Thursday, June 13, 2013
Paradoks Hizbut Tahrir
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=12196&type=4&fb_source=message#.UbmdH-c3CP7
Penulis : Muhammad Anis (Doktor bidang Pemikiran Politik Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Saat mengikuti perkembangan konstelasi politik di Timur Tengah, lagi-lagi saya dikejutkan ulah Hizbut Tahrir yang meneriakkan slogan Khilafah. Dalam konflik Libya, HT memprediksikan bahwa khilafah akan tegak di sana pasca tumbangnya rezim Qadafi. Karena itu, HT dengan bangga mengucapkan selamat atas terbunuhnya Qadafi.
Tapi kenyataannya, yang tegak justru pemerintahan boneka AS yang rela memanggil-manggil perusahaan asing untuk mengeruk minyak negerinya. Saat ini prediksi serupa juga dilontarkan HT kepada Suriah, bahwa khilafah akan tegak pasca tumbangnya rezim Assad. Padahal, kita tahu persis seperti apa karakter kubu oposisi, yang jelas sekali jauh dari nilai-nilai khilafah yang diidealkan HT. Bagaimana mungkin koalisi Al-Nusrah dan Al-Qaeda—yang bengis dan kanibal itu—layak menegakkan syariat Islam? Dan apakah mungkin SNC yang jelas pro Barat mau menegakkan khilafah? Hanya mimpi dan ilusi saja.
Tanpa sistem khilafah, rakyat Suriah selama puluhan tahun telah hidup rukun dan damai. Hal ini terungkap gamblang dalam sebuah wawancara apik Dina Sulaeman dengan seorang jurnalis senior Suriah (The Global Review, 24 Mei 2013), yang menguak banyak fakta penting. “Sepanjang hidup, saya bahkan tidak tahu apa agama tetangga-tetangga saya. Saya tidak peduli apa mazhab orang yang duduk di sebelah saya. Begitulah kehidupan kami. Yang penting bagi kami adalah hati dan perilakunya. Syria adalah untuk semua orang, Kristen, Sunni, Syiah, Druze, Alawi, Yahudi,…,” ungkap sang narasumber. Kekacauan muncul justru saat sekelompok orang asing Al-Nusrah tiba-tiba menyelonong begitu saja masuk ke Suriah, lalu melakukan perlawanan bersenjata demi menggulingkan pemerintahan Bashar Assad dan menegakkan khilafah. Apa hak mereka memaksakan kehendak seperti itu? Ini mirip dengan tindakan sekelompok zionis yang secara ilegal memasuki Palestina dan memaksakan berdirinya negara Israel.
Paradoks dan keganjilan tidak hanya terlihat pada perilaku politik HT di atas, melainkan terlihat pula pada pemikiran politiknya. Dalam upaya mengkaji itu, saya menggunakan buku HT yang berjudul “Struktur Negara Khilafah” (HTI Press, 2008). Karena, buku ini merupakan pedoman terlengkap dalam memaparkan pemikiran politik HT, sesuai dengan penjelasan yang tertulis di cover dalamnya bahwa buku ini merevisi semua buku yang bertentangan dengannya. Namun demikian, saya juga menggunakan buku HT lainnya sekaitan dengan Daulah Utsmaniyah. Untuk itu, saya ingin menyampaikan beberapa kritik sebagai berikut.
1. Syarat Baligh
HT menyatakan bahwa salah satu syarat wajib (in’iqad) seorang khalifah adalah baligh. Sementara, syarat kefaqihan/kemujtahidan (berpengetahuan agama secara mendalam) ataupun intelektualitas justru diletakkan sebagai syarat keutamaan (afdhaliyah) saja. Kalimatnya begini:
“Dalam diri khalifah wajib terpenuhi tujuh syarat, sehingga ia layak menduduki jabatan khilafah dan sah akad baiat kepadanya dalam kekhilafahan. Tujuh syarat tersebut merupakan syarat in’iqad (syarat legal). Jika kurang satu syarat saja, maka akad kekhalifahannya tidak sah.” Ketujuh syarat itu adalah: Muslim, laki-laki, baligh, sehat akalnya, adil, merdeka (bukan budak), dan kemampuan dalam memimpin….Adapun syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang sahih hanya merupakan syarat afdhaliyah, seperti ketentuan khalifah harus dari kalangan Quraisy, atau ketentuan khalifah harus seorang mujtahid, atau ahli menggunakan senjata, atau syarat-syarat lainnya yang memiliki dalil yang tidak tegas.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 34-41]
Saya heran, semestinya keilmuan atau intelektualitas justru menjadi syarat wajib seorang pemimpin. Karena, bagaimana mungkin sebuah pemerintahan bisa ditegakkan oleh seorang pemimpin yang bodoh dan tidak berwawasan?
Demikian halnya, saya juga tidak melihat urgensi kebalighan diletakkan sebagai syarat wajib. Karena, terbukti banyak orang yang belum baligh, tetapi memiliki pengetahuan luar biasa. Sebagai contoh, diberitakan bahwa Sufyan bin Uyainah telah mampu menghafal Al-Quran dan mendebatkannya di hadapan para ulama dan raja, ketika ia masih berusia empat tahun. Demikian pula dengan Ibn al-Haj, yang menulis syair tentang ilmu logika pada usia enam tahun. Abu Bakar ibn Syihab juga menyatakan bahwa semua orang bisa menerima ‘udzur (alasan/argumen) dari orang yang belum mencapai usia sepuluh tahun. [Biografi Habib Ali Habsyi, hal. 86-87]
Apalagi para Imam Ahlul Bait. Banyak riwayat yang memberitakan bahwa mereka telah mampu menyelesaikan persoalan pelik masyarakat, saat mereka masih anak-anak. Sehingga, menurut saya, syarat yang ditetapkan HT itu terbalik. Mestinya keilmuan atau kefaqihan dijadikan sebagai syarat wajib, sedangkan kebalighan dijadikan syarat tambahan atau afdhaliyah saja.
Dalil yang digunakan oleh HT untuk menjustifikasi syarat wajib baligh adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa pena (beban hukum) telah diangkat dari tiga golongan: anak hingga ia baligh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang yang hilang akal hingga ia sembuh. Juga riwayat dari Bukhari, ketika seorang anak dibawa oleh ibunya untuk membaiat Rasulullah, beliau saw berkata bahwa ia masih kecil. Kemudian beliau saw mengusap kepalanya dan mendoakannya.
Namun demikian, saya tidak melihat adanya keterkaitan hadis ini dengan syarat wajib baligh bagi pemimpin. Hadis pertama hanya terkait dengan taklif syar’i(kewajiban melaksanakan syariat). Bila hadis ini tetap ingin digunakan, maka konsekuensinya adalah seorang khalifah itu tidak boleh tidur, karena hal ini akan menggugurkan posisinya sebagai khalifah. Apa seperti itu?
Pada hadis kedua, bila diasumsikan dapat diterima, juga terkait dengan taklif syar’i. Pada hadis ini, saya justru melihat bahwa Rasulullah saw hendak menjelaskan bahwa anak yang belum baligh itu tidak memiliki kewajiban untuk memberi baiat. Mungkin menurut beliau saw, cukup diwakili oleh baiat kedua orang tuanya. Sehingga, dengan mengikuti keimanan kedua orang tuanya, si anak sama saja telah menyatakan keimanannya kepada Rasulullah saw.
2. Negara Khilafah Bukan Teokrasi
HT menyatakan bahwa negara khilafah itu bukan teokrasi (daulah ilahiyah), melainkan negara manusiawi (daulah basyariyah). Negara teokrasi hanya bisa dikelola oleh para nabi, karena mereka maksum. Sehingga, khalifah merupakan jabatan duniawi, yang tugasnya adalah menegakkan hukum syariat Islam. [Struktur Negara Khilafah, hal. 77-83]
Ini mengherankan. Bagaimana bisa hukum Tuhan ditegakkan oleh orang yang tidak memiliki legitimasi dari Tuhan? Apa hak orang itu? Atau dengan pertanyaan lain: Apakah mungkin Tuhan mengizinkan hukum-Nya dikelola oleh orang yang tidak direstui-Nya?
3. Daulah Utsmaniyah
HT dengan tegas mendukung Daulah Utsmaniyah, yang tidak segan-segan mereka sebut sebagai model Negara Khilafah. Ini terlihat jelas dalam buku “Kaifa Hudimatil Khilafah”, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Malapetaka Runtuhnya Khilafah” (Al-Azhar Press, 2007). Buku ini merupakan karya salah seorang pemimpin HT, Abdul Qadim Zallum.
Aneh, terdapat paradoks di sini. Dinasti Utsmaniyah itu menganut sistem monarki (kerajaan), alias tidak menganut sistem khilafah-syura yang dibangun oleh Abu Bakar dan Umar. Sementara itu, HT menegaskan bahwa sistem khilafah mereka mengacu pada sistem syura Abu Bakar dan Umar, yang menolak sistem monarki. Kalimatnya begini:
“Islam tidak mengakui sistem kerajaan. Sistem pemerintahan Islam juga tidak menyerupai kerajaan. Hal itu karena dalam sistem kerajaan, seorang anak (putra mahkota) menjadi raja karena pewarisan. Umat tidak memiliki andil dalam pengangkatan raja. Adapun dalam sistem Khilafah tidak ada pewarisan. Akan tetapi,baiat dari umatlah yang menjadi metode untuk mengangkat Khalifah..…Dengan meneliti tatacara pembaiatan Khulafaur Rasyidin di atas oleh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—jelaslah bahwa orang-orang yang dicalonkan itu diumumkan kepada masyarakat, dan jelas pula bahwa syarat in’iqad terpenuhi dalam diri masing-masing calon. Kemudian diambillah pendapat dari ahlul hal wal ‘aqd di antara kaum Muslim, yaitu mereka yang merepresentasikan umat. Mereka yang merepresentasikan umat ini telah dikenal luas pada masa Khulafaur Rasyidin, karena mereka adalah para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—atau penduduk Madinah. Siapa saja yang dikehendaki oleh para Sahabat atau mayoritas para Sahabat untuk dibaiat dengan baiat in’iqad, yang dengan itu ia menjadi Khalifah, maka kaum Muslim wajib pula membaiatnya dengan baiat taat. Demikianlah proses terwujudnya Khalifah yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.” [Struktur Negara Khilafah, hal. 20-21 dan 48]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment