Tuesday, September 03, 2013

Pesta sudah usai bagi Asia Tenggara

http://kolom.kontan.co.id/news/157/Pesta-sudah-usai-bagi-Asia-Tenggara
Karim Raslan

Karim Raslan adalah seorang pengamat Asia Tenggara. Dia memiliki keahlian di bidang public affairs, pendiri sekaligus CEO KRA Group. Lulusan Cambridge University ini memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam bidang stakeholders management, dan analisis risiko sosial-politik di Asia Tenggara.

PADA 19 Agustus 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 5,6%. Ini merupakan penurunan terbesar sejak Oktober 2011 saat investor asing menjual sahamnya sebesar US$ 169 juta. Penurunan semakin besar pada Selasa (20/8), yakni sebesar 3,2%, atau tergelincir selama empat hari sebesar 11%. 

Rupiah juga turun, diperdagangkan di Rp 10.490 per dollar AS, angka terendah sejak rupiah jatuh pada Mei 2009. Selasa (20/8), rupiah malah mencapai sekitar Rp 10.685 per dollar AS. Nilai tukar rupiah turun sebesar 8,2% tahun ini. 

Namun bukan hanya Indonesia yang sedang terguncang. Seluruh ASEAN 5 memiliki hari yang buruk di pasar saham. Bursa di Thailand, Singapura, dan Malaysia juga mengalami kerugian. Di Manila, bursa saham diliburkan karena badai hujan dan musibah banjir. 

Mengapa hal ini bisa terjadi? Nah, coba ingat apa yang saya tulis mengenai reaksi ekonomi stimulus Quantitative Easing (QE) dari US Federal Reserve . Kini, sentimen negatif investor mengenai hal tersebut terus berlanjut. 

Masih belum jelas bagaimana Federal Reserve begitu cepat menarik hot money yang membanjiri pasar-pasar negara berkembang--termasuk Asia Tenggara-- sebagai akibat dari QE. Namun, prospek ini sangat membuat investor ketakutan. 

Di sisi lain, penarikan hot money tidak baik, sebab--sebagaimana peringatan dari Moody's Analytics-- hal itu memperlambat pembelian utang jangka panjang dan akan mendongkrak pendapatan (yield) obligasi pemerintah, termasuk Eropa. Dengan kata lain, AS mendapatkan uangnya dan negara lain menyisakan utangnya. 

Selain itu, penarikan QE juga berarti penguatan dollar AS. Ini adalah kabar buruk bagi negara dengan kondisi transaksi yang rentan, termasuk Indonesia dan India. India termasuk mengalami dampak lebih berat. Meski Bank Sentral India berusaha mempertahankan mata uangnya dan menghentikan capital outflow, pada 19 Agustus, mata uang Rupee runtuh di INR 63,13 per dollar AS. Ini menjadi kejatuhan Rupee yang terbesar sejak September 2011. Pada saat yang sama, pendapatan obligasi India telah naik ke level tertingginya dalam lima tahun terakhir. 

Ada hal penting yang menjadi poin utama yang ingin saya sampaikan, yaitu bahwa masalah dalam ekonomi jarang terjadi secara langsung. Tetapi, itu terjadi karena pertemuan berbagai faktor-faktor yang menyebabkan ekonomi jatuh. 

Penarikan QE adalah pemicu utama terjadinya turbulensi yang sedang berlangsung di perekonomian kita. Tapi, kita juga menuai buah pahit dari penolakan kita untuk mengubah model ekonomi yang digunakan. 

Krisis Keuangan Asia di 1997, seharusnya, menjadi alarm bagi perekonomian kita, baik untuk mengurai kesulitan, tapi juga perlu reformasi struktural seperti memotong pengeluaran yang tidak perlu, mengurangi ketergantungan pada ekspor, dan bergerak sesuai dengan value chain. 

Meski begitu, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memilih tetap terlelap, dibuai oleh lonjakan harga komoditas sejak 2000-an dan kemudian oleh hot money yang berulang-ulang hingga QE yang menghampiri kita. 

Sayangnya, uang yang mengalir keluar dan booming komoditas tampaknya lebih karena ekonomi China. Meski disebut-sebut sebagai negara super power berikutnya, kini, China menghadapi potensi krisis keuangan karena tidak terkendalinya shadow banking dan beratnya beban utang pemerintah daerah. 

Batubara yang telah menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dekade terakhir, sekarang menjadi semakin kurang diminati, karena revolusi shale gas AS telah mengubah skenario energi global mereka. Gas alam yang lebih bersih dan lebih murah menjadi pembunuh pasar batubara. 

Bukanlah kebetulan jika penambang batubara besar seperti PT Arutmin Indonesia milik Bumi Resources harus menghadapi kenyataan bahwa tambang mereka di Senakin dan Satui, Kalimantan, ditutup karena sengketa pembayaran. 

Hal ini tidak terpikirkan pada masa-masa gemilang sebelumnya, apalagi saat produsen batubara berjuang. Mungkinkah perpaduan dari kekurangan likuiditas secara tiba-tiba, penurunan harga komoditas, dan melemahnya China menjadi badai besar berikutnya yang menyerang Asia Tenggara? Seperti yang saya katakan di awal: pesta sudah usai.

No comments: