Jumat, 11 Februari 2011 | 04:48 WIB
Abdul Waid
Penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, adalah potret bahwa radikalisme agama masih menjadi ancaman.
Radikalisme sudah pasti menjadi penghambat jalannya demokrasi di Indonesia yang menekankan kebebasan berkeyakinan, kebebasan beribadah, dan kebebasan (ber)Tuhan.
Ada dua pelajaran yang bisa dipetik di sini.
Pertama, insiden itu mengindikasikan masih adanya kelompok yang tidak mengakui keberagaman keyakinan dan menginginkan tafsir tunggal.
Kedua, ada kelompok yang mengatasnamakan agama untuk memerangi agama lain, termasuk melenyapkan pemeluknya.
Kedua hal itu oleh Mohammaed Arkoun (1928-2010), ulama besar dan pemikir Islam kontemporer, disebut radikalisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan.
Insiden penyerangan di Cikeusik menunjukkan bahwa radikalisme agama di Indonesia masih kuat.
Pluralisme
Tidak ada cara lain untuk memberantas radikalisme agama di Indonesia selain dengan menegakkan pluralisme. Paham ini menekankan adanya kebebasan berkeyakinan, pengakuan atas keragaman tafsir, dan pengakuan terhadap fitrah manusia memilih agama yang dianutnya.
Sayangnya, di Indonesia pluralisme masih dianggap sebagai paham ”sesat”. Bahkan, MUI sebagai institusi keagamaan formal mengharamkannya. Padahal, fanatisme keagamaan yang mengarah pada tindak kekerasan, sebagaimana yang terjadi di Cikeusik, justru menunjukkan kesesatan yang nyata.
Yang lebih memprihatinkan, pemerintah menampakkan kesan mendukung radikalisme agama. Buktinya, hingga saat ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang melindungi kaum minoritas dalam sekte agama seperti Ahmadiyah.
Pertengahan April 2010 Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memutuskan untuk menolak semua permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama oleh kelompok LSM pejuang pluralisme sehingga UU tersebut dinyatakan konstitusional dan dapat dipertahankan.
Oleh karena itu, jangan pernah heran bila insiden seperti di Cikeusik, Pandeglang, suatu hari akan terulang lagi. Inilah, hemat saya, potret radikalisme Pemerintah Indonesia.
Dalam buku Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (2002), Mark Juergensmeyer menegaskan, radikalisme agama adalah faktor dominan yang dapat merusak kehidupan dan menghilangkan kesejahteraan umat manusia. Segala sesuatu hanya diukur atas dasar kesesuaian dengan keyakinannya. Bila sebuah paham tidak sesuai, paham itu dianggap sesat dan wajib diperangi.
Selama paham radikalisme ini masih mengakar pada agama dan pemerintah di Indonesia, jangan harap kerukunan antarumat beragama akan terwujud.
Al Quran menegaskan bahwa Islam adalah agama damai, tidak mengenal paksaan dalam berkeyakinan, sebagaimana yang ditegaskan dalam surat Al-Baqarah Ayat 256: ”Tidak ada paksaan dalam agama. Telah jelas yang merupakan petunjuk (kebijakan) dari penimpangan.”
Berdakwah mengajak kepada kebaikan sekalipun (menghindar dari keburukan), Al Quran menyuruh menyeru dengan kelembutan dan kedamaian.
Hal tersebut ditegaskan dalam surat An-Nahl Ayat 125 yang berbunyi: ”Serulah (manusia) ke jalan rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Dalam wilayah praksis empiris, Nabi Muhammad SAW mengajarkan kebebasan beragama sekalipun terdapat keyakinan kebenaran dalam diri-Nya. Kebebasan itu demikian ditegaskan-Nya: ”Bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku.” (surat Al-Kafirun).
Sebagai orang Muslim, kita harus membuktikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, agama damai yang cinta sesama. Caranya, hanya dengan menggalakkan paham pluralisme dan menyingkirkan radikalisme. Upaya ini harus dituangkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga tak ada lagi radikalisme baik oleh agama maupun pemerintah.
Abdul Waid Peneliti di Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta; Penulis Buku ”Sorban Yang Terluka” (2009)
No comments:
Post a Comment