Sunday, May 13, 2018

Ahok, Artidjo, FPI, Pilatus, SBY, Jusuf Kalla, Buni Yani dalam Kisah Jumat Agung

http://nyamar.com/2018/03/30/ahok-artidjo-fpi-pilatus-sby-jusuf-kalla-buni-yani-dalam-kisah-jumat-agung/





Ingat kisah Jumat Agung? Itulah kisah penghakiman 2000 tahun lalu paling spektakuler yang ada di dalam kisah umat manusia di muka Bumi. Jumat Agung adalah contoh kepentingan kekuasaan duniawi (daging) dan kekuasaan spiritual, ritual, dan teologi yang dipaparkan secara blatant dan revolusioner oleh Yesus Kristus.
Hingga kisah pengadilan Ahok, Buni Yani, bahkan Artidjo terkait dengan berbagai kepentingan. Ada FPI, FUI, ada Anies ada Jusuf Kalla ada SBY dan ada kepentingan lebih besar. Dalam kisah Jumat Agung yang diawali dengan pengadilan atas fitnah terhadap Yesus, dengan para saksi palsu yang diciptakan oleh kekuasaan duniawi.
Inti kisah duniawiah (dagingiah) dari peradilan yang mengarah ke peristiwa terbesar penyelamatan umat manusia di Bumi adalah hukum-kekuasaan dan kekuasaan-hukum. Hukum dibelokkan untuk kepentingan kekuasaan akibat tekanan massa dengan teriakan, dengan pedang, dengan demo-demo, dengan baju jubah agama Yahudi, dengan penekanan tanpa esensi hukum yang bertanggung jawab. Dan itu terjadi sekitar Yesus usia 33 atau 34 tahun, masa milenial, umur millenial sudah harus berkorban.
(Untuk kepentingan penyelamatan NKRI, Indonesia maka hukum dan kekuasaan dipakai secara blatant di Indonesia. Hukum dan momentum pidato Ahok dibelokkan oleh Buni yani menjadi tuduhan dengan teriakan massa, dengan ancaman revolusi ke Jokowi, dengan demo-demo berjilid jilid berjubah berbau agama asli Arabia, dengan pelintiran tuduhan sumir secara hukum. Dan itu terjadi dalam diri pemimpin muda masa depan Indonesia di usia menjelang 50 tahun, generasi muda, bukan tetua reyot intensi dan catatan pribadi.)
Dalam peradilan baik di hadapan Mahkamah Agama, lalu di hadapan penguasa Romawi di tanah Israel dan Yudea, tidak ada satu bukti pun yang mengarah pada pengkhianatan, pada fitnah, pada pelecehan dan penghujatan kepada Tuhan seperti yang dituduhkan kepada Yesus Kristus.
Berbondong-bondong para pemuka Yahudi dan pengikutnya menginginkan Yesus Kristus dihukum mati. Karena yang berhak menghukum mati adalah penguasa Romawi, maka aliansi para penuduh yang gelap mata, dengan tokoh pengkhianat biang keladi fitnah Yudas di dalamnya, Yesus pun dibawa ke depan Pontius Pilatus.
Bahwa secara politis, bukan teologis, diajukan pertama kali kepada Yesus oleh Pontius Pilatus. Yesus dituduh akan meruntuhkan kekuasaan tandingan di hadapan penguasa Romawi yang terancam akan ajaran kebenaran Yesus. “Engkaukah Raja orang Yahudi?” Itulah pertanyaan tentang kepentingan kekuasaan duniawiah yang mengancam para penguasa agama Yahudi dan penguasa korup Romawi.
Yesus pun menjawab dengan membalikkan pertanyaan itu bahwa Pontius Pilatus sendiri yang menyatakannya, bukan Yesus. Pertanyaan tentang saksi-saksi yang hendak dibebaskan pun dijawab oleh Yesus: Barabas. Mendengar pernyataan itu, maka para tetua dan rombongan politikus berbaju agama pun dengan gempita menyerukan: “Dia harus disalibkan!”
Pontius yang ragu akan kejahatan itu pun menanyakan: “Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?” Yang selanjutnya secara jelas dikisahkan tentang pengadilan itu dalam Matius 27:11-24,23-26. Namun mereka makin keras berteriak: “Ia harus disalibkan!” Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” Lalu ia membebaskan Barabas bagi mereka, tetapi Yesus disesahnya lalu diserahkannya untuk disalibkan.
(Di depan para hakim yang dekat dengan kepentingan kekuasaan, Ahok pun menjadi pesakitan tak berdaya. Pengadilan pun diwarnai persidangan yang dipenuhi oleh para musuh Ahok berbaju agama seperti Rizieq FPI, pendukung FUI, bahkan tetua agama seperti Ketua Umum MUI, pentolan Pemuda Muhammadiyah, dan massa penuh emosi duniawiah berbaju agama seperti GNPF dengan pentolan seperti Muhammad Gatot Khaththath. Kesaksian Buni Yani yang memelintir video dengan provokasi telah membuat pengadilan dipaksakan. Ahok harus dihukum.
Di balik semua proses peradilan terhadap Ahok, manusia seperti Buni Yani, bahkan Artidjo pun bersentuhan dengan FPI dan kalangan berbaju agama dalam konteks peradilan yang pada masa lalu telah digambarkan dalam kisah peradilan yang akhirnya menghasilkan peristiwa maha penting dalam teologi dan kultur Kristen.
Di balik itu, teriakan SBY yang mewakili kekuasaan duniawi semata menjadi kompor provokasi peradilan terhadap Ahok. Provokasi itu pun disampaikan oleh para kaki tangan penguasa Romawi di tanah Israel. Lebih lengkap lagi Jusuf Kalla yang dekat ke kekuasaan, atas nama ambisi pun membiarkan kampanye di masjid-masjid yang hingga kini menjadi embryo kehancuran demokrasi dan tatanan kehidupan berbangsa yang terkoyak. Jusuf Kalla melihat kepentingan Aksa Mahmud dan Erwin Aksa sebagai bagian dari Anies Baswedan, lebih nyaman di ketiak Anies Sandi dibandingkan dengan manusia lurus semacam Ahok dan Djarot.)
Maka, kisah peradilan Ahok, Peninjauan Kembali (PK) yang ditolak oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar, kesaksian dan pemelintiran Buni Yani, provokasi SBY dan pemihakan Jusuf Kalla dan gelombang demo-demo massa berbaju jubah Arabia dan pemaksaan hukuman oleh hakim atas Ahok, serta upaya pembebasan Buni Yani – yang sampai sekarang tetap bebas dan tidak ditahan – telah digambarkan dalam peradilan paling spektakuler pada kisah Kamis Putih, dan hari ini Jum’at Agung dan Minggu Kebangkitan, Minggu Paskah, sejak 20 abad lalu. Selamat Jumat Agung.

No comments: