Tuesday, January 22, 2019

6 (ENAM) KISI DEBAT ENERGI

https://www.facebook.com/andang.bachtiar/posts/10214882775675525


Andang Bachtiar
Geologist Merdeka


6 (enam) hal yg diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di”citra”kan) oleh Jokowi di debat Capres ttg energi nanti, yaitu hasil brief-up dr para pembantunya terutama dr Menteri dan Wamen ESDMnya dan juga dr Tim Pemenangannya yg khusus menangani bidang energi.
Enam hal tersebut perlu dikritisi. Tujuannya: supaya Jokowi lebih selektif dan berhati-hati dalam menyampaikannya shg citra baiknya selama ini tidak tercederai ... atau malah jangan menyampaikannya sama sekali spy nggak “blunder” dalam debat capres nanti.
Kalau tetap saja Jokowi menyampaikan dg modus spt yg selama ini dicitrakan oleh para pembantunya, harapan berikutnya: semoga kisi-kisi ini dapat dipakai oleh Prabowo - Sandi untuk mengimbangi Jokowi. Supaya nggak njomplang2 bangetlah spt di debat pertama kemarin.
Lebih jauh lagi: kalau Prabowo-Sandi bisa menyuarakan kritik berikut ini ke Jokowi - MA dlm debat energi, insyaallah juga rakyat Indonesia akan bisa lebih melek energi. Citra Prabowo-Sandi-pun mungkin akan sedikit terangkat dlm debat itu. Mungkin lho,... tergantung juga dari kesiapan mereka di topik2 yg lain spy gak ngawur2 banget spt di debat pertama kmrn.
Selain itu, dg memunculkan kritik2 di bawah ini dalam suasana debat capres skrg2 ini, mudah2an siapapun pemimpin kita ke depan nanti: dia/mereka nggak akan gampang percaya begitu saja omongan dr org2 sekitarnya yg cenderung hanya menunjukkan yg baik2 saja dan menyembunyikan yg gagal supaya bisa dikoreksi, atau bahkan mencitrakan yg sebenarnya tidak baik menjadi baik, sehingga menyesatkan semuanya.
1. Tingkat RASIO ELEKTRIFIKASI nasional insyaallah akan diklaim Jokowi meningkat dengan pesat, hampir mencapai 100% - dan untuk menekankan kepedulian pemerintah yg skrg pada rakyat di pelosok: mungkin akan dimunculkan statistik jumlah desa yg brhasil dilistrik-i selama ini).
KRITIKNYA: Listrik di desa2 dan di pelosok itu keberlangsungannya diprediksi hanya jangka pendek saja : karena hanya mengandalkan pada pembagian LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) tanpa membangkitkan dan atau mengembangkan kemampuan masyarakat mengelola pasokan energinya sendiri. ...... Kalau hanya sekedar membagi perangkat Lampu Tenaga Surya portable saja, jaman SBY pun sdh banyak dilakukan oleh ESDM, dan hasilnya: setelah 2-3 tahun: mangkrak, tidak terpelihara, rusak dan nggak ada / sulit nyari komponen penggantinya. Akhirnya jadi gelap gulita lagi.
SOLUSI: Pada awal pemerintahan Jokowi sebenarnya sdh ada program bagus untuk masyarakat desa dan daerah2 pelosok dengan mengirimkan para sukarelawan patriot energi ke lokasi2 itu untuk hidup bersama mereka dan membangkitkan kemampuan masyarakat menyediakan dan mengelola energinya sendiri (termasuk lampu tenaga surya kalau memang itu pilihannya). Tetapi program itu dihentikan setelah 1,5 th berjalan karena menterinya ganti. Sayang sekali.
2. Jargon “ENERGI BERKEADILAN” insyaallah akan diungkapkan Jokowi sebagai pencapaian penting kita 4-5 th terakhir ini, dengan contoh2: BBM satu harga, Harga listrik yg tidak naik-naik, melistriki desa-desa yg dulunya nggak ada listrik, konversi BBM ke BBG untuk nelayan, konverter kit untuk nelayan, dsb.
KRITIKNYA: Intepretasi dan pengejawantahan slogan “energi berkeadilan” oleh pemerintahan Jokowi hasilnya bagus dan populer untuk rakyat dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang justru melemahkan / melumpuhkan usaha-usaha penguatan pasokan energi di hulu, baik migas maupun kelistrikan, serta memperburuk iklim investasi. Pertamina jadi kehilangan kekuatan dan kelincahan untuk investasi di sektor hulu (eksplorasi dan EOR) dan juga di midstream (kilang), karena sebagian besar keuntungan tersedot ke bisnis BBM hilir tersebut. Demikian juga investasi-investasi di pembangkit-pembangkit ET jadi tersendat karena keekonomian yg tdk kompetitif untuk pengusaha karena Pemerintah mau energi yg murah untuk rakyat tapi tdk mau ada subsidi ET.
Oleh karena itu perlu intepretasi yang lebih cerdas terhadap penerapan slogan tersebut melalui dukungan kebijakan dan regulasi serta strategi yang lebih cost-effective, dan memberikan dukungan iklim usaha yang positif dalam jangka panjang.
SOLUSINYA: Dalam hal penyediaan BBM, salah satu cara memeratakan energi adalah merealisasikan pembangunan dan operasionalisasi kilang-kilang mini di berbagai daerah pelosok Indonesia yang mempunyai atau dekat dengan area sumberdaya/cadangan minyak bumi tanpa harus menargetkan bagian negara dari pengusahaan tersebut yang selama ini menghambat pelaksanaannya. Dengan demikian harga BBM di pelosok-pelosok itu akan lebih murah atau relatif sama dengan yang ada di pulau Jawa karena pasokan dari kilang-kilang mini terdekatnya.
3. Kemungkinan besar Jokowi juga akan menampilkan fakta bahwa PENDAPATAN NEGARA DARI MIGAS sdh “bounch-back” dua tahun terakhir ini melebihi target2 yg dituliskan dalam APBN. Itu semua adalah blessing in disguise karena naiknya harga minyak bumi dunia, bukan karena prestasi kita. Kita memang patut mensyukurinya. Tetapi kalau pernyataannya terlalu berlebihan, maka bisa jadi kita lupa bahwa produksi migas kita sebenarnya merosot tidak sesuai dengan target2 yg diberikan selama ini.
KRITIKNYA: Peng-utama-an prinsip sumber daya migas sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih terus terjadi, meskipun Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2004 (12 tahun yang lalu). Memacu PNBP dari sektor migas sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan UU Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menempatkan energi - termasuk minyak dan gas bumi - sebagai modal dasar pembangunan dan bukan sebagai penghasil revenue semata. Kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk meningkatkan produksi migas kita, bukan sekedar meningkatkan pendapatan dari migas yang pada 2018 kemarin mengalami kenaikan (Rp 197 T) lebih dari yang ditargetkan (Rp 125 T). Itu semua adalah berkah dari kenaikan harga minyak bumi dunia yang ternyata melebihi dari patokan harga minyak yang kita targetkan dalam APBN, bukan prestasi pekerjaan kita, sementara produksi minyak bumi kita sendiri hanya 778 ribu barrel per-hari, lebih rendah dari target 800 ribu barrel per-hari.
SOLUSINYA: kita harus terus fokus untuk mempertahankan produksi migas kita aesuai dengan rencana (RUEN) kalau bisa malahan melebihinya. Bukan tenggelam dalam euphoria naiknya harga minyak dunia yg membuat APBN kita ikut berbahagia. Maka usaha2 untuk memudahkan Eksplorasi dan EOR adalah dua kata kunci program yang harus kita jalankan untuk menyelamatkan produksi migas kita.
4. Insyaallah Jokowi juga akan menghighlight keberhasilan kita MENGUBAH SISTIM PENGUSAHAAN MIGAS dari PSC KONVENSIONAL MENJADI PSC GROSS SPLIT dengan pencapaian 14 blok eksplorasi baru dan 22 blok produksi habis kontrak / blok POD baru semuanya memakai PSC GS ini. Kemudian akan dinyatakan juga bahwa dg adanya 36++ blok migas memakai GS contract itu maka ke depannya eksplorasi akan makin ramai dan tentunya produksi eksisting akan bisa dipertahankan seusai rencana. Semoga. Tapi tunggu dulu, ternyata ada “catch” dibalik itu semua. Perhatikan kritik di bawah ini.
KRITIKNYA: Perubahan kontrak migas dari skema Production Sharing Contract (PSC) menjadi Gross split menimbulkan ketidakpastian terhadap investasi migas, terutama dengan adanya klausul diskresi pemerintah c.q. Menteri ESDM terhadap perubahan prosentase split, yang bisa bertambah untuk kontraktor - tapi bisa juga berkurang - tergantung persepsi keekonomian dari Menteri ESDM, sewaktu-waktu.
Oleh karena itulah maka tidak ada satupun dari perusahaan-perusahaan migas raksasa ex 7-sister yang meminati kontrak blok-blok migas eksplorasi yang ditawarkan dalam 2 tahun terakhir ini. Hanya perusahaan-perusahaan kelas menengah atau kecil dengan portofolio eksplorasi jangka pendek yang bermain di bursa saham yang mencoba untuk berkontrak PSC Gross Split dg Pemerintah di 14 blok eksplorasi yang diklaim sebagai tonggak kesuksesan sistim kontrak baru tersebut.
Seperti kita ketahui, portofolio bisa dipercantik, digadang-gadang, digoreng, kemudian “diperjual-belikan” hanya untuk kepentingan “gain” dari permainan saham. Kita masih harus menunggu realisasi dari komitmen-komitmen eksplorasi yang dijanjikan para pemegang kontrak PSC Gross Split itu, sementara pekerjaan rumah kita untuk mempermudah proses investasi dan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia masih harus kita kerjakan. Hal itu terutama terkait dengan masih buruknya persepsi para pengusaha migas atas kemudahan berinvestasi hulu migas di Indonesia, yang salah satunya ditunjukkan oleh survei Fraser Institute yg 2 tahun berturut-turut memposisikan Indonesia di 10 urutan terbawah dari daftar negara yg dipersepsikan “sulit” itu.
5. Kemungkinan juga Jokowi akan bbrp kali mengulang jargon bahwa “kunci keberhasilan mempertahankan produksi migas kita ke depan adalah dengan EKSPLORASI DAN EOR”, dua kata kunci keramat yg selalu didengung2kan oleh semua aparat birokrasi pemerintahan kita seolah semuanya sama-sama lulusan kursus Geologi Perminyakan GL401. Tetapi : apakah yg sdh kita lakukan dalam 4 tahun terakhir ini untuk EOR? Mari kita simak kritik di bawah ini:
KRITIKNYA: Peningkatan produksi minyak bumi dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) tidak berjalan walaupun PTK SKKMigas untuk Pengadaan telah direvisi untuk mempermudah EOR dan rencana program nasional EOR telah dibahas dan dimasukan kedalam Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.
Tidak berjalannya EOR ini disinyalir karena minimnya insentif bagi K3S pada rezim fiskal yang berlaku untuk menerapkan teknologi ini baik di PSC Gross Split apalagi di skema PSC konvensional.
Untuk PSC Gross Split harapan tetap digantungkan kepada diskresi Menteri ESDM, yang kemungkinan di jangka panjang bisa saja berubah, alias tidak pasti.
Selain itu dari 32 lapangan minyak kandidat EOR yang dimasukkan dalam rencana program nasional di Perpres 22/2017, 23 lapangan diantaranya (72%) sedang dan akan dioperasikan oleh Pertamina, termasuk Lapangan Minas yang di Blok Rokan.
SOLUSI: Karena EOR ini membutuhkan investasi yang cukup besar dengan tenggang waktu yang cukup lama maka apabila kemampuan finansial dan prioritas investasi Pertamina sendiri tidak didorong kuat - oleh Kemen BUMN dan atau ESDM - untuk siap melaksanakannya, maka rencana umum program nasional EOR itu hanya akan jadi rencana. Jadi harus ada dorongan kuat, dari Presiden langsung kalau bisa untuk spy program EOR kita ini jadi terlaksana.
6. Mudah2an Jokowi nggak menyinggung soal PEMBANGUNAN KILANG BARU, karena memang tidak ada progress berarti selama 5 tahun ini, walaupun sdh direncanakan dan digadang2 bbrp kali. Kalaupun toh menyinggung mungkin hanya akan disinggung penandatangan kontrak EPC untuk penambahan kapasitas kilang di Balikpapan Desember th 2018 lalu.
KRITIK: Pembangunan kilang baru jaman Jokowi memang: nihil, dan peningkatan kapasitas kilang lama serta pembangunan jaringan gas belum menunjukkan kemajuan berarti selama empat tahun terakhir. Implementasi Refinery Development Master Plan (RDMP) berupa pengembangan kapasitas kilang Cilacap, Plaju, Balongan, Dumai, dan Balikpapan dengan nilai investasi Rp. 246 triliun berjalan sangat lambat. Keseluruhan program RDMP sepertinya tidak akan selesai pada 2022. Stagnasi pembangunan kilang baru dan keterlambatan RDMP mengancam keamanan pasokan energi.
SOLUSI: Untuk itu tindakan drastis harus dilakukan yaitu menetapkan kilang sebagai infrastruktur ekonomi dan dibangun tanpa menghitung IRR, seperti pemerintah membangun pelabuhan, membeli alutsista, membangun jalan non-tol, jembatan dan sejenisnya. Setelah terbangun, serahkan kepada Pertamina sebagai penyertaan modal negara. Dengan demikian maka ketergantungan kita selama bertahun-tahun kepada kilang-kilang minyak luar negeri (salah satunya ke Singapura yang punya kapasitasnya sampai 1,5 juta barrel per hari) dapat diatasi.
SALAM SATU JIWA
AREMA - GEOLOGIST MERDEKA
ADB,
pagi bersalju,
22 JANUARI 2019

Andang Bachtiar Sebenarnya ada 1 lagi yg kemungkinan dikeluarkan sebagai jurus Debat Energi Jokowi. Kita sebut saja nomer 7 atau addendum. Begini:

Untuk menangkal tuduhan Asing dan atau Aseng, Jokowi sering menyampaikan bahwa kita sudah dapat menguasai asset kita yg 
dulunya dikuasai asing, yaitu melalui pengambilalihan Blok Mahakam, Sanga Sanga, Rokan dsbnya (terakhir disampaikan dlm pidatonya di depan alumni UI dan bbrp PT lain di Senayan 12 Januari 2019 yang lalu). 

KRITIKNYA: Secara kontrak PSC, klaim ini tidak benar. Dari dulu aset Mahakam, Rokan dsbnya adalah milik negara, bukan milik kontraktor. Bahwa pemerintah akhirnya memutuskan asset tsb dikelola Pertamina adalah sepenuhnya hak prerogatif pemerintah yg diatur oleh UU Migas.

Kalau Jokowi menyatakan ini dlm debat maka bisa bisa dia jadi sasaran tembak lawan untuk menunjukkan bhw Jokowi dan/atau para pembantunya nggak mudheng ttg kontrak PSC yg sdh 50th lebih diterapkan di negeri ini.

SOLUSINYA: hindari dari mengklaim penyerahan Blok2 Mahakam, Rokan dsb ke Pertamina itu sebagai bukti bahwa kita bukan proxy-nya Asing atau Aseng. Tetapi lebih tekankan keberhasilan pengambilalihan2 itu pada usaha pemerintah untuk lebih MEMBESARKAN, MEBERDAYAKAN, MENUMBUHKEMBANGKAN DAN MENGUATKAN PERTAMINA. Supaya kedepan nanti Pertamina bisa jadi world class company shg lebih bermanfaat buat rakyat, bangsa dan negara Indonesia, siapapun Presidennya 5-10 tahun mendatang. Lak elok to? ðŸ˜ŽðŸ¤·‍♂

No comments: