Setelah perjanjian Renville, Belanda gembira dengan hasilnya karena mereka berhasil memojokkan negara baru ini sehingga –dugaan mereka- bakal gagal menaati isi perjanjian itu. Bila benar gagal, maka itu akan membuktikan premis Belanda bahwa tidak ada negara RI, tidak ada tentara. Yang ada hanyalah gerombolan, sebagian sok diplomatis, sebagian lagi mengaku tentara.
Salah satu isi perjanjian itu mengharuskan 30 ribu orang harus pindah dari Jawa Barat dalam tempo dua minggu ke wilayah Republik, yaitu praktis hanya sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan ingat, itu terjadi di tahun 1948, saat infrastruktur masih sangat terbatas.
Hebatnya, misi itu berhasil. 30 ribu orang. Tentara dengan persenjataan. Dua minggu. Ratusan kilometer. Tahun 1948.
Tentara itu namanya Divisi Siliwangi.
Setelah 10 bulan di perantauan, ketika sudah mulai menetap dan disusul oleh keluarga mereka, datang perintah baru: kembali ke basis perjuangan. Lalu mereka, sebagian bersama keluarganya, melakukan longmarch –jalan kaki, Bro—dari daerah Republik di Jogja dan Solo sekitarnya kembali ke Jawa Barat untuk bersiap kembali berperang karena adanya agresi Belanda yang kedua.
Salah satu kerumitan yang tidak pernah habis saya kagumi adalah pengelolaan logistiknya. Bagaimana uang didapat, bagaimana mengirimkan uangnya, mengelola logistik dan perbekalan serta aspek pengorganisasian lainnya yang pastilah rumit dengan alat komunikasi yang terbatas. Bagaimana ya bentuk slip pembelian bensin untuk truk pengangkut senapan, bagaimana mencairkan dana untuk pembelian makanan tentara atau sekedar bagaimana cara mengirimkan uang dari para bendahara Republik ini untuk dikirim ke para pengelola lapangan?
Hebatnya itu ada di mana-mana. Ini terjadi bukan hanya dalam fenomena Siliwangi di atas. Upaya menggalang dana dilakukan di mana-mana. Ada yang iuran dengan harta bendanya, ada yang menyelundupkan hasil bumi untuk ditukar senjata. Ada pula yang menyumbang seadanya: tempat untuk tidur atau berbagi makanan yang sedikit.
Ketika uang didapat, ia disebar dan dikirimkan dengan cepat dan sederhana.
Saya pasti bodoh bila percaya bahwa saat itu uang diserahterimakan dengan dokumen berangkap lima dengan meterai secukupnya. Tidak ada yang mencuri, tidak ada yang mengambil untuk dirinya. Agak sulit membuktikan dan mengukur soal ini tetapi toh buktinya uangnya cukup. Cukup untuk memenangkan Indonesia.
Sebagian sumberdaya non-uang malah dikumpulkan dan dikirimkan dengan berbagai cara. Senjata dibeli dan diselundupkan dengan kapal atau pesawat menerobos pengawasan Belanda. Makanan? Minum? Rumah? Terlalu banyak untuk diceritakan sumbangan orang-orang tentang ini pada perjuangan kala itu.
Semua ini merupakan kegiatan yang sangat kompleks, rumit. Dalam pengelolaan keuangan, ada rumus sederhana: sistem kontrol yang handal diperlukan dalam budaya kepercayaan yang rendah. Dan ketika sistem pengendalian keuangan dalam revolusi kemerdekaan itu sangat sederhana sebenarnya menggambarkan hal esensial: bahwa bangunan kepercayaan di antara seluruh elemen organisasi sangatlah kokoh. Ketika yang dibicarakan adalah organisasi negara-bangsa, artinya
lembaga-lembaga negara serta masyarakatnya sama-sama kokoh kepercayaannya satu sama lain; dan sama-sama dapat dipercaya dalam memegang amanah uang.
Pengorganisasian rumit pastilah memerlukan kepercayaan. Tanpa itu, pengorganisasian jadi lebih rumit karena kesibukan kita untuk mencegah kekacauan keuangan sekaligus upaya eksesif untuk meyakinkan warga untuk ikut menyumbang. Bayangkan kerumitan lanjutannya: pejuang kita terlalu sibuk membuat laporan penggunaan peluru daripada pertembakan itu sendiri. Atau para diplomat sibuk untuk menyusun slip tiket dan boarding-pass ketika berkunjung meyakinkan negara lain untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Atau para staf pemerintahan baru itu terlalu sibuk membuat company profile dan proposal yang akan disebarkan pada calon penyumbang daripada bekerja untuk menyebarkan cita-cita kemerdekaan kita.
Dan ketika Belanda benar-benar mengakui kedaulatan kita pada 1949 maka –setidaknya bagi saya—ini adalah salah satu puncak pencapaian hebat para pendahulu kita. Dimulai sejak 1908, Dr Wahidin yang mengamen –istilahnya mbarang jantur—berkeliling Jawa untuk berjualan ide dan keyakinannya yang kemudian bersinggungan dan diwujudkan oleh Dr Soetomo dan kawan-kawannya dengan Boedi Oetomo; sampai di ujung revolusi kemerdekaan di tahun itu sebenarnya menggambarkan betapa besarnya pekerjaan raksasa yang bisa diwujudkan para pendahulu kita.
Maka saya tidak sedang menulis untuk mengajak kalian untuk mengalahkan Belanda. Saya hanya iri bahwa para pendahulu kita bisa mengerjakan hal-hal raksasa di masa lalu. Saya hanya ingin mengajak kalian merasakan kembali kehebatan bangsa kita, membuat hal-hal raksasa yang hari ini tampaknya tidak mungkin.
Tentu kita bisa mengurai berbagai macam pelajaran dari cerita di atas. Tetapi saya selalu suka mengulang-ulang kalimat ini pada diri sendiri: dulu kita pernah jadi bangsa sehebat ini dalam pengorganisasian. Negara baru, pemimpin sipil baru, tentara baru. Kita pasti bisa sehebat itu kembali.
***
Kalau Indonesia Mengajar (IM) cuma ingin jadi lembaga pengirim guru atau jadi LSM biasa maka cita-citanya sudah tercapai. Sama dan sebangun kalau Soetomo cita-citanya hanya bikin Boedi Oetomo atau Soekarno hanya bikin PNI, Hatta bikin Perhimpunan Indonesia.
Dan barangkali kerjaan kita sebenarnya menjadi gampang saja. Kirim proposal, buat paket-paket lalu sebar sembarangan. Hasrat para pemuja logo perusahaan mudah dipenuhi: logo ada di semua tempat. Salah satu paket inovatif yang bisa dijual memang mengharuskan kita kalau berfoto harus tersenyum agar tampak jelas logo di salah satu gigi kita.
Cita-cita Indonesia Mengajar adalah menggerakkan orang-orang untuk ikut serta dalam gerak kemajuan pendidikan. Kita bahkan tidak menyebut bahwa organisasi IM harus besar tetapi gerakan ini harus menular.
Belajar dari pengalaman masa lalu, karena itu yang penting ditularkan bukan cuma soal pentingnya ikut serta dalam kegiatan pendidikan tetapi juga soal bagaimana mengelola gerakan dengan baik, termasuk bagaimana menggalang dan mengelola pendanaan dengan baik. Organisasi pergerakan tumbuh subur bukan semata-mata karena cita-cita soal kebangsaan yang menular --ingat, konsep negara bangsa juga baru tumbuh seiring pergerakan nasional-- tetapi juga karena praktek-praktek terbaik dalam pengelolaan organisasi dan pendanaan juga tumbuh.
Hebatnya yang kemudian terakumulasi bukan soal sistem pendanaan yang keren tetapi budaya organisasi yang akuntabel dan amanah. Sistem pencatatan barangkali bisa saja sederhana tetapi para pejuang selalu membentuk kepercayaan publik pada apa yang mereka kerjakan dan mewariskan kepercayaan itu menjadi akumulasi kepercayaan satu sama lain yang belakangan hari kita panen di masa revolusi kemerdekaan.
Karena itu di masa perang kemerdekaan, orang secara mudah menyumbang pada para pejuang tak dikenal sekalipun karena dunia yang melingkupi mereka adalah kepercayaan. Orang bisa seketika membantu sesama tanpa harus ada proposal. Sebagian menyumbang emas, rumah atau sekedar makan minum seadanya. Masa ini barangkali bagi Indonesia adalah masa tersulit menemukan pencuri uang publik.
Lalu apakah kita tidak iri dengan masa lalu seperti itu? Apakah kita tidak iri membayangkan bahwa di mana-mana inisiatif sosial bisa tumbuh tanpa kerepotan serius soal penggalangan dana. Orang-orang terlalu mudah ikut membantu karena --tentu sistem pengelolaan dana harus pula dibangun secanggih mungkin-- dunia yang melingkupi kita adalah kepercayaan. Kita sedemikian iri sampai ingin memiliki masa di mana menjadi aneh kalau kita berprasangka buruk pada anak-anak muda atau pekerja sosial yang sedang menggalang dana bagi inisiatif mereka.
Mereka itu bisa jadi Soetomo, Soekarno dan Hatta di masa depan.
***
Hari-hari ini tantangan pengelolaan pendanaan di kalangan masyarakat sipil memang rumit. Sebagian LSM --salah satu wujud organisasi masyarakat sipil-- kita masih mengandalkan donor asing. Banyak studi sudah membahas mengenai kapasitas organisasi masyarakat sipil dalam hal pendanaan. Rustam Ibrahim, seperti dikutip dalam laporan Bappenas (2010) menemukan fakta bahwa LSM kita mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang besarnya mencapai 65%, sementara 35% sisanya didapat dari berbagai sumber dalam negeri.
Di sisi lain potensi masyarakat untuk terlibat dalam inisiatif sosial sebenarnya cukup besar. Anggap saja potensi keterlibatan itu diukur dari kesertaan masyarakat dalam organisasi sosial maka data menunjukkan derajat keterlibatan yang tinggi. Studi YAPPIKA dalam laporan Bappenas yang sama mencatat bahwa lebih dari separuh warga negara Indonesia pernah menjadi anggota organisasi masyarakat sipil dan satu dari tiga orang Indonesia pernah menjadi anggota lebih dari satu organisasi.
Bagaimana dari sisi filantropi sosialnya? Survei PIRAC dalam laporan yang sama menunjukkan bahwa tingkat kedermawanan (rate of giving) masyarakat sangat tinggi, yakni 99,6%. Artinya hampir seluruh masyarakat yang menjadi responden memberi sumbangan dalam setahun terakhir. Studi yang sama melaporkan bahwa potensi sumbangan masyarakat Indonesia lebih dari Rp. 12,3 trilyun per tahun dan baru sekitar 10% yang berhasil digalang oleh lembaga-lembaga di Indonesia.
Studi Charities Aid Foundation pada 20054 menggambarkan angka benchmark rasio besaran filantropi terhadap PDB di berbagai negara. Sebagai pembanding, besaran charitable giving terhadap PDB di Amerika Serikat, misalnya, tercatat 1,7%. Sedangkan di Inggris 0,73%. Bila GDP Indonesia sebutlah 8.200 triliun rupiah maka dengan asumsi rasio 1% maka potensi filantropi di negeri kita besarnya 82 triliun rupiah.
Potensi ada. Tantangan pengelolaan juga ada, rumit dan menantang.
Hal seperti inilah yang disukai Indonesia Mengajar. Maka sejak Agustus 2012, kita mengembangkan skema donasi publik. Awalnya tertatih-tatih namun tetap tumbuh. Pada awalnya jumlah donaturnya hanya 200an orang dan sekarang sudah hampir 500 orang. Sistem digital juga akhirnya terbangun dengan rapi dan terakhir dilengkapi fitur virtual account. Sistem digital yang dikembangkan ini terhubung dengan basis data komunitas IM yang sudah mencapai 98.000 nama dan 12.000 di antaranya adalah relawan aktif. Sistem donasi IM mampu memfasilitasi sumbangan dari berbagai model transaksi, dari kartu kredit sampai transfer ke rekening virtual account unik untuk setiap donatur. Dan setiap donatur atau relawan memiliki akun personal yang di dalamnya tercatat donasi dia sejak awal sampai sekarang.
Dengan perkembangan itu pula komunitas dikelola. Mereka yang menjadi donatur perorangan itu bergabung dalam Korps Donatur Publik yang aktif juga dalam kegiatan IM lain sekaligus khususnya juga dalam menggalang donatur lainnya. Para anggotanya aktif ikut mengembangkan sistem ini agar handal dan transparan, termasuk usulan implementasi fitur virtual account merupakan rekomendasi dari mereka.
Terakhir, inovasi IM adalah mengembangkan skema donatur institusi yang memfasilitasi jumlah donasi yang lebih kecil dari nilai sponsor IM umumnya. Donasi ini memfasilitasi sumbangan dengan nilai 2-10 juta perbulan dan menyasar perusahaan skala kecil dan menengah yang merupakan porsi terbesar unit usaha di Indonesia.
Dalam perspektif keuangan, kehendak untuk terus mengembangkan pilar-pilar publik dalam pendanaan IM juga untuk mengantisipasi agar IM tidak tergantung pada melulu sponsor-sponsor besar. Dana besar memerlukan perlakuan tertentu yang memakan waktu apalagi bila ada ketentuan komersial khusus yang diperlukan. Pilar harus banyak sehingga topangan jadi lebih kokoh.
***
Maka wajarlah bila IM selalu ngotot untuk terus mengembangkan pendanaan berbasis publik.
Selalu menyenangkan menyaksikan bahwa ternyata ada banyak orang baik terus bekerja di muka bumi Indonesia. Sebagian jadi guru, kepala sekolah atau kepala desa yang sungguh-sungguh keren serta tulus berbakti. Sama senangnya ketika kita mensyukuri perjalanan panjang para Pengajar Muda di daerah serta para relawan lain di Jakarta atau tempat lain dalam berbagai inisiatif IM.
Kita bisa kok menjadi bangsa beradab dan terhormat seperti para pendahulu kita. Kita bisa mengorganisir kerjaan-kerjaan publik yang betapapun negara (dan pemerintah) itu efektif, tetap saja ada urusan yang harus dikerjakan masyarakat, seperti yang dikerjakan melalui Kelas Inspirasi, Indonesia Menyala, FGIM, Ruang Belajar dan banyak lagi. Kita bisa kok mengelola pengiriman guru tanpa berdebat lebih panjang sementara anak-anak di luar sana tidak bisa berhenti tumbuh. Dan kita bisa kok mengelola berbagai inisiatif dengan iuran dan kerja bakti bersama.
Berbagai berita memang menggambarkan bahwa di luar sana masih saja ditemukan korupsi yang menyebalkan. Kadangkala kita bisa jadi pesimis bahwa bangsa bisa runtuh kalau semua orang mencuri. Dan lebih menyebalkan karena ini seperti penghinaan bahwa bangsa kita bahkan tidak bisa membersihkan dirinya sendiri.
Maka bagi Indonesia Mengajar, pendanaan publik pastilah bukan melulu soal duitnya. IM harus terus mengembangkannya dengan berbagai inovasi dan semoga bisa menular ke tempat-tempat lainnya. Inisiatif-inisiatif lain bisa tumbuh ketika pendekatan penggalangan dana baru dicoba efektif senyampang kepercayaan masyarakat bisa ditumbuhkan.
Di atas semua kesulitan, kita hanya harus ngotot bahwa dunia penuh kepercayaan yang diwariskan para pendahulu itu bisa dipulihkan. Karena hanya dengan itulah negara ini dirintis, dibangun dan didirikan.
No comments:
Post a Comment