Thursday, June 14, 2012

Derita Warga Mentawai

http://sindikasi.inilah.com/read/detail/1872301/derita-warga-mentawai

Headline



INILAH.COM, Padang - Kegundahan masyarakat Bumi Sikerei membuncah. Hampir 2 tahun gempa dan tsunami berlalu, tapi rumah mereka masih bersifat sementara.
Rumah ala kadarnya yang keadaannya kini sudah compang camping pula. Sementara hunian tetap (huntap) belum juga dibangun. Perdebatan panjang pun berkumandang.

Abusama, tokoh masyarakat Dusun Pasapuat, Kecamatan Pagai Utara, adalah salah satu korban gempa dan tsunami Mentawai, 25 Oktober 210 lalu. Rumahnya hancur tak besisa. Bersama istri dan ketiga anaknya, mereka ditampung di hunian sementara (huntara).

Tetapi sejak beberapa waktu lalu, dia tidak lagi menetap di huntara. Bersama istri tercinta, ditinggalkannya huntara dan memilih menetap di sebuah pondok di tengah ladangnya di Penjaringan, sekitar 2 km dari huntara.

“Saya sudah tidak tinggal di huntara lagi, karena jaraknya lumayan jauh dari ladang. Air bersih juga sangat terbatas. Sekarang saya tinggal di pondok dekat ladang,” kata pria ubanan ini.

Huntara itu kini hanya dihuni oleh anak bujangnya. Penghuni huntara lainnya juga sudah banyak yang meninggalkan hunian tersebut. Sarana prasarana di huntara itu amat terbatas, terutama pasokan air bersih. Sebuah pompa air memang disediakan. Tetapi pompa ini tidak pula dapat difungsikan dengan baik.

Bagi Abusama, tak soal bagaimana cara rumah itu dibangun. Yang pasti kearifan lokal masyarakat setempat tetap diperhatikan. Masyarakat sudah terlalu lama menanti rumah yang nyaman untuk ditempati.

Cerita yang diuntai Leisa Saogo lebih menyedihkan lagi. Kepala Dusun Sabeo Gunggung, Kecamatan Pagai Utara ini, kehilangan anak tercintanya saat bencana itu melanda. Bersama sang istri, mereka ditampung di hunian sementara. Rumah itu pun kini sudah tidak nyaman lagi untuk ditempati.

“Saya kehilangan anak satu-satunya saat bencana itu. Tapi semua telah berlalu. Kami hanya berharap dapat menatap masa depan yang lebih baik bila hunian tetap sudah dibangun,” katanya berharap.

Banyak cerita yang dibingkainya selama tinggal di huntara. Salah satunya adalah penyakit yang menyerang anak-anak, karena mereka banyak mengalami kekurangan gizi. Bantuan kesehatan dari Puskesmas dan juga para LSM setidaknya mampu mengurai duka mereka.

Kini mereka berharap dapat menempati hunian tetap yang nyaman. Penantian mereka sudah teramat lama. Persoalan yang membelit semakin kompleks. Kondisi ini menyebabkan emosional masyarakat juga tak terkendali, gampang emosi dan terpancing amarah.

“Masyarakat kami sudah terlama menanti, tapi belum juga direalisasikan rumahnya. Sementara pesoalan hidup itu semakin banyak saja, sehingga mereka gampa tersulut emosinya,” terang Leisa.

Memang, kegaduhan sempat mewarnai rapat koordinasi percepatan pembangunan huntap Mentawai yang dihadiri masyarakat Mentawai, mahasiswa, para kepala dusun dan anggota DPRD setempat.

Tetapi kesepakatan pun akhirnya tercapai. Rumah yang akan dibangun itu tipe 36 semi permanen. Mereka juga sepakat akan membangunnya secara bersama dengan membentuk kelompok masyarakat (Pokmas).

Namun masih ada kendala yang tersisa, yaitu izin pemanfaatan lahan untuk areal huntap belum diperoleh dari Kementrian Kehutanan. Meski demikian, BPBD Sumbar optimis izin itu segera keluar paling lambat ketika semua persiapan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi Mentawai selesai dikerjakan.

“Kami menyampaikan masalah ini agar semua pihak tahu derita kami, termasuk Menteri Kehutanan. Kami harap Menteri Kehutanan segera memberi izin lokasi pembangunan huntap, sehinga kami bisa hidup tenang dan berkarya,” kata Leisa. [gus]

No comments: