Pada tahun 1992, pengumpulan dana pembangunan dimulai dengan melibatkan masyarakat umum. Lebih dari sejuta rakyat Moskwa merogoh koceknya demi terbangunnya kembali katedral agung. Pada tahun 1994 pembangunan dimulai dan kolam renang resmi dihancurkan.
Menurut rencana, pembangunan kembali Cathedral of Christ the Saviour ini meniru 100 persen keaslian bangunan sebelumnya. Namun dalam perkembangannya, sang arsitek Zurab Tsereteli melakukan beberapa inovasi, antara lain dengan mengganti beberapa ornamen marmer dengan perunggu. Setelah enam tahun, bangunan baru Cathedral of Christ the Saviour bisa diresmikan pada 19 Agustus 2000. Untuk melengkapi katedral, dibagunlah jembatan diatas sungai Moskwa yang modern nan unik yang berakhir di depan katedral.
Kini, semua orang Rusia mengenang kejadian metamorposa gereja putih tersebut dengan perasaan campur aduk. Pada saat berkunjung ke gedung megah itu, bukan hanya rasa syukur yang dirasakan, melainkan juga ingatan tentang adanya suatu masa dimana terdapat monopoli kebenaran oleh pemerintah yang berakhir dengan sebuah kebangkrutan.
(Penulis adalah diplomat Indonesia di Rusia, ajimoscovic@gmail.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment