Sunday, October 27, 2013

Wajah Baru Pemimpin Indonesia

The Wall Street JournalThe Wall Street JournalThe Wall Street Journalhttp://indo.wsj.com/posts/2013/10/08/wajah-baru-pemimpin-indonesia/?mod=WSJIdn_WSJINDOHome_RightTopCarousel_1
oleh Ben Otto dan Andreas Ismar

JAKARTA, Indonesia — Indonesia tengah menyaksikan lahirnya sekelompok pemimpin politik generasi baru.
Era kekuasaan Suharto berakhir 15 tahun lalu, dan tahun depan, Indonesia untuk pertama kali, akan menyaksikan pergantian presiden yang dipilih secara langsung. Di tengah kegairahan politik ini, muncul pemimpin-pemimpin baru tanah air yang memiliki karakter yang berbeda dengan para pendahulunya.
Mereka adalah para pemimpin daerah atau teknokrat yang memiliki citra bersih. Mereka turun ke jalan demi merasakan nasib rakyatnya. Mereka muncul di panggung politik tanpa mesin uang serta sedikit koneksi politik. Hal ini mengubah peta politik, mengingat bagaimana pucuk pimpinan tertinggi negara ini biasa diduduki oleh anggota militer atau keluarga dari rezim yang berkuasa.
“Apa yang kita sedang lihat sangat luar biasa,” kata Douglas Ramage, pengamat politik BowerGroupAsia.  ”Popularitas adalah logika yang menjadi faktor pendorong politik Indonesia saat ini. Dan persepsi akan seorang kandidat yang bersih, transparan dan otentik adalah hal-hal yang mendorong popularitas.”
Perubahan tersebut paling terlihat dan terasa di Pulau Jawa, jantung politik dan ekonomi Indonesia. Sejumlah wajah baru mendefinisi ulang arti dan makna menjadi pejabat publik.
Nama Joko Widodo, atau Jokowi, adalah figur paling terkenal di antara sekelompok pemimpin angkatan baru ini. Mantan wali kota Solo ini menggebrak Jakarta tahun lalu ketika ia berhasil memenangkan pemilihan gubernur Jakarta melawan Fauzi Bowo.
Jokowi dikenal sebagai sosok yang bersih dan merakyat, serta menjadi kesayangan media. Sebagai pemimpin kota Jakarta, ia belum banyak melakukan kesalahan. Namanya menduduki posisi tertinggi dalam survei calon presiden menjelang pemilihan umum 2014, padahal ia belum menyatakan bersedia untuk maju.
Bagi Jokowi, apa yang membuat perbedaan itu sesungguhnya sederhana.
“Saat ini, kebijakannya ada di sebelah sini dan apa yang rakyat mau ada di sana; mereka tidak bertemu,” katanya. “Namun rakyat tahu apa yang mereka mau.”
Sebuah pesan yang semakin penting didengar oleh para pemimpin.
Euforia politik yang tercipta menyusul lengsernya Suharto pada 1998 –hari-hari di mana 90% penduduk Indonesia ikut serta dalam pemilihan umum (pemilu) sudah memudar. Pada pemilu-pemilu berikutnya, para pemilih menuntut adanya tata pemerintahan yang baik. Beberapa pemimpin dianggap tidak memadai dan memuaskan. Rakyat semakin menuntut akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan.
Tahun 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhono berhasil memenangkan pemilu dengan janji kampanye untuk memberantas korupsi. Lima tahun kemudian, ia kembali terpilih karena berhasil memenuhi keinginan rakyat, dengan program seperti bantuan langsung tunai bagi golongan miskin dan anggaran yang lebih baik bagi pendidikan. Namun popularitas Yudhoyono merosot setelah Partai Demokrat dihantam skandal korupsi, dan banyak kalangan mulai menilai semakin dekat dengan akhir masa jabatannya, kepemimpinan SBY semakin lemah.
Sementara tuntutan saat ini jauh lebih tinggi. Mereka yang gagal melaksanakan tugasnya akan kehilangan jabatannya. Dalam pemilu di tingkat kepala daerah selama sepuluh tahun terakhir ini, rakyat Indonesia telah mengakhiri kiprah sejumlah pejabat. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk menjalani masa jabatan kedua.
Saat ini, belum ada pemimpin dengan daya tarik seperti Jokowi, yang populer di tingkat nasional. Namun di tingkat daerah, ada sejumlah pemimpin yang mulai mengikuti jejak gubernur Jakarta tersebut.
