Wednesday, March 16, 2011

Perjuangan Intelektual Seorang Akademisi Dunia

http://swa.co.id/2011/03/perjuangan-intelektual-seorang-akademisi-dunia/




Thursday, March 3rd, 2011
oleh : Yuyun Manopol


Kegetiran hidup dalam memperoleh pendidikan ataupun pekerjaan yang dicintainya telah menempa Ken Kawan Soetanto menjadi akademisi terkemuka di Negeri Matahari Terbit. Kini, dengan empat gelar doktor dan kemampuan mengajarnya yang menggugah, banyak lembaga yang berebutmenanggapnya.
Puluhan tahun tinggal di Jepang serta mendedikasikan ilmu dan kemampuannya di Negeri Samurai itu tak mengubah logatSuroboyoan-nya yang kental. Semangatnya yang tinggi tergambar dari gaya bicaranya, juga dari tiap kata yang ia lontarkan. Tak mengherankan, meski usianya hampir enam dasawarsa, Ken Kawan Soetanto tetap tampak fresh dan energik.
Nothing is impossible, itulah moto hidup pria kelahiran Surabaya tahun 1951 ini. “Di mana ada kemauan, pasti ada jalan. Itu sudah saya buktikan. Waktu saya terbentur tembok, saya tabrak lagi, sampai keluar darah, sampai bagaimanapun saya tidak berhenti,” katanya mengenai moto hidupnya itu. “Jadi, jangan takut akan jatuh dan berdarah. Saya selalu berpikir pasti ada dunia lain yang bagus.”
Terbukti, moto yang selalu ia pegang teguh tersebut telah sukses membawanya pada pencapaian sekarang. Ia tak hanya menyandang empat gelar doktor, tetapi juga menjadi profesor di perguruan tinggi ternama di Jepang. Bahkan, Guru Besar Waseda University, Jepang, ini diangkat sebagai anggota METI Advisory di Japanese Ministry of Economy, Trade and Industry. Di lembaga itu ia tercatat sebagai satu-satunya orang asing. Maklum, meskipun sudah 23 tahun di Jepang, Ken tetap setia berkewarganegaraan WNI.
Perjalanan Ken sebelum memutuskan berkelana ke Jepang sesungguhnya amat berliku. Diceritakannya, semasa kecil hingga besar ia hidup bersama ibu tirinya di Surabaya karena ayahnya meninggal muda menyusul wafatnya ibu kandungnya. Pada masa itu masyarakat keturunan Tionghoa seperti dirinya sangat sulit kuliah di perguruan tinggi negeri di Indonesia. Sembari memikirkan apa yang harus ia lakukan, ia bekerja mengembangkan toko elektronik keluarganya. Ia belajar teknik reparasi radio secara otodidak dan berhasil. Dari sini ia memberanikan diri menerima jasa reparasi elektronik. Bahkan, ia mencoba membuka kelas kecil tentang elektronik di loteng tokonya. “Waktu saya mengajar, mereka bilang ‘kamu pandai mengajar’,” ceritanya. “Passion saya memang ingin mencari sesuatu yang baru dan mengajari orang. Saya senang berbagi ilmu.”
Meskipun sibuk dengan urusan toko dan mengajar, semangatnya untuk kuliah tak pernah padam. Ia mencari tahu bagaimana bisa bersekolah di luar negeri seperti ke Jerman. Alasannya, waktu itu sekolah di sana gratis. Namun, rencana itu tak terealisasi. Pada usia 24 tahun ia memutuskan pergi Jepang. Untuk itu, ia mempersiapkan dirinya. “Saya mungkin hanya tidur 2-2,5 jam sehari,” ujar anak bungsu dari 7 bersaudara ini mengenang saat itu. Pada 1977 ia akhirnya berhasil diterima di Jurusan Teknologi Informasi Tokyo University of Agriculture and Technology di Jepang. Kala itu usianya 26 tahun, usia yang tak lagi muda memulai pendidikan jenjang S-1. Di balik ketekunannya saat itu, Ken mengaku, semasa kecil sebenarnya ia tergolong nakal. “Sampai SMP kelas 3 saya tidak pernah belajar,” katanya terus terang.
Menurut Setyono Djuandi Darmono, Presiden Direktur PT Jababeka Tbk. dan salah satu pendiri President University, Ken kala itu merasa seperti anak terbuang, yang tidak diinginkan Bapaknya (Republik Indonesia). Setyono mengungkapkan, pada masa Ken sekolah di Indonesia, sekolah-sekolah Tionghoa di Surabaya dibakar. Inilah yang mengakibatkan Ken tidak bisa meneruskan sekolahnya dan merantau ke Jepang. “Ia secara naluriah ingin membuktikan ke Bapaknya (negara ini) bahwa dia adalah anak yang unggul, berbakti dan tidak pantas dibuang atau disia-siakan,” ujar pria yang sempat mengundang Ken memberikan kuliah umum di President University beberapa waktu lalu itu.
Ken mampu menempuh pendidikan S-1 di Jepang hanya dalam tiga tahun. Pada 1980 ia lulus. Akan tetapi, ia belum puas, pada tahun itu juga ia memutuskan mengambil pendidikan S-2 bidang teknologi kedokteran di universitas yang sama, dan lulus pada 1982.
Setelah itu, Ken makin semangat untuk berlari kencang. Gelar S-3 (doktor)-nya yang pertama diraihnya di bidang medical technology pada 1984 dari Tokyo Institute of Technology. Disertasinya saat itu adalah membuat instrumen yang dapat digunakan untuk mendeteksi kanker secara dini.
Dari sini tumbuh kepercayaan dirinya. Ken lalu melamar ke sejumlah universitas di Jepang untuk menjadi tenaga pengajar. Namun, ternyata ia harus menerima kenyataan tidak satu pun lamarannya dijawab dan tidak ada pula yang menawarinya pekerjaan. “Ini menjadi sejarah bagi saya. Saya kuliah di Jepang ini kan tidak mudah. Saya bukan orang berada. Saya menggunakan tabungan saya hasil dari 8 tahun bekerja. Tapi nyatanya setelah mendapat Ph.D., lamaran saya 100% lebih tidak ada yang dibalas,” ujarnya.
Sebenarnya, saat itu Ken tengah memimpin sebuah proyek penelitian di Jepang yang merupakan hasil kerja sama antara Tokyo Institute of Technology dan Tohoku University. “Boleh dibilang penelitian itu dari Dikti-nya Jepang,” kata Ken bangga. Namun, bekerja sebagai peneliti tanpa menjadi dosen atau pengajar tetap di sebuah lembaga pendidikan sebenarnya cukup sulit karena Ken hanya mendapatkan penghasilan dari subsidi Pemerintah Jepang untuk penelitian tersebut.
Namun, pekerjaan penelitian ini memberikan titik terang bagi Ken yang saat itu sempat berpikir untuk pulang ke Indonesia. Saat itu ia juga sempat menghadiri sebuah international meeting dan bertemu dengan seorang profesor bidang radiologi dari Universitas Indonesia yang mengajaknya menjadi dosen. Akan tetapi, profesor tersebut terkena penyakit sirosis dan akhirnya meninggal sebelum sempat mewujudkan niatnya mengajak Ken ke Indonesia. Saat itu, di Indonesia memang sesungguhnya masih sulit bagi Ken untuk menjadi pengajar di universitas negeri terkait statusnya sebagai warga negara keturunan jika tanpa rekomendasi kuat.
Akhirnya, ia berdiskusi dengan mentornya di Tokyo Institute of Technology yaitu Prof. Okujima, bagaimana caranya agar ia dapat mengambil program doktor di Tohoku University. Karena Ken merupakan personel inti penelitian tersebut, ia pun dipertahankan dan mendapat kesempatan mengambil program doktor di Tohoku University. “Saya memutuskan melanjutkan perjuangan di Jepang. Kalau pulang, bukannya saya benci berdagang, tapi saya mau mencari jalan untuk menjadi scientist di luar negeri. Saya pernah dapat nasihat dari orang imigrasi Jepang, bahwa kita harus mampu melebihi orang Jepang jika ingin bisa bekerja di Jepang,” ujarnya. Maka, ia pun mengambil lagi program doktor bidang kedokteran di Tohoku University,dan berhasil memperoleh gelar Ph.D. yang kedua hanya dalam waktu empat tahun. Ini juga merupakan prestasi tersendiri mengingat biasanya orang lain membutuhkan waktu hingga 7 tahun untuk mendapat gelar Ph.D. Karena memiliki riset yang bagus dan kuantitasnya cukup, ia lulus dalam empat tahun pada 1988. Sebagai gambaran saja, selama 1982-88, Ken telah menghasilkan 37 journal paper. Padahal untuk mengambil S-3, biasanya cukup dengan 2-3paper.
Setelah menyandang dua gelar doktor dari dua universitas ternama di Jepang, Ken kembali melamar menjadi pengajar di berbagai universitas di Jepang. Lagi-lagi, kembali ia harus menelan pil pahit, karena tak satu pun lamarannya yang diterima. Boleh jadi, ini semata-mata karena asal dan status kewarganegaraannya. Akhirnya, ia mencoba menulis surat kepada Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo, mengenai keinginannya untuk kembali ke Indonesia dan ide mendirikan universitas di Tanah Air. Ken memang mengenal beberapa pengusaha dan pejabat Indonesia yang pernah berobat di Jepang. Antara lain, mertua Mochtar Riady dan Moe’min Ali, pemilik Panin Bank.
Setelah lama menunggu, akhirnya suatu hari Ken memperoleh jawaban dari bos Lippo ini, yang mengatakan belum waktunya mendirikan universitas. Akan tetapi, Mochtar menanggapi pertanyaan Ken mengenai keinginannya untuk pulang ke Indonesia. Menurut Mochtar, Ken tidak akan bisa sukses di Jepang, karena Jepang itu the best racist country in the world.
Mochtar juga berpandangan, meskipun Ken pulang ke Indonesia dan bisa menjadi dosen, seumur hidup ia hanya akan menjadi dosen, dan tidak mungkin menjadi guru besar terkait statusnya sebagai warga negara keturunan Tionghoa. Mochtar pun mengungkapkan, ada peluang meraih American Dream atau bekerja di Amerika Serikat. Akan tetapi, mengingat usia Ken yang kala itu sudah 38 tahun, punya tiga anak dan tidak memiliki banyak uang, Mochtar menilai Ken tidak bakal sukses jika mengambil jalan itu. Ia pun menawarkan Ken agar kembali ke Indonesia dan bergabung dengannya di bidang perbankan. “Beliau menawari saya untuk mempelajari perbankan. Menurut beliau, itu adalah satu-satunya jalan agar saya bisa sukses,” ujar Ken.
Kenyataannya, saat itu Ken mendapat tawaran kerja di AS. Tidak tanggung-tanggung, ia mendapat dua tawaran menarik, yaitu menjadi asisten profesor dan menjadi manajer di GE yang akan ditempatkan di Jepang. Tawaran dari GE diakui Ken sangat menarik karena GE menawarkan gaji tiga kali lipat dibandingkan jika menjadi asisten profesor. Jika menjadi asisten profesor, ia hanya dibayar US$ 24 ribu per tahun, sedangkan GE menawarkan gaji sekitar US$ 65 ribu per tahun ditambah fasilitas rumah tinggal dengan tiga kamar selama enam tahun. “Pada waktu turning point, ternyata saya kok selalu memilih jalan yang paling menantang,” kata Ken. Pada 1988 ia lebih memilih menjadi asisten profesor di AS dan membawa keluarganya ke sana.
Apa alasannya? Ia mengaku memang bercita-cita mendaki jenjang karier sebagai akademisi karena memberikan kepuasan batin bagi dirinya. Selanjutnya hanya dalam waktu 1,5 tahun ia telah menjadi associates di AS, karena ia memperoleh subsidi dari National Institute of Health, lembaga riset kanker ternama di dunia.
Suatu hari, salah seorang profesor dari Tokyo Institute of Technology memanggilnya kembali ke Jepang. “Dia bilang ia mau start program doktor (S-3), dan saya diminta membantunya. Saya ditawari jadi asisten profesor di Jepang. Tapi saya tidak mau, karena di AS saja saya telah ditawari menjadi guru besar,” ujar Ken. Akhirnya, ia pun mengirimkan surat ke PresidenYokohama Toin UniversityDi sini ia diangkat menjadi guru besar. Menurut Ken, ini sebuah kejutan mengingat sangat sulit bagi orang asing untuk mendapat pekerjaan di Jepang dan ia hanya membutuhkan waktu 4,5 tahun dari saat didapatkannya gelar doktor yang kedua hingga menjadi guru besar. Biasanya dibutuhkan waktu hingga 10 tahun lebih. Berusia 42 tahun saat itu, Ken telah menyandang dua gelar doktor dan menjadi guru besar di Jepang.
Beberapa tahun kemudian Ken mendapatkan dana US$ 15 juta untuk proyek penelitiannya. Semua berjalan lancar hingga tahun 1999. Siapa sangka, proyeknya disabotase orang. Menurutnya, banyak pihak yang saat itu kurang menyukai statusnya sebagai orang asing yang memiliki kedudukan cukup penting di Yokohama Toin University. Dalam periode 1999-2003 ia sempat mengalami depresi berat. Ia pun mengambil cuti selama setahun dan pada tahun 2000 ia kembali ke Indonesia (Surabaya) selama sebulan. Waktu itu ia masih memikirkan karyanya yang dihancurkan. “Selama 2-3 bulan saya berpikir kembali. Namun, kemudian saya putuskan untuk menghentikan minum obat, saya ingin bangkit dengan kekuatan sendiri. Caranya adalah dengan memaafkan orang yang pernah berbuat tidak baik kepada saya,” tuturnya.
Saat pulang ke Surabaya ini ia mendapat inspirasi. Hal ini dimulai ketika ia sempat diminta memberi ceramah di Tunjungan Plaza Convention Center. “Dalam tiga hari berkumpul 700 orang. Saya memberikan ceramah dalam 2-3 jam, dan melupakan sakit saya. Waktu itu saya merasa saya bisa kembali lagi. Dan akhirnya saya putuskan ambil doktor yang ketiga. Saya percaya saya masih bisa,” ungkapnya. Gelar doktornya yang ketiga tersebut akhirnya ia dapatkan pada tahun 2000 untuk bidang Pharmacy, Nano tech & Smart Medicine dari Science University of Tokyo. Selanjutnya, ia meraih gelar doktor yang keempat pada 2003 untuk bidang Education, Pedagogy & Psychology dari Waseda University. Saat itu usianya 52 tahun.
Kemudian ia pun bergabung dengan Waseda University pada 2003. “Setelah lulus doktor yang keempat, saya jadi profesor permanen di Waseda University,” ujarnya sambil menerangkan, ia pernah menjadi profesor tamu pada 2002 di Waseda University dan pengajar tamu di Venice International University.
Bagi Ken, ia memperoleh empat gelar doktor karena kondisi yang memaksa, bukan karena ia jenius. “Jenius itu bagi saya hanya satu persen, 99 persennya kerja keras,” ujarnya tegas.
Dengan kecemerlangan akademisnya, mestinya kekayaan bukan lagi utopia bagi Ken. “Kalau mau sukses, saya tinggal ikut Mochtar Riady waktu itu. Tapi, bagi saya, mengabdi kepada masyarakat itu bisa berbeda, bukan uang melulu. Saya merasa pilihan saya benar. Saya sekarang merasa lebih bangga,” ujar pria yang terkenal dengan cara mengajarnya yang disebut para muridnya sebagai Soetanto Mesoda (Soetanto Method). Tak hanya itu, kemampuannya menyentuh hati orang-orang yang diajarnya yang disebut sebagai Soetanto Effect tersebut telah dibukukan di Jepang.
Ken agaknya memang memiliki kemampuan mengajar yang luar biasa. Hal ini disebabkan dalam setiap aktivitas mengajarnya, ia tidak hanya membagikan knowledge, tetapi juga menyisipkanthe way of life.
Ken menceritakan, saat mulai mengajar di Yokohama Toin University, nilai-nilai para mahasiswa yang ditanganinya rata-rata rendah. Maka ia pun berpikir, bagaimana caranya agar mereka tetap bisa jadi orang berguna. Nilai rendah itu menurutnya bukan selalu karena seseorang bodoh, tetapi bisa saja itu karena tidak suka pelajarannya, dan merasa tertekan. “Jadi saya pikir bagaimana mereka bisa discovering themselves,” ujarnya. Maka, ia memakai cara dengan memberi inspirasi dan tidak memaksa. “Prinsip saya adalah I don’t have any power to change you, but I can make alternative way untuk membuat kamu tidak menyangka cara saya masuk dan you can discover yourself,” ujarnyaIa mencoba mengajar dengan menyentuh hati, dan itu bisa mengoreksi pikiran yang bersangkutan. Dengan cara itu, yang bersangkutan bisa mengetahui apa yang diinginkannya.
Ken menekankan, tidak semua orang memiliki rekam jejak yang lancar. Setiap orang berbeda dan bisa saja memiliki daya tangkap yang berbeda-beda pula. “Belum tentu seseorang itu dapat langsung mengerti di umur 18 atau 20 tahun. Mungkin dia mengertinya belakangan,” katanya. “Orang itu macam-macam, masak semua harus seperti robot? Apalagi, di Indonesia banyak orang yang bekerja dulu, baru melanjutkan pendidikan. Orang-orang seperti itu tentu masih punya masa depan untuk jenjang karier yang sukses.”
Di mata Roy Sembel, akademisi dan Chairman Capital Price, prestasi Ken membuktikan bahwa orang Indonesia juga memiliki kualitas yang tidak kalah dengan orang-orang dari dunia internasional, bahkan saat ia harus berkompetisi di tempat yang sangat kompetitif, yaitu di Jepang. Adapun dalam pandangan Darmono, pendiri President University, Ken adalah orang yang jeniusmultitalenta dan idealis, juga pendidik yang compassionate dan sangat mencintai Indonesia. Darmono melihat Pemerintah Jepang mau memberi tempat terhormat bagi Ken karena ia menyandang tugas memperbaiki sistem pendidikan di Jepang yang terlalu mementingkan sisi materiil dan melupakan anak-anak berbakat yang terbuang yang perlu disentuh dengan kasih sayang dan perhatian khusus.(*)
Yuyun Manopol & Kristiana Anissa

No comments: