VIVAnews – Seorang pedagang kaki lima bernama Muhammad Bouazizi di jalanan Tunisia membakar dirinya tahun lalu. Aksi itu membangkitkan gelombang demonstrasi yang menggulung dunia Arab dan menjungkalkan para diktator termasyhur di Mesir, Libya, dan Yaman dari tampuk pemerintahan. Kini, hal yang sama mengintip Suriah. Presiden Bashar al-Assad agaknya kian dekat dengan akhir kekuasaannya.
Dunia menamai gerakan protes yang timbul secara hampir bersamaan itu sebagai Kebangkitan Bangsa Arab. Namun, sesungguhnya apa nilai-nilai yang mendorong munculnya gerakan itu? Jenis perubahan macam apa yang mereka inginkan? Serangkaian survei yang dilakukan pada pertengahan tahun lalu menunjukkan adanya perbedaan pendapat di antara masyarakat.
Melalui survei itu, terkuak hal bahwa 84% dari warga Mesir dan 66% penduduk Libanon memilih demokrasi dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama dari Kebangkitan Bangsa Arab. Di kedua negara itu, hanya sekitar 9% belaka yang percaya bahwa unjuk rasa besar-besaran itu diarahkan demi membentuk pemerintahan Syariat Islam.
Di Mesir, Irak, serta Arab Saudi, Kebangkitan Bangsa Arab mencerminkan adanya pergeseran pemikiran yang menonjol di antara masyarakat mengenai hal-ihwal identitas nasional. Pada tahun 2001, hanya sekitar 8% penduduk Mesir saja yang menganggap diri mereka ‘orang Mesir,’ sementara 81% lain lebih merasa sebagai Muslim. Cara pandang yang sama masih bertahan hingga 2007.
Pasca Kebangkitan itu, jumlah itu berubah drastis. Mereka yang merasa sebagai ‘orang Mesir’ meningkat menjadi 50%, 2% lebih banyak dari jumlah masyarakat yang mengukuhkan identitas sebagai Muslim. Sementara itu, di Irak, jumlah warga yang merasa diri sebagai ‘orang Irak’ meningkat pesat. Pada tahun 2004, jumlah mereka hanya sekitar 23%. Pada tahun 2011, persentase itu menjadi 46%. Di lain pihak, mereka yang mendefinisikan diri sebagai Muslim turun dari 75% menjadi 44%.
Perubahan juga terjadi di ranah politik sekuler serta melemahnya dukungan kepada hukum Islam. Di antara penduduk Irak, persentase masyarakat yang percaya bahwa Irak akan menjadi lebih baik jika politik dipisahkan dari agama meningkat sekitar 20%: pada 2004, jumlahnya 50%; sementara di 2011, angka itu menjadi 70%. Mesir dan Arab Saudi tak merekam data yang sama.
Namun, di kedua negara itu, dukungan bagi penyelenggaraan hukum Islam menurun drastis. Di Mesir, masyarakat yang menganggap bahwa pelaksanaan hukum Islam adalah “sangat penting” persentasenya jatuh dari 48% di 2001 menjadi 28% di 2011. Bagi penduduk Arab Saudi, persentasi yang sama turun daru 69% di 2003 menjadi 31% pada tahun 2011.
Lantas, sebuah analisis survei atas 3.500 warga Mesir dewasa yang mewakili negeri itu, berkaitan dengan gerakan anti-Mubarak, menunjukkan bahwa kebanyakan peserta survey adalah pemuda dengan status sosial dan ekonomi yang tinggi, pengguna Internet, pembaca koran, penduduk kota, serta percaya dengan nilai-nilai modernitas serta mengagungkan kebebasan.
Mereka tak memiliki masalah jika yang menjadi tetangganya adalah orang Amerika, Inggris, atau Perancis. Relijiusitas tak menjamin partisipasi, sementara ketakrukunan antar umat beragama mengurangi partisipasi.
Angka itu sepertinya bertentangan dengan hasil pemilihan wakil rakyat yang dilangsungkan barusan. Dalam pemilihan itu, Persaudaraan Muslim (Muslim Brothers) serta para fundamentalis Salafi bersama-sama mendulang 65% suara. Benar bahwa agama masih merupakan faktor penting bagi para pemilih. 66% dari responden “amat sepakat” atau “sepakat” bahwa orang saleh diharapkan menjadi pejabat public.
Sementara itu, 57% dari responden percaya bahwa penerapan hukum Islam merupakan “hal teramat penting” atau “penting.” Tetap saja, nasionalisme mengalahkan agama. Sebanyak 78% sepakat bahwa mereka yang memiliki komitmen nasional lebih difavoritkan sebagai pejabat publik daripada kaum yang memegang teguh prinsip-prinsip agama.
Bagaimana kiranya menjelaskan ketakselarasan yang mendera data survei serta hasil pemilihan di Mesir? Pertama, para fundamentalis diuntungkan oleh organisasi kepolitikan serta aktivisme lain yang telah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Karena itu, mereka lebih mudah menggerakkan para pendukungnya.
Sementara itu, kaum liberal, yang memimpin gerakan protes melawan rezim yang berkuasa, tak memiliki organisasi yang sifatnya nasional. Mereka juga tak memiliki banyak waktu untuk menerjemahkan modal politik yang baru saja digenggam pada pemilihan lalu.
Kedua, kaum liberal tak punya kecakapan mengalokasikan prioritas. Alih-alih mengampanyekan agenda mereka kepada bangsa Mesir, mereka malah memilih musuh yang salah. Waktu yang teramat berharga dihabiskan untuk berhadapan dengan tentara.
Pada akhirnya, hasil pemilihan memang tak terlampau buruk. Liberalisme selama berpuluh-puluh tahun telah menjadi target serangan dari para ekstremis dan lembaga keagamaan. Sementara itu, banyak organisasi liberal dikekang oleh penguasa bertangan besi.
Jika saja rezim Mubarak tumbang di bawah panji Islam, para Muslim fundamentalis pasti akan berada pada posisi lebih menguntungkan untuk mengajukan klaim atas revolusi Mesir serta masa depan negeri itu.
Tapi, kenyataannya, kaum liberal mendorong jatuhnya sang despot. Hal ini, tentunya, memberikan legitimasi bagi kaum liberalis serta menumbuhkan perasaan kebangsaan yang kuat di antara penduduk Mesir. Hasilnya, dukungan bagi hukum Islam menyusut dan identitas nasional melesat kian popular.
Sejauh wacana politik difokuskan kepada pembangunan-ulang bangsa serta kemerdekaan, para fundamentalis Islam di Mesir serta di mana pun di dunia akan menghadapi pertempuran yang sulit.
Mansour Moaddel adalah Professor Sosiologi di Eastern Michigan University. Artikel ini diterjemahkan dari laman www.project-syndicate.org