Wednesday, August 17, 2011

Memakanai Kebhinekaan Demi Kedamaian

http://www.koranopini.com/detil.php?x67gQu=83-2011-07-14

Oleh: Gendhotwukir


“Peace must begin with each one of us. Through quiet and serious reflection on its meaning, new and creative ways can be found to foster understanding, friendship and co-operation among all people. ” (Javier Perez de Cuellar, Secretary General of the UN, September 1986).


Orang tidak bisa berdamai dengan orang lain dan dunia karena dia pada dasarnya tidak mampu berdamai dengan diri sendiri. Banyak orang menemukan dirinya sendiri dalam masalah dengan orang lain karena ketidakmampuan mereka untuk mengendalikan diri atau karena tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan kedamaian.


Kedamaian yang harus dimulai dari diri sendiri sebagaimana digagas Javier Perez de Cuellar di atas menyiratkan pentingnya pengkondisian dan penempaan kepribadian seseorang agar memiliki kemampuan sebagai pencipta kedamaian. Hal ini hanya mungkin jikalau kemampuan untuk itu sudah dikondisikan, diajarkan dan diasah sejak dini.


Pengkodisian sejak dini menjadi urgen mengingat kedamaian dewasa ini serasa menjadi barang mahal yang taruhannya tidak tanggung-tanggung yaitu nyawa manusia. Sejarah bangsa serasa terus-menerus menjajarkan luka-luka batin peradapan dengan tumbuh suburnya gerakan terselubung kelompok-kelompok ekstrem yang anti keberagaman.


Anti Pluralisme
Berbagai bentuk kekerasan dan konflik agama cukup mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Gerakan terselubung dari sekelompok kecil orang yang pemahaman keagamaannya sempit, bercorak eksklusif dan radikal menciderai makna kedamaian.


Kekerasan dan konflik yang bermuara dan bermunculan dari orang-orang dengan logika berpikir yang anti pluralisme harus dicegah perkembangan dan pengaruhnya.


Untuk mengantisipasi tercabik-cabiknya kedamaian di masa depan, mendesak kiranya ditekankan pendidikan nilai-nilai kebhinnekaan sejak dini bagi anak didik sejak usia sekolah dasar.


Kedamaian bisa ditanamkan melalui pemahaman nilai-nilai kebhinnekaan secara integral, benar dan tepat serta komprehensif mengingat mereka yang anti pluralisme biasanya terkungkung dalam konsep “keragaman adalah momok dan perbedaan adalah ancaman”.


Kelompok-kelompok anti-pluralisme berpandangan ghetto dan tidak mau berkomunikasi secara terbuka dengan orang lain atau golongan lain. Mereka ini pada praksisnya membentengi diri dengan tembok-tembok tinggi terhadap pertanyaan-pertanyaan kritis.


Penanaman nilai-nilai kebhinnekaan sejak dini bagi anak didik di sekolah adalah salah satu tindakan preventif yang paling elegan demi terciptanya masyarakat yang damai di masa mendatang. Tindakan ini pada tataran praksis bisa meminimalisir makin merebak dan menjamurnya kelompok-kelompok anti pluralisme.


Belajar Hidup Bersama
Belajar untuk hidup bersama secara damai dalam kebhinnekaan sejak dini menjadi urgen mengingat dunia saat ini sungguh-sungguh menghadapi persoalan serius terkait konflik dan kekerasan antar agama, kelompok atau golongan yang secara signifikan terus meningkat.


Profesor Zhau Nan-zhai sebagai keynote speaker ketiga pada Education for 21st Century in the Asia-Pacific Region 29 Maret-3 April 1998 yang diprakarsai UNESCO pernah berbicara tentang makna Learning to live Together (Belajar untuk Hidup Bersama). Ia menegaskan bahwa dari empat pilar pendidikan (The Four Pillars of Education), ketiga pilar yang lain mendukung terlaksananya pilar Learning to live Together.


Learning to Know merupakan instrument pemahaman akan diri sendiri dan orang lain, serta wawasan untuk dapat belajar hidup bersama.. Learning to Be menggarisbawahi dimensi penting dalam pengembangan hubungan sosial manusia yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bersama. Learning to Do memungkinkan pembelajar mengaplikasikan pemahamannya dan bertindak secara kreatif terhadap lingkungan sehingga tercapai kehidupan bersama yang damai dan harmoni.


Belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni menyiratkan toleransi. Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman budaya, bentuk ekspresi dan cara-cara manusia berada. Toleransi berpilar pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, kebebasan berpikir, hati nurani dan kepercayaan. Toleransi adalah nadi harmoni dalam perbedaan.


Wujud tanggungjawab pendidik dalam menanamkan pentingnya hidup bersama pada tataran praksis bisa ditempuh dengan mengajar siswa tentang keindahan keanekaragaman. Dunia yang telah menjadi semacam dusun kecil perlu dihadapi dengan mentalitas orang-orangnya yang siap dengan perbedaan. Para pendidik dituntut menjadi agen intelektual di balik terjaganya harmoni hidup bersama dengan cara menanamkan berbagai keutamaan dari taraf yang paling sederhana seperti menghormati dan menghargai perbedaan.


Anak didik perlu dibentuk untuk memiliki sikap toleren, menghargai pendapat orang lain yang berbeda, menyelesaikan segala persoalan dengan damai (non-violence) dan menghargai hak orang lain. Pada tingkat dasar bisa dimulai dengan menanamkan sikap menerima orang lain apa adanya secara fisik dan sifat-sifatnya.
Hormat, terbuka terhadap perbedaan, belarasa, peduli dan terbuka terhadap kritik adalah nilai-nilai dasar yang perlu mendapat perhatian khusus demi terbentuknya pribadi-pribadi yang mengedepankan kedamaian.


Selain itu, para pendidik sebagai agen intelektual yang mengajarkan pentingnya hidup bersama dalam perbedaan harus siap menjadi saksi hidup bagi kehidupan bersama yang harmonis.


Kedamaian bisa dimulai dari diri sendiri. Hal ini mengandaikan bahwa sejak pendidikan dasar tiap pribadi telah dikondisikan, diajari dan dibekali dengan nilai-nilai dasar dari keindahan kebhinnekaan. Semoga saja nilai-nilai kebhinnekaan makin ditekankan dan diajarkan secara benar pada anak didik sejak di tingkat pendidikan dasar demi kedamaian di masa depan. ***


*Penulis Adalah Penyair dan Jurnalis, Mengenyam pendidikan Philosopic Theologische Hochshule Sankt Augustine Jerman

No comments: