Jim B Aditya
(Tulisan ini saya kembangkan dari komentar saya di status seorang tokoh. Atas komentar itu saya dibilang bodoh dan dituduh ikut senang jika KPK dibubarkan. Saya jawab dalam hati "Saya memang bodoh tapi saya punya imajinasi.")
.
Tak dapat dielakkan memang, kalau kini banyak orang yang mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi. Mereka membandingkannya dengan mantan Presiden SBY, yang mau turut campur membela pimpinan KPK saat pecah konflik cicak buaya. Sementara Jokowi memilih diam dan terkesan tidak mau ikut campur ketika KPK diserang dan dilemahkan oleh berbagai pihak.
Siapakah yang bersikap lebih bijak? Mantan Presiden SBY-kah? Atau Jokowi?
Sama seperti kecurigaan banyak sahabat, saya pun awalnya berprasangka buruk pada Jokowi. Ikut kecewa dan mengganggap Presiden pilihan rakyat itu sudah melanggar janjinya saat kampanye di pilpres yang lalu. Tapi benarkah Jokowi tidak peduli dengan KPK? Atau benarkah dia tidak peduli dengan pemberantasan korupsi di negeri ini?
Rasanya tuduhan itu kok terlalu terburu-buru. Prasangka sepihak yang sama sekali tak memberi ruang atau cakrawala untuk mengkaji ada apa di balik sikap diamnya Jokowi.
Andai kita mau berpaling sebentar ke belakang, dan memutar ulang kisah perjalanan KPK sejak lembaga itu berdiri hingga kini, mungkin kita bisa memahami sikap Jokowi. Tanpa bermaksud mengecilkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi, kehadiran lembaga ini sebetulnya lebih banyak mendatangkan kehebohan daripada memberantas korupsi.
Sejak kasus Antasari, lalu Susno Duadji yang bergulir menjadi konflik cicak buaya. Kemudian kasus Bibit-Chandra, kasus simulator SIM, Novel Basweda, kriminalisasi pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dan banyak lagi kejadian yang membuat KPK tak ubahnya seperti ring tinju. Atau tempat berlangsungnya sebuah acara entertainmen yang selalu ramai diliput oleh awak media. Baik media cetak maupun elektronik. Dari dalam dan luar negeri.
Lalu dengan segala kehebohan yang membuat malu nama bangsa di dunia internasional itu, apakah korupsi menjadi berkurang? Tidak. Malahan semakin menjadi-jadi. Semakin kuat lembaga KPK, semakin keras pula perlawanan dari para pesakitan. Pun calon pesakitan, yang saya berani taruhan, masih sangat banyak jumlahnya di republik ini.
Nah, Apakah Jokowi mau ikut terlibat dalam hiruk-pikuk yang melelahkan ini? Hiruk-pikuk yang menguras waktu, uang, tenaga, dan pikiran? Atau dia memilih jalan sunyi? Jalan samurai? Yang mencoba memerangi korupsi dengan caranya sendiri?
Tampaknya nalar Jokowi memilih jalan yang terakhir. Dia lebih suka memerangi korupsi dengan cara mencegah sebelum hal itu terjadi. Dia berkerja. Dia membenahi birokrasi. Dia memangkas pos-pos perizinan. Dia meneruka jalan agar semua tampak lebih jernih dan transparan. Dengan kendali kekuasaan yang kini ada padanya, dia mencoba membasmi korupsi mulai dari akarnya. Bukan dengan cara menangkapinya setelah kejadian, atau setelah cukup barang bukti. Memberantas korupsi jauh lebih efektif, efisien, dan berdampak jangka panjang bila dilakukan lewat membangun sistem pemerintahan yang bersih.
Di sisi lain, dia juga memburu mafia impor berbagai kebutuhan pokok. Dia membabat kanker korupsi yang sudah menahun di pelabuhan. Dan jangan lupa, hanya disaat pemerintahan Jokowi, menteri Susi berani membekukan dan menyita aset lima perusahaan perikanan yang disinyalir melakukan illegal fishing selama puluhan tahun di perairan Indonesia. Dua di antaranya adalah milik Tomy Winata, yang dalam dua periode pemerintahan SBY, dibiarkan bebas mengeruk kekayaan laut kita.
Jadi janganlah terlalu terburu-buru mencap Jokowi tidak berpihak kepada KPK. Dia sendiri sudah menjelma menjadi KPK.
No comments:
Post a Comment