Daoed Joesoef
Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne
Filsuf Aristoteles telah mengingatkan, ”a little mistake at the beginning becomes a big mistake at the end”.
Hal ini yang sekarang terjadi dengan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh yang saat pengibarannya diiringi dengan azan. Jadi, keseluruhan lambang Aceh dengan sadar dan sengaja dibuat serba Islami, perwujudan dari ci- tra ideal Aceh Serambi Mekkah.
Menjelang akhir 1960-an Teungku Daoed Beureueh singgah di Paris. Dia diiringi beberapa orang intelijen pemerintah saat mengunjungi beberapa negara Arab dan negara ”modern” di Eropa agar memperoleh pandangan mencerahkan. Dubes RI di Perancis ketika itu, Jenderal Askari, sudah mengenal pemimpin DI/TII atau NII ini.
Sewaktu periode revolusi fisik 1945-1949, Pak Askari, ketika itu berpangkat Letkol, adalah Paman Artileri yang cakap. Ia didetasir pemerintah pusat di Aceh menjadi penasihat militer Buya Daoed Beureueh, pejabat Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo/Komandan Divisi X, berpangkat mayor jenderal.
Dubes Askari menyelenggarakan makan siang di rumahnya guna menjamu Teungku Daoed Beureueh yang dia hormati. Dalam makan bersama ini, yang diundang rupanya hanya saya sendiri. Pak Askari tak keberatan bila saya mengajukan pandangan kritis terhadap tamunya asalkan suasana keintiman dan kesantaian tetap dijaga.
Aceh Serambi Mekkah
Dalam kesempatan itulah saya mengkritik ide Aceh Serambi Mekkah. Menurut saya, jauh lebih tepat dan mengena kalau disebut ”Aceh Serambi Indonesia Merdeka”. Adalah suatu kenyataan yang diakui Zentgraaf, penulis buku Aceh, bahwa hingga 1938, meski resminya Aceh sudah takluk kepada Belanda, masih sering terjadi penyerangan gerilyawan Aceh terhadap patroli tentara Belanda, hingga ada ucapan bahwa sebenarnya Aceh tak pernah menyerah kepada Belanda. Ia merupakan satu-satunya daerah Republik Indonesia yang tak pernah diduduki Belanda ketika berusaha menjajah kembali sesudah Perang Dunia II. Jadi, di luar Pulau Jawa, daerah Aceh berfungsi sebagai modal utama perjuangan kemerdekaan nasional.
Saya lihat wajah Buya Daoed Beureueh berkerut masam tanda tak senang. Di Aceh, karisma pribadinya sangat besar. Jangankan mempertanyakan kebijakannya, jika ada bayi menangis di saat dia sedang berbicara, ibu bayi itu dihardik semua hadirin dan diusir keluar ruang pertemuan. Konon, apa-apa yang diucapkannya merupakan ”wer”, pegangan absolut bagi semua dan tiap orang.
Meski berwajah masam, Buya Daoed Beureueh menjawab kritik saya dengan suara datar bahwa julukan ”Aceh Serambi Mekkah” bukan berasal dari dia atau orang Aceh lain. Julukan ini datang dari Bung Karno, Sang Proklamator Kemerdekaan yang dia hormati dan dikagumi rakyat Aceh. Bung Karno mengucapkannya di muka rapat umum, hadir alim ulama, tokoh pejuang, dan pemerintahan Aceh ketika untuk kali pertama menginjakkan kaki di ranah rencong, Juni 1948, selaku Presiden RI.
Inilah kesalahan kecil Bung Karno yang kemudian menggelinding menjadi besar bagai bola salju, pembawa bencana nasional yang tak terbendung. Betapa tidak! Ucapan yang semula dimaksudkan sekadar pujian tulus terhadap kehidupan religius di Aceh diterima komunitas Muslim Aceh sebagai citra ideal kehidupan yang perlu dipertahankan at all costs. Begitu rupa hingga citra ini berubah menjadi dunia tersendiri yang otonom, setara dengan dunia nasional yang dicitrakan revolusi kemerdekaan 45.
Setiap kali ada pemimpin Aceh yang kecewa terhadap kebijakan pemerintahan nasional, dia ajak kelompok etnisnya masuk ke dunia Daar al Islaam (Darul Islam) sebagai basis melawan dunia nasional. Hal ini yang dilakukan Teungku Daoed Beureueh ketika menggerakkan pemberontakan di Aceh dengan DI/TII dan ditiru Hasan Tiro pada 1976 dengan GAM dan kini oleh penggagas Partai Aceh.
Kekuatan Nalar
Kini penggunaan simbol GAM sebagai bendera dan lambang Aceh, alih-alih mempersatu, malah merusak kohesi sosial di Aceh. Sekarang bermunculan menampilkan diri aneka ragam suku Aceh, masing-masing menonjolkan jati diri etnisnya yang unik, yang dahulu tidak pernah terjadi, yang menjurus ke pembentukan provinsi baru yang terpisah dari dan setara dengan Provinsi Aceh yang sekarang secara politis dikuasai Partai Aceh.
Benar kata antropolog Teuku Kemal Fasya bahwa simbol GAM seperti lepas dari konteks Aceh (Kompas, 16/4). Simbol itu bahkan tidak menggambarkan kejayaan Aceh masa lalu di zaman pra-kemerdekaan nasional.
Islam memang sudah jadi bagian kehidupan di Aceh sejak abad XIII. Pergolakan yang kini marak di dunia Muslim mengingatkan kita untuk merenungi betapa Islam istilah yang kelihatannya memberi peluang timbulnya banyak kebingungan. Yang paling destruktif: yang mencampuradukkan kredo dan sejarah.
Tak sedikit penafsir yang memegang ide bahwa Rasulullah menciptakan suatu nukleus negara Islam di Madinah, suatu komunitas yang majemuk dalam berkeyakinan religius. Namun, bukanlah wahyu Allah yang dipercaya turun pertama kalinya di kota ini berbunyi, ”tidak ada paksaan dalam agama” (AQ, 2:256). Apakah Rasulullah seorang raja? Jika ketika masih hidup dia memang telah menciptakan negara Islam, mengapa dia tak membuat satu disposisi apa pun guna menjamin kontinuitasnya?
Ketika masih hidup Rasulullah malah lebih sering mengingatkan umatnya supaya selalu menggunakan nalar, aqala, yang didapat melalui pengaktifan otak, olah pikir (tafakkur, dabbara, nazara). Nalar penting karena ia pencetus dan pengolah ilmu pengetahuan. Bukan kebetulan kalau ia disebut sampai 44 kali dalam Al Quran. Di bagian akhir hayatnya, dia mendorong usaha pengembangan budaya keilmuan. Begitu rupa hingga, sesudah abad pertama hijrah, kota-kota Islam berkembang jadi intelectual workshop yang mampu menggerakkan pertumbuhan ilmu yang begitu pesat.
Itulah awal zaman keemasan Islam yang berlangsung dalam tahun 750-1100, jadi selama 350 tahun terus-menerus. Sesudah itu budaya keilmuan Islam mulai merosot, digantikan oleh peningkatan kejayaan keilmuan Barat. Dalam kondisi merosot inilah, sekitar tahun 1350, Islam baru datang di Aceh. Itu pun tak dibawa ilmuwan, tetapi pedagang Arab dan India yang mendarat di Peureulak dan berangsur-angsur tersebar di seantero Nusantara. Jadi, Islam yang ke sini miskin dalam nilai-nilai keilmuan dan budaya serta semangat ilmiah. Islam yang sudah jatuh dari kebesaran penalarannya.
Kalau orang Aceh, toh, mau tetap menjunjung tinggi nilai keis- laman, mengapa tak menghayati dan mendorong perkembangan kekuatan nalar dan budaya keilmuan yang terkait erat dengan itu melalui kegiatan pendidikan dan kebudayaan yang relevan, seperti yang dilakukan Rasulullah semasa hidup. Kegiatan yang masih kental bersifat Islami ini, selain sesuai dengan tuntutan kemajuan zaman, pasti akan mengokohkan kohesi sosial masyarakat Aceh yang ternyata dibentuk oleh beberapa kelompok etnis.
Kini, kian jelas pengorganisasian baru yang membagi peran keagamaan: menangani spiritualitas di tingkat individu dan menangani nalar yang bertugas mengatur kehidupan bermasyarakat yang serba majemuk, berbangsa, dan bernegara.
No comments:
Post a Comment