Saturday, December 06, 2014

Buya Syafii Maarif ttg Hamka, Iman dan Pluralisme

https://www.facebook.com/notes/akhmad-sahal/buya-syafii-maarif-ttg-hamka-iman-dan-pluralisme/521436504571428
Akhmad Sahal

Berikut adalah dua artikel yang sangat menarik dari Profesor Ahmad Syafii Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah, tentang tafsir Buya Hamka terhadap ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Madiah, dan kaitannya terhadap Islam dan pluralisme:

Esai Pertama: 

HAMKA TENTANG AYAT 62 AL-BAQARAH DAN AYAT 69 AL-MAIDAH

Rubrik Resonansi Republika, 21 November 2006


Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah. Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana. 

Karena permintaan itu serius, maka saya tidak boleh asal menjawab saja, apalagi ini menyangkut masalah besar yang di kalangan para mufassir sendiri belum ada kesepakatan tentang maksud ayat itu. Ayat yang substansinya serupa dapat pula ditemui dalam surat al-Maidah ayat 69 dengan sedikit perbedaan redaksi. Beberapa tafsir saya buka, diantaranya Tafsir al-Azhar karya Hamka yang monumental itu.

Sebenarnya saya cenderung untuk menerima penafsiran Buya Hamka dari sekian tafsir yang pernah saya baca, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Dalam perkara ini Hamka bagi saya adalah fenomenal dan revolusioner. Agar lebih runtut, saya kutip dulu makna kedua ayat itu menurut tafsir Hamka.

Al-Baqarah 62: “Sesungguhnya orang-orang beriman, dan orang-orang yang jadi Yahudi dan Nasrani dan Shabi’in, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan beramal yang shalih, maka untuk mereka adalah ganjaran dari sisi Tuhan mereka, dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”

Kemudian al-Maidah 69: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang Yahudi dan (begitujuga) orang Shabi’un, dan Nashara, barang sipa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, dan dia pun mengamalkan yang shalih. Maka tidaklah ada ketakutanatas mereka dan tidaklah mereka akan berduka cita.”

Ikuti penafsiran Hamka berikut: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah merekakerjakan itu. ‘Dan tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka akan berdukacita (ujung ayat 62), hlm.211.

Yang menarik, Hamka dengan santun menolak bahwa ayat telah dihapuskan (mansukh) oleh ayat 85  surat Ali ‘Imran yang artinya: “Dan barangsiapa yang mencari selain dari Islam menjadi agama, sekali-kali tidaklah  akan diterima dari padanya. Dan di Hari Akhirat akan termasuk orang-orang yang rugi.”(Hlm. 217). Alasan Hamka bahwa ayat ini tidak menghapuskan ayat 62 itu sebagai berikut: “Ayat ini bukanlah menghapuskan (nasikh) ayat yang sedang kita tafsirkan ini melainkan memperkuatnya. Sebab hakikat Islam ialah percaya kepada Allah dan Hari Akhirat. Percaya kepada Allah, artinya percaya kepada segala firmannya, segala Rasulnya dengan tidak terkecuali. Termasuk percaya kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan hendaklah iman itu diikuti oleh amal yang shalih.”(Hlm 217).

“Kalau dikatakan bahwa ayat ini dinasikhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran itu, yang akan tumbuh ialah fanatik; mengakui diri Islam, walaupun tidak pernah mengamalkannya. Dan surga itu hanya dijamin untuk kita saja. Tetapi kalau kita pahamkan bahwa di antara kedua ayat ini adalah lengkap melengkapi, maka pintu da’wah senantiasa terbuka,dan kedudukan Islam tetap menjadi agama fitrah, tetap (tertulis tetapi) dalam kemurniannya, sesuai dengan jiwa asli manusia.” (Hlm. 217).

Tentang neraka, Hamka bertutur: “Dan neraka bukanlah lobang-lobang api yang disediakan di dunia ini bagi siapa yang tidak mau masuk Islam, sebagaimana yang disediakan oleh DziNuwas Raja Yahudi di Yaman Selatan, yang memaksa penduduk Najran memeluk agama Yahudi, padahal mereka telah memegang agama Tauhid. Neraka adalah ancaman di Hari Akhirat esok, karena menolak kebenaran.” (Hlm. 218).

Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing. Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Alquran. Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).

Terima kasih Buya Hamka, tafsir lain banyak yang sependirian dengan Buya, tetapi keterangannya tidakseluas dan seberani yang Buya berikan. Saya berharap agar siapa pun akan menghormati otoritas Buya Hamka, sekalipun tidak sependirian.
  

Esai Kedua:

MUTLAK DALAM KENISBIAN

Rubrik Resonansi Republika, 29 Desember 2006

Seperti sudah saya katakan bahwa di kalangan para mufassir belum ada kesepakatan dalam memahami ayat 62 Al-Baqarah dan ayat 69 Al-Maidah. Jadi bila kemudian telah memancing sikap pro dan kontra terhadap Resonansi tertanggal 21 November2006 itu sebenarnya tidak ada yang luar biasa. 

Iman saya mengatakan bahwa Alquran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Maha Mutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya.

Oleh sebab itu, dari sikap pro dan kontra terhadap apa yang saya kemukakan semestinya orang akan mau belajar agar lebih arif dan rendah hati untuk mengatakan bahwa tafsirannya tetaplah nisbi. Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, sebuah kesombongan yang tidak dapat dimaafkan. Adanya ungkapan Allahua'lam (Allah Maha Mengetahui) yang sering kita jumpai di akhir sebuah karya tulisan menunjukan bahwa betapa nisbinya manusia itu.

Saya tidak perlu lagi mengulas delapan tanggapan yang dimuat Republika sejak tanggal 1 sampai dengan 22 Desember 2006. Reaksi dalam internet dan sms entah berapa pula banyaknya, ada yang langsung ke HP saya. Masing-masing telah memberikan argumennya berdasarkan pemahamannya dan tingkat kualitas ilmu danemosinya. Semuanya harus dihargai, sekalipun kita belum tentu setuju.

Alquran adalah Kitab Suci yang terbuka untuk diterima atau ditolak dengan risikonya masing-masing. Sudah hampir 15 abad Alquran dikritik, dihina, dan didustakan oleh mereka yang tidak setuju. Kitab Suci ini tetap bertahan dalam keagungan dan kedahsyatan pesannya. Pertanyaan yang segera muncul adalah, jika pesannya agung dan dahsyat, mengapa umat yang mengaku percaya kepadanya tidak agung dan dahsyat? Mengapa sebagian mereka menjadi manusia kerdil dengan wawasan yang tidak melampaui tuturan atap rumahnya, atau untuk meminjam Iqbal, mereka penakaburung alit yang hanya pandai menari dari kembang ke kembang?

Sebagai umat yang masih berada di buritan peradaban, dapat dipahami mengapa sebagian kita begitu gampang gamang, gelisah, reaktif dan labil, kalau jumlah umat berkurang, pindah menjadi umat lain. Orientasi yang serba kuantitatif ini menjadi salah satu sebab mengapa sebagian kita begitu alergi terhadap makhluk pluralisme. Dikatakan dengan pluralisme orang akan lalu lalang pindah agama semau gue, karena menurut mereka pluralisme memandang semua agama itu sama. Jika ini yang terjadi saya mendaftarkan diri berdiri di garda paling depan untuk melawannya.

Bagi saya pluralisme adalah sebuah fakta keras sejarah, bahkan dalam menafsirkan wahyu yang sama oleh umat yang sama, pasti akan terasa nuansa perbedaan yang kadang-kadang sangat tajam. Paham pluralisme memberi peluang kepada siapa saja untuk menyakini agamanya sebagai mengandung kebenaran mutlak, tetapi hak serupa juga harus diberikan kepada penganut agama lain untuk memegang prinsip yangsama. Yang penting kita harus berlapang dada meneggang perbedaan paham apapun di planet bumi yang satu ini.

Iman saya mengatakan, penganut ateisme pun adalah makhluk Allah yang harus dihormati dengan catatan kita saling menghargai. Tidak ada peradilan duniawi yang berhak membinasakan kaum ateis ini selama mereka tidak melawan hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara. Oleh sebab itu membinasakan pihak lain yang tidak sepaham tanpa melalui proses hukum adalah perbuatan biadab yang harus ditentang.

Prerogatif Allah

Dari beberapa tanggapan yang dimuat, ada sebuah ungkapan yang menurut saya mengandung kebenaran, yaitu merupakan hak prerogatif Allah untuk memasukkan seorang hamba ke dalam surga atau neraka, tentu sesuai dengan keadilan-Nya yang tanpa cacat. 

Sebagai intermezo, baik juga saya rekamkan di sini tanggapan seorang dari sebuah pesantren dalam kalimat berikut: "Pak Syafii pindah ke nasrani saja, kan enak ibadahnya cuma 1x seminggu. Semua agama kan benar semua masuk surga. Resonansi bapak tidak (ada) gunanya, tapi melemahkan saudara-saudara kita yang gigih melawan kristenisasi. Untuk apa Tuhan menurunkan Islam kalau dengan agama lama sudah masuk surga. Bagaimana mungkin syirik/trinitas masuk surga? Agama tersebut benar tapi pada zamannya... jangan sampai kita kufur dalam berpikir." (sms jam 20.49 tanggal 9 Desember 2006,ejaan disesuaikan).

Ketika tanggapan itu saya teruskan kepada seorang kyai maka jawaban yang diberikan dalam bentuk anekdot tapi cukup mendasar adalah: "Mereka rakus surga dan melakukan kekerasan teologis, joke saya, mereka akan masuk sendiri dan kelelahan nyapu surga yang luasnya tak terbatas. Kita masuk surga bukan karena shalat dan ibadah kita. tapi karena kemurahan Allah kok."(sms jam21.35 tanggal 9 Desember 2006, ejaan disesuaikan).

Bukankah yang kita cari dalam hidup ini semata-mata keridhaan Allah yang tidak terlalu terpaku dan terpukau oleh surga? Hamba yang tulus bukanlah seorang buruh Tuhan yang selalu menuntut kenaikan upah, bukan? Jam terbang spiritual kita mari sama kita tinggikan lagi, agar panorama yang terlihat semakin terhampar luas tanpa batas. Janganlah kita merasa mampu berjalan di langit untuk mengutip Iqbal lagi, sementara di bumi kita terkapar.

Akhirnya selama posisi umat masih dalam keadaan lemah lahir batin seperti sekarang ini, selama itu pulalah dialog yang sehat, dingin, konstruktif dan bermutu tinggi akan sulit dilakukan. Kecemasan yang sangat akan kehilangan jumlah umat merupakan monster yang menakutkan di kalangan sebagian kita.  Hanya sedikit di antara kita yang benar-benar berorientasi kepada kualitas sehingga diktum Alqur'an (Al-Baqarah148): fastabiqu al-khairat (berlombalah dalam kebajikan) dapat kita menangkan. Menang bukan untuk menindas dan melecehkan pihak lain, tetapi untuk menebarkan rahmat di muka bumi. Semoga saya tidaklah berada dalam kategori kufur dalam berpikir.

No comments: