Thursday, July 11, 2013

Revolusi di Mesir: Musim Semi Arab Mundur ke Musim Dingin

http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/34558-revolusi-di-mesir-musim-semi-arab-mundur-ke-musim-dingin.html

Mantan Menlu Hasan Wirayuda dan Mantan Menlu Korea Ban Ki Moon (kini menjadi Sekjen PBB)

Jakarta, GATRAnews -  Secara kebetulan, dua kali saya berkunjung ke Mesir dan menyaksikan dari dekat perjalanan revolusi di sana. Baik revolusi jilid I, yang mereka sebut Revolusi 25 Januari 2011, maupun revolusi jilid II, yang mereka sebut Tamarrud, 30 Juni 2013. 

Pada revolusi yang pertama, saya ditugaskan oleh Presiden Yudhoyono sebagai utusan khusus pada puncak krisis, yaitu tanggal 6-10 Februari 2011, guna menyampaikan keprihatinan Indonesia. Kita melihat, akar masalah dari krisis Mesir itu sama dengan yang melahirkan reformasi di Indonesia. Kita ingin berbagi pengalaman. 

Dalam perjalanan pulang dari Maroko menghadiri simposium yang bertemakan "Arab Spring as Viewed by the Arabs and Others", saya singgah di Kairo, pada 1-3 Juli. Keperluan utamanya adalah menyaksikan penandatanganan MoU antara The Institute for Peace and Democracy (IPD), yang berkedudukan di Bali, Al-Ahram Center for Political and Strategic Studies, Liga Arab, dan American University di Kairo. 

Awal Musim Dingin di Musim Panas 

Revolusi jilid II, seperti halnya yang pertama, digerakkan oleh orang-orang muda yang tidak puas terhadap pemerintah. Kali ini, Ikhwanul Muslimin menuai hujatan rakyat. Simpati yang besar kepada Ikhwanul pada revolusi jilid I merupakan simpati terhadap korban yang selama 60 tahun dilarang untuk hidup, baik oleh pemerintahan Presiden Naser (1952) maupun Mubarak (2011). 

Satu tahun pemerintahan Muhammad Mursi, seperti diakuinya sendiri pada pidato 3 Juli dini hari, memang gagal untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di tengah harapan yang meningkat pada pemerintahan transisi demokratis, yang terjadi sebaliknya. Pengadaan gas dan bahan bakar tersendat, arus turis yang merosot tajam, dan pasar kerajinan tradisional yang sepi, serta pengangguran yang meningkat. 

Dengan mengibarkan bendera Mesir, rakyat menyatakan keberpihakannya pada kaum oposisi, yang sedang berdemonstrasi di Tahrir. Di bagian lain kota Kairo, pendukung Mursi berunjuk rasa mempertahankan legitimasi pemerintah. 

Walaupun memperoleh kemenangan tipis (51%) dalam pemilihan yang demokratis, pemerintahan Mursi gagal dalam memastikan bahwa democracy delivers, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Karena itu, mitra koalisinya, yaitu kaum Salafi (Al-Nour Party), juga sudah mengambil jarak dengan pemerintahan Mursi. 

Pengalaman transisi Mesir bukanlah kejadian yang terisolasi, karena ini juga banyak terjadi di pemerintahan transisi lainnya. Tugas yang tidak mudah untuk merespons ekspektasi yang meningkat di satu pihak dan pemerintah transisi yang baru, dan seringkali tidak punya pengalaman dalam pemerintahan. 

Di samping kegagalan ekonomi, pemerintah Mursi juga cenderung mulai diktatorial. Menarik ungkapan surat kabar International Herald Tribune pada 4 Juli 2013, yang mengatakan bahwa sesungguhnya musuh utama Ikhwanul Muslimin adalah dirinya sendiri. 

Sikap dan Peran Politik Militer 

Bila gelombang demonstran jauh lebih besar, hal ini karena, pertama, ketidakpuasan atas kinerja pemerintahan Mursi cukup meluas. 
Kedua, setelah tumbangnya Mubarak, rakyat mulai menikmati kebebasan, termasuk untuk berdemonstrasi. 
Ketiga, tentara dan polisi masih merupakan instrumen rezim lama untuk menghadapi oposisi. 

Pada kali ini, tentara lebih bersimpati pada oposisi. Mungkin, untuk memperbaiki citranya yang buruk karena melindungi Mubarak. Sebagian polisi, yang dulu menjadi elemen represi, ikut berdemonstrasi menyertai oposisi. 

Dalam sejarah modern Mesir, militer diakui berperan besar dalam membela dan mempertahankan kedaulatan Mesir pada tiga perang besar dalam 25 tahun. Pada perang Yom Kippur 1973, tentara Mesir berhasil merestorasi kedaulatan dan kebanggaan Mesir. De facto, tentara merupakan pemain politik yang penting. 

Menanggapi gelombang demonstrasi 30 Juni, dengan menyerukan perlunya dialog dan rekonsiliasi Presiden Mursi dan pendukungnya dengan kelompok oposisi, tentara memberikan batas waktu dialog pada tanggal 2 Juli. 

Juga mengumumkan roadmap mengantisipasi kegagalan dialog. Yaitu, pembentukan pemerintahan transisi, pembekuan parlemen, dan revisi konstitusi. 

Dengan mengundurkan batas waktu sehari lagi menjadi 3 Juli, jelas tentara sudah berancang-ancang mengambil alih kekuasaan. 

Banyak pihak yang menyebutnya sebagai kudeta militer dan menyayangkan cara-cara yang tidak demokratis dalam mengganti pemerintah yang demokratis dan sebenarnya memiliki legalitas yang kuat. 

Guna mengurangi nuansa pengambilan alihan kekuasaan, militer sejak awal mengedepankan pembentukan pemerintah koalisi sipil dengan mengangkat Ketua Mahakamah Konstitusi sebagai acting president dan menempatkan El Baradei sebagai calon perdana menteri. 

Koalisi itu didukung oleh Syekh Besar Al-Azhar dan Paus Kristen Koptik. Koalisi ini didukung oleh kekuatan politik dari unsur-unsur sekuler Salafi (Al-Nour Party). Dalam proses konsultasi itu, kelompok Ikhwanul Muslimin dapat menerima diundurkannya Presiden Mursi tapi meminta agar mereka tetap beroperasi secara legal. 

Walaupun pada awalnya cukup lancar, kesulitan mulai terjadi karena Partai Al-Nour menolak El-Baradei. Terlepas dari kehadiran Imam Besar Al-Azhar, kelompok Salafi merupakan satu-satunya kekuatan politik Islam dalam koalisi pemerintahan sementara. 

Tanpa keikutsertaannya, pemerintah transisi akan sepenuhnya tampak sebagai pemerintahan sekuler dan tentu tidak menguntungkan. 

Legitimasi dan Kehendak Rakyat 

Dalam pidatonya, Presiden Mursi banyak mengandalkan legitimasinya sebagai presiden terpilih lewat pemilu yang demokratis. Tidak ada yang dapat mengubah itu kecuali melalui cara yang demokratis. 

Toh, pemerintahan koalisi sementara tetap diwujudkan dan diumumkan oleh Jenderal Al-Sisi pada 4 Juli, persis ketika kami tiba dan transit di Doha. 

Tapi demokrasi bukan hanya pemilihan umum. Itu hanya demokrasi prosedural. Secara substantif, demokrasi adalah proses dialog yang berkelanjutan. 

Profesor Amartya Sen menyebutnya sebagai process of continuous dialogue for public reasoning on matters of public interest. Tentunya, proses dialog itu harus merangkul semua (inklusif) yang menjurus kepada kemufakatan (konsensus). Mungkin ini merupakan kekurangan yang menonjol dalam proses transisi demokratisasi di Mesir. 

Kaum Islamis, yang terdiri dari Islam moderat (Ikhwanul Muslimin), ultrakonservatif (Salafi), dan kaum ekstremis (Jemaah Islamiyah) yang keseluruhannya menguasai mayoritas kursi di parlemen (72%), merasa dapat melakukan apa saja tanpa proses yang inklusif, tidak banyak dialog, dan tidak mengabaikan kesepakatan bulat. 

Kinerja ekonomi kabinet Presiden Mursi yang buruk memang menjadi pemicu gerakan perlawanan rakyat. Tapi, cara Presiden Mursi menjalankan roda pemerintahan dan kebijakannya dalam perancangan konstitusi baru, dalam referendum pengesahan konstitusi, dan dalam pengangkatan gubernur, dilihat oleh rakyatnya tidak cukup dialogis, inklusif, dan mendapat dukungan luas, bahkan cenderung diktatorial. 

Ada yang mengatakan, ini akibat pencampuran agama dan politik. 

Dalam rangkaian workshop guna berbagi pengalaman di bawah dialog Indonesia-Mesir sejak 2011, kami mencermati kekurangan penting dan mendasar dalam proses transisi di Mesir. 

Pada seminar keempat di Serpong, Maret 2012, yang mengambil tema "Islam and Democracy, Syeikh Kamal el-Hibawy, tokoh dan anggota parlemen dari Ikhwanul Muslimin, menyatakan keheranannya mengenai sistem nilai dialog dan prakteknya dalam proses transisi demokrasi di Indonesia.
Female supporters of deposed Egyptian President Mohamed Mursi wear white cloths during a protest in Cairo July 9, 2013. Egypt's interim President Adli Mansour on Tuesday named liberal economist and former finance minister Hazem el-Beblawi as prime minister in a transitional government, as the authorities sought to steer the country to new parliamentary and presidential elections. The white cloths are usually used to wrap dead bodies in Islamic funeral rites. REUTERS/Suhaib Salem

"Sebagai sesama negara mayoritas muslim, ajaran Islam yang kita anut sama. Tapi, di sini Anda mudah berdialog dan mencapai mufakat. Kami tidak biasa melakukan itu, bahkan antara kelompok yang berbeda yang hadir pada workshop ini pun kami belum pernah melakukan dialog di Mesir. Baru di sini, di Indonesia." El-Hibawy menjawab keheranan dan pertanyaannya itu sendiri. 

"Mungkin budaya Anda berbeda dari kami. Mungkin karena Anda memiliki Pan'kasila (maksudnya: Pancasila)." 

Merinding saya mendengar ungkapan itu. 

Revolusi jilid I, yang berlanjut ke jilid berikutnya, serta adanya ancaman perang saudara dan konflik internal yang berkepanjangan, adalah sebuah kemunduran. 

Musim semi (Arab Spring) yang menandai perlawanan rakyat di negara-negara arab terhadap rezim-rezim diktator, kini mengalami kemunduran dua langkah, melampaui musim gugur, kembali ke musim dingin yang kelabu dan menyuramkan. Sayang. 
(Dr. N. Hasan Wirajuda
Patron Institute for Peace and Democracy (IPD) 

No comments: