Sabtu, 21 Juli 2012 | 04:30
Simak Cerita Konflik Wali Sanga-Syekh Siti Jenar
Selama Bulan Ramadhan 1433. Beritasatu.com akan menurunkan cerita bersambung tentang Wali Sanga-Syekh Siti Jenar. Serial ini bertajuk "Sêkar Mancawarna Wali Sanga (Sepercik Kisah Dari Jawa Di awal Zaman Peralihan).
Jawa abad ke-15! Saat kerajaan besar Majapahit sudah runtuh, dipenuhi dengan pergolakan dan pertentangan. Masa-masa itu adalah masa-masa penyebaran Islam di Pulau Jawa dan merupakan titik tolak menyebarnya Islam di nusantara.
Dêmak Bintara, salah satu kerajaan yang bercorak Islam selain Giri Kêdhaton dan Cirêbon, mati-matian berusaha mempertahankan eksistensinya. Sementara di wilayah timur Jawa sendiri, banyak kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit yang mencoba pula untuk eksis.
Salah satunya Kerajaan Daha, yang beribukota di Kêling (sekarang Kediri), yang mengaku sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit dan sempat menyerang Majapahit, daerah taklukan Dêmak Bintara pada 1486.
Semenjak itu Daha menyatakan sebagai Majapahit baru yang lepas dari kekuasaan Dêmak Bintara. Dêmak Bintara, tidak bisa berbuat apa-apa. Dêmak mengalami konflik di dalam tubuhnya sendiri. Ancaman-ancaman pemberontakan kerap menghantui kerajaan yang baru berdiri itu.
Yang menakutkan bagi Dêmak, bukanlah Daha, melainkan sosok muda yang merupakan pewaris sah tahta Majapahit yang ada di Pêngging, Ki Agêng Pêngging. Dia bukan saja merupakan ancaman bagi Dêmak Bintara, melainkan ancaman pula bagi Giri Kêdhaton.
Ditambah dengan pecahnya Majelis Wali Sanga dan munculnya sosok berpengaruh yaitu Syeh Lêmah Abang alias Syekh Siti Jenar yang ternyata sangat dekat dengan sosok Ki Agêng Pêngging, Dêmak semakin merasa keberadaannya ada diujung tanduk.
Selama Bulan Ramadan 1433, selama sebulan penuh, setiap hari Beritasatu.com menurunkan cerita bersambung tentang Wali Sanga-Syekh Siti Jenar. Cerita ini ditulis oleh Damar Shashangka penulis novel best seller Sabda Palon. Serial ini kami beri tajuk "Sêkar Mancawarna Wali Sanga (Sepercik Kisah Dari Jawa Di awal Zaman Peralihan).
Serial ini mengisahkan konflik yang terjadi sepanjang tahun 1493-1494. Banyak tokoh Wali Sanga ditampilkan di sini. Sangat menarik untuk disimak dan diikuti tuturannya.
Jawa abad ke-15! Saat kerajaan besar Majapahit sudah runtuh, dipenuhi dengan pergolakan dan pertentangan. Masa-masa itu adalah masa-masa penyebaran Islam di Pulau Jawa dan merupakan titik tolak menyebarnya Islam di nusantara.
Dêmak Bintara, salah satu kerajaan yang bercorak Islam selain Giri Kêdhaton dan Cirêbon, mati-matian berusaha mempertahankan eksistensinya. Sementara di wilayah timur Jawa sendiri, banyak kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit yang mencoba pula untuk eksis.
Salah satunya Kerajaan Daha, yang beribukota di Kêling (sekarang Kediri), yang mengaku sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit dan sempat menyerang Majapahit, daerah taklukan Dêmak Bintara pada 1486.
Semenjak itu Daha menyatakan sebagai Majapahit baru yang lepas dari kekuasaan Dêmak Bintara. Dêmak Bintara, tidak bisa berbuat apa-apa. Dêmak mengalami konflik di dalam tubuhnya sendiri. Ancaman-ancaman pemberontakan kerap menghantui kerajaan yang baru berdiri itu.
Yang menakutkan bagi Dêmak, bukanlah Daha, melainkan sosok muda yang merupakan pewaris sah tahta Majapahit yang ada di Pêngging, Ki Agêng Pêngging. Dia bukan saja merupakan ancaman bagi Dêmak Bintara, melainkan ancaman pula bagi Giri Kêdhaton.
Ditambah dengan pecahnya Majelis Wali Sanga dan munculnya sosok berpengaruh yaitu Syeh Lêmah Abang alias Syekh Siti Jenar yang ternyata sangat dekat dengan sosok Ki Agêng Pêngging, Dêmak semakin merasa keberadaannya ada diujung tanduk.
Selama Bulan Ramadan 1433, selama sebulan penuh, setiap hari Beritasatu.com menurunkan cerita bersambung tentang Wali Sanga-Syekh Siti Jenar. Cerita ini ditulis oleh Damar Shashangka penulis novel best seller Sabda Palon. Serial ini kami beri tajuk "Sêkar Mancawarna Wali Sanga (Sepercik Kisah Dari Jawa Di awal Zaman Peralihan).
Serial ini mengisahkan konflik yang terjadi sepanjang tahun 1493-1494. Banyak tokoh Wali Sanga ditampilkan di sini. Sangat menarik untuk disimak dan diikuti tuturannya.
Penulis: Ulin Yusron
Rontal 1:
Pêngging, 1493 Masehi
Kerisik dedaunan menggelitik gendang telinga. Hempasan angin yang meniup lembut di pagi itu, menebarkan hawa nan dingin. Semburat embun pagi yang terpercik karena tiupannya, menyatu dengan pekatnya kabut yang enggan memudar.
Tanah masih juga membeku, tanpa denyut kehangatan. Rerumputan tanpa gairah, diam dalam kebekuan. Dimanapun mata memandang, semuanya nampak terselimuti oleh uap air.
Dan kebekuan yang serupa itu masih juga enggan beranjak diterpa sorot cahaya damar sewu. Terpancang di dinding-dinding bangunan, berkedip-kedip membentuk bayang-bayang memanjang. Nyala damar sewu yang nampak kelelahan karena kehabisan bahan bakar, menggeliat-geliat, meminta untuk menyudahi tugasnya. Semalaman telah tergenapi dan terlihat ingin beristirahat. Namun kebekuan menahannya.
Dan nyala yang tertatih itu, terus bersinar dengan tenaga yang tersisa.
Adakah sesuatu yang tak akan musnah? Bahkan nyala itupun pelahan dan pasti akan menuju kemusnahan. Ada masa ketika damar masih gulita. Ada masa damar benderang berlimpahan cahaya. Dan ada masa damar harus padam, diiringi sirnanya kecemerlangannya. Semua meniti jalinan keniscayaan ini.
Kemanakah cahaya itu pergi saat kepadaman menghampiri?
Dan jajaran pelita berbahan bakar minyak kelapa murni itupun padam satu persatu!
Keadaan yang semula tersaput cahaya temaram, sejenak menjadi sedikit gelap. Terdengar helaan nafas berat dari sosok yang beku, yang bayangannya tadi terpancang di dinding. Kini, nyala yang tersisa, hanya gumpalan arang diatas pedupaan. Merona dengan bara kemerahan, tanpa disertai asap dupa, yang juga sudah sirna, entah kemana.
Kesirnaan. Ketiadaan.
Ada dimana semua itu sebelum keberadaannya mewujud? Ada pada Kesirnaan? Ketiadaan? Apakah kesana pula semua keberadaan berwujud itu kembali?
Dan kokok ayam mulai terdengar, semula satu dua, lantas kokok pertama dan kedua itu membangunkan kokok-kokok yang lain. Bersahutan, membisingkan tapi indah. Kabut yang semula mengada, kini mulai memudar pula. Dan cahaya barupun tiba. Cahaya yang lebih agung daripada cahaya damar sewu. Memancar dari ufuk timur, membentang di cakrawala.
Dunia pelahan mulai bangkit dari kegelapannya.
Kini, kepul asap mulai nampak dari dapur, sebuah bangunan yang terpisah dari ruang utama. Berjarak lima tombak kebelakang dari ruang utama, dan duapuluh lima tombak dari Sanggar Pamujyan(Bangunan untuk beribadah bagi agama Syiwa Buddha). Asap yang mengepul dari sela-sela atap, menebarkan bau kayu yang dibakar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan alu, bertalu-talu, menumbuk ke lumpang yang berisi biji-biji padi.
Sosok yang tengah duduk bersila di depan pratima (simbol Tuhan) nampak mulai bergerak. Sejenak diangkatnya kedua tangan, menyembah, tepat diatas ubun-ubun. Kemudian, seiring diturunkannya kedua tangan tersebut, tubuh itu kini mulai bangkit berdiri.
Kerisik dedaunan menggelitik gendang telinga. Hempasan angin yang meniup lembut di pagi itu, menebarkan hawa nan dingin. Semburat embun pagi yang terpercik karena tiupannya, menyatu dengan pekatnya kabut yang enggan memudar.
Tanah masih juga membeku, tanpa denyut kehangatan. Rerumputan tanpa gairah, diam dalam kebekuan. Dimanapun mata memandang, semuanya nampak terselimuti oleh uap air.
Dan kebekuan yang serupa itu masih juga enggan beranjak diterpa sorot cahaya damar sewu. Terpancang di dinding-dinding bangunan, berkedip-kedip membentuk bayang-bayang memanjang. Nyala damar sewu yang nampak kelelahan karena kehabisan bahan bakar, menggeliat-geliat, meminta untuk menyudahi tugasnya. Semalaman telah tergenapi dan terlihat ingin beristirahat. Namun kebekuan menahannya.
Dan nyala yang tertatih itu, terus bersinar dengan tenaga yang tersisa.
Adakah sesuatu yang tak akan musnah? Bahkan nyala itupun pelahan dan pasti akan menuju kemusnahan. Ada masa ketika damar masih gulita. Ada masa damar benderang berlimpahan cahaya. Dan ada masa damar harus padam, diiringi sirnanya kecemerlangannya. Semua meniti jalinan keniscayaan ini.
Kemanakah cahaya itu pergi saat kepadaman menghampiri?
Dan jajaran pelita berbahan bakar minyak kelapa murni itupun padam satu persatu!
Keadaan yang semula tersaput cahaya temaram, sejenak menjadi sedikit gelap. Terdengar helaan nafas berat dari sosok yang beku, yang bayangannya tadi terpancang di dinding. Kini, nyala yang tersisa, hanya gumpalan arang diatas pedupaan. Merona dengan bara kemerahan, tanpa disertai asap dupa, yang juga sudah sirna, entah kemana.
Kesirnaan. Ketiadaan.
Ada dimana semua itu sebelum keberadaannya mewujud? Ada pada Kesirnaan? Ketiadaan? Apakah kesana pula semua keberadaan berwujud itu kembali?
Dan kokok ayam mulai terdengar, semula satu dua, lantas kokok pertama dan kedua itu membangunkan kokok-kokok yang lain. Bersahutan, membisingkan tapi indah. Kabut yang semula mengada, kini mulai memudar pula. Dan cahaya barupun tiba. Cahaya yang lebih agung daripada cahaya damar sewu. Memancar dari ufuk timur, membentang di cakrawala.
Dunia pelahan mulai bangkit dari kegelapannya.
Kini, kepul asap mulai nampak dari dapur, sebuah bangunan yang terpisah dari ruang utama. Berjarak lima tombak kebelakang dari ruang utama, dan duapuluh lima tombak dari Sanggar Pamujyan(Bangunan untuk beribadah bagi agama Syiwa Buddha). Asap yang mengepul dari sela-sela atap, menebarkan bau kayu yang dibakar. Tak lama kemudian, terdengar ketukan alu, bertalu-talu, menumbuk ke lumpang yang berisi biji-biji padi.
Sosok yang tengah duduk bersila di depan pratima (simbol Tuhan) nampak mulai bergerak. Sejenak diangkatnya kedua tangan, menyembah, tepat diatas ubun-ubun. Kemudian, seiring diturunkannya kedua tangan tersebut, tubuh itu kini mulai bangkit berdiri.
Rontal 2:
Sekar Mancawarna Wali Sanga dan Syekh Siti Jenar
(Sepercik Kisah Dari Jawa Di awal Zaman Peralihan) karya Damar Shashangka
Tubuh yang tegap. Dibalut dengan kain putih, yang dililitkan melingkar sebatas pinggang, tepat diatas paha yang nampak berisi. Paha itu sendiri dibalut denganwastra sindura (kain kemben yang dominan berwarna merah) yang menutupi celana berwarna hitam. Sosok tersebut, berjalan dengan langkah berat. Sorot matanya tajam, mengarah kedepan. Mata yang dihiasi oleh alis tebal nan hitam. Sehitam rambut panjangnya yang digelung dan diikat diatas ubun-ubun.
Seseorang menghampiri sembari memberikan sembah.
“Aduh Gusti, hawa begitu dingin…”
Dan sosok itu mengangguk, tanpa menjawab. Terus saja melangkahkan kakinya. Di belakang, orang yang baru menghampiri mengikut tanpa bersuara dengan kepala menunduk.
Sosok yang melilitkan kain putih ditubuhnya bergerak menuju ke gêdhogan (kandang kuda). Berhenti tepat tiga tombak didepan pintu gêdhogan. Yang mengikutinya membungkuk memberikan sembah sejenak dan langsung membuka pintu. Terdengar ringkik kuda. Tak berapa lama, seekor kuda sudah tergelandang.
Dengan hati-hati, kuda yang digelandang menggunakan tangan kanan itu, diberikan kepada sosok yang tengah menanti. Kuda yang dipersembahkan tersebut segera diterima. Satu kali lompatan, sosok yang melilitkan kain putih tersebut telah naik diatas punggung kuda.
Sejenak, sang penuntun kuda bergerak kembali ke arah lain. Dimana disana, seekor kuda tampak sudah tercancang dan menunggu untuk dihampiri. Dengan gerak yang cepat dan dengan satu kali lompatan pula, kuda tersebut telah dinaiki.
Ringkikan terdengar saat kendali kuda disentak pelan.
Dan kuda-kuda itu, bergerak pelahan dengan nafasnya yang mendengus-dengus kedinginan. Seseorang telah membukakan pintu gerbang yang terbuat dari papan kayu jati. Yang lantas memberikan sembah seiring kedua orang yang lewat menuju luar tembok pagar.
Kuda berjalan pelan. Tak tampak hendak dipacu kencang, selayaknya orang hendak bepergian. Kaki-kaki kuda, menjejak tanah yang sengaja dibersihkan dari rerumputan liar. Tanah yang dibuat sebagai jalan.
“Masih pagi yang sama dan tidak pernah membosankan, paman.”
“Singgih, Gusti..”
“Dan masih pula dari dulu paman setia menemani…”
“Aduh, Gusti. Sudah merupakan kewajiban hamba.”
“Dari semenjak jaman Rama Prabhu.”
“Singgih, singgih.”
Kuda meringkik. Berbelok mengikuti jalan. Ada dua orang menuntun kerbau mereka. Sejenak mereka berhenti dan memberikan sembah. Kerbau meronta sejenak.
Sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih mengangguk.
“Paman…”
“Hamba, Gusti…”
“Saya tiada bosan-bosan mendengarkan tuturan paman akan Rama Prabhu. Saya masih kecil, teramat kecil untuk bisa mengenali Rama Prabhu.”
“Hamba senantiasa bersedia menuturkan, Gusti.”
Seseorang menghampiri sembari memberikan sembah.
“Aduh Gusti, hawa begitu dingin…”
Dan sosok itu mengangguk, tanpa menjawab. Terus saja melangkahkan kakinya. Di belakang, orang yang baru menghampiri mengikut tanpa bersuara dengan kepala menunduk.
Sosok yang melilitkan kain putih ditubuhnya bergerak menuju ke gêdhogan (kandang kuda). Berhenti tepat tiga tombak didepan pintu gêdhogan. Yang mengikutinya membungkuk memberikan sembah sejenak dan langsung membuka pintu. Terdengar ringkik kuda. Tak berapa lama, seekor kuda sudah tergelandang.
Dengan hati-hati, kuda yang digelandang menggunakan tangan kanan itu, diberikan kepada sosok yang tengah menanti. Kuda yang dipersembahkan tersebut segera diterima. Satu kali lompatan, sosok yang melilitkan kain putih tersebut telah naik diatas punggung kuda.
Sejenak, sang penuntun kuda bergerak kembali ke arah lain. Dimana disana, seekor kuda tampak sudah tercancang dan menunggu untuk dihampiri. Dengan gerak yang cepat dan dengan satu kali lompatan pula, kuda tersebut telah dinaiki.
Ringkikan terdengar saat kendali kuda disentak pelan.
Dan kuda-kuda itu, bergerak pelahan dengan nafasnya yang mendengus-dengus kedinginan. Seseorang telah membukakan pintu gerbang yang terbuat dari papan kayu jati. Yang lantas memberikan sembah seiring kedua orang yang lewat menuju luar tembok pagar.
Kuda berjalan pelan. Tak tampak hendak dipacu kencang, selayaknya orang hendak bepergian. Kaki-kaki kuda, menjejak tanah yang sengaja dibersihkan dari rerumputan liar. Tanah yang dibuat sebagai jalan.
“Masih pagi yang sama dan tidak pernah membosankan, paman.”
“Singgih, Gusti..”
“Dan masih pula dari dulu paman setia menemani…”
“Aduh, Gusti. Sudah merupakan kewajiban hamba.”
“Dari semenjak jaman Rama Prabhu.”
“Singgih, singgih.”
Kuda meringkik. Berbelok mengikuti jalan. Ada dua orang menuntun kerbau mereka. Sejenak mereka berhenti dan memberikan sembah. Kerbau meronta sejenak.
Sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih mengangguk.
“Paman…”
“Hamba, Gusti…”
“Saya tiada bosan-bosan mendengarkan tuturan paman akan Rama Prabhu. Saya masih kecil, teramat kecil untuk bisa mengenali Rama Prabhu.”
“Hamba senantiasa bersedia menuturkan, Gusti.”
Rontal 3:
Dengus nafas kuda terdengar. Hawa dingin masih menyergap tulang. Di ujung jalan, nampak seorang wanita belia, tengah khusyuk memberikan sembah di depan dada –sembah penghormatan, bukan pemujaan- di depan sebuah pohon Kepuh yang besar. Asap dupa mengepul-ngepul. Berbaur dengan kabut yang mulai mengurai.
Wanita itu lekas-lekas menoleh begitu mendengar langkah kaki kuda. Sedikit terkejut, dia segera memberikan sembah. Diikuti dengan anggukan kepala sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih.
“Aku mendengar, kepul dupa di bawah pohon rindang seperti ini sudah tidak lagi terlihat di kota-kota pantai, paman.”
“Singgih, Gusti. Begitulah kabarnya.”
“Mereka sangat sombong, paman.”
“Singgih. Sombong. Bahkan para wanita kota sekarang banyak yang gerah di tengah panasnya siang hari.”
“Oh, ya?”
“Singgih. Dada maupun kepala mereka harus dibalut kain. Dada dan kepala yang terbuka tak beradab katanya.”
Terdengar tawa kecil.
“Adab? Orang Jawa hendak diajari adab? Haha…”
“Singgih. Begitulah warta yang terdengar. Tak lagi dibolehkan berbagi makan dengan dedemit di pohon-pohon besar, di bêlik-bêlik (mata air), di perempatan jalan. Tak lagi boleh memperlihatkan rambut dan payudara bagi wanita…”
“Apalagi?”
“Tak lagi boleh menyimpan patung. Ah, hamba disergap keanehan, Gusti.”
Kembali terdengar tawa kecil.
“Oh ya, paman…?”
“Singgih.”
“Adakah paman terpikir, wafatnya Rama Prabhu karena menahan kesedihan.”
“Karena sakit, Gusti.”
“Ya. Sakit karena terlalu bersedih.”
Tak ada jawaban.
“Begitu juga dengan wafatnya Ibunda?”
Tak ada jawaban.
“Begitu mendapatkan surat dari Trowulan, dari Eyang Prabhu. Yang konon berisi wasiat agar Rama Prabhu mengikhlaskan tahta Majapahit yang diboyong oleh Paman Sultan Jim Bun ke Demak!”
Tetap tak ada jawaban.
“Bagaimana, paman?”
“Ha..hamba kurang tahu, Gusti.”
Sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih di badannya menoleh sekilas.
“Tapi mengapa wajah paman kelihatan bersedih?”
Tergagap yang ditanya…
“Si..singgih, Gusti.”
Terdengar hembusan nafas dari orang yang melilitkan kain putih.
“Ah, bhumi Jawa-pun sekarang patut bersedih, paman.”
“Bhumi Pêngging sudah bersedih semenjak dua windu yang lampau, Gusti.”
Surya mulai menebarkan cahayanya. Pesawahan luas terhampar menghijau. Tampak beberapa orang berteriak-teriak mengusir gerombolan burung yang hendak mencicipi bulir-bulir padi. Suaranya menggaung dari kejauhan.
“Dan kesedihan itu akankah juga diketahui oleh bibi yang telah lama meninggalkan tanah Jawa?”
Terperangah yang mendengar pertanyaan itu.
“Gusti Ayu Rêtna Dumilah?”
Tak ada sambutan. Kini sosok berbalut kain putih, melepas balutan ditubuhnya. Udara sudah berubah menjadi sejuk. Hawa dingin pelahan mulai tergantikan oleh kesejukan. Embun pagi satu persatu menguap keudara. Dan kabutpun telah benar-benar lenyap dari pandangan.
Kain putih yang semula membalut tubuh, kini di sampirkan dipundak kanan. Tubuh tegap sosok pemuda berusia kurang lebih duapuluh tahunan itu, kini nampak jelas.
“Dan adakah juga, kakanda Kêbo Kanigara ikut pula merasakan kesedihan ini? Di manakah mereka berdua sekarang?”
Kuda-kuda telah terhenti. Tepat di bawah sebatang pohon beringin. Yang menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang merimbun.
“Apakah paman kira, dengan kebesaran nama Ki Agêng yang disematkan orang-orang pesisir itu kepadaku, bisa menggantikan kehilangan besar ini?”
Sosok itu melompat turun dari pelana. Melihat junjungannya turun, bergegas orang yang disebut paman segera ikut turun. Dipegangnya tali kendali kuda milik junjungannya.
“Tanah ini…,” terdengar suara dari sosok yang tersampir kain putih dipundak kanannya,”Tak lagi penuh keharuman. Di mana-mana, orang-orang sibuk mengajari orang lain. Seolah-olah, di tanah ini tak pernah mengenal apa itu adab. Tak pernah mengenal apa itu Hyang Agung. Tanah yang dianggap bodoh, oleh sekelompok pendatang, yang semula meminta makan dari tanah yang dianggapnya bodoh ini.”
“Jaman Kali, Gusti…”
Terdengar jawaban lirih.
“Oh, Hyang Jagad Pramudhita. Aku mencium kemerosotan, paman. Di mana di sana, di pesisir sana kini tengah bergembira ria menyambut zaman baru, namun aku mencium sebuah zaman yang usang.”
“Saat aku melihat, berbondong-bondong para pematung masuk ke pedalaman untuk kembali mengolah sawah, karena di pesisir telah kehilangan mata pencahariannya. Saat aku melihat, mutiara-mutiara masa lalu dicemooh dan dianggap rendah. Saat aku melihat pêndharmaan dikosongkan dan para suci dipaksa meninggalkan tapa bratanya, dan saat aku melihat segalanya diubah sedemikian rupa. Sungguh, aku benar-benar melihat sebuah keusangan.”
“Aduh, Gusti. Adakah Gusti hendak memiliki niat lain?”
Sosok yang bersampir kain putih menoleh.
“Maksud paman?”
“Terhadap Demak Bintara, Gusti?”
Sosok yang dipanggil Gusti tercenung. Kemudian menghela nafas panjang.
“Tidak, paman. Tapi aku masih berharap, ada orang lain yang melakukannya. Biarlah diriku bukan dikenal sebagai Bhre Pêngging, bukan pula Handayaningrat kapanca (kelima). Biarlah diriku dikenal sesuai keinginan orang-orang pesisir itu, yaitu sebagai Ki Agêng Pêngging!”
Dan sang paman menunduk dalam.
Wanita itu lekas-lekas menoleh begitu mendengar langkah kaki kuda. Sedikit terkejut, dia segera memberikan sembah. Diikuti dengan anggukan kepala sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih.
“Aku mendengar, kepul dupa di bawah pohon rindang seperti ini sudah tidak lagi terlihat di kota-kota pantai, paman.”
“Singgih, Gusti. Begitulah kabarnya.”
“Mereka sangat sombong, paman.”
“Singgih. Sombong. Bahkan para wanita kota sekarang banyak yang gerah di tengah panasnya siang hari.”
“Oh, ya?”
“Singgih. Dada maupun kepala mereka harus dibalut kain. Dada dan kepala yang terbuka tak beradab katanya.”
Terdengar tawa kecil.
“Adab? Orang Jawa hendak diajari adab? Haha…”
“Singgih. Begitulah warta yang terdengar. Tak lagi dibolehkan berbagi makan dengan dedemit di pohon-pohon besar, di bêlik-bêlik (mata air), di perempatan jalan. Tak lagi boleh memperlihatkan rambut dan payudara bagi wanita…”
“Apalagi?”
“Tak lagi boleh menyimpan patung. Ah, hamba disergap keanehan, Gusti.”
Kembali terdengar tawa kecil.
“Oh ya, paman…?”
“Singgih.”
“Adakah paman terpikir, wafatnya Rama Prabhu karena menahan kesedihan.”
“Karena sakit, Gusti.”
“Ya. Sakit karena terlalu bersedih.”
Tak ada jawaban.
“Begitu juga dengan wafatnya Ibunda?”
Tak ada jawaban.
“Begitu mendapatkan surat dari Trowulan, dari Eyang Prabhu. Yang konon berisi wasiat agar Rama Prabhu mengikhlaskan tahta Majapahit yang diboyong oleh Paman Sultan Jim Bun ke Demak!”
Tetap tak ada jawaban.
“Bagaimana, paman?”
“Ha..hamba kurang tahu, Gusti.”
Sang penunggang kuda yang melilitkan kain putih di badannya menoleh sekilas.
“Tapi mengapa wajah paman kelihatan bersedih?”
Tergagap yang ditanya…
“Si..singgih, Gusti.”
Terdengar hembusan nafas dari orang yang melilitkan kain putih.
“Ah, bhumi Jawa-pun sekarang patut bersedih, paman.”
“Bhumi Pêngging sudah bersedih semenjak dua windu yang lampau, Gusti.”
Surya mulai menebarkan cahayanya. Pesawahan luas terhampar menghijau. Tampak beberapa orang berteriak-teriak mengusir gerombolan burung yang hendak mencicipi bulir-bulir padi. Suaranya menggaung dari kejauhan.
“Dan kesedihan itu akankah juga diketahui oleh bibi yang telah lama meninggalkan tanah Jawa?”
Terperangah yang mendengar pertanyaan itu.
“Gusti Ayu Rêtna Dumilah?”
Tak ada sambutan. Kini sosok berbalut kain putih, melepas balutan ditubuhnya. Udara sudah berubah menjadi sejuk. Hawa dingin pelahan mulai tergantikan oleh kesejukan. Embun pagi satu persatu menguap keudara. Dan kabutpun telah benar-benar lenyap dari pandangan.
Kain putih yang semula membalut tubuh, kini di sampirkan dipundak kanan. Tubuh tegap sosok pemuda berusia kurang lebih duapuluh tahunan itu, kini nampak jelas.
“Dan adakah juga, kakanda Kêbo Kanigara ikut pula merasakan kesedihan ini? Di manakah mereka berdua sekarang?”
Kuda-kuda telah terhenti. Tepat di bawah sebatang pohon beringin. Yang menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang merimbun.
“Apakah paman kira, dengan kebesaran nama Ki Agêng yang disematkan orang-orang pesisir itu kepadaku, bisa menggantikan kehilangan besar ini?”
Sosok itu melompat turun dari pelana. Melihat junjungannya turun, bergegas orang yang disebut paman segera ikut turun. Dipegangnya tali kendali kuda milik junjungannya.
“Tanah ini…,” terdengar suara dari sosok yang tersampir kain putih dipundak kanannya,”Tak lagi penuh keharuman. Di mana-mana, orang-orang sibuk mengajari orang lain. Seolah-olah, di tanah ini tak pernah mengenal apa itu adab. Tak pernah mengenal apa itu Hyang Agung. Tanah yang dianggap bodoh, oleh sekelompok pendatang, yang semula meminta makan dari tanah yang dianggapnya bodoh ini.”
“Jaman Kali, Gusti…”
Terdengar jawaban lirih.
“Oh, Hyang Jagad Pramudhita. Aku mencium kemerosotan, paman. Di mana di sana, di pesisir sana kini tengah bergembira ria menyambut zaman baru, namun aku mencium sebuah zaman yang usang.”
“Saat aku melihat, berbondong-bondong para pematung masuk ke pedalaman untuk kembali mengolah sawah, karena di pesisir telah kehilangan mata pencahariannya. Saat aku melihat, mutiara-mutiara masa lalu dicemooh dan dianggap rendah. Saat aku melihat pêndharmaan dikosongkan dan para suci dipaksa meninggalkan tapa bratanya, dan saat aku melihat segalanya diubah sedemikian rupa. Sungguh, aku benar-benar melihat sebuah keusangan.”
“Aduh, Gusti. Adakah Gusti hendak memiliki niat lain?”
Sosok yang bersampir kain putih menoleh.
“Maksud paman?”
“Terhadap Demak Bintara, Gusti?”
Sosok yang dipanggil Gusti tercenung. Kemudian menghela nafas panjang.
“Tidak, paman. Tapi aku masih berharap, ada orang lain yang melakukannya. Biarlah diriku bukan dikenal sebagai Bhre Pêngging, bukan pula Handayaningrat kapanca (kelima). Biarlah diriku dikenal sesuai keinginan orang-orang pesisir itu, yaitu sebagai Ki Agêng Pêngging!”
Dan sang paman menunduk dalam.
Rontal 7:
Pemuda berpakaian hitam lusuh itu berhenti di depan sebuah gapura model Majapahitan. Hanya yang membedakan, tak lagi terdapat Dwarapala (patung raksasa penjaga pintu gerbang) di sisi kiri dan kanan gapura itu. Tak jauh dari gapura, nampak menjulang bangunan mirip pêndharmaan tempat menanam abu jenasah para Raja-Raja Majapahit yang beragama Buda (Syiwa-Buda). Rupanya, dari sanalah sumber teriakan adzan dikumandangkan.
Sosok pemuda itu tersenyum. Inilah Panti Kudus, begitu bisiknya dalam hati.
Dilangkahkannya kaki memasuki gapura. Dua orang prajurit yang rupa-rupanya dari Dêmak Bintara nampak berdiri dengan tombak panjangnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena Pangeran Kudus adalah Senopati Agung Dêmak Bintara. Tak aneh jika banyak prajurit Dêmak berkeliaran di Panti ini.
Dalam jarak tiga tombak, langkah kaki pemuda itu terhenti oleh gerakan tangan salah seorang prajurit yang memberikan tanda agar dia tetap diam di tempatnya sekarang.
“Salamu'alaikum!”
Sang pemuda mengucapkan salam sembari menakupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Dua orang prajurit itu menjawab salam dengan suara parau. Mata mereka menatap penuh selidik.
“Apa keperluan apa?” Tanya salah seorang dari mereka.
Pemuda berpakaian hitam lusuh itu menatap prajurit yang bertanya kepadanya.
“Hamba ingin mengabdi di Panti Kudus ini, tuan.”
Dua orang prajurit itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mata mereka kembali menatap sosok pemuda dengan pandangan yang sama, penuh selidik.
“Kamu orang mana?”
“Hamba ini orang kabur kanginan (tanpa tempat tinggal). Tak memiliki tempat menetap. Kemana angin bertiup, kesana hamba mengikuti. Hingga terdengar oleh hamba, kebesaran nama Kangjêng Pangeran Kudus. Terpikat hati hamba untuk mengabdi kepada beliau.”
Dua orang prajurit masih bergeming.
“Wahai bocah, berat mengabdi kepada seorang Waliyullah. Apa kamu mampu?”
“Lahir bathin telah menjadi tekad hamba.”
Prajurit yang barusan bertanya menoleh ke arah temannya. Dan yang ditoleh nampak mengangguk kecil.
“Baiklah,” kata prajurit tersebut, ”ikut aku ke dalam!”
Pemuda itu menyembah dan segera mengikuti prajurit yang lebih dahulu masuk ke dalam Panti.
Memasuki bagian dalam tembok benteng yang terbuat dari batu bata merah, sang pemuda seketika disuguhi pemandangan beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian orang Malaka. Sama seperti yang dikenakan oleh sang pemuda. Dengan ikat kepala yang melingkar, membalut kepala-kepala mereka yang gundul. Mereka adalah santri-santri Panti Kudus.
Seorang santri memang harus bercukur gundul. Hal ini perlu untuk membedakan keberadaan mereka dengan para penganut agama Buda yang suka memanjangkan rambutnya. Seorang Jawa yang sudah bercukur gundul, berarti mereka telah memeluk agama Rasul.
Kedatangan seorang pemuda yang diantar oleh prajurit penjaga sedikit menyita perhatian para santri Kudus. Dan pemuda itu terus dibawa menuju bangunan yang berdiri disamping tajug (sura).
Di depan bangunan berdinding gêbyok (dinding kayu), sang prajurit berhenti. Di dalam bangunan, nampak dua orang tengah bersila. Melihat kedatangan prajurit penjaga gapura, dua orang itu bangkit berdiri dan keluar dari pintu yang semenjak tadi memang terbuka.
“Ada apa, kakang?”
Tanya salah seorang yang bangkit berdiri. Sosok yang usianya masih cukup muda, sepantaran dengan sosok yang dihantar oleh prajurit penjaga gapura.
“Maaf, saya menghantarkan seorang pemuda yang bersikeras hendak mengabdi kepada Kangjêng Pangeran.”
Sesaat kedua orang yang baru keluar tersebut mengamati sosok pemuda berpakaian hitam lusuh yang berdiri disamping prajurit penjaga.
“Tinggalkan di sini, kakang!”
Sang prajurit mengangguk dan segera meninggalkan tempat itu.
Kini, pemuda yang dihantarkan, berdiri berhadapan dengan dua orang yang baru keluar dari bangunan gêbyok.
“Kisanak sudah Islam?”
Terlontar pertanyaan dari salah seorang yang berdiri tepat di depan pintu.
“Hamba, kakang. Saya sudah memeluk syari'at Rasul.”
“Tapi mengapa belum bercukur?”
Tak ada jawaban.
“Sudah tahu syahadat?”
“Hamba, kakang.”
“Ucapkan.”
“Ashaduallaillahaillallah. Ashaduanna Mukhamadarrasulullah…!”
Dua orang yang berdiri didepan pintu mengangguk.
“Benar-benar ingin berguru kepada Kangjêng Pangeran Kudus?”
“Demikianlah kehendak hamba, kakang.”
“Sanggup mengabdi. Menuruti perintah dan menjauhi larangan guru?”
“Singgih, kakang.”
“Baiklah, silakan masuk kemari!”
Dan pemuda berpakaian hitam itu dipersilakan masuk kedalam bangunan berdinding gêbyok. Di dalam bangunan, nampak berjajaran banyak kitab. Selain kitab yang sudah tertulis diatas dalwang (kertas China), juga masih ada beberapa yang masih tergurat di atas rontal. Semua berjajaran rapi, memenuhi sudut satu ke sudut lain.
“Silakan duduk!”
Sosok pemuda itu tersenyum. Inilah Panti Kudus, begitu bisiknya dalam hati.
Dilangkahkannya kaki memasuki gapura. Dua orang prajurit yang rupa-rupanya dari Dêmak Bintara nampak berdiri dengan tombak panjangnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena Pangeran Kudus adalah Senopati Agung Dêmak Bintara. Tak aneh jika banyak prajurit Dêmak berkeliaran di Panti ini.
Dalam jarak tiga tombak, langkah kaki pemuda itu terhenti oleh gerakan tangan salah seorang prajurit yang memberikan tanda agar dia tetap diam di tempatnya sekarang.
“Salamu'alaikum!”
Sang pemuda mengucapkan salam sembari menakupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Dua orang prajurit itu menjawab salam dengan suara parau. Mata mereka menatap penuh selidik.
“Apa keperluan apa?” Tanya salah seorang dari mereka.
Pemuda berpakaian hitam lusuh itu menatap prajurit yang bertanya kepadanya.
“Hamba ingin mengabdi di Panti Kudus ini, tuan.”
Dua orang prajurit itu saling berpandangan sejenak. Kemudian mata mereka kembali menatap sosok pemuda dengan pandangan yang sama, penuh selidik.
“Kamu orang mana?”
“Hamba ini orang kabur kanginan (tanpa tempat tinggal). Tak memiliki tempat menetap. Kemana angin bertiup, kesana hamba mengikuti. Hingga terdengar oleh hamba, kebesaran nama Kangjêng Pangeran Kudus. Terpikat hati hamba untuk mengabdi kepada beliau.”
Dua orang prajurit masih bergeming.
“Wahai bocah, berat mengabdi kepada seorang Waliyullah. Apa kamu mampu?”
“Lahir bathin telah menjadi tekad hamba.”
Prajurit yang barusan bertanya menoleh ke arah temannya. Dan yang ditoleh nampak mengangguk kecil.
“Baiklah,” kata prajurit tersebut, ”ikut aku ke dalam!”
Pemuda itu menyembah dan segera mengikuti prajurit yang lebih dahulu masuk ke dalam Panti.
Memasuki bagian dalam tembok benteng yang terbuat dari batu bata merah, sang pemuda seketika disuguhi pemandangan beberapa orang yang semuanya mengenakan pakaian orang Malaka. Sama seperti yang dikenakan oleh sang pemuda. Dengan ikat kepala yang melingkar, membalut kepala-kepala mereka yang gundul. Mereka adalah santri-santri Panti Kudus.
Seorang santri memang harus bercukur gundul. Hal ini perlu untuk membedakan keberadaan mereka dengan para penganut agama Buda yang suka memanjangkan rambutnya. Seorang Jawa yang sudah bercukur gundul, berarti mereka telah memeluk agama Rasul.
Kedatangan seorang pemuda yang diantar oleh prajurit penjaga sedikit menyita perhatian para santri Kudus. Dan pemuda itu terus dibawa menuju bangunan yang berdiri disamping tajug (sura).
Di depan bangunan berdinding gêbyok (dinding kayu), sang prajurit berhenti. Di dalam bangunan, nampak dua orang tengah bersila. Melihat kedatangan prajurit penjaga gapura, dua orang itu bangkit berdiri dan keluar dari pintu yang semenjak tadi memang terbuka.
“Ada apa, kakang?”
Tanya salah seorang yang bangkit berdiri. Sosok yang usianya masih cukup muda, sepantaran dengan sosok yang dihantar oleh prajurit penjaga gapura.
“Maaf, saya menghantarkan seorang pemuda yang bersikeras hendak mengabdi kepada Kangjêng Pangeran.”
Sesaat kedua orang yang baru keluar tersebut mengamati sosok pemuda berpakaian hitam lusuh yang berdiri disamping prajurit penjaga.
“Tinggalkan di sini, kakang!”
Sang prajurit mengangguk dan segera meninggalkan tempat itu.
Kini, pemuda yang dihantarkan, berdiri berhadapan dengan dua orang yang baru keluar dari bangunan gêbyok.
“Kisanak sudah Islam?”
Terlontar pertanyaan dari salah seorang yang berdiri tepat di depan pintu.
“Hamba, kakang. Saya sudah memeluk syari'at Rasul.”
“Tapi mengapa belum bercukur?”
Tak ada jawaban.
“Sudah tahu syahadat?”
“Hamba, kakang.”
“Ucapkan.”
“Ashaduallaillahaillallah. Ashaduanna Mukhamadarrasulullah…!”
Dua orang yang berdiri didepan pintu mengangguk.
“Benar-benar ingin berguru kepada Kangjêng Pangeran Kudus?”
“Demikianlah kehendak hamba, kakang.”
“Sanggup mengabdi. Menuruti perintah dan menjauhi larangan guru?”
“Singgih, kakang.”
“Baiklah, silakan masuk kemari!”
Dan pemuda berpakaian hitam itu dipersilakan masuk kedalam bangunan berdinding gêbyok. Di dalam bangunan, nampak berjajaran banyak kitab. Selain kitab yang sudah tertulis diatas dalwang (kertas China), juga masih ada beberapa yang masih tergurat di atas rontal. Semua berjajaran rapi, memenuhi sudut satu ke sudut lain.
“Silakan duduk!”
Rontal 8:
Dan sang pemuda segera duduk bersila di atas tikar rotan yang tersedia.
“Kisanak, kami berdua adalah pengurus Panti Kudus.”
Ucap salah satu dari dua orang yang sudah duduk bersila berhadapan dengan sang pemuda.
“Nama saya Puthut. Ini teman saya, Bangkal.”
Sang pemuda mengangguk sopan.
“Kisanak sendiri siapa namanya?”
“Nama saya Jangkung.”
“Asal kisanak?”
“Hamba ini manusia kabur kanginan, tiada bertempat tinggal.”
Dua orang di hadapan Jangkung mengernyitkan dahi. Sesaat mata mereka mengamat-amati pemuda yang mengaku bernama Jangkung di hadapannya.
Terdengar helaan nafas.
Puthut, salah seorang santri kemudian berkata.
“Baiklah, dhimas Jangkung. Tapi bukan wewenang kami berdua untuk menerima dhimas sebagai santri. Semua adalah wewenang Kangjêng Pangeran Kudus. Untuk itu, tunggulah sampai besok pagi, kami segera akan menghadap kepada Kangjêng Pangeran. Sementara, dhimas bisa menempati bangunan kosong di bagian belakang tajug.”
Jangkung mengangguk.
“Hamba paham, kakang.”
Puthut mengangguk pula. Puas melihat kesopanan Jangkung, pemuda yang ada di hadapannya itu.
“Berdoalah agar Kangjêng Pangeran berkenan menerima pengabdianmu.”
Jangkung mengangguk.
“Sekarang, dhimas boleh membersihkan diri. Di belakang bangunan ini ada sumur, dhimas bisa mandi dan sekalian membantu para santri lain mengisi padasan (tempayan kecil tempat air wudlu).”
“Singgih!”
“Kisanak, kami berdua adalah pengurus Panti Kudus.”
Ucap salah satu dari dua orang yang sudah duduk bersila berhadapan dengan sang pemuda.
“Nama saya Puthut. Ini teman saya, Bangkal.”
Sang pemuda mengangguk sopan.
“Kisanak sendiri siapa namanya?”
“Nama saya Jangkung.”
“Asal kisanak?”
“Hamba ini manusia kabur kanginan, tiada bertempat tinggal.”
Dua orang di hadapan Jangkung mengernyitkan dahi. Sesaat mata mereka mengamat-amati pemuda yang mengaku bernama Jangkung di hadapannya.
Terdengar helaan nafas.
Puthut, salah seorang santri kemudian berkata.
“Baiklah, dhimas Jangkung. Tapi bukan wewenang kami berdua untuk menerima dhimas sebagai santri. Semua adalah wewenang Kangjêng Pangeran Kudus. Untuk itu, tunggulah sampai besok pagi, kami segera akan menghadap kepada Kangjêng Pangeran. Sementara, dhimas bisa menempati bangunan kosong di bagian belakang tajug.”
Jangkung mengangguk.
“Hamba paham, kakang.”
Puthut mengangguk pula. Puas melihat kesopanan Jangkung, pemuda yang ada di hadapannya itu.
“Berdoalah agar Kangjêng Pangeran berkenan menerima pengabdianmu.”
Jangkung mengangguk.
“Sekarang, dhimas boleh membersihkan diri. Di belakang bangunan ini ada sumur, dhimas bisa mandi dan sekalian membantu para santri lain mengisi padasan (tempayan kecil tempat air wudlu).”
“Singgih!”
Rontal 9:
Pagi baru saja menjelang. Beberapa orang nampak sibuk membersihkan pekarangan tajug. Beberapa yang lain nampak hilir mudik membawa kêlênthing (tempayan kecil untuk mengambil air) berisi air sumur, yang hendak diisikan ke padasan.
Matahari baru saja menyembul. Kicau burung terdengar bersahut-sahutan. Burung-burung yang tiada bosan menemani pagi. Beterbangan kesana-kemari, sembari memamerkan merdu suaranya.
Seorang pemuda, yang tak lain adalah Jangkung, nampak ikut hilir mudik mengangkut air dalam kêlênthing. Ini adalah pagi pertama dia berada di Panti Kudus. Berbaur bersama para santri lain, yang belum semua dikenalnya.
Kesibukan Jangkung segera tersita ketika salah seorang santri mendadak mendekatinya.
“Kisanak yang bernama Jangkung?”
Jangkung yang masih membawa kêlênthing di pundaknya segera menghentikan langkah kakinya. Ditatapnya sosok santri yang menegurnya.
“Singgih. Saya yang bernama Jangkung.”
“Kisanak dipanggil menghadap kakang Puthut.”
“Singgih, saya segera menghadap.”
Santri itu mengangguk hormat. Dibalas dengan anggukan serupa oleh Jangkung. Dan santri itu segera berlalu pergi. Jangkung selekasnya membawa kêlênthing kearah padasan, menuangkan air sejenak hingga tak tersisa. Kemudian meletakkan kêlênthing-nya di dekat padasan.
Bergegas dia meninggalkan tempat itu, menuju ke bangunan gêbyok disamping tajug. Pintu bangunan sudah terbuka dan didalam nampak Puthut dan Bangkal telah menunggu.
“Salamu'alaikum!”
Jangkung mengucapkan salam.
Puthut dan Bangkal segera mengarahkan pandangannya kearah Jangkung.
“'Alaikum salam!”
Hampir bersamaan Puthut dan Bangkal menjawab salam dari Jangkung.
“Masuklah, dhimas!”
Jangkung mengangguk dan segera masuk kedalam.
“Sudah makan?” Tanya Puthut.
Jangkung tersenyum.
“Sudah, kakang.”
Puthut mengangguk.
“Nah, dhimas. Ada kabar baik. Kangjêng Pangeran Kudus berkenan menerima pengabdian dhimas.”
Jangkung tersenyum.
“Alhamdulillah.”
“Mulai sekarang, dhimas telah resmi menjadi santri Kudus. Kewajiban dhimas, selain belajar agama, belajar olah kaprajuritan juga wajib bekerja menjaga kebersihan dan keamanan Panti Kudus.”
“Singgih.”
“Pada malam Jum'at, Kangjêng Pangeran Kudus berkenan melakukan pengajaran langsung. Dhimas wajib menghadiri. Dan pada hari Jum'at pagi, semua santri berkewajiban membersihkan tajug dan menata bagian dalam tajug, karena pada hari Jum'at, Kangjêng Pangeran Kudus akan menjadi imam shalat.”
“Singgih.”
“Sekarang, lanjutkan pekerjaan dhimas. Sehabis ini, dhimas membersihkan diri dan wajib mengikuti pengajaran kitab Pêkih (fiqh) di pêndhopo samping, dekat dalêm Kangjêng Pangeran.”
Jangkung memberikan sembah hormat, dan kemudian mohon undur diri.
Dan ketika Jangkung tengah berjalan melintasi halaman tajug, dari pintu gapura nampak serombongan pasukan berkuda masuk. Ada sekitar tiga puluh orang pasukan, dengan seragam merah-merah. Seragam pasukan khusus dari Kadipaten Jipang Panolan. yang dikenal dengan nama Prajurit Sureng. Seeorang pemuda, berusia tak lebih dari tujuh belasan tahunan, nampak menunggang kuda paling depan, diapit dua orang lain yang lebih tua.
Kasak-kusuk terdengar dari para santri, rombongan itu adalah rombongan dari Pangeran Suryawiyata, putra Kangjêng Sultan Dêmak Panembahan Jim Bun, yang lahir dari istri yang berasal dari Jipang Panolan.
Jangkung nampak mengamat-amati dari kejauhan sosok Pangeran Suryawiyata. Berkulit kuning bersih, tampan wajahnya dan sedikit sipit matanya. Dikenal pula dengan sebutan Raden Kikin.
Jangkung sendiri telah mendengar, bahwa Pangeran Suryawiyata memang santri dari Panti Kudus. Tapi tentunya, santri yang mendapat tempat dan perlakuan khusus. Santri yang akan langsung dibimbing oleh Kangjêng Pangeran Kudus sendiri. Dan kabar terbaru yang didengarnya, sebuah pusaka Majapahit, Kyai Setan Kober, yang berupa keris bereluk tiga, telah diberikan secara khusus kepada putra Kangjêng Sultan Demak itu. Pusaka itu sendiri kabarnya diperoleh Kangjêng Pangeran Kudus dari gudang pusaka Majapahit. Diambil setelah Dêmak Bintara berhasil menjebol kerajaan Buda besar itu, pada dua windu yang lalu. Sebuah pusaka sebagai hasil rampasan perang. Pusaka yang terkenal memiliki kekuatan niskala, yang sanggup mempengaruhi pemiliknya sehingga memiliki keberanian berlebih dalam peperangan. Konon pula, tak ada ilmu kebal apapun yang sanggup bertahan bila terkena Kyai Setan Kober.
Rombongan Pangeran Suryawiyata telah memasuki pelataran Panti Kudus. Semua rombongan berhenti. Pangeran Suryawiyata sendiri nampak turun dari kuda. Beberapa santri senior tergopoh-gopoh menyambutnya. Tampak perbincangan terjadi. Kemudian Pangeran Suryawiyata bersama dua orang pengiringnya dihantarkan masuk ke dalêm Kudus, tempat Kangjêng Pangeran Kudus tinggal.
Sedangkan prajurit Jipang Panolan yang mengiring, dipersilakan beristirahat di pendhopo samping.
Seorang santri berbisik kepada Jangkung.
“Kita akan mendapat tugas tambahan.”
Jangkung menoleh, dilihatnya seorang santri, bertubuh kurus, tengah berbisik kepadanya.
“Apa itu, kakang?”
“Menyabit rumput untuk kuda-kuda prajurit Jipang itu.”
Jangkung memperhatikan kuda-kuda yang dituntun oleh beberapa santri untuk di tempatkan di gêdhogan.
Dan belum sempat Jangkung memberikan tanggapan lanjutan kepada santri yang baru saja berbisik kepadanya, seorang santri senior telah memanggilnya. Didepan tajug, beberapa santri telah berkumpul, ada sekitar sepuluh orang termasuk dirinya.
Tugas telah menanti, mencarikan rumput segar sebagai makanan kuda-kuda dari prajurit Jipang Panolan. Itu berarti, Jangkung tidak ikut pengajaran Kitab Pêkih pagi ini. Kitab yang sebenarnya sudah dihafal olehnya di luar kepala.
Matahari baru saja menyembul. Kicau burung terdengar bersahut-sahutan. Burung-burung yang tiada bosan menemani pagi. Beterbangan kesana-kemari, sembari memamerkan merdu suaranya.
Seorang pemuda, yang tak lain adalah Jangkung, nampak ikut hilir mudik mengangkut air dalam kêlênthing. Ini adalah pagi pertama dia berada di Panti Kudus. Berbaur bersama para santri lain, yang belum semua dikenalnya.
Kesibukan Jangkung segera tersita ketika salah seorang santri mendadak mendekatinya.
“Kisanak yang bernama Jangkung?”
Jangkung yang masih membawa kêlênthing di pundaknya segera menghentikan langkah kakinya. Ditatapnya sosok santri yang menegurnya.
“Singgih. Saya yang bernama Jangkung.”
“Kisanak dipanggil menghadap kakang Puthut.”
“Singgih, saya segera menghadap.”
Santri itu mengangguk hormat. Dibalas dengan anggukan serupa oleh Jangkung. Dan santri itu segera berlalu pergi. Jangkung selekasnya membawa kêlênthing kearah padasan, menuangkan air sejenak hingga tak tersisa. Kemudian meletakkan kêlênthing-nya di dekat padasan.
Bergegas dia meninggalkan tempat itu, menuju ke bangunan gêbyok disamping tajug. Pintu bangunan sudah terbuka dan didalam nampak Puthut dan Bangkal telah menunggu.
“Salamu'alaikum!”
Jangkung mengucapkan salam.
Puthut dan Bangkal segera mengarahkan pandangannya kearah Jangkung.
“'Alaikum salam!”
Hampir bersamaan Puthut dan Bangkal menjawab salam dari Jangkung.
“Masuklah, dhimas!”
Jangkung mengangguk dan segera masuk kedalam.
“Sudah makan?” Tanya Puthut.
Jangkung tersenyum.
“Sudah, kakang.”
Puthut mengangguk.
“Nah, dhimas. Ada kabar baik. Kangjêng Pangeran Kudus berkenan menerima pengabdian dhimas.”
Jangkung tersenyum.
“Alhamdulillah.”
“Mulai sekarang, dhimas telah resmi menjadi santri Kudus. Kewajiban dhimas, selain belajar agama, belajar olah kaprajuritan juga wajib bekerja menjaga kebersihan dan keamanan Panti Kudus.”
“Singgih.”
“Pada malam Jum'at, Kangjêng Pangeran Kudus berkenan melakukan pengajaran langsung. Dhimas wajib menghadiri. Dan pada hari Jum'at pagi, semua santri berkewajiban membersihkan tajug dan menata bagian dalam tajug, karena pada hari Jum'at, Kangjêng Pangeran Kudus akan menjadi imam shalat.”
“Singgih.”
“Sekarang, lanjutkan pekerjaan dhimas. Sehabis ini, dhimas membersihkan diri dan wajib mengikuti pengajaran kitab Pêkih (fiqh) di pêndhopo samping, dekat dalêm Kangjêng Pangeran.”
Jangkung memberikan sembah hormat, dan kemudian mohon undur diri.
Dan ketika Jangkung tengah berjalan melintasi halaman tajug, dari pintu gapura nampak serombongan pasukan berkuda masuk. Ada sekitar tiga puluh orang pasukan, dengan seragam merah-merah. Seragam pasukan khusus dari Kadipaten Jipang Panolan. yang dikenal dengan nama Prajurit Sureng. Seeorang pemuda, berusia tak lebih dari tujuh belasan tahunan, nampak menunggang kuda paling depan, diapit dua orang lain yang lebih tua.
Kasak-kusuk terdengar dari para santri, rombongan itu adalah rombongan dari Pangeran Suryawiyata, putra Kangjêng Sultan Dêmak Panembahan Jim Bun, yang lahir dari istri yang berasal dari Jipang Panolan.
Jangkung nampak mengamat-amati dari kejauhan sosok Pangeran Suryawiyata. Berkulit kuning bersih, tampan wajahnya dan sedikit sipit matanya. Dikenal pula dengan sebutan Raden Kikin.
Jangkung sendiri telah mendengar, bahwa Pangeran Suryawiyata memang santri dari Panti Kudus. Tapi tentunya, santri yang mendapat tempat dan perlakuan khusus. Santri yang akan langsung dibimbing oleh Kangjêng Pangeran Kudus sendiri. Dan kabar terbaru yang didengarnya, sebuah pusaka Majapahit, Kyai Setan Kober, yang berupa keris bereluk tiga, telah diberikan secara khusus kepada putra Kangjêng Sultan Demak itu. Pusaka itu sendiri kabarnya diperoleh Kangjêng Pangeran Kudus dari gudang pusaka Majapahit. Diambil setelah Dêmak Bintara berhasil menjebol kerajaan Buda besar itu, pada dua windu yang lalu. Sebuah pusaka sebagai hasil rampasan perang. Pusaka yang terkenal memiliki kekuatan niskala, yang sanggup mempengaruhi pemiliknya sehingga memiliki keberanian berlebih dalam peperangan. Konon pula, tak ada ilmu kebal apapun yang sanggup bertahan bila terkena Kyai Setan Kober.
Rombongan Pangeran Suryawiyata telah memasuki pelataran Panti Kudus. Semua rombongan berhenti. Pangeran Suryawiyata sendiri nampak turun dari kuda. Beberapa santri senior tergopoh-gopoh menyambutnya. Tampak perbincangan terjadi. Kemudian Pangeran Suryawiyata bersama dua orang pengiringnya dihantarkan masuk ke dalêm Kudus, tempat Kangjêng Pangeran Kudus tinggal.
Sedangkan prajurit Jipang Panolan yang mengiring, dipersilakan beristirahat di pendhopo samping.
Seorang santri berbisik kepada Jangkung.
“Kita akan mendapat tugas tambahan.”
Jangkung menoleh, dilihatnya seorang santri, bertubuh kurus, tengah berbisik kepadanya.
“Apa itu, kakang?”
“Menyabit rumput untuk kuda-kuda prajurit Jipang itu.”
Jangkung memperhatikan kuda-kuda yang dituntun oleh beberapa santri untuk di tempatkan di gêdhogan.
Dan belum sempat Jangkung memberikan tanggapan lanjutan kepada santri yang baru saja berbisik kepadanya, seorang santri senior telah memanggilnya. Didepan tajug, beberapa santri telah berkumpul, ada sekitar sepuluh orang termasuk dirinya.
Tugas telah menanti, mencarikan rumput segar sebagai makanan kuda-kuda dari prajurit Jipang Panolan. Itu berarti, Jangkung tidak ikut pengajaran Kitab Pêkih pagi ini. Kitab yang sebenarnya sudah dihafal olehnya di luar kepala.
Rontal 10:
Pupuh III : Kangjêng Susuhunan Ngêrang
Pesawahan menghampar, nampak menghijau oleh paparan sinar matahari. Biji-biji padi yang sudah tumbuh, sebentar lagi siap untuk dituai. Tinggal menunggu beberapa minggu saja, saat daun padi sudah mulai menguning, maka bulir-bulir padi yang meranum tersebut, siap untuk panen.
Pesawahan yang letaknya tak jauh dari kota Kudus itu membentang luas. Semua orang tahu bahwa pesawahan tersebut adalah milik Raden Umar Said, putra Kangjêng Susuhunan Kalijaga. Semula pesawahan itu adalah milik dari Syeh Utsman Haji atau lebih dikenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Ngudung dan diwarisi oleh putranya, Syeh Ja'far Shadiq yang lebih dikenal dengan gelaran Kanjêng Pangeran Kudus atau Kanjêng Susuhunan Kudus, pemilik Panti Kudus sekaligus Senopati Agung Dêmak Bintara.
Sepeninggal Syeh Utsman Haji yang gugur di Trowulan saat masa-masa peperangan antara Dêmak Bintara dengan Majapahit, dua windu yang lalu, maka pesawahan tersebut diberikan oleh Syeh Ja'far Shadiq kepada adiknya Dewi Sujinah. Dan dengan dinikahinya Dewi Sujinah oleh Raden Umar Said, maka pesawahan itu kini menjadi milik Raden Umar Said yang terkenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Muryapada.
Hasil panen dari pesawahan luas tersebut seluruhnya dipergunakan untuk menghidupi para santri padhepokan Gunung Muria. Sebuah padhepokan yang didirikan di kaki Gunung Muria, yang dipimpin oleh Raden Umar Said.
Nampak di sana-sini, beberapa penunggu sawah berteriak-teriak mengusir segerombolan burung yang hendak ikut mencicipi bulir-bulir padi. Para penunggu sawah itu tak lain adalah para santri padhepokan Gunung Muria sendiri. Yang kebetulan mendapat giliran turun gunung untuk menunggu sawah dari gangguan burung-burung liar.
Di sana-sini, beberapa gerombolan burung beterbangan ketakutan ketika orang-orangan sawah bergerak-gerak karena ditarik oleh para santri. Diiringi dengan teriakan-teriakan mereka yang lantang.
Namun kesibukan itu segera tersita manakala seseorang berlarian di pematang sawah sembari berteriak-teriak.
“Kangjêng Sunan hendak kemari!”
Melihat sosok yang berlarian, dan mendengar teriakannya yang terus menerus diperdengarkan, beberapa santri yang nampak santai, segera bangkit dan berusaha bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya.
Sekarang, di sana-sini, teriakan demi teriakan mengusir burung semakin gencar terdengar.
Dan benar saja, tepat di pinggiran jalan, serombongan orang berkuda terlihat berhenti. Menitik dari pakaian yang dikenakan, pastilah mereka rombongan santri yang akan menempuh perjalanan jauh. Pakaian putih-putih yang mereka kenakan dari kejauhan terlihat berkilau tertimpa cahaya matahari. Mereka adalah para santri senior, yang tengah mengiringi Kangjêng Susuhunan Muryapada atau Raden Umar Said.
Sosok berusia duapuluh enam tahunan nampak turun dari pelana kudanya. Menyusul berturut-turut, para santri yang mengiringi segera ikut turun pula. Kini sosok muda itu berdiri mengawasi hamparan pesawahan luas yang ada di hadapannya. Sosok muda inilah yang dikenal sebagai Raden Umar Said, pemimpin padhepokan Gunung Muria.
“Sebentar lagi masa panen!”
Terdengar suara dari Raden Umar Said. Matanya terus mengamat-amati pesawahan.
Salah satu santri tua mendekat dan berdiri di sampingnya.
“Benar, Kangjêng. Nampaknya hasil panen kita tahun ini akan berlimpah.”
“Alhamdulillah!” Gumam Raden Umar Said sambil mengangguk-angguk pelan.
“Para santri Gunung Muria nampaknya sangat rajin menjalankan tugasnya, Kangjêng.”
Raden Umar Said tersenyum simpul.
“Gembira aku melihatnya. Kepatuhan mereka tak kalah dengan para santri dari Panti Kudus.”
Pesawahan menghampar, nampak menghijau oleh paparan sinar matahari. Biji-biji padi yang sudah tumbuh, sebentar lagi siap untuk dituai. Tinggal menunggu beberapa minggu saja, saat daun padi sudah mulai menguning, maka bulir-bulir padi yang meranum tersebut, siap untuk panen.
Pesawahan yang letaknya tak jauh dari kota Kudus itu membentang luas. Semua orang tahu bahwa pesawahan tersebut adalah milik Raden Umar Said, putra Kangjêng Susuhunan Kalijaga. Semula pesawahan itu adalah milik dari Syeh Utsman Haji atau lebih dikenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Ngudung dan diwarisi oleh putranya, Syeh Ja'far Shadiq yang lebih dikenal dengan gelaran Kanjêng Pangeran Kudus atau Kanjêng Susuhunan Kudus, pemilik Panti Kudus sekaligus Senopati Agung Dêmak Bintara.
Sepeninggal Syeh Utsman Haji yang gugur di Trowulan saat masa-masa peperangan antara Dêmak Bintara dengan Majapahit, dua windu yang lalu, maka pesawahan tersebut diberikan oleh Syeh Ja'far Shadiq kepada adiknya Dewi Sujinah. Dan dengan dinikahinya Dewi Sujinah oleh Raden Umar Said, maka pesawahan itu kini menjadi milik Raden Umar Said yang terkenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Muryapada.
Hasil panen dari pesawahan luas tersebut seluruhnya dipergunakan untuk menghidupi para santri padhepokan Gunung Muria. Sebuah padhepokan yang didirikan di kaki Gunung Muria, yang dipimpin oleh Raden Umar Said.
Nampak di sana-sini, beberapa penunggu sawah berteriak-teriak mengusir segerombolan burung yang hendak ikut mencicipi bulir-bulir padi. Para penunggu sawah itu tak lain adalah para santri padhepokan Gunung Muria sendiri. Yang kebetulan mendapat giliran turun gunung untuk menunggu sawah dari gangguan burung-burung liar.
Di sana-sini, beberapa gerombolan burung beterbangan ketakutan ketika orang-orangan sawah bergerak-gerak karena ditarik oleh para santri. Diiringi dengan teriakan-teriakan mereka yang lantang.
Namun kesibukan itu segera tersita manakala seseorang berlarian di pematang sawah sembari berteriak-teriak.
“Kangjêng Sunan hendak kemari!”
Melihat sosok yang berlarian, dan mendengar teriakannya yang terus menerus diperdengarkan, beberapa santri yang nampak santai, segera bangkit dan berusaha bersungguh-sungguh menjalankan tugasnya.
Sekarang, di sana-sini, teriakan demi teriakan mengusir burung semakin gencar terdengar.
Dan benar saja, tepat di pinggiran jalan, serombongan orang berkuda terlihat berhenti. Menitik dari pakaian yang dikenakan, pastilah mereka rombongan santri yang akan menempuh perjalanan jauh. Pakaian putih-putih yang mereka kenakan dari kejauhan terlihat berkilau tertimpa cahaya matahari. Mereka adalah para santri senior, yang tengah mengiringi Kangjêng Susuhunan Muryapada atau Raden Umar Said.
Sosok berusia duapuluh enam tahunan nampak turun dari pelana kudanya. Menyusul berturut-turut, para santri yang mengiringi segera ikut turun pula. Kini sosok muda itu berdiri mengawasi hamparan pesawahan luas yang ada di hadapannya. Sosok muda inilah yang dikenal sebagai Raden Umar Said, pemimpin padhepokan Gunung Muria.
“Sebentar lagi masa panen!”
Terdengar suara dari Raden Umar Said. Matanya terus mengamat-amati pesawahan.
Salah satu santri tua mendekat dan berdiri di sampingnya.
“Benar, Kangjêng. Nampaknya hasil panen kita tahun ini akan berlimpah.”
“Alhamdulillah!” Gumam Raden Umar Said sambil mengangguk-angguk pelan.
“Para santri Gunung Muria nampaknya sangat rajin menjalankan tugasnya, Kangjêng.”
Raden Umar Said tersenyum simpul.
“Gembira aku melihatnya. Kepatuhan mereka tak kalah dengan para santri dari Panti Kudus.”
Rontal 11:
Sosok tua disamping Raden Umar Said mengangguk.
“Singgih, Kanjêng!”
Raden Umar Said kemudian membalikkan tubuh.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, paman. Matahari sudah meninggi.”
Sosok tua kembali mengangguk, dan segera mengiringi Raden Umar Said yang berjalan ke arah kudanya. Satu kali lompatan, Raden Umar Said telah duduk di atas pelana kuda.
“Kita usahakan tiba di Yuwana (Sekarang Juana) pada sore hari sebelum malam menjelang.”
“Monggo, Kangjêng!”
Dan kuda Raden Umar Saidpun segera bergerak dahulu, diikuti dua orang pengiringnya berikut santri-santrinya.
Raden Umar Said, sosok pemimpin muda padhepokan Gunung Muria, adalah sosok yang sangat disegani. Selain dikenal sebagai putra Kangjêng Susuhunan Kalijaga, Raden Umar Said juga terkenal akan kecerdasannya. Dalam ilmu agama, dia sangat mumpuni. Bahkan konon, dia terkenal memiliki kemampuan-kemampuan aneh yang diwarisi dari ayahandanya.
Sengaja hari ini dia turun gunung, dan Yuwana adalah tujuan perjalanannya kali ini. Niat hatinya ingin bertandang kepada sosok ulama yang dituakan di Yuwana, Ki Gêdhe Ngêrang yang juga dikenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Ngêrang.
Sosok Ki Gêdhe Ngêrang sendiri adalah adik ipar dari Ki Gêdhe Gêtas Pandhawa, seorang keturunan Ki Agêng Tarub Karo (kedua) atau Raden Bondhan Kajawan atau Raden Lêmbu Pêtêng yang berdiam di Tarub, seperti yang dikisahkan di muka. Adik dari Ki Gêdhe Gêtas Pandhawa, Rara Nawangsari, dinikahi oleh Ki Gêdhe Ngêrang. Dan kini, dari hasil pernikahannya, mereka telah dikaruniai dua orang anak perempuan yang masih berusia tujuh tahun dan lima tahun. Mereka berdua diberi nama Dewi Rarayana dan Dewi Rara Pujiwati.
Ada keperluan mendesak Raden Umar Said bertandang ke Yuwana. Beberapa hari yang lalu, dia mendapat surat dari pimpinan Majelis Wali Sanga, sebuah Majelis besar perkumpulan para ulama Jawa yang kerap disebut para Wali, yang dipimpin oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton. Surat itu sangat penting isinya, karena menyangkut kisruh Majelis Wali Sanga dan nama Ki Gêdhe Ngêrang disebut-sebut pula. Sosok yang dituakan di Yuwana itu, yang kerap disebut Sunan Ngêrang, ditengarai memiliki hubungan dekat dengan sosok Syeh Lêmah Abang. seorang ulama yang berdiam di Caruban, pemimpin padhepokan Krêndhasawa.
Tiga tahun lalu, sosok ulama yang tercatat sebagai anggota Majelis Wali Sanga itu, dan sempat menerima gelar kehormatan sebagai Wali Kutub, menyatakan keluar dari Majelis dan menyatakan bahwa dirinya tidak ada sangkut-paut lagi dengan Majelis Wali Sanga. Syeh Lêmah Abang, praktis berjalan sendiri. Padahal sudah umum diketahui, para murid Syeh Lêmah Abang banyak yang bertebaran di Jawa dan memiliki nama besar, seperti Kangjêng Susuhunan Panggung. Sikap keras Syeh Lêmah Abang ini, dikhawatirkan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh Majelis Wali Sanga. Sebuah Majelis yang diperlukan keutuhannya, di saat-saat Islam sedang gencar-gencarnya disiarkan di seluruh Jawa, di wilayah bekas Kerajaan Majapahit.
Menurut hemat Syeh Lêmah Abang, Majelis sebesar Wali Sanga, tidak perlu ikut campur urusan kenegaraan. Majelis yang sedemikian disegani, bahkan sampai ke tanah Malaka itu, dipandangnya telah terlalu jauh ikut campur dalam urusan kenegaraan. Syeh Lêmah Abang menilai, sikap seperti itu sudah melenceng dari tujuan semula Majelis didirikan.
Sebagaimana kebijakan saat pertama kali Majelis Wali Sanga didirikan oleh Kangjêng Susuhunan Tandhês atau Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang kemudian diteruskan oleh Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta atau Raden Ali Rahmad, pangeran Champa tersebut.
Setelah pimpinan Majelis jatuh ketangan Susuhunan Giri Kêdhaton atau Prabhu Satmata atau Maulana ‘Ainul Yaqin pada awal 1478, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Majelis Wali Sanga, mulai nampak sarat dengan kepentingan kenegaraan. Pertama, fatwa penyerangan ke Majapahit oleh Dêmak Bintara pada pertengahan 1478, yang menimbulkan peperangan berdarah antara Dêmak dengan Kerajaan Buda terbesar di Nusantara itu.
Peperangan yang menghancur leburkan sendi-sendi perniagaan, adat istiadat bahkan sendi-sendi kerukunan antar umat beragama. Dampak peperangan itu hingga saat ini, setelah enam belas tahun berlalu, masih juga terasa. Ketentraman tak lagi didapatkan.
Dêmak Bintara sebagai pemenang, ternyata tak mampu mengontrol bekas wilayah Majapahit. Jangankan wilayah di luar Jawa, di Jawa sendiri Dêmak kewalahan. Di mana-mana, kerajaan-kerajaan kecil bermunculan. Di wilayah timur Jawa, banyak kerajaan-kerajaan Buda yang menyatakan merdeka. Daerah bekas ibukota Majapahit sendiri, yaitu di Trowulan, yang semula praktis menjadi bawahan Dêmak Bintara setelah jatuhnya Majapahit pada 1478, beberapa tahun yang lalu diserang oleh Kerajaan Daha yang beribukota di Kêling. Penyerangan itu terjadi pada 1486.
Raja Daha, Prabhu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, berhasil menguasai Majapahit kecil, Majapahit bawahan Dêmak dan membunuh Raja Majapahit, Nyo Lay Wa. Seorang China Muslim yang diangkat sebagai Raja Majapahit oleh Kangjêng Sultan Jim Bun, Sultan Dêmak semenjak tahun 1478.
Prabhu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, memboyong sisa-sisa kebesaran Majapahit ke Kêling dan memaklumatkan bahwa Majapahit berdiri kembali di bawah pimpinannya. Kini dia adalah Raja Majapahit yang merdeka dari Dêmak. Dia mengambil gelaran Sri Wilwatikta Janggala Kadhiri Prabhu Natha. Walau wilayah kekuasaannya hanya mencakup Janggala atau Kahuripan (Sidoarjo sekarang), Daha atau Kadhiri (Kediri sekarang) dan Wilwatikta (Mojokerto sekarang), namun wibawanya mampu menarik para Raja-Raja kecil. Majapahit bangkit kembali, begitu desas-desus yang santer di wilayah timur. Bahkan Tuban, yang telah berdiri sendiri menjadi kerajaan kecil, diam-diam mengadakan hubungan dengan Majapahit di Daha ini.
Berita mengejutkan tersebut sudah sampai ke Dêmak Bintara. Bahkan yang paling cemas adalah Giri Kêdhaton. Dêmak tak berkutik. Dêmak masih sibuk menata diri. Perhatian Dêmak terpecah antara pedalaman dengan pesisir. Dêmak tengah mengincar selat Malaka.
Dêmak ingin menguasai jalur perdagangan. Dêmak tidak puas hanya menjadi perantara tangan pertama perdagangan rembah dari kepulauan Maloko (Maluku sekarang). Selat Malaka adalah jantung perdagangan Nusantara. Kerajaan yang menguasai selat itu, dipastikan akan makmur berlimpah kekayaan.
Melihat ketidaksiapan Dêmak merebut kembali Majapahit, Giri Kêdhaton secepatnya menyusun pasukan bersenjata dan menyatakan berdiri sebagai Kesultanan Islam di timur pulau Jawa. Ini terjadi pada 1487, setahun setelah Daha menyatakan merdeka dari Dêmak. Kabar yang tidak mengenakkan tersebut sampai pula di telinga Kangjêng Sultan Jim Bun. Namun apa mau dikata, Majelis Wali Sanga adalah tulang punggung utama Dêmak Bintara. Dan Susuhunan Giri Kêdhaton, Sultan Giri Kêdhaton, adalah pimpinan Majelis tersebut. Kembali Dêmak tak berkutik!
Wilayah yang membentang ke barat, dari Giri Kêdhaton yang ada di Tandhês (Gresik sekarang), yaitu Tuban dan Lasêm, merupakan wilayah merdeka yang tidak tunduk dibawah Dêmak. Begitu juga Surabaya, yang dulu dikenal dengan nama Ujung Galuh, yang merupakan pelabuhan utama Majapahit, kini menyatakan berdaulat sendiri. Terang-terangan, Surabaya tidak mau tunduk kepada Dêmak karena bangsawan Surabaya merasa sebagai keturunan Wali Sepuh, Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta yang selayaknya paling dihormati oleh seluruh Wali di Jawa!
Kondisi carut marut seperti ini membuat Syeh Lêmah Abang semakin tidak simpatik dengan Majelis Wali Sanga. Sudah menjadi dugaannya semula, jika sebuah lembaga agama jatuh pada kegiatan bernegara, hasilnya pasti kacau balau. Agama hanya dijadikan kendaraan belaka untuk kepentingan duniawi. Belum lagi di Barat, Caruban juga telah berubah menjadi Kesultanan dengan Syarif Hidayatullah atau yang terkenal dengan gelar Susuhunan Jati Purba atau Susuhunan Gunungjati sebagai Sultannya. Jawa dalam kondisi terpecah-pecah dan menuju kehancuran. Majelis Wali Sanga seharusnya segera angkat kaki dari urusan kenegaraan. Majelis itu seharusnya berfungsi sebagai pengayom seluruh masyarakat Jawa, baik yang sudah Islam maupun yang belum. Jika Majelis tersebut telah jatuh ke wilayah kenegaraan, dapat dipastikan, niatan sebagai pengayom tidak lagi murni.
Untuk itulah, ketika protes demi protes yang dilayangkan oleh Syeh Lêmah Abang tidak juga digubris oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton, maka Syeh Lêmah Abang mengambil sikap, keluar dari keanggotana Majelis Wali Sanga!
Namun tindakan tersebut dipandang gegabah oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga, ayahanda Raden Umar Said. Seharusnya, di tengah kekeruhan yang tidak berujung seperti itu, Syeh Lêmah Abang tidak menyatakan keluar dari Majelis Wali. Keputusannya tersebut, malahan bisa memicu konflik baru, memicu perpecahan baru antara Majelis Wali Sanga dengan Syeh Lêmah Abang.
Dan apa yang dikhawatirkan oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga terbukti. Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton kini mencurigai Syeh Lêmah Abang memiliki niatan lain. Semua santri atau ulama yang pernah dekat dengan beliau, ikut pula dicurigai. Termasuk sosok Kangjêng Susuhunan Ngêrang atau Ki Gêdhe Ngêrang yang berdiam di Yuwana!
Matahari sudah condong ke barat ketika rombongan Kangjêng Susuhunan Muryapada atau Raden Umar Said memasuki perbatasan wilayah Yuwana.
“Singgih, Kanjêng!”
Raden Umar Said kemudian membalikkan tubuh.
“Mari kita lanjutkan perjalanan, paman. Matahari sudah meninggi.”
Sosok tua kembali mengangguk, dan segera mengiringi Raden Umar Said yang berjalan ke arah kudanya. Satu kali lompatan, Raden Umar Said telah duduk di atas pelana kuda.
“Kita usahakan tiba di Yuwana (Sekarang Juana) pada sore hari sebelum malam menjelang.”
“Monggo, Kangjêng!”
Dan kuda Raden Umar Saidpun segera bergerak dahulu, diikuti dua orang pengiringnya berikut santri-santrinya.
Raden Umar Said, sosok pemimpin muda padhepokan Gunung Muria, adalah sosok yang sangat disegani. Selain dikenal sebagai putra Kangjêng Susuhunan Kalijaga, Raden Umar Said juga terkenal akan kecerdasannya. Dalam ilmu agama, dia sangat mumpuni. Bahkan konon, dia terkenal memiliki kemampuan-kemampuan aneh yang diwarisi dari ayahandanya.
Sengaja hari ini dia turun gunung, dan Yuwana adalah tujuan perjalanannya kali ini. Niat hatinya ingin bertandang kepada sosok ulama yang dituakan di Yuwana, Ki Gêdhe Ngêrang yang juga dikenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Ngêrang.
Sosok Ki Gêdhe Ngêrang sendiri adalah adik ipar dari Ki Gêdhe Gêtas Pandhawa, seorang keturunan Ki Agêng Tarub Karo (kedua) atau Raden Bondhan Kajawan atau Raden Lêmbu Pêtêng yang berdiam di Tarub, seperti yang dikisahkan di muka. Adik dari Ki Gêdhe Gêtas Pandhawa, Rara Nawangsari, dinikahi oleh Ki Gêdhe Ngêrang. Dan kini, dari hasil pernikahannya, mereka telah dikaruniai dua orang anak perempuan yang masih berusia tujuh tahun dan lima tahun. Mereka berdua diberi nama Dewi Rarayana dan Dewi Rara Pujiwati.
Ada keperluan mendesak Raden Umar Said bertandang ke Yuwana. Beberapa hari yang lalu, dia mendapat surat dari pimpinan Majelis Wali Sanga, sebuah Majelis besar perkumpulan para ulama Jawa yang kerap disebut para Wali, yang dipimpin oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton. Surat itu sangat penting isinya, karena menyangkut kisruh Majelis Wali Sanga dan nama Ki Gêdhe Ngêrang disebut-sebut pula. Sosok yang dituakan di Yuwana itu, yang kerap disebut Sunan Ngêrang, ditengarai memiliki hubungan dekat dengan sosok Syeh Lêmah Abang. seorang ulama yang berdiam di Caruban, pemimpin padhepokan Krêndhasawa.
Tiga tahun lalu, sosok ulama yang tercatat sebagai anggota Majelis Wali Sanga itu, dan sempat menerima gelar kehormatan sebagai Wali Kutub, menyatakan keluar dari Majelis dan menyatakan bahwa dirinya tidak ada sangkut-paut lagi dengan Majelis Wali Sanga. Syeh Lêmah Abang, praktis berjalan sendiri. Padahal sudah umum diketahui, para murid Syeh Lêmah Abang banyak yang bertebaran di Jawa dan memiliki nama besar, seperti Kangjêng Susuhunan Panggung. Sikap keras Syeh Lêmah Abang ini, dikhawatirkan menimbulkan perpecahan di dalam tubuh Majelis Wali Sanga. Sebuah Majelis yang diperlukan keutuhannya, di saat-saat Islam sedang gencar-gencarnya disiarkan di seluruh Jawa, di wilayah bekas Kerajaan Majapahit.
Menurut hemat Syeh Lêmah Abang, Majelis sebesar Wali Sanga, tidak perlu ikut campur urusan kenegaraan. Majelis yang sedemikian disegani, bahkan sampai ke tanah Malaka itu, dipandangnya telah terlalu jauh ikut campur dalam urusan kenegaraan. Syeh Lêmah Abang menilai, sikap seperti itu sudah melenceng dari tujuan semula Majelis didirikan.
Sebagaimana kebijakan saat pertama kali Majelis Wali Sanga didirikan oleh Kangjêng Susuhunan Tandhês atau Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang kemudian diteruskan oleh Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta atau Raden Ali Rahmad, pangeran Champa tersebut.
Setelah pimpinan Majelis jatuh ketangan Susuhunan Giri Kêdhaton atau Prabhu Satmata atau Maulana ‘Ainul Yaqin pada awal 1478, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Majelis Wali Sanga, mulai nampak sarat dengan kepentingan kenegaraan. Pertama, fatwa penyerangan ke Majapahit oleh Dêmak Bintara pada pertengahan 1478, yang menimbulkan peperangan berdarah antara Dêmak dengan Kerajaan Buda terbesar di Nusantara itu.
Peperangan yang menghancur leburkan sendi-sendi perniagaan, adat istiadat bahkan sendi-sendi kerukunan antar umat beragama. Dampak peperangan itu hingga saat ini, setelah enam belas tahun berlalu, masih juga terasa. Ketentraman tak lagi didapatkan.
Dêmak Bintara sebagai pemenang, ternyata tak mampu mengontrol bekas wilayah Majapahit. Jangankan wilayah di luar Jawa, di Jawa sendiri Dêmak kewalahan. Di mana-mana, kerajaan-kerajaan kecil bermunculan. Di wilayah timur Jawa, banyak kerajaan-kerajaan Buda yang menyatakan merdeka. Daerah bekas ibukota Majapahit sendiri, yaitu di Trowulan, yang semula praktis menjadi bawahan Dêmak Bintara setelah jatuhnya Majapahit pada 1478, beberapa tahun yang lalu diserang oleh Kerajaan Daha yang beribukota di Kêling. Penyerangan itu terjadi pada 1486.
Raja Daha, Prabhu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, berhasil menguasai Majapahit kecil, Majapahit bawahan Dêmak dan membunuh Raja Majapahit, Nyo Lay Wa. Seorang China Muslim yang diangkat sebagai Raja Majapahit oleh Kangjêng Sultan Jim Bun, Sultan Dêmak semenjak tahun 1478.
Prabhu Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, memboyong sisa-sisa kebesaran Majapahit ke Kêling dan memaklumatkan bahwa Majapahit berdiri kembali di bawah pimpinannya. Kini dia adalah Raja Majapahit yang merdeka dari Dêmak. Dia mengambil gelaran Sri Wilwatikta Janggala Kadhiri Prabhu Natha. Walau wilayah kekuasaannya hanya mencakup Janggala atau Kahuripan (Sidoarjo sekarang), Daha atau Kadhiri (Kediri sekarang) dan Wilwatikta (Mojokerto sekarang), namun wibawanya mampu menarik para Raja-Raja kecil. Majapahit bangkit kembali, begitu desas-desus yang santer di wilayah timur. Bahkan Tuban, yang telah berdiri sendiri menjadi kerajaan kecil, diam-diam mengadakan hubungan dengan Majapahit di Daha ini.
Berita mengejutkan tersebut sudah sampai ke Dêmak Bintara. Bahkan yang paling cemas adalah Giri Kêdhaton. Dêmak tak berkutik. Dêmak masih sibuk menata diri. Perhatian Dêmak terpecah antara pedalaman dengan pesisir. Dêmak tengah mengincar selat Malaka.
Dêmak ingin menguasai jalur perdagangan. Dêmak tidak puas hanya menjadi perantara tangan pertama perdagangan rembah dari kepulauan Maloko (Maluku sekarang). Selat Malaka adalah jantung perdagangan Nusantara. Kerajaan yang menguasai selat itu, dipastikan akan makmur berlimpah kekayaan.
Melihat ketidaksiapan Dêmak merebut kembali Majapahit, Giri Kêdhaton secepatnya menyusun pasukan bersenjata dan menyatakan berdiri sebagai Kesultanan Islam di timur pulau Jawa. Ini terjadi pada 1487, setahun setelah Daha menyatakan merdeka dari Dêmak. Kabar yang tidak mengenakkan tersebut sampai pula di telinga Kangjêng Sultan Jim Bun. Namun apa mau dikata, Majelis Wali Sanga adalah tulang punggung utama Dêmak Bintara. Dan Susuhunan Giri Kêdhaton, Sultan Giri Kêdhaton, adalah pimpinan Majelis tersebut. Kembali Dêmak tak berkutik!
Wilayah yang membentang ke barat, dari Giri Kêdhaton yang ada di Tandhês (Gresik sekarang), yaitu Tuban dan Lasêm, merupakan wilayah merdeka yang tidak tunduk dibawah Dêmak. Begitu juga Surabaya, yang dulu dikenal dengan nama Ujung Galuh, yang merupakan pelabuhan utama Majapahit, kini menyatakan berdaulat sendiri. Terang-terangan, Surabaya tidak mau tunduk kepada Dêmak karena bangsawan Surabaya merasa sebagai keturunan Wali Sepuh, Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta yang selayaknya paling dihormati oleh seluruh Wali di Jawa!
Kondisi carut marut seperti ini membuat Syeh Lêmah Abang semakin tidak simpatik dengan Majelis Wali Sanga. Sudah menjadi dugaannya semula, jika sebuah lembaga agama jatuh pada kegiatan bernegara, hasilnya pasti kacau balau. Agama hanya dijadikan kendaraan belaka untuk kepentingan duniawi. Belum lagi di Barat, Caruban juga telah berubah menjadi Kesultanan dengan Syarif Hidayatullah atau yang terkenal dengan gelar Susuhunan Jati Purba atau Susuhunan Gunungjati sebagai Sultannya. Jawa dalam kondisi terpecah-pecah dan menuju kehancuran. Majelis Wali Sanga seharusnya segera angkat kaki dari urusan kenegaraan. Majelis itu seharusnya berfungsi sebagai pengayom seluruh masyarakat Jawa, baik yang sudah Islam maupun yang belum. Jika Majelis tersebut telah jatuh ke wilayah kenegaraan, dapat dipastikan, niatan sebagai pengayom tidak lagi murni.
Untuk itulah, ketika protes demi protes yang dilayangkan oleh Syeh Lêmah Abang tidak juga digubris oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton, maka Syeh Lêmah Abang mengambil sikap, keluar dari keanggotana Majelis Wali Sanga!
Namun tindakan tersebut dipandang gegabah oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga, ayahanda Raden Umar Said. Seharusnya, di tengah kekeruhan yang tidak berujung seperti itu, Syeh Lêmah Abang tidak menyatakan keluar dari Majelis Wali. Keputusannya tersebut, malahan bisa memicu konflik baru, memicu perpecahan baru antara Majelis Wali Sanga dengan Syeh Lêmah Abang.
Dan apa yang dikhawatirkan oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga terbukti. Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton kini mencurigai Syeh Lêmah Abang memiliki niatan lain. Semua santri atau ulama yang pernah dekat dengan beliau, ikut pula dicurigai. Termasuk sosok Kangjêng Susuhunan Ngêrang atau Ki Gêdhe Ngêrang yang berdiam di Yuwana!
Matahari sudah condong ke barat ketika rombongan Kangjêng Susuhunan Muryapada atau Raden Umar Said memasuki perbatasan wilayah Yuwana.
Rontal 12:
Pupuh IV : Susuhunan Mayang Madu
Bangunan utama itu terbuat dari dinding kayu. Dengan beberapa ukirannya yang khas. Di samping bangunan berdiri pendhopo besar. Nampak beberapa orang tengah duduk sembari melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Suara mereka mendayu di sore itu, berkumandang menyapa segenap sudut.
Sayup-sayup, terdengar pula bunyi gamelan dimainkan. Itulah bunyi gamelan Kyai Singa Mengkok. Gamelan pusaka padhepokan Dalêm Dhuwur. Sebuah pusat pendidikan agama Islam yang dipimpin oleh Raden Hasyim Syarifuddin, salah satu putra almarhum Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta.
Raden Hasyim Syarifuddin adalah putra kedua dari Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta. Dia adalah adik dari Raden Makhdum Ibrahim atau yang terkenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Benang. Keduanya lahir dari istri pertama, Nyi Agêng Manila atau Ibu Dewi Candrawati. Putri dari syahbandar Lasêm dulu, Haji Gan Eng Cu.
Dari perkawinan antara Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta dengan Nyi Agêng Manila, lahir lima orang putra putri. Pertama Raden Makhdum Ibrahim, kedua Raden Hasyim Syarifuddin, ketiga Siti Syari'ah atau Syarifah, keempat Siti Muthmainah dan kelima Siti Hafsah.
Siti Syari'ah atau Syarifah, dinikahi oleh Sayyid Ja'far Shadiq atau Kangjêng Susuhunan Kudus, pemimpin Panti Kudus.
Selain itu, Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta juga memiliki istri kedua, bernama Dewi Karimah, memiliki dua orang putri, pertama Dewi Murtasiyah yang diperistri oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton. Kedua Dewi Murtasimah atau Nyi Agêng Malokah yang diperistri oleh Pangeran Wiranêgara, putra Pangeran Wirabraja dari Lasêm.
Dan dari istri yang ketiga, bernama Nyi Agêng Bela, memiliki enam orang putra-putri, pertama Raden Faqih yang sekarang menggantikan ayahandanya sebagai Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta II, kedua Raden Ahmad Husamuddin, ketiga Raden Zainal Abidin, keempat Dewi Mursimah yang diperistri oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga, kelima Dewi Asyiqah yang diperistri oleh Kangjêng Sultan Demak Pangeran Jin Bun dan keenam Raden Asmara atau Raden Abdul Jalil.
Raden Hasyim Syarifuddin lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Mayang Madu atau Kangjêng Susuhunan Dêrajat. Dan padhepokan Dalêm Dhuwur merupakan padhepokan yang didirikannya.
Sore hampir menjelang, suara gamelan kini sudah berhenti. Para santri sibuk mempersiapkan diri untuk menjalankan shalat maghrib. Bertepatan dengan remang malam ketika matahari sudah tak tampak lagi di ufuk barat, suara adzan maghrib pun dikumandangkan dari tajug yang letaknya tak jauh dari pendhopo.
Suara adzan memecah padhepokan Dalêm Dhuwur. Menelisik remang gelap yang baru tercipta. Beberapa santri masih juga sibuk mengambil air wudlu di padasan. Yang sudah selesai berwudlu, segera naik ke tajug dan duduk di sana, menantikan Raden Hasyim Syarifuddin keluar dari dalêm pribadi untuk memimpin shalat jamaah.
Suara pêpujian (puja-puji) berisi Rukun Iman yang ditembangkan memakai tembang Dhandhanggula, terdengar lantang berkumandang di dalam tajug.
Sipat Iman imantubillahi,
Têgêsipun pracaya ing Allah,
Ing Pangeran sajatine,
Ya Pangeran Kang Agung,
Kang akarya bumi lan langit,
Angganjar lawan niksa,
Mring manusa sagung,
Langgêng tur murba misesa,
Maha Suci angganjar paring rêjêki,
Aniksa angapura.
Kaping kalih wa malaekati,
Têgêsipun pracaya malaekat,
Anapun ika têgêse,
Ingutus ing Hyang Agung,
Pakaryane anênulisi,
Marang kawulanira,
Kang dosa lit agung,
Kang karya purba wisesa,
Neka-neka karyane sawiji-wiji,
Sakehing malaekat.
Bangunan utama itu terbuat dari dinding kayu. Dengan beberapa ukirannya yang khas. Di samping bangunan berdiri pendhopo besar. Nampak beberapa orang tengah duduk sembari melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Suara mereka mendayu di sore itu, berkumandang menyapa segenap sudut.
Sayup-sayup, terdengar pula bunyi gamelan dimainkan. Itulah bunyi gamelan Kyai Singa Mengkok. Gamelan pusaka padhepokan Dalêm Dhuwur. Sebuah pusat pendidikan agama Islam yang dipimpin oleh Raden Hasyim Syarifuddin, salah satu putra almarhum Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta.
Raden Hasyim Syarifuddin adalah putra kedua dari Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta. Dia adalah adik dari Raden Makhdum Ibrahim atau yang terkenal dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Benang. Keduanya lahir dari istri pertama, Nyi Agêng Manila atau Ibu Dewi Candrawati. Putri dari syahbandar Lasêm dulu, Haji Gan Eng Cu.
Dari perkawinan antara Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta dengan Nyi Agêng Manila, lahir lima orang putra putri. Pertama Raden Makhdum Ibrahim, kedua Raden Hasyim Syarifuddin, ketiga Siti Syari'ah atau Syarifah, keempat Siti Muthmainah dan kelima Siti Hafsah.
Siti Syari'ah atau Syarifah, dinikahi oleh Sayyid Ja'far Shadiq atau Kangjêng Susuhunan Kudus, pemimpin Panti Kudus.
Selain itu, Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta juga memiliki istri kedua, bernama Dewi Karimah, memiliki dua orang putri, pertama Dewi Murtasiyah yang diperistri oleh Kangjêng Susuhunan Giri Kêdhaton. Kedua Dewi Murtasimah atau Nyi Agêng Malokah yang diperistri oleh Pangeran Wiranêgara, putra Pangeran Wirabraja dari Lasêm.
Dan dari istri yang ketiga, bernama Nyi Agêng Bela, memiliki enam orang putra-putri, pertama Raden Faqih yang sekarang menggantikan ayahandanya sebagai Kangjêng Susuhunan Ngampeldhênta II, kedua Raden Ahmad Husamuddin, ketiga Raden Zainal Abidin, keempat Dewi Mursimah yang diperistri oleh Kangjêng Susuhunan Kalijaga, kelima Dewi Asyiqah yang diperistri oleh Kangjêng Sultan Demak Pangeran Jin Bun dan keenam Raden Asmara atau Raden Abdul Jalil.
Raden Hasyim Syarifuddin lebih dikenal oleh masyarakat sekitar dengan gelaran Kangjêng Susuhunan Mayang Madu atau Kangjêng Susuhunan Dêrajat. Dan padhepokan Dalêm Dhuwur merupakan padhepokan yang didirikannya.
Sore hampir menjelang, suara gamelan kini sudah berhenti. Para santri sibuk mempersiapkan diri untuk menjalankan shalat maghrib. Bertepatan dengan remang malam ketika matahari sudah tak tampak lagi di ufuk barat, suara adzan maghrib pun dikumandangkan dari tajug yang letaknya tak jauh dari pendhopo.
Suara adzan memecah padhepokan Dalêm Dhuwur. Menelisik remang gelap yang baru tercipta. Beberapa santri masih juga sibuk mengambil air wudlu di padasan. Yang sudah selesai berwudlu, segera naik ke tajug dan duduk di sana, menantikan Raden Hasyim Syarifuddin keluar dari dalêm pribadi untuk memimpin shalat jamaah.
Suara pêpujian (puja-puji) berisi Rukun Iman yang ditembangkan memakai tembang Dhandhanggula, terdengar lantang berkumandang di dalam tajug.
Sipat Iman imantubillahi,
Têgêsipun pracaya ing Allah,
Ing Pangeran sajatine,
Ya Pangeran Kang Agung,
Kang akarya bumi lan langit,
Angganjar lawan niksa,
Mring manusa sagung,
Langgêng tur murba misesa,
Maha Suci angganjar paring rêjêki,
Aniksa angapura.
Kaping kalih wa malaekati,
Têgêsipun pracaya malaekat,
Anapun ika têgêse,
Ingutus ing Hyang Agung,
Pakaryane anênulisi,
Marang kawulanira,
Kang dosa lit agung,
Kang karya purba wisesa,
Neka-neka karyane sawiji-wiji,
Sakehing malaekat.
No comments:
Post a Comment