Salah satunya adalah Tri Rismaharini, atau Risma, wali kota perempuan pertama yang dipilih secara langsung yang kini menduduki kursi politik tertinggi di Surabaya. Ia telah membangun banyak dukungan–dan juga musuh politik–karena keputusannya seperti penolakan terhadap pembangunan proyek jalan tol dalam kota, yang kemudian dialihkan ke pinggiran kota Surabaya guna memangkas kemacetan lalu lintas.
Risma juga dikenal karena upayanya menutup lokalisasi di Surabaya, sebuah upaya yang sudah dicoba oleh para pendahulunya selama puluhan tahun. Risma berpandangan bahwa penutupan lokalisasi tersebut hanya bisa dilakukan secara bertahap. Pada saat yang bersamaan, pemerintah daerah harus mengajar para pekerja seks komersial di sana ketrampilan baru seperti menjahit sebagai jalan keluar. Lokalisasi tersebut masih ada, namun ukurannya sudah jauh mengecil.
Dalam contoh lain, sejumlah politisi muda namun menjanjikan, yang minim rekam jejak politik, juga mendapatkan kesempatan.
Ridwan Kamil, seorang arsitek, bulan lalu terpilih menjadi wali kota Bandung, Jawa Barat. Ia terpilih setelah menjanjikan akan memperbanyak taman kota, menanggulangi kebanjiran dan memperbaiki sistem transportasi publik.
Baru-baru ini, Ridwan naik sepeda bersama stafnya untuk mengunjungi sebuah terminal angkutan kota (angkot). Ia mendatangi para pengemudi dan penumpang untuk mendengarkan harapan mereka akan keamanan dan kenyamanan yang seharusnya didapatkan dari layanan transportasi publik. Ia kemudian mengendarai salah satu angkot tersebut mengelilingi kota, mengangkut dan menurunkan penumpang.
“Saya ingin mendengar usulan,” katanya. “Saya tidak mau berasumsi saya tahu jawabannya.”
Aksi tersebut bisa menjadi publisitas yang baik bagi seorang wali kota yang ingin namanya terdengar secara luas. Namun ini juga menjadi tanda lebih banyak pemimpin yang meniru kepemimpinan ala Jokowi, yang dikenal sangat aktif mendekati dan mendengarkan suara konstituennya.
Menurut para analis, mayoritas pemimpin Indonesia tidak mengesankan dan sering kali korup. Banyak gubernur yang akhirnya dipenjara atau didakwa akibat keterlibatan dalam kasus korupsi. Banyak yang menyangkal, namun angkanya sangat jelas — sejak tahun 2004, lebih dari 40 kepala daerah, dari tingkat provinsi sampai kabupaten, dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi.
Jika demikian, maka generasi pemimpin baru ini tergolong minoritas.
Para pakar politik mengatakan akan muncul lebih banyak pemimpin yang menjanjikan, merujuk kepada evolusi demokrasi yang telah berlangsung sejak awal tahun 2000-an.
“Ini adalah akhir dari era ideologi dalam politik. Kita memasuki era kompetensi” , kata Bima Arya, seorang pakar politik muda yang baru-baru ini terpilih sebagai wali kota Bogor.
“Sensibilitas dari generasi baru ini sedemikian rupa, mereka tidak bisa dipimpin oleh retorika,” katanya. “Para pemimpin harus memiliki keahlian,”lanjutnya.
Di kawasan di mana demokrasi masih belum matang, Indonesia telah menikmati satu dekade yang stabil. Serikat buruh mulai berkembang. Kebebasan pers sudah tercipta. Pemilihan umum secara garis besar sudah terselenggara secara adil, meskipun sistemnya masih menguntungkan wajah-wajah lama. Tentunya masih ada permasalahan seperti korupsi, ketidaksetaraan dan buruknya infrastruktur yang menjadi beban bagi ekonomi.
Indonesia sedang berada di sebuah persimpangan. Di negara yang memiliki tiga zona waktu dan puluhan kelompok etnik, demokrasi masih berantakan. Ekonomi Indonesia memang dianggap memiliki pertumbuhan terpesat beberapa tahun terakhir ini. Namun kinerja tersebut mulai menurun mengingat lesunya permintaan global. Sementara kelemahan yang ditunjukkan oleh Presiden Yudhoyono mulai menghambat reformasi.
Intoleransi umat beragam terus meningkat di Indonesia. Transparansi masih rendah. Organisasi hak asasi manusia mengecam pemerintah karena secara tidak langsung melindungi perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran hutan. Tahun ini, asap akibat kebakaran di pulau Sumatra menyebar ke Singapura dan Malaysia di mana tingkat polusi udara menembus titik tertingginya sepanjang sejarah.
“Ini berbahaya karena kita berada pada titik di mana rakyat sudah tidak lagi percaya pada pemimpin atau sistem,” ujar Yenny Wahid, putri  mantan presiden Abdurrahman Wahid yang kini menjadi suara terdepan bagi masyarakat sipil. “Jadi mereka kini lebih mendengarkan tokoh agama—termasuk yang ekstremis, yang menjadi salah satu penyebab meningginya intoleransi umat beragama.”
Di Wonosobo, Jawa Tengah, ada sosok Kholiq Arif, seorang pemimpin agama yang kini menjadi bupati Wonosobo. Ia dikenal publik karena mengizinkan kelompok Islam minoritas Ahmadiyah untuk menjalankan ibadah di daerahnya. Dalam beberapa tahun terakhir, umat Ahmadiyah kerap menjadi sasaran aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok garis keras.
Menurut Kholiq, terdapat sekitar 6500 pengikut Ahmadiyah di Wonosobo yang bebas beribadah di masjid manapun.
“Banyak perbedaan dalam Islam, bahkan dalam tubuh NU sekalipun,” ujarnya merujuk pada organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. “Jadi mengapa tidak merangkul semuanya? Iman adalah masalah pribadi dan tugas saya adalah menjamin tidak ada satu keyakinan tertentu yang lebih tinggi dari lainnya.”
Beberapa tokoh muda menyebut isu pendidikan sebagai faktor penting bagi Indonesia yang tengah mencoba menaikkan daya saingnya dalam panggung ekonomi regional dan global. Anggota Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) berencana mendirikan zona perdagangan bebas regional pada akhir 2015 yang mempermudah terbukanya lapangan pekerjaan lintas perbatasan.
Tantangan lainnya berasal dari elit politik lama dan sistem yang diciptakannya guna mempertahankan kekuasaan dalam kancah politik nasional. Partai-partai politik besar di Indonesia masih dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang berjaya pada era Suharto. Mereka telah meninggikan ambang batas bagi mereka yang ingi  berpartisipasi dalam politik nasional, termasuk jumlah suara minimum yang harus diperoleh partai untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan menominasikan calon presiden.
Sejumlah pemilih ragu bahwa seorang pemimpin dapat tetap bersih. Mereka mengacu pada sejumlah kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi. Padahal, SBY menjadikan pemberantasan korupsi sebagai nilai jual utama dalam kampanye pilpresnya.
“Sebetulnya saya tidak terlalu banyak berharap,” ujar Yusril Ihza Mahendra, politisi Islam dan pengacara veteran.
Sebagian kisah sukses Indonesia ada pada bagaimana negara ini mengingat tujuan reformasi 15 tahun lalu. Saat itu, negara kepulauan terbesar di dunia ini tidak terpecah belah. Militer tidak mengambil alih pemerintahan. Pemilu tidak diperjualbelikan dengan bebas.
“Kita memiliki kecenderungan untuk melihat apa yang salah,” ujar Anies Baswedan, seorang presiden universitas swasta. “Saat kita menjadi negara merdeka, lebih dari 90 persen warga Indonesia buta huruf. Lihat kita sekarang. Banyak hal yang berjalan dengan benar.”
Anies menjadi satu dari 11 calon pemimpin Partai Demokrat yang akan diusungkan sebagai calon presiden. Beberapa kandidat lainnya seperti Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, dan Dino Patti Djalal yang baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat.
Ade Rukman, seorang pensiunan yang menginjak akhir usia 50an tahun, menjadi saksi saat Ridwan Kamil, walikota baru Bandung, naik angkot berkeliling kota. Ia mengaku sebelumnya tidak mengenal Ridwan, namun setelah duduk dalam angkot yang sama dengan Ridwan, ia menjadi penasaran.
“Saya tidak pernah melihat walikota mendatangi stasiun bus,” ujar Ade. “Saya berharap ini menjadi awal dari sesuatu yang baru.”
 – Dengan kontribusi dari Yayu Yuniar dan Ahmad Pathoni

No comments: