Sunday, September 02, 2012

Memanen Air pada Musim Kemarau

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BKMG) memperkirakan musim kemarau tahun ini akan berlangsung normal. Sebagian wilayah Indonesia yang terletak di bagian selatan katulistiwa-seperti Sumatra dan Jawa-diprediksi akan masuk musim hujan pada akhir September.

"Musim kemarau dikategorikan normal atau lebih panjang salah satunya dipengaruhi El Nino, sedangkan saat ini El Nino tampak lemah sehingga masa musim kemarau diperkirakan normal," jelas Kepala Pusat Informasi BMKG, Mulyono Prabowo, di Jakarta, pekan lalu. El Nino merupakan anomali suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya.

Meskipun lokasi terjadinya El Nino di wilayah benua Amerika, dampaknya memengaruhi perubahan cuaca dan iklim di Indonesia. Terlepas dari perkiraan BMKG bahwa musim kemarau tahun ini normal, kenyataannya tanah di sebagian wilayah Indonesia kering kerontang dan air tanah semakin menyusut.

Bahkan, musim kemarau kali ini mengancam gagal panen beberapa komoditas pertanian di beberapa daerah. Pelbagai permasalahan kekeringan akibat musim kemarau tersebut seolah-olah sudah menjadi fenomena tahunan. Selama ini, penanganannya hanya bersifat sementara, seperti mengirim mobil tangki pemasok air, atau lebih mahal lagi membuat hujan buatan.

Lantas, apakah rutinitas permasalahan sekaligus solusi sementara tersebut akan berulang setiap tahun? Barangkali jawabannya ya kalau tidak menerapkan solusi yang bisa berkelanjutan untuk mengatasi kekeringan akibat musim kemarau.

Simbat
Namun, akan lain cerita jika setiap orang maupun lembaga yang memunyai kekuasaan atas suatu lahan gemar menabung air pada musim hujan. Bentuk tabungan atau celengan itu berupa sumur yang dibuat sedemikian rupa untuk menginjeksikan air hujan ke lapisan akuifer (lapisan pembawa air) tanah. Air hujan tersebut akan tersimpan di dalam tanah dan selalu siap dipanen lewat sumur walau musim kemarau.

Dengan kata lain, ada keseimbangan dalam mengelola air pada saat berlimpah di musim hujan atau paceklik di musim kemarau. "Artinya, jika musim hujan, akan mengurangi potensi banjir, sedangkan pada musim kemarau persediaan air akan tetap berlimpah," ujar peneliti bidang Geologi Teknik dan Konservasi Kebumian, Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Edi Prastyo Utomo, di Jakarta, pekan lalu.

Teknik tersebut sebenarnya bernama Artificial Storage and Recharge of Groundwater (ASRG), tapi Edi lebih suka menyebutnya Simpanan dan Imbuhan Buatan Air Tanah (Simbat). Filosofi dasar teknik ini ialah menyusun air yang masuk dan keluar bisa seimbang. Teknik ini dapat diterapkan di setiap perumahan, gedung perkantoran, perindustrian, area pertanian, dan perkebunan.

Proses Pembuatan
Edi telah menerapkan Simbat di gedung perkantoran LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, sejak 2009. Semua air hujan yang jatuh di atap gedung disalurkan melalui pipa air menuju kolam infi ltrasi dengan lebar 13 meter, panjang 21 meter, dan kedalaman 3 meter. Di dalam kolam tersebut terdapat tiga pipa (recharge well/RW) untuk menginjeksikan air ke lapisan akuifer.

Sekitar 2 meter dari kolam infiltrasi dibuat sumur dengan volume 8 meter kubik (m3) untuk memantau fluktuasi kedalaman air di lapisan akuifer. Bagian dalam sumur tersebut diberi ijuk dan kerikil (gravel) agar air yang masuk ke tanah tidak tercemar kotoran. Pipa-pipa untuk menginjeksikan air ke akuifer dibersihkan dua kali dalam setiap tahun agar aliran tetap lancar.

Walhasil, pemonitoran data muka air tanah Simbat LIPI sejak 3 Juni 2010 hingga 19 Juni 2012 menunjukkan peningkatan cukup signifikan. "Pada Juni 2010 muka air tanah Simbat LIPI 400 sentimeter (cm) di bawah muka tanah setempat (bmt), akhir monitoring pada Juni 2012 menunjukkan 300 cm bmt," ungkap Edi yang juga mengaplikasikan teknik sejenis dengan skala lebih kecil di rumahnya. Selain itu, penyandang gelar doktor dari Universitas Waseda, Jepang, ini menerapkan Simbat di Pulau Kecil Kapoposan, Sulawesi Selatan.

Menurut dia, dengan Simbat, banyak masyarakat yang sebelumnya susah mendapatkan air bersih sekarang ini semakin mudah. "Tapi untuk menerapkan teknologi ini di pulau-pulau kecil harus ekstrahati-hati. Jangan sampai air yang diinjeksikan terkontaminasi septic tank. Oleh karena itu, penempatan sumur harus direncanakan dengan benar," kata Edi yang juga menyandang profesor riset bidang geofi sika terapan oleh LIPI. agung wredho

Mencegah Krisis Air Bersih di Jakarta

Apabila tidak ada upaya menyeimbangkan air tanah di Jakarta, kita tunggu saja ramalan krisis air bersih itu akan benar-benar menjadi kenyataan.

Ditanya tentang investasi membangun Simbat di suatu areal permukiman maupun gedung perkantoran, Edi mengaku belum pernah membuat perhitungan ekonomi secara terperinci. Namun, berdasarkan pengalamannya membangun Simbat di rumahnya dengan bahan-bahan berkualitas, setidaknya menelan investasi 35 juta rupiah. "Pembuatan Simbat ini lebih mahal dari sumur biasa karena masih memerlukan beberapa material filterisasi air dan lain-lain," ujar Edi.

Tapi semua aliran air hujan yang ditampung lalu diinjeksikan ke akuifer tidak membutuhkan peralatan elektronik dengan tenaga listrik. Semua air dialirkan ke akuifer dengan memanfaatkan sistem gravitasi. Ketika air disedot lagi dengan pompa, lanjut Edi, kualitasnya memenuhi baku mutu PP No 82/2001 air kelas 1 (air baku air minum).

Oleh karena itu, jika seseorang atau lembaga mengivestasikan uang untuk membangun Simbat ini tidak akan merugi karena ketersediaan air tanah serta kualitasnya akan terjaga. Belajar dari pengalaman tersebut, Edi merekomendasikan teknik Simbat ini diterapkan di Jakarta untuk meningkatkan daya dukung air tanah yang semakin menyusut.

Pasalnya, fakta tersebut telah dibuktikan dari data penelitian ilmiah. Kedudukan akuifer air tanah tak tertekan kurang dari 40 meter (<40 1956="1956" 1992.="1992." 2="2" 50="50" 5="5" ada="ada" air="air" aml="aml" an="an" atas="atas" bawah="bawah" bisa="bisa" bml="bml" br="br" dari="dari" di="di" edi.="edi." hingga="hingga" jakarta="jakarta" ke="ke" kemudian="kemudian" laut.="laut." laut="laut" m="m" masih="masih" mengalami="mengalami" menjadi="menjadi" meter="meter" muka="muka" muncrat="muncrat" nbsp="nbsp" pada="pada" penyusutan="penyusutan" sekitar="sekitar" tahun="tahun" tapi="tapi" terus="terus" turun="turun" ungkap="ungkap" yang="yang">
Apabila akuifer air tanah tak tertekan <40 1-10="1-10" 18="18" 1956="1956" 1992="1992" 1994="1994" 31="31" ada="ada" air="air" akuifer="akuifer" aml="aml" an.="an." antara="antara" atas="atas" banyak="banyak" beberapa="beberapa" berkurang="berkurang" bml.="bml." bml="bml" br="br" dan="dan" di="di" edi.="edi." hal="hal" industri="industri" itu="itu" jakarta="jakarta" juga="juga" karena="karena" kasus="kasus" kebangkrutan="kebangkrutan" kedudukan="kedudukan" kenaikan="kenaikan" lagi="lagi" lain="lain" m="m" mengalami="mengalami" menjadi="menjadi" menyusut="menyusut" muka="muka" nbsp="nbsp" otomatis="otomatis" pada="pada" pemanfaatan="pemanfaatan" penurunan.="penurunan." pernah="pernah" saat="saat" sehingga="sehingga" tahun="tahun" tanah="tanah" tertekan="tertekan" tukas="tukas" turun="turun" wilayah="wilayah">
Kenyataannya, ekonomi di Jakarta saat ini mengalami pertumbuhan pesat. Pertambahan luas area pemukiman, perkantoran, dan industri di Jakarta semakin cepat. Imbasnya bisa ditebak, luas ruang terbuka hijau yang sejatinya bisa menahan air di dalam tanah semakin menciut.

Lebih parah lagi, kemungkinan penyedotan air tanah untuk berbagai keperluan akan semakin menggila. Apabila tidak ada upaya menyeimbangkan air tanah di Jakarta, kita tunggu saja ramalan bahwa krisis air bersih itu akan benar-benar menjadi kenyataan. [agung wredho]



http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/99606

No comments: