http://www.sindonews.com/read/2012/01/20/58/560446/kepemimpinan-sulukiyah-untuk-kesejahteraan
Di Indonesia, kritik banyak disemburkan dari apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington sebagai general opposition. Yaitu kelompok oposisi yang berada di luar mainstream politik praktis. Mulai dari media massa yang merepsentasi pandangan atau kepentingan pemilik, LSM, mahasiswa, cerdik cendikia hingga tokoh agama atau ulama.
Pada tahun–tahun yang lalu Presiden SBY diserang kritik melalui pendekatan propagandis name calling. Frase lamban, senang curhat, musisi (karena meluncurkan album), dan berbagai semat-semat negatif lainnya, menjadi kosa kata perlawanan mereka. Kini muncul istilah baru yang seolah mengakumulasi semua “dosa-dosa” kepemimpinan Presiden SBY. Istilah baru tersebut adalah “negeri autopilot”.
Negeri Autopilot
Istilah ini menjadi populer seiring bertebarannya sejumlah spanduk pada tempat-tempat strategis di Ibu Kota beberapa waktu yang lalu. Salah satu stasiun televisi swasta bahkan membedah tema “negeri autopilot” tersebut secara live dengan dihadiri berbagai komponen bangsa. Autopilot, menjadi penanda gerbang tahun politik. Menabuh intro politik tahun 2012.
Meminjam analisis Efendi Ghazali, pakar komunikasi politik UI, bahwa salah satu pesan mendalam yang ingin disampaikan yang empunya spanduk tersebut adalah bahwa pemerintah saat ini tak lagi dirasakan keberadaannya oleh rakyat. Negara bergerak secara otomatis tanpa navigator, sebagaimana definisi terminologis autopilot. Secara ekstrim, bahkan ada yang mengatakan bahwa tanpa SBY-Boediono rakyat juga bisa makan. Artinya, rakyat tak lagi butuh pemerintah. Keberadaan negara dan pemimpinnya sering kali justru menjadi momok, sebagaimana kejadian di Bima, Mesuji dan Papua.
Masih dalam konteks tematis tentang krisis kepemimpinan, menarik kita cermati adalah mulai maraknya “kampanye” sejumlah tokoh partai politik yang bisa kita baca arahnya sebagai upaya memperkuat penokohan menuju pilpres 2014. Berupaya merebut empaty rakyat dengan pencitraan.
Kehadiran mereka melalui sejumlah iklan, menjadi preposisi pesta demokrasi lima tahunan. Seperti ingin menjawab krisis kepemimpinan yang terjadi.
Namun, hampir semua tokoh yang dielu-elukan tersebut berasal dari kalangan partai politik dan merupakan stock lama. Sebutlah misalnya Abu Rizal Bakrie, Prabowo Subianto, Megawati Soekarnoputri, Wiranto dan Hatta Rajasa.
Akan tetapi, di luar “stock lama” yang tawarkan parpol tersebut, ada juga tokoh yang namanya santer dikaitkan dengan pilpres 2014 dan ia berasal dari luar parpol (non partisan). Dialah Dahlan Iskan (sekarang lebih populer diakronikman dengan DIS). Berbeda dengan tokoh dari parpol yang memang sengaja menyosialisasikan dirinya dengan berbagai perangkat propaganda, termasuk melalui struktur kekuatannya pada parpol, perusahaan atau lembaga lain yang sepatron, nama DIS justru lahir dari dorongan publik.
Bahkan, beberapa parpol juga turut mengapresasi munculnya nama DIS. Namun menurut penulis, dukungan parpol tersebut tidak lepas dari aksi profit taking (ambil untung) dari daya magnetis tokoh DIS, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) KIB Jilid II hasil reshuffle kabinet 2011.
DIS menarik perhatian publik karena berbagai alasan. Diantaranya, prestasi DIS selama memimpin PLN dan gebrakannya ketika menduduki jabatan Menteri BUMN. Tapi lebih dari itu, jika kita flash back menjejaki rekam politik Indonesia pasca reformasi, setidaknya ada tiga alasan kuat yang sebenarnya menjadi stimulan mengapa tokoh independen lebih diterima oleh publik.
Pertama, demokrasi pascareformasi terjebak dalam demokrasi prosedural yang berbiaya tinggi. Akibatnya (kedua), yang muncul adalah pemimpin-pemimpin yang tidak memiliki integritas. Yaitu pemimpin yang dilahirkan dari rongga-rongga kapital. Pola ini, menjebak demokrasi terbungkam oleh katel ekonomi politik.
Akhirnya (ketiga), radius korupsi meluas dari sentrumnya. Hasrat berkuasa memaksa mereka menghalalkan segala cara. Termasuk menggerogoti uang negara demi mengepulkan mesin politik. Apatah lagi dengan otonomi daerah, maka korupsi menggurita, jika pada masa Orde Baru korupsi hanya terpusat di Jakarta, kini korupsi hingga ke daerah-daerah. Salah satu faktanya, Kementrian Dalam Negeri melansir, sejak 2004 ada 155 kepala daerah yang tersangkut korupsi.
Oleh karenanya, dengan pola rekrutmen dan regenerasi kepemimpinan berintegritas, maka kultur demokrasi Indonesia bisa direkonstruksi. Penulis haqqul yaqin bahwa ongkos politik menjadi lebih murah. Mereka yang bermental korup dan tak memiliki integritas, tak lagi tertarik terjun ke dunia politik karena “tidak laku”.
Kepemimpinan Sufistik
Seperti ditulis oleh John Adair (2010), mengutip dari penyair Inggris William Words Worth di dalam Happy Warrior, pemimpin berintegritas adalah “Who comprehends his trust, and to the same. Keef faithfull with singleness of aim. And therefore does not stop, nor lie in wait. For wealth or honour, or for wordly state.” Yang berarti “yang memahamai kepercayaan, dan karenanya, menjaga kesetiaan dengan satu tujuan. Sehingga tidak berhenti apa lagi menanti kekayaan atau kehormatan atau menikmati duniawi”. Artinya bahwa kepemimpinan berintegritas menjadi transformasi nilai-nilai yang transenden.
Di dalam tradisi sufistik, dikenal istilah sulukiyah. Mengutip dari Aprinus Salam (2004), suluk berasal dari kata salaka yang berarti menempuh, melalui atau cara. Sedangkan secara termin, sulukiyah berarti jalan yang ditempuh menuju Sang Maha Pencipta. Artinya bahwa sulukiyah mewujud transformasi sikap mental spiritual menuju titik terdekat dengan Allah SWT melalui proses taqarrub. Baik dimediasi oleh amal individu maupun oleh amal sosial.
Dalam konteks kepemimpinan, maka menjaga amanah tersebut merupakan bagian dari upaya taqarrub kepada Allah SWT. Jika dikawinkan dengan manajemen modern, model ini adalah antitesa pseudo leadership atau kepemimpinan kamuflase, yang oleh pakar manajemen John Maxwell, ia sederhanakan melalui ungkapan Donna Harrison. Yaitu berusaha keras mencapai tingkat pencapaian yang lebih tinggi demi mewujudkan visi kepemimpinan untuk publik. Bergerak memintal potensi integritas dari satu ruang kepemimpinan tersebut.
Dengan hadirnya kepemimpinan yang mengambil lajur sulukiyah ini, maka korupsi yang banyak berakar dari perilaku politik, akan tereduksi perlahan sehingga berimplikasi positif bagi peningkatan ekonomi rakyat. Kebocoran anggaran negara yang selama ini dirampok oleh mafia anggaran, bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Alokasi bagi pembangunan untuk kesejahteraan rakyat pun lebih optimal. Inilah korelasi antara kepemimpinan yang berpusat pada energi sulukiyah dengan kesejahteraan rakyat. Yang pasti, kepemimpinan sulukiyah akan mengeliminasi stigma negeri autopilot.
Jusman Dalle
• Analis Ekonomi-Politik pada Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Universita Muslim Indonesia (UMI) Makassar
• Penulis Opini dan Essay di Koran Nasional
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment