Thursday, August 06, 2015

Wawancara Eksklusif bersama Akhmad Sahal perihal Islam Nusantara

http://koranopini.com/tokoh/wawancara/4792

Wawancara Eksklusif bersama Akhmad Sahal perihal Islam Nusantara

KoPI | Gagasan Islam Nusantara menjadi diskursus di ruang publik Indonesia menjelang muktamar NU ke-33. Gagasan ini mendapatkan respon pro dan kontra dalam khasanah ke-Islam-an masyarakat Indonesia. Kelompok kontra melihat gagasan ini sebagai proyek politik dan menimbulkan kontroversi.
Sedangkan kelompok yang pro mengapresiasi pandangan tersebut sebagai bagian dari proses peradaban keislaman itu sendiri.
Berkaitan dengan gagasan Islam Nusantara, Fahrul Muzaqqi (FM), Litbang KoPi, melakukan wawancara eksklusif dengan Akhmad Sahal (AS), pemikir cemerlang muslim NU di Jepara di antara persiapan penyelesain bukunya tentang Islam Nusantara: dari Ushul Fiqih hingga Paham Kebangsaan.
Kandidat Doktor dari Pennsylvania University, Amerika Serikat ini menjelaskan gagasan Islam Nusantara secara rileks namun mendalam.
FM : Apa sebenarnya yang melatarbelakangi wacana/ide Islam Nusantara?
AS : Sebenarnya ide itu (Islam Nusantara, red) kan PBNU, tema resmi Muktamar dengan judul menjadikan Islam Nusantara memberikan kontribusi terhadap Indonesia dan peradaban dunia, kalau tidak salah begitu.
Saya melihatnya sebagai, pada level tertentu adalah reaksi NU terhadap maraknya gelombang gerakan transnasional, seperti HTI, Salafi, Wahabi, yang mana pertama, kebanyakan mereka itu bersikap memusuhi budaya lokal, kemudian membawa model ke-Islaman yang cenderung tidak ramah, konfrontatif lah.
Nah, NU merasa bahwa wacana ke-Islaman yang mereka bawa selama ini, yaitu ke-Islaman Walisongo, yang kemudian diteruskan oleh ulama-ulama ahlus-sunnah itu ke-Islaman yang toleran, damai dan terbuka, akomodatif terhadap budaya setempat.
Alasannya karena faktor sejarah. Jadi dakwah Islam itu di Indonesia sejak dulu kan tidak melalui peperangan, tapi melalui budaya yang ada, budaya agama lain atau budaya Indonesia itu tidak diberangus, tetapi dirangkul, dibikin selaras dengan Islam, “dipakai”. Pendekatannya bukan anti-kebudayaan tetapi merangkul kebudayaan dan menjadikannya diisi muatan Islam.
FM: Apa sebenarnya gagasan di balik Islam Nusantara itu?
AS :Nah kalau gagasan dibaliknya, tadi saya bilang itu reaksi terhadap sebuah arus gerakan puritanisme atau gerakan transnasional. Tetapi pada level ide, sebenarnya Islam Nusantara ini bisa dilihat sebagai kelanjutan dari wacana pribumisasi Islam yang dilontarkan Gus Dur.
Pribumisasi Islam itu intinya yang penting itu bagaimana agar penerapan hukum Islam itu mengapresiasi atau menimbang kebutuhan-kebutuhan lokal (faktor lokal) sehingga tujuan utama dari syariah yaitu menciptakan maslahah itu bisa membumi.
Jadi ada faktor yang sifatnya genuine dari ide Islam Nusantara. Artinya itu memang dari segi epistemologi, ushul fiqh, itu punya dasar. Misalnya soal penghargaan terhadap urf, budaya setempat itu perlu dihargai ketika menerapkan hukum.
Yang perlu digarisbawahi adalah ini bukan pada level mengubah hukum Islam, tetapi pada level penerapannya. Jadi bagaimana supaya penerapannya itu tidak mengabaikan faktor kebutuhan yang ada di masyarakat setempat.
FM: Apa gambaran visi yang ingin didiseminasikan/dicapai dalam gagasan itu?
AS: Nah kalau itu saya sebenarnya berharap ada pembahasan khusus mengenai Islam Nusantara, baik aspek istilah itu sendiri maupun yang anda sebut tadi, soal diseminasi, itu kan soal strategi. Tetapi yang saya tangkap adalah ada semacam upaya dari NU untuk tidak sekedar defensif, tapi mereka lebih pro-aktif, misalnya dengan memperkuat jaringan ulama ahlus-sunnah wal-jamaah.
Tapi saya belum tahu persis ya, karena ini kaitannya dengan policy ya, dengan strategi, yang saya kira hubungannya dengan keputusan Muktamar.
FM: Apa saja yang khas (perlu digarisbawahi) bahkan “baru” dalam gagasan Islam Nusantara, yang membedakan dengan, katakanlah gagasan Islam Rahmatan Lil’alamin, Islam Kaffah, Islam Liberal, Islam Berkemajuan atau mungkin gagasan-gagasan berlabel Islam yang lain-lain?
AS: Kalau menurut saya, yang menarik dan layak dielaborasi dalam ide Islam Nusantara adalah bahwa ini sebenarnya adalah bentuk pengalaman Islam yang komprehensif atau kaffah atau menyeluruh dengan menggunakan ushul fiqh.
Menyeluruhnya gimana? Dalam ajaran Islam itu ada aturan-aturan yang sifatnya tsawabit (tetap), seperti aqidah, ibadah, itu tetap, dimana-mana sama, kapanpun sama. Islam Nusantara tidak di situ mainnya. Islam Nusantara mainnya di level aturan yang sifatnya mutaghoyyirot (berubah-ubah), itu pada level muamalah, ‘awaib atau budaya.
Nah yang berubah-ubah itu maksudnya gimana? Hukum syariah itu hanya menetapkan prinsip-prinsipnya. Prinsip itu adalah maslahat. Nah, maslahat itu kan memperhitungkan ruang dan waktu. Kalau ruang dan waktunya berubah, hukumnya bisa berubah. Nah, aspek mutaghoyyirot itu adalah ruang dimana ekspresi ke-Islaman itu bisa berbeda satu sama lain, satu tempat dengan tempat lain.
Ini disebut kaffah karena dengan menjalankan prinsip itu tadi, sebenarnya kita menjalankan syariah. Jadi kalau misalnya ya, Kyai Sahal Mahfudz, bilang bahwa inti dari syariah itu kan keadilan, di luar soal ibadah lho! Keadilan itu berubah setiap waktu, setiap konteks.
Dalam konteks Indonesia, keadilan itu ya demokrasi. Implikasinya, hukum-hukum lama yang tidak cocok dengan keadilan dalam konteks demokrasi, misalnya kafir dzimmy yang menempatkan non-muslim sebagai warga negara kelas dua, itu bukan aspek yang tsawabit, bukan hukum yang tetap, tetapi itu mutaghoyyirot, yang berubah-ubah.
Jadi itu yang harus diperbaharui. Itu ranah ijtihad yang harus disesuaikan, karena kalau dipertahankan justru malah mencederai prinsip keadilan itu sendiri.
Jadi yang khas adalah bahwa Islam Nusantara itu menawarkan bentuk pemahaman ke-Islaman yang komprehensif, yang kaffah, tetapi dengan metodologi yang bener. Kalau Islam kaffah ala HTI atau Salafi itu semuanya dianggap tsawabit, jadi nggak berubah. Padahal dalam ajaran Islam itu ada yang tsawabit ada yang mutaghoyyirot.
Kalau hal yang mutaghoyyirot itu dipertahankan justru bisa mendatangkan sesuatu yang bertentangan dengan prinsip Islam. Misalnya soal khilafah. Nah, yang penting itu kan sebenarnya bukan bentuknya, tetapi bahwa misalnya musyawarah, keadilan, kesetaraan, gitu kan?! Maslahat itu di situ. Nah kalau sistem khilafah itu diterapkan, lha kita kan bukan zaman khulafaur-rasyidin, khilafah setelah itu kan dinasti, dinasti itu monarki, dan monarki itu nggak bisa dikontrol.
Jadi malah justru kalau dipaksakan itu banyak menimbulkan mudhorot. Wong yang demokrasi saja, yang bisa dikontrol saja sering bermasalah kan, apalagi yang nggak bisa dikontrol. Jadi kelemahan dari kaum Islam kaffah yang ada (HTI, Salafi) itu adalah mereka itu memperlakukan semuanya itu tsawabit. Nah itu kan nggak sesuai dengan metodologi hukum Islam.
Bedanya dengan JIL, JIL itu tidak berangkat dari prinsip kekomprehensifan Islam. Seakan-akan Islam itu soal personal, kalau urusan publik itu urusan rasionalitas. Kalau Islam Nusantara enggak, semuanya itu diatur syariah, cumak ada aturan syariah yang tsawabit, ada aturan syariah yang berubah-ubah. Kunci itu, soal tsawabit dan soal mutaghoyyirot itu kunci.
Sedangkan dengan Islam Rahmatan Lil’alamin tidak ada perbedaan dari segi orientasinya. Orientasinya kan tetap rahmatan lil’alamin, cumak sebagai istilah itu kurang tegas. Maksudnya tegas itu kalau Islam Nusantara itu kan tegas dalam arti posisinya jelas, misalnya mereka tidak ngutak-atik yang tsawabit tadi, jadi tidak ngutak-atik soal aqidah dan soal ubudiyyah. Yang diutak-atik itu soal mutaghoyyirot­-nya.
Tentu saja arahnya rahmatan lil’alamin, tapi kan istilah rahmatan lil’alamin itu kurang distinct, kurang jernih, terlalu umum. Maksudnya gini, Thariq Ramadhan, cucunya Hasan Al-Bana, itu warga negara Eropa, dia mengembangkan Islam Eropa. Jadi Islam yang cocok dengan konteks ke-Eropa-an. Jadi bagaimana menjadi muslim yang baik, dan pada saat yang sama menjadi warga negara yang baik. Jadi tidak diperlawankan antara ke-Islam-an dan ke-Eropa-an. Nah, Islam Nusantara juga begitu, tidak memperlawankan antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Berikutnya, Islam Bekemajuan, itu bagi saya, dua-duanya (Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan) itu bentuk dua sisi dari koin yang sama, yaitu kontekstualisme Islam, bagaimana Islam supaya kontekstual.
Bedanya, kalau Islam Nusantara itu kontekstualisasi karena perbedaan ruang, tempat, misalnya yang satu Arab, Timur Tengah, yang satu Islam Nusantara. Sementara kalau Islam Berkemajuan itu perbedaan karena zaman, dulu zaman pra-modern sekarang modern. Jadi dua-duanya itu mengandaikan adanya kontekstualisasi. Jadi kontekstualisasi itu levelnya pada aspek mutaghoyyirot dua-duanya.
Kan mutaghoyyirot itu kan hukum bisa berubah, harus fleksibel berdasarkan perubahan zaman dan perubahan tempat. Jadi menurut saya justru itu komplementer, malah bisa disinergikan. Jadi kita bisa mengatakan Islam Nusantara yang menghargai spirit Berkemajuan, dan Islam Berkemajuan yang menghargai maslahat dengan muatan lokal. Jadi Islam Berkemajuan yang berbasis Nusantara, dan Islam Nusantara yang berspirit Berkemajuan.
FM: Apakah diskursus Islam Nusantara ini nantinya berkembang menjadi gerakan sosial (jaringan atau organisasi) ataukah hanya perdebatan intelektual yang bisa ditarik/diklaim ke sana kemari?
AS: Itu pertanyaan bagus karena tema Mukmatar kan “Menjadikan Islam Nusantara Memberi Kontribusi bagi Peradaban Dunia”. Itu alur berpikir, asumsinya, adalah bahwa selama ini pada tingkat global, kalau orang bicara Islam itu kan selalu yang diingat Timur Tengah, dan Timur Tengah kan coraknya selalu violent kan…kekerasan, perang saudara, terus, berdarah lah, Islam itu citranya identik dengan kekerasan.
Nah, PBNU, dengan Islam Nusantara ini, dan mungkin juga mendapatkan support dari pemerintah sekarang, itu punya obsesi bagaimana supaya mengenalkan wajah Islam Indonesia, sebagai alternatif, ini loh ada jenis ke-Islam-an yang lain. Nah, bagaimana strateginya itu saya nggak tahu, itu kan sudah menyangkut kemampuan misalnya menggunakan jaringan teknologi informasi yang canggih, atau seperti apa saya nggak tahu persis, tapi arahnya ke sana. Arahnya bagaimana Indonesia, muslim Indonesia, mengajukan alternatif wajah Islam kepada dunia.
Harus (pula) ada upaya untuk meminimalisir pro-kontra yang tidak produktif, misalnya saling nyinyir, atau saling menghakimi. Daripada begitu mending merumuskan aspek epistemologinya, maksudnya ushul fiqh, qaidah fiqh-nya, bangunan intelektualnya. Jadi bukan hanya menjadi sebuah isu yang menjadi konsumsi media massa atau apa, tapi ada aspek epistemologi, metodologi dan intellectual content.
Artinya, harus dirumuskan, harus memobilisir khasanah pemikiran ke-Islam-an, untuk membikin suatu perumusan yang bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, tentang ke-Islam-an yang menghargai kemashlahatan lokal itu seperti apa, gitu. Namun bukan berarti Islam itu tidak satu, Islam itu satu, tetapi manifestasinya banyak.
Jadi satu dalam keragaman. Ya itu tadi, ini lagi-lagi soal distingsi antara tsawabit dan mutaghoyyirot. Tsawabit itu secara tegas soal aqidah, yang paling pasti itu soal tauhid, nubuwwah, bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dan soal al-ma’at, hari pembalasan. Jadi itu tiga aspek. Iman yang lain itu derivasi dari itu.
Kemudian soal ubudiyyah, berarti ya solat, ya itu lah Rukun Islam. Ini kalau gampangannya itu Rukun Islam dan Rukun Iman, gitu lho... Di luar itu, itu mutaghoyyirot, tadi itu, bandulnya itu prinsip-prinsip. Bukan berarti nggak diatur, ada aturannya, tapi aturan umum, yang justru memberikan keleluasaan, jadi tidak memberatkan, agama memang tidak untuk memberatkan.
FM: Bagaimana wacana Islam Nusantara ini dikaitkan dengan organisasi kemasyarakatan yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah?
AS: Pertanyaan itu akan terjawab kalau ada follow up dengan program-program kongkrit setelah Muktamar untuk menterjemahkan dua jargon tadi, Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan, dengan catatan keduanya dipahami sebagai kontekstualisasi, bukan dipahami sebagai sesuatu yang bertabrakan, tetapi sesuatu yang komplementer. Karena memang harus diakui dua organisasi itulah jangkar bagi kontekstualisasi Islam. Supaya orang bisa melihat bahwa ini dua sisi dari mata uang yang sama.
FM: Bagaimana gagasan Islam Nusantara menjawab/menyikapi tuduhan-tuduhan miring seperti yang disuarakan oleh sebagian kalangan, misalnya bahwa Islam Nusantara ini melembekkan gerakan persatuan Islam, bahwa Islam Nusantara itu sesat dan sebagainya?
Langkah kongkrit yang bisa dilakukan oleh PBNU dan pasti akan dilakukan oleh PBNU adalah menerbitkan sebuah buku, semacam “buku putih”, apa yang mereka maksud dengan Islam Nusantara. Karena pro-kontra kemarin itu kan itu menjadi bola liar, hanya komentar-komentar, tidak ada elaborasi yang sistematis. Itu satu.
Yang kedua, pro-kontra itu macem-macem, ada yang karena tidak tahu, ada yang salah paham, ada yang karena memang menolak ide itu karena mereka adalah pengikut ke-Islam-an yang semuanya dianggap tsawabit.
Islam Nusantara itu dimunculkan untuk merespon ke-Islam-an yang seperti itu, ke-Islam-an yang dikembangkan oleh para pengikut gerakan trans-nasional, seperti Hizbut Tahrir atau Salafi atau yang punya afiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, yang menganggap bahwa kaffah itu menyatunya negara dan agama, dalam arti itu adalah sebuah sistem yang nizom-Islami, sistem Islam itu harus diterapkan tanpa melihat konteks. Jadi bentuk-bentuk itu dianggap tsawabit.
Bagi mereka, mereka itu begitu ngotot dengan bentuk. Sementara Islam Nusantara, atau ke-Islam-an yang memahami mutaghoyyirot itu akan sampai pada pemahaman yang substantif terhadap aspek-aspek yang memang mutaghoyyirot, misalnya soal bagaimana mengatur masyarakat. Yang penting itu kan mashlahat, keadilan, syuro dan kesetaraan atau persamaan.
Itu sudah diuraikan oleh Gus Dur sebenarnya, dalam artikelnya yang kami jadikan di buku Islam Nusantara sebagai semacam manifesto Islam Nusantara. Tepatnya wawancara yang dibikin tulisan, tahun 1989 berjudul Pribumisasi Islam. Intinya pribumisasi itu bukan untuk mengubah Islam, tetapi itu hanya soal bagaimana manifestasinya, ekspresinya itu atentif menghargai tuntutan lokal, kebutuhan lokal.
Jadi gimana supaya mashlahat itu tercapai, gitu lho… Jadi kalau nyinyir-nya itu karena faktor itu ya memang yang tanda kutip mau dilawan. Itu kan implikasinya dia menolak atau tidak menghargai budaya nusantara.
Saya melihat bahwa ini kesempatan bagi kalangan NU dan mungkin pesantren untuk merumuskan ke-Islam-an Ahlush-Sunnah Waljama’ah yang ditandai dengan tawassuth (moderat), tawazzun (seimbang), I’tidal (tegak lurus, tidak bengkak-bengkok) dan tasamuh (toleran). Nah bagaimana menggambarkan ajaran seperti itu menjadi sebuah sistem yang lebih handy, yang lebih berguna bagi ke-Islam-an di Indonesia.
Jadi bukan hanya sekedar prinsip-prinsip umum, jadi bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya begitu. Artinya, kehidupan sehari-hari kan fiqh kan… jadi bagaimana itu tercermin dalam fiqh itu. Tawazzun itu misalnya dalam hal dalil, bukan yang sangat pro-akal sama sekali, tapi tidak juga yang anti-akal, jadi di tengah-tengah. Islam Nusantara itu adalah manifestasi dari ajaran moderasi yang tercermin dalam Ahlus-Sunnah Waljama’ah.
Ini sebenarnya bukan gerakan reaksioner, rekatif terhadap transnational movement itu, karena ini sebanarnya adalah inti atau penegasan kembali dari ajaran Aswaja. Jadi ini adalah penamaan lain Aswaja yang menjadi dasarnya NU. Penekanannya bukan hanya sebagai, misalnya Sunni melawan Syi’i, atau Sunni dalam empat mazhab, melainkan lebih dari itu, ini kaitannya dengan prinsipnya itu, tawassuth, tawazzun, I’tidal dan tasamuh. Itu menjadi patokan NU sejak dulu.
Nah Islam Nusantara kan itu arahnya. Jadi ya, sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru. Jadi keliru kalau dikatakan itu sebagai agendanya JIL atau agenda Islam Liberal, beda banget. JIL tidak bertolak dari syariah, ini kan dari syariah.
Maksudnya JIL bukan berarti anti-syariah, yang saya pahami dan saya tidak setuju, itu adalah bahwa public sphere itu menjadi wilayahnya rasionalitas yang tidak ada intervensi agama. Misalnya, demokrasi ya harus memakai prinsip-prinsip demokrasi, universal. Sementara Islam Nusantara, sama menerima demokrasi, tetapi demokrasi dilihat sebagai bentuk dari menerapkan mashlahat. Jadi ini soal frame-nya. Output-nya mungkin ada titik temu ya, tetapi frame-nya beda.
Gini lah gampangnya gini, Mbah Sahal Mahfudz itu menerima demokrasi bukan karena dia setuju dengan atau belajar Tocqueville, John Locke, Stuart Mill atau siapa lah para pemikir demokrasi, tetapi karena beliau memakai logika fiqh. Jadi gini, logika fiqh itu membawa Mbah Sahal yang hidup pada Abad XXI itu menerima demokrasi. Karena bagi dia, demokrasi-lah saat ini yang paling efektif untuk mengaktualisasikan masyarakat.
Artinya gini, orang seperti Mbah Sahal, kalau hidup pada Abad XVII atau XVI, kalau beliau sama cara berpikirnya, belum tentu menerima demokrasi, akan menerima sistem yang lain, karena sistem yang lain mungkin saat itu cocok. Jadi bukan dalam soal bentuknya, karena Mbah Sahal tetap menerima demokrasi kan?!
Itu soal frame, titik tolaknya itu syariah. Jadi di satu sisi adalah sebuah cara untuk merebut klaim dari kalangan Islam kaffah bahwa mereka lah yang lebih komprehensif Islam-nya. Bukan...! Kalian itu komprehensif dengan cara yang salah, yaitu semuanya dianggap tsawabit.
FM: Oke, terima kasih wawancaranya Bung Sahal..
AS: Sama-sama…

No comments: