Sunday, May 27, 2018
Saturday, May 26, 2018
Monday, May 21, 2018
BUDAYA – Ajaran Tasawuf dalam Islam Jawa
https://islamindonesia.id/budaya/budaya-ajaran-tasawuf-dalam-islam-jawa.htm
islamindonesia.id – BUDAYA – Ajaran Tasawuf dalam Islam Jawa
islamindonesia.id – BUDAYA – Ajaran Tasawuf dalam Islam Jawa
Peneliti naskah-naskah Jawa kuno, Nancy K. Florida, tidak sependapat jika dikatakan corak mistis atau umum dikenal tasawuf dalam Islam Jawa itu bersumber dari ajaran Hindu. Dari 500 naskah di Kraton Surakarta misalnya, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya adalah Islam. Ia pun mencontohkan mengenai tahapan perjalanan ruhani di Islam Jawa yang dikenal suluk.
“Suluk itu lebih kuat karena pengaruh Islam, bukan Hinduisme,” kata Indonesianis berusia 67 tahun ini ketika diwawancarai Kompas beberapa waktu lalu.
Selain itu, pengajaran tasawuf-Islam di tanah Jawa sangat kuat dan sophisticated di abad ke- 18 dan ke -19. Dari sekian banyak tema tasawuf dalam Islam Jawa, Nancy mengaku tertarik pada konsep penyatuan badan dan jiwa.
Pada periode Kerajaan Islam Mataram, konsep penyatuan juga dikenal dalam istilah tradisi kraton sebagai hubungan integral antara hati (manusia), bumi (alam) dan Gusti (Tuhan). Konsep kesatuan (manuggaling) ini memang kompleks sebagaimana diakui oleh Nancy. Dan mungkin karena itu juga, Syekh Siti Jenar yang dikenal dengan ajaran ‘manunggaling kawulo Gusti’ ini merupakan sosok sufi kontroversial hingga kini.
Jika diteliti periode awal, Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental di Mataram (Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode kerajaan Islam sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat.
Jika dilirik ke belakang lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa itu, kata Konco Kaji Keraton Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi tentang Tuhan Yang Satu. Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan Islam yang bercorak tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan integral. Dalam analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa dan Islam bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.
“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial.
Jikapun ada pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.
Sedemikian kentalnya corak ini, konsep falsafah Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konteks ke-ilahiyah-an digambarkan dengan jelas dalam planologi kota Yogyakarta. Misalnya, garis imajiner dari Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggun Krapyak, hingga pantai selatan ditafsirkan sebagai manifestasi ke-Ilahiya-an (Jagad Ageng) yang harus diimbangi dengan hubungan dua sosok manusia sebagai manifestasi Jagad Alit yang diwujudkan dalam bentuk simbolik berupa Lingga (Tugu) – Yoni (Panggung Krapyak).
Dalam buku “Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX” (Wahyukismoyo, 2007), secara singkat, garis imajiner itu juga dapat dimaknai sebagai kirab perjalanan hidup seorang anak manusia yang tercipta dari plasma nutfah hingga suatu saat kelak nanti harus kembali kepada pangkuan-Nya.
Berbicara tentang berdirinya Kerajaan Islam Mataram ini, tidak lepas dari pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Griring, Ki Juru Mertani serta Sunan kalijaga. Dari Ki Ageng Pemanahan, lahirlah Panembahan Senopati. Dan dari Panembahan Senopati, terlahirlah para raja Mataram.
Sebelum Kerajaan Mataram berdiri pun dikabarkan murid-murid Syekh Siti Jenar telah menyebar hingga ke pedalaman selatan Jawa. Tokoh spiritual Ki Ageng Sela pun termasuk murid tidak langsung dari Syekh Siti Jenar.
Karena itu, para pendiri Mataram yang ajarannya diwarisi keraton masa ke masa itu, selaras dengan kecenderungan masyarakat di bagian selatan Jawa yang sebelumnya populer dengan ajaran mistis Syekh Siti Jenar.
Nah, apakah warisan ajaran para pendiri Mataram itu masih terjaga hingga kini? Ini memerlukan penelitian yang mendalam, apalagi mengingat periode kolonialisme Belanda yang menduduki keraton hingga alasan di balik perlawanan Pangeran Dipanegoro.
Senada dengan Nancy, menurut Prof. Dr. Abdul Hadi, dimensi mistis Islam Jawa tak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang menyentuh Jawa pertama kali. Hal ini, lanjut Sastrawan dan budayaan ini, karena sebagian besar penyebar Islam adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat. Bahkan, para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain.
Dengan proses akulturasi yang panjang, Islam Jawa semakin mendapatkan bentuknya yang khas, esoteris-kultural, ketika Islam masuk ke pedalaman Pajang lalu akhirnya Mataram. Sejak Mataram inilah, peradaban Islam Jawa mulai terbangun. Hal ini bisa juga dilihat dari tradisi keagamaan yang beraroma mistis, hingga terbentuk pola yang mengakar dengan dasar siklus penanggalan Jawa Islam – mulai dari Suro, Sapar, Maulud, dan seterusnya – karya monumental Sultan Agung.
Falsafah Jawa, Kejawen dan Islam
https://netlog.wordpress.com/category/islam-dan-kejawen/
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan,khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
JAWA dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa, semasa zaman Hinduisme dan Budhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur penyeranta yang baik bagi penyebarannya. Walisongo memiliki andil besar dalam penyebaran islam di Tanah Jawa. Unsur-unsur dalam islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya jawa semacam pertunjukan wayang kulit, dendangan lagu-lagu jawa , ular-ular ( putuah yang berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan,khususnya di Kerjaan Mataram (Yogya/Solo).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada (lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan menjadi saktimandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasadaberbunyi "Aku bersaksi tiada Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya" ,isi ini tak lain adalah isi dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid. Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore : Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi, asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah, sedangkan untuk putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah yang disimbolkan dengan pucung(atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya.
Ada banyaknya filsafat Jawa yang berusaha diterjemahkan oleh para wali, menunjukkan bahwa walisongo dalam mengajarkan agama selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi, akan sukar untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru walaupun ajaran tesebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik,seperti ajaran agama islam . Sistem politik Aja Nabrak Tembok (tidak menentang arus) diterapkan oleh para dunan..
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa, Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain ada beberapa filsafat lagi yang banyak dipakai , agar setiap pemimpin (Khususnya dari Jawa) memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktifitasnya seperti falsafah : Aja gumunan, aja kagetan lan aja dumeh. Maksudnya, sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung sewaktu menjadi seorang pemimpin.Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Falsafah sebagai seorang anak buahpun juga ada dalam ajaran Jawa, ini terbentuk agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalakan egoisme kepribadian, terlebih untuk mempermalukan atasan, seperti digambarkan dengan, Kena cepet ning aja ndhisiki, kena pinter ning aja ngguroni,kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepat tapi jangan mendahului (sang pimpinan) , boleh pintar tapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya tapi jangan menyudutkan pimpinan. Intinya seorang anak buah jangan bertindak yang memalukan pimpinan, walau dia mungkin lebih mampu dari sang pimpinan. Sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karir seseorang dalam bekerja, tapi, inilah kode etik atau norma yang harus di pahami oleh tiap anak buah atau seorang warga negara, demi menjaga citra pimpinan yang berarti citra perusahaan dan bangsa pada umumnya. Penyampaian pendapat tidak harus dengan memalukan,menggurui dan mendemonstrasi (ngrusuhi) pimpinan, namun pasti ada cara diluar itu yang lebih baik. Toh jika kita baik ,tanpa harus mendemonstrasikan secara vulgar kebaikan kita, orang pun akan menilai baik.
Dalam kehidupan umum pun ada falsafah yang menjelaskan tentang The Right Man on the Right Place (Orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya). Di falsafah jawa istilah itu diucapakan dengan Ajining diri saka pucuke Lathi, Ajining raga saka busana. Artinya harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai dengan busananya (situasinya). Sehingga tak heran jika seorang yang karena ucapan dan pandai menempatkan dirinya akan dihargai oleh orang lain. Tidak mengintervensi dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini ,sebenarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang dapat kita jumpai (lagi). Sebagai contoh tidak ada bedanya seorang mahasiswa yang pergi ke kampus dengan yang pergi ke mal , dan itu baru dilihat dari segi busana/bajunya , yang tentu saja baju akan sangat mempengaruhi tingkah laku dan psikologi seseorang.
Masih banyak filsafat Jawa yang mungkin, tidak dapat diuraikan satu persatu, terlebih keinginan saya bukan untuk banyak membahas hal ini, mengingat ini bukan bidang saya, namun kami hanya ingin memberikan suatu wacana umum kepada pembaca, bahwa, banyak sekali ilmu yang dapat kita gali dari budaya (Jawa) kita saja, sebelum kita menggali budaya luar terlebih hanya meniru (budaya luar)-nya saja.
ISLAM JAWA
https://www.facebook.com/pageKataKita/posts/1612267272197985
Oleh : Gus Muwaffiq.
Oleh : Gus Muwaffiq.
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda namanya Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.
Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.
Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW.
Sunday, May 20, 2018
THE ISIS FILES
https://www.nytimes.com/interactive/2018/04/04/world/middleeast/isis-documents-mosul-iraq.html
By Rukmini Callimachi Photographs by Ivor Prickett April 4, 2018
We unearthed thousands of internal documents that help explain how the Islamic State stayed in power so long.
emblazoned with the phrase “The Caliphate on the Path of Prophecy.” The handbook outlined the group’s plans for seizing property from the religious groups it had expelled and using it as the seed capital of the caliphate.
By Rukmini Callimachi Photographs by Ivor Prickett April 4, 2018
We unearthed thousands of internal documents that help explain how the Islamic State stayed in power so long.
Ivor Prickett for The New York Times
On five trips to battle-scarred Iraq, journalists for The New York Times scoured old Islamic State offices, gathering thousands of files abandoned by the militants as their ‘caliphate’ crumbled.
MOSUL, Iraq — Weeks after the militants seized the city, as fighters roamed the streets and religious extremists rewrote the laws, an order rang out from the loudspeakers of local mosques.
Public servants, the speakers blared, were to report to their former offices.
To make sure every government worker got the message, the militants followed up with phone calls to supervisors. When one tried to beg off, citing a back injury, he was told: “If you don’t show up, we’ll come and break your back ourselves.”
The phone call reached Muhammad Nasser Hamoud, a 19-year veteran of the Iraqi Directorate of Agriculture, behind the locked gate of his home, where he was hiding with his family. Terrified but unsure what else to do, he and his colleagues trudged back to their six-story office complex decorated with posters of seed hybrids.
They arrived to find chairs lined up in neat rows, as if for a lecture.
The commander who strode in sat facing the room, his leg splayed out so that everyone could see the pistol holstered to his thigh. For a moment, the only sounds were the hurried prayers of the civil servants mumbling under their breath.
Their fears proved unfounded. Though he spoke in a menacing tone, the commander had a surprisingly tame request: Resume your jobs immediately, he told them. A sign-in sheet would be placed at the entrance to each department. Those who failed to show up would be punished.
Ivor Prickett for The New York Times
Meetings like this one occurred throughout the territory controlled by the Islamic State in 2014. Soon municipal employees were back fixing potholes, painting crosswalks, repairing power lines and overseeing payroll.
“We had no choice but to go back to work,” said Mr. Hamoud. “We did the same job as before. Except we were now serving a terrorist group.”
The disheveled fighters who burst out of the desert more than three years ago founded a state that was acknowledged by no one except themselves. And yet for nearly three years, the Islamic State controlled a stretch of land that at one point was the size of Britain, with a population estimated at 12 million people. At its peak, it included a 100-mile coastline in Libya, a section of Nigeria’s lawless forests and a city in the Philippines, as well as colonies in at least 13 other countries. By far the largest city under their rule was Mosul.
How Far ISIS Spread Across Iraq and Syria and Where It’s Still Holding On
Since declaring a caliphate in 2014, the Islamic State has controlled large swaths of territory in Iraq and Syria. But after the group retreated from Mosul and Raqqa in 2017, it lost nearly all of its territory.
Sources: Conflict Monitor by IHS Markit (control areas); WorldPop (populated areas) Note: Areas of control based on IHS reports from Sept. 21, 2015, to March 26, 2018.
Nearly all of that territory has now been lost, but what the militants left behind helps answer the troubling question of their longevity: How did a group whose spectacles of violence galvanized the world against it hold onto so much land for so long?
Part of the answer can be found in more than 15,000 pages of internal Islamic State documents I recovered during five trips to Iraq over more than a year.
The documents were pulled from the drawers of the desks behind which the militants once sat, from the shelves of their police stations, from the floors of their courts, from the lockers of their training camps and from the homes of their emirs, including this record detailing the jailing of a 14-year-old boy for goofing around during prayer.
The New York Times worked with outside experts to verify their authenticity, and a team of journalists spent 15 months translating and analyzing them page by page.
Individually, each piece of paper documents a single, routine interaction: A land transfer between neighbors. The sale of a ton of wheat. A fine for improper dress.
But taken together, the documents in the trove reveal the inner workings of a complex system of government. They show that the group, if only for a finite amount of time, realized its dream: to establish its own state, a theocracy they considered a caliphate, run according to their strict interpretation of Islam.
The world knows the Islamic State for its brutality, but the militants did not rule by the sword alone. They wielded power through two complementary tools: brutality and bureaucracy.
ISIS built a state of administrative efficiency that collected taxes and picked up the garbage. It ran a marriage office that oversaw medical examinations to ensure that couples could have children. It issued birth certificates — printed on Islamic State stationery — to babies born under the caliphate’s black flag. It even ran its own D.M.V.
The documents and interviews with dozens of people who lived under their rule show that the group at times offered better services and proved itself more capable than the government it had replaced.
They also suggest that the militants learned from mistakes the United States made in 2003 after it invaded Iraq, including the decision to purge members of Saddam Hussein’s ruling party from their positions and bar them from future employment. That decree succeeded in erasing the Baathist state, but also gutted the country’s civil institutions, creating the power vacuum that groups like ISIS rushed to fill.
via Agence France-Presse — Getty Images
Associated Press
A little more than a decade later, after seizing huge tracts of Iraq and Syria, the militants tried a different tactic. They built their state on the back of the one that existed before, absorbing the administrative know-how of its hundreds of government cadres. An examination of how the group governed reveals a pattern of collaboration between the militants and the civilians under their yoke.
One of the keys to their success was their diversified revenue stream. The group drew its income from so many strands of the economy that airstrikes alone were not enough to cripple it.
Ledgers, receipt books and monthly budgets describe how the militants monetized every inch of territory they conquered, taxing every bushel of wheat, every liter of sheep’s milk and every watermelon sold at markets they controlled. From agriculture alone, they reaped hundreds of millions of dollars. Contrary to popular perception, the group was self-financed, not dependent on external donors.
More surprisingly, the documents provide further evidence that the tax revenue the Islamic State earned far outstripped income from oil sales. It was daily commerce and agriculture — not petroleum — that powered the economy of the caliphate.
The United States-led coalition, trying to eject the Islamic State from the region, tried in vain to strangle the group by bombing its oil installations. It’s much harder to bomb a barley field. It was not until last summer that the militants abandoned Mosul, after a battle so intense that it was compared to the worst combat of World War II.
While the militants’ state eventually crumbled, its blueprint remains for others to use.
“We dismiss the Islamic State as savage. It is savage. We dismiss it as barbaric. It is barbaric. But at the same time these people realized the need to maintain institutions,” said Fawaz A. Gerges, author of “ISIS: A History.”
“The Islamic State’s capacity to govern is really as dangerous as their combatants,” he said.
Ivor Prickett for The New York Times
Land for the Taking
The day after the meeting, Mr. Hamoud, a Sunni, returned to work and found that his department was now staffed 100 percent by Sunnis, the sect of Islam practiced by the militants. The Shia and Christian colleagues who previously shared his office had all fled.
For a while, Mr. Hamoud and the employees he supervised at the agriculture department went on much as they had before. Even the stationery they used was the same, though they were instructed to use a marker to cover up the Iraqi government’s logo.
But the long-bearded men who now oversaw Mr. Hamoud’s department had come with a plan, and they slowly began to enact it.
For generations, jihadists had dreamed of establishing a caliphate. Osama bin Laden frequently spoke of it and his affiliates experimented with governing in the dunes of Mali, in the badlands of Yemen and in pockets of Iraq. Their goal was to recreate the society that existed over a millennium ago during the time of the Prophet Muhammad.
In Mosul, what had been called the Directorate of Agriculture was renamed Diwan al-Zera’a, which can be translated as the Ministry of Agriculture. The term “diwan” harks back to the seventh-century rule of one of the earliest caliphs.
ISIS printed new letterhead that showed it had branded at least 14 administrative offices with “diwan,” renaming familiar ones like education and health. Then it opened diwans for things that people had not heard of: something called the hisba, which they soon learned was the feared morality police; another diwan for the pillaging of antiquities; yet another dedicated to “war spoils.”
What began as a cosmetic change in Mr. Hamoud’s office soon turned into a wholesale transformation.
The militants sent female employees home for good and closed the day care center. They shuttered the office’s legal department, saying disputes would now be handled according to God’s law alone.
And they did away with one of the department’s daily duties — checking an apparatus, placed outside, to measure precipitation. Rain, they said, was a gift from Allah — and who were they to measure his gift?
Employees were also told they could no longer shave, and they had to make sure the leg of their trousers did not reach the ankle.
Glossy pamphlets, like the one below, pinpointed the spot on the calf where the hem of the garb worn by the companions of the Prophet around 1,400 years ago was said to have reached.
Eventually, the 57-year-old Hamoud, who wears his hair in a comb-over and prides himself on his professional appearance, stopped buying razors. He took out the slacks he wore to work and asked his wife to trim off 5 centimeters.
But the biggest change came five months into the group’s rule, and it turned the hundreds of employees who had reluctantly returned to work into direct accomplices of the Islamic State. The change involved the very department Mr. Hamoud headed, which was responsible for renting government-owned land to farmers.
To increase revenue, the militants ordered the agriculture department to speed up the process for renting land, streamlining a weekslong application into something that could be accomplished in an afternoon.
That was just the beginning.
It was then that government workers got word that they should begin renting out property that had never belonged to the government. The instructions were laid out in a 27-page manual
“Confiscation,” the manual says, will be applied to the property of every single “Shia, apostate, Christian, Nusayri and Yazidi based on a lawful order issued directly by the Ministry of the Judiciary.”
Islamic State members are exclusively Sunni and see themselves as the only true believers. Mr. Hamoud’s office was instructed to make a comprehensive list of the properties owned by non-Sunnis — and to seize them for redistribution.
European Pressphoto Agency
Mohammed al-Mosuli/European Pressphoto Agency
The confiscation didn’t stop at the land and homes of the families they chased out. An entire ministry was set up to collect and reallocate beds, tables, bookshelves — even the forks the militants took from the houses they seized. They called it the Ministry of War Spoils.
It was housed in a stone-faced building in western Mosul that was hit by an airstrike in the battle to retake the city. The ensuing fire consumed the structure and blackened its walls. But the charred shapes left behind still told a story. Each room served as a warehouse for ordinary household objects: kerosene heaters in one; cooking ranges in another; a jumble of air coolers and water tanks in yet another.
The few papers that did not burn up showed how objects seized from the religious groups they had chased out were offered as rewards to ISIS fighters.
“Please kindly approve the request of the family of the late Brother Durayd Salih Khalaf,” says one letter written on the letterhead of the Islamic State’s Prisoners and Martyrs Affairs Authority. The request was for a stove and a washing machine. A note scribbled at the bottom says: “To be provided with a plasma TV and stove only.”
Another application from the General Telecommunications Authority requested, among other things, clothes hangers.
The Islamic State’s promise of taking care of its own, including free housing for foreign recruits, was one of the draws of the caliphate.
“I’m in Mosul and it’s really the top here,” Kahina el-Hadra, a young Frenchwoman who joined the group in 2015, wrote in an email that year to her secondary school teacher, according to a transcript contained in a report by the Paris Criminal Brigade, which was obtained by The Times.
“I have an apartment that is fully furnished,” Ms. Hadra gushed. “I pay no rent nor even electricity or water lol. It’s the good life!!! I didn’t buy so much as a single fork.”
When her concerned teacher wrote back that the apartment had probably been stolen from another family, she shot back: “Serves them right, dirty Shia!!!”
Ms. Hadra, according to police records, was the pregnant wife of one of the suicide bombers who blew himself up in the packed Bataclan concert hall during the Paris attacks of 2015.
Ivor Prickett for The New York Times
The Paper Trail
I got into the habit of digging through the trash left behind by terrorists in 2013, when I was reporting on Al Qaeda in Mali. Locals pointed out buildings the group had occupied in the deserts of Timbuktu. Beneath overturned furniture and in abandoned filing cabinets, I found letters the militants had hand-carried across the dunes that spelled out their vision of jihad.
Those documents revealed the inner workings of Al Qaeda, and years later I wanted to investigate the Islamic State in the same way.
When the coalition forces moved to take Mosul back from the militants in late 2016, I rushed to Iraq. For three weeks, I tried — and failed — to find any documents. Day after day, my team negotiated access to buildings painted with the Islamic State logo, only to find desk drawers jutting out and hard drives ripped out.
Then, the day before my return flight, we met a man who remembered seeing stacks of paper inside the provincial headquarters of the Islamic State’s Ministry of Agriculture in a small village called Omar Khan, 25 miles southeast of the city. The next day we traveled to the town, no more than a speck on the map of the Nineveh Plains, and entered House No. 47.
My heart sank as we pushed open the door and saw the closets flung open — a clear sign that the place had already been cleared.
But on the way out, I stopped at what seemed to be an outhouse. When we opened the door, we saw piles of yellow folders cinched together with twine and stacked on the floor.
We pulled one out, laid it open in the sun — and there was the unmistakable black banner of the Islamic State, the flag they claim was flown by the Prophet himself.
Folder after folder, 273 in all, identified plots of land owned by farmers who belonged to one of the faiths banned by the group. Each yellow sleeve contained the handwritten request of a Sunni applying to confiscate the property.
Doing so involved a step-by-step process, beginning with a report by a surveyor, who mapped the plot, noted important topographical features and researched the property’s ownership. Once it was determined that the land was owned by one of the targeted groups, it was classified as property of the Islamic State. Then a contract was drawn up spelling out that the tenant could neither sublet the land nor modify it without the group’s permission.
The outhouse discovery taught me to stay off the beaten track. I learned to read the landscape for clues, starting with باقية — “baqiya” — the first word of the Islamic State slogan. It can be translated as “will remain,” and marked the buildings the group occupied, invoking its claim that the Islamic State will endure.
Once we confirmed that a building had been occupied by the group, we lifted up the mattresses and pulled back the headboards of beds. We rifled through the closets, opened kitchen cupboards, followed the stairs to the roof and scanned the grounds.
The danger of land mines and booby-traps hung over our team. In one villa, we found a collection of records — but could search only one set of rooms after security forces discovered an unexploded bomb.
Because the buildings were near the front lines, Iraqi security forces nearly always accompanied our team. They led the way and gave permission to take the documents. In time, the troops escorting us became our sources and they, in turn, shared what they found, augmenting our cache by hundreds of records.
Ivor Prickett for The New York Times
The Times asked six analysts to examine portions of the trove, including Aymenn Jawad al-Tamimi, who maintains his own archive of Islamic State documents and has written a primer on how to identify fraudulent ones; Mara Revkin, a Yale scholar who has made repeated trips to Mosul to study the group’s administration; and a team of analysts at West Point’s Combating Terrorism Center who analyzed the records found in Bin Laden’s hide-out in Pakistan.
They deemed the records to be original, based on the markings, logos and stamps, as well as the names of government offices. The terminology and design were consistent with those found on documents issued by the group in other parts of the caliphate, including as far afield as Libya.
As lease after lease was translated back in New York, the same signature inked at the bottom of numerous contracts kept reappearing: “Chief Technical Supervisor, Mahmoud Ismael Salim, Supervisor of Land.”
On my first trip back to Iraq, I showed the leases to a local police officer. He recognized the angular signature and offered to escort me to the home of the ISIS bureaucrat.
The officer shrugged when asked why a man who had taken part in the group’s organized land theft had not been arrested. His men were overwhelmed investigating those who had fought and killed on behalf of the terrorist group, he said. They didn’t have time to also go after the hundreds of civil servants who had worked in the Islamic State’s administration.
Hours later, the man whose signature appeared on the lease for farmland seized from a Christian priest, on the contract for the orchards taken from a monastery, and on the deed for land stolen from a Shia family allowed us into his modest home.
The only decoration in his living room was a broken clock whose hand trembled between 10:43 and 10:44.
A stooped man with thick glasses, the 63-year-old Salim was visibly nervous. He explained that he had spent years overseeing the provincial office of the government of Iraq’s Directorate of Agriculture, where he reported to Mr. Hamoud, whom we contacted for the first time a few days later.
Ivor Prickett for The New York Times
Mr. Salim acknowledged that it was his signature on the leases. But speaking haltingly, he claimed to have been forcibly conscripted into the bureaucracy of the terrorist state.
“They took our files and started going through them, searching which of the properties belong to Shia, which of them belong to apostates, which of them are people who had left the caliphate,” he said.
He described informants phoning in the addresses of Shias and Christians.
Sunnis who were too poor to pay the rent upfront were offered a sharecropping agreement with the Islamic State, allowing them to take possession of the stolen land in return for one-third of the future harvest.
On busy days, a line snaked around his office building, made up of Sunni farmers, many of them resentful of their treatment at the hands of a Shia-led Iraqi government. In the same compound where we found the stacks of yellow folders, Mr. Salim received men he knew, whose children had played with his. They came to steal the land of other men they all knew — whose children had also grown up alongside theirs.
With the stroke of his pen, farmers lost their ancestors’ cropland, their sons were robbed of their inheritance and the wealth of entire families, built up over generations, was wiped out.
“These are relationships we built over decades, from the time of my father, and my father’s father,” Mr. Salim said, pleading for understanding. “These were my brothers, but we were forced to do it.”
Ivor Prickett for The New York Times
A Clean Sweep
As 2014 blurred into 2015 and Mr. Hamoud and his colleagues helped keep the machinery of government running, Islamic State soldiers set out to remake every aspect of life in the city — starting with the role of women.
Billboards went up showing an image of a woman fully veiled. The militants commandeered a textile factory, which began manufacturing bales of regulation-length female clothing. Soon thousands of niqab sets were delivered to the market, and women who didn’t cover up began to be fined.
Mr. Hamoud, who is known as “Abu Sara,” or Father of Sara, gave in and bought a niqab for his daughter.
As he walked to and from work, Mr. Hamoud began taking side streets to dodge the frequent executions that were being carried out in traffic circles and public squares. In one, a teenage girl accused of adultery was dragged out of a minivan and forced to her knees. Then a stone slab was dropped onto her head. On a bridge, the bodies of people accused of being spies swung from the railing.
But on the same thoroughfares, Mr. Hamoud noticed something that filled him with shame: The streets were visibly cleaner than they had been when the Iraqi government was in charge.
Omar Bilal Younes, a 42-year-old truck driver whose occupation allowed him to crisscross the caliphate, noticed the same improvement. “Garbage collection was No. 1 under ISIS,” he said, flashing a thumbs-up sign.
The street sweepers hadn’t changed. What had was that the militants imposed a discipline that had been lacking, said a half-dozen sanitation employees who worked under ISIS and who were interviewed in three towns after the group was forced out.
“The only thing I could do during the time of government rule is to give a worker a one-day suspension without pay,” said Salim Ali Sultan, who oversaw garbage collection both for the Iraqi government and later for the Islamic State in the northern Iraqi town of Tel Kaif. “Under ISIS, they could be imprisoned.”
Ivor Prickett for The New York Times
Residents also said that their taps were less likely to run dry, the sewers less likely to overflow and potholes fixed more quickly under the militants, even though there were now near-daily airstrikes.
Then one day, residents of Mosul saw earthmovers heading toward a neighborhood called the Industrial Area in the eastern half of the city. Laborers were seen paving a new blacktop road that would eventually run for roughly one mile, connecting two areas of the city and reducing congestion.
The new highway was called “Caliphate Way.”
The new government did not concern itself only with administrative matters. For morality, as for everything else, there was a bureaucracy.
Citizens stopped in the street by the hisba, the morality police, and accused of an offense were ordered to hand over their IDs in return for a “confiscation receipt.” The ID was taken to the group’s office, where residents were forced to appear and face judgment. Religious specialists weighed the crime, filling out a form.
Afterward, the offender was made to sign another form: “I, the undersigned, pledge not to cut or trim my beard again,” said one. “If I do that again, I will be subject to all kinds of punishments
that the Hisba Center may take against me.”
The zeal with which the Islamic State policed the population is reflected in the 87 prison transfer records they abandoned in one of their police stations. Citizens were thrown into jail for a litany of obscure crimes, including eyebrow plucking, inappropriate haircuts, raising pigeons, playing dominoes, playing cards, playing music and smoking the hookah.
Ivor Prickett for The New York Times
In early 2016, Mr. Hamoud’s daughter Sara ran out for a quick errand without covering her eyes.
She was spotted by an officer from the morality police. Before she could explain, he smashed his fist into her eye.
From then on, her father forbade her to leave the house, except to drive to the hospital for the appointments that followed the assault, which left her with vision loss, the family said.
With change sweeping the region, residents were forced to make fraught choices, among them: Stay or leave, rebel or accommodate.
Mr. Hamoud decided to try to escape. He and his eldest son, 28-year-old Omar, had set aside over $30,000 to buy a new home. The morning of their planned departure, Omar withdrew all but around $1,000 from the bank account.
Not even two hours later, a unit of masked fighters banged down the family’s front door. One of them was holding the bank slip Omar had signed.
“Try this again and we’ll kill every last one of you,” the militants warned.
Ivor Prickett for The New York Times
The Money Machine
On the western banks of the Tigris River, in a pulverized building, I found an abandoned briefcase.
The documents that spilled out revealed that the briefcase belonged to Yasir Issa Hassan, a young professional whose photo identification shows a balding man with a large, aquiline nose. He was the administrator of the Trade Division inside the Islamic State Ministry of Agriculture.
The group’s outsize ambitions and its robust bureaucracy hinged on its ability to generate funds. Bulging with accounting forms, budget projections and receipts, as well as two CD-ROMs containing spreadsheets, the briefcase shed light on the scope of the organization’s revenue machine and offered a blueprint for how it worked.
The financial reports tallied over $19 million in transactions involving agriculture alone.
The documents describe how it made money at every step in the supply chain: Before a single seed of grain, for example, was sown, the group collected rent for the fields it had confiscated. Then, when the crops were ready to be threshed, it collected a harvest tax.
It did not stop there.
The trucks that transported the grain paid highway tolls. The grain was stored in silos, which the militants controlled, and they made money when the grain was sold to mills, which they also controlled. The mills ground the grain into flour, which the group sold to traders.
Then the bags of flour were loaded onto trucks, which traversed the caliphate, paying more tolls. It was sold to supermarkets and shops, which were also taxed. So were the consumers who bought the finished product.
In a single 24-hour period in 2015, one of the spreadsheets in the briefcase shows, the Islamic State collected $1.9 million from the sale of barley and wheat.
Another table
shows that the militants earned over $3 million in three months from gross flour sales in just three locations in Mosul.
The organization appeared intent on making money off every last grain — even crops that were damaged.
On just one day, according to another statement, it took in over $14,000 from wheat described as having been scorched in a bombing, and $2,300 from the sale of spoiled lentils and chickpeas. It also took in over $23,000 from grain that had been scraped off the bottom of a tank, according to one spreadsheet.
The Islamic State’s tax arm reached into every facet of life in Mosul. Households in Iraq were taxed 2,000 dinars per month (less than $2) for garbage collection, 10,000 dinars (about $8) for each 10 amperes of electricity, and another 10,000 for municipal water.
Businesses wishing to install a landline paid a 15,000-dinar (about $12) installation fee to the group’s telecommunications office, followed by a 5,000-dinar monthly maintenance fee.
Municipal offices charged for marriage licenses and birth certificates.
But perhaps the most lucrative tax was a religious tax known as zakat, which is considered one of the five pillars of Islam. It is calculated at 2.5 percent of an individual’s assets, and up to 10 percent for agricultural production, according to Ms. Revkin, the Yale researcher. While some of these fees had been charged by the Iraqi and Syrian governments, the mandatory asset tax was a new development.
Ordinarily in Islamic practice, the zakat is a tithe used to help the poor. In the Islamic State’s interpretation, an act of charity became a mandatory payment, and while some of the funds collected were used to help needy families, the Ministry of Zakat and Charities acted more like a version of the Internal Revenue Service.
Most accounts of how the Islamic State became the richest terrorist group in the world focus on its black-market oil sales, which at one point brought in as much as $2 million per week, according to some estimates. Yet records recovered in Syria by Mr. Tamimi and analyzed by Ms. Revkin show that the ratio of money earned from taxes versus oil stood at 6:1.
Despite hundreds of airstrikes that left the caliphate pocked with craters, the group’s economy continued to function, fed by streams of revenue that could not be bombed under international norms: the civilians under their rule, their commercial activity and the dirt under their feet.
According to estimates from the Food and Agriculture Organization of the United Nations, the land that the militants seized was Iraq’s most fertile, and at the group’s height, the fields that were harvested accounted for 40 percent of the country’s annual wheat production and more than half of its barley crop. In Syria, the group at one point controlled as much as 80 percent of the country’s cotton crop, according to a study by the Paris-based Center for the Analysis of Terrorism.
Ivor Prickett for The New York Times
Tyler Hicks/The New York Times
It all added up to astonishing sums, as much as $800 million in annual tax revenue, according to the study.
Still, the group’s ambition of running a state meant it also had large bills.
On a single day in the summer of 2016, the owner of the briefcase handed over $150,000 to one of the group’s accountants to pay for the transport of wheat from one town to another, according to one financial report.
In a two-week period the same year, he paid over $16,000 to the Islamic State trade division in the Dijlah district and $14,000 to the one in Kirkuk. He gave an $8,400 cash advance to the group’s Hawija office, $16,800 to the land department and $8,400 to the Islamic State province straddling the Euphrates River.
Tax collection continued until the very end. At least 100 documents
labeled “Daily Gross Revenue” that showed incoming cash were dated November 2016, a month after the start of the coalition’s push to take back the city.
Even as tanks were rolling in and taking surrounding neighborhoods, the trade division continued to make money, pocketing $70,000 in a single sale.
Ivor Prickett for The New York Times
After ISIS
One day in late 2016, a flier decorated with the Iraqi flag floated down onto the Hamoud family’s home.
The agricultural department official and his extended family were hunkered down inside the living room, sitting elbow-to-elbow on an L-shaped couch, he recalls. By then, the militants had banned both cellphones and satellite dishes. They were cut off from the world.
The flier was one of millions dropped over Mosul warning the population to take cover. The military assault was about to begin.
“Could this really be happening?” Mr. Hamoud wondered. Then he used a lighter to incinerate the flier.
The fighters whose plans of building a state had been met with ridicule proved surprisingly good at it. It took nine months to wrest Mosul from the militants’ grip, a slog that one senior American general said was the most difficult battle he had witnessed in 35 years.
Since then, the militants have lost all but 3 percent of the territory in Iraq and Syria they once held. But they clung so tightly to their caliphate that block after city block was leveled during the battle to take back cities and towns. Thousands of people have lost their homes. New mass graves are being discovered every month. One of them contains the remains of four of Mr. Hamoud’s cousins.
Ivor Prickett for The New York Times
His daughter Sara now wears thick glasses to correct her vision, which has been blurry since the day she was punched by the hisba. Even through her compromised eyesight, she can see the mountain of trash rising in the empty lot across from her family’s home.
Few have anything good to say about their old rulers — unless prodded to talk about the services they provided.
“We have to be honest,” Mr. Hamoud said. “It was much cleaner under ISIS.”
Though the militants are gone, reminders of the Islamic State and their particular style of governance remain.
In the northern town of Tel Kaif, for example, residents recall how the militants conscripted a committee of electrical engineers to fix an overloaded power grid. They installed new circuit breakers, and for the first time, residents who had been accustomed to at most six hours of electricity a day could now reliably turn on lights.
In early 2017, Iraqi soldiers reclaimed the town, and were welcomed as heroes. But then they disconnected the Islamic State circuit breakers — and the power failures resumed.
“If the government was to go back to the system that ISIS put in place, we would go so far as to kiss their foreheads,” Mr. Younes, the truck driver, said at the time.
Within a few months, the government did just that.
The irony that it had taken a terrorist group to fix one of the town’s longstanding grievances was not lost on its citizens.
“Although they were not recognized as a state or a country,” said one shopkeeper, Ahmed Ramzi Salim, “they acted like one.”
Ivor Prickett for The New York Times
Reporting was contributed by Falih Hassan from Baghdad; Alaa Mohammed from Mosul; Muhammad Nashat Mahmud, Mohammed Sardar Jasim from Erbil; and Abduljabbar Yousif, Runa Sandvik and Paul Moon from New York.
Produced by Craig Allen, David Furst, Eric Nagourney, Meghan Petersen and Andrew Rossback. Document photography by Tony Cenicola. Map by Tim Wallace and Jugal Patel.
RUKMINI CALLIMACHI, a New York Times foreign correspondent, has covered ISIS since 2014. She has tracked the group's rise around the world from their encrypted, online chatrooms to on-the-ground reporting on four continents. Learn the backstory of her new audio series, Caliphate, in this Times Insider Q. and A.
Subscribe to:
Posts (Atom)