Sunday, December 26, 2010
Kebijakan Baru dalam Penanganan Bencana
Kamis, 23 Desember 2010 23:11
oleh: Surjono H. Sutjahjo
Bila kita mengulas kembali kebelakang, telah terjadi kemerosotan lingkungan hidup yang ditandai dengan terjadinya bencana alamiah maupun akibat ulah manusia. Banjir, longsor, tsunami, letusan gunung, kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain telah menelan korban jiwa dan kerugian yang dirasakan oleh seluruh bangsa Indonesia. Berdasarkan Asia-Pacific Disaster Report 2010 yang disusun oleh Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia dan Pasifik (ESCAP), sejak tahun 1980 sampai 2009 bencana alam Indonesia telah mencatat kerugian yang sangat besar, 191.164 orang meninggal (peringkat ke-2), 17.545.000 orang menjadi korban (peringkat ke-9), dan kerugian ekonomi mencapai US$.22.582 miliar (peringkat ke-8).
Di sisi lain, bantuan dan relawan terus mengalir, menunjukkan kepedulian bangsa ini kepada sesamanya. Namun masih saja terkesan “lamban” dan “tidak merata”, apa penyebabnya? Padahal, kejadian bencana sering terulang, 312 kejadian (peringkat ke-4), angka ini menunjukkan bahwa bumi Nusantara ini memang akrab dengan bencana, namun tetap saja tidak ada kesiapsiagaan untuk mengantisipasinya.
Kurang Kesiapsiagaan dan koordinasi dalam Penanganan Bencana
Dalam UU No.24 Thn 2007 tentang Penganggulangan Bencana, definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Standar tanggap darurat juga sudah diatur dalam UU ini, melalui koordinasi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“Kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana”-lah yang menjadi faktor kunci dalam penanggulangan bencana. Namun Indonesia tidak pernah belajar pada sejarah. Contohnya, di negeri ini pernah terjadi gempa besar dan tsunami akibat meletusnya Gunung Krakatau (1883), gempa yang mengakibatkan tsunami di Aceh (26 Desember 2004), dan gempa 7,6 Skala Richter di Padang. Ketidaksiapsiagaan terjadi di Kepulauan Mentawai (25 Oktober 2010), gempa tektonik 7,2 SR terjadi dan berpotensi tsunami, namun tidak ada peringatan dari pemerintah akan potensi terjadi tsunami. Hal ini, konon dikarenakan alat pendeteksi tsunami rusak setelah tiga bulan berada di perairan Mentawai sehingga tidak bisa terhubung dengan satelit. Akibatnya 509 orang meninggal dan 21 orang dinyatakan masih hilang (BPBD Padang, 18/11/2010).
Penanganan bantuan pun masih sangat lamban, setelah enam hari kejadian, kondisi korban di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan masih memprihatinkan. Padahal Presiden SBY sudah menginstruksikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk segera melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Hal ini dikarenakan kondisi gelombang yang tinggi, padahal Kepulauan Mentawai memang terkenal dengan gelombang yang tinggi dan justru menjadi daya tarik wisatawan asing untuk berselancar. Ombak di Kepulauan Mentawai merupakan peringkat ketiga terbaik setelah Hawaii dan Tahiti (Martin Daly, peselancar dunia), tercatat 12 ribu orang peselancar (detik, 1997) datang ke Mentawai dan memberikan PAD yang besar bagi Sumatera Barat.
Ketidaksiapsiagaan kembali terulang di Gunung Merapi (26 Oktober dan 5 November 2010), menyebabkan 232 orang meninggal dan 561.328 orang mengungsi (BNPB, 11/11/2010). Padahal pada 25 Oktober 2010, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta sudah merekomendasikan status “awas”, namun tetap saja “terlambat”.
Begitu juga yang terjadi di Wasior, Papua Barat. 153 orang meninggal dan 120 orang hilang (BNPB, 15/10/2010). Pemerintah beranggapan banjir bandang yang terjadi bukan akibat illegal logging, melainkan akibat intensitas hujan yang tinggi dan pemekaran wilayah yang tidak mengikuti kaidah lingkungan. (lihat : Wawancara inilah.com), namun tetap saja Pemerintah kembali terlambat melindungi warga negaranya.
Kita memang sudah memiliki UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai terobosan dalam penanggulangan bencana. Namun, kinerja aparat dalam bentuk pendistribusian logistik bantuan saja masih lamban dan tidak merata, bahkan masih selalu terdapat kekurangan, terutama air bersih dan makanan. Pengerahan bantuan saja masih mengandalkan partisipasi relawan. Hal ini mungkin terjadi akibat koordinasi yang kurang sinergis, dan perlu penegasan dalam UU tersebut mengenai peran BNPB dalam struktur komando penanganan situasi darurat. Bila tidak dijelaskan secara tegas rantai komandonya, maka akan sulit untuk berharap BNPB dapat menjadi solusi dari semua permasalahan bencana di Indonesia, karena BNPB dibentuk sebagai pusat koordinasi antara berbagai institusi dan lembaga yang berkaitan dengan penanganan bencana, dan seringkali koordinasi antar lembaga terbentur oleh aturan serta masalah birokrasi.
Dalam proses pengadaan dan pendistribusian bantuan, pemerintah dapat saja membuat kebijakan dalam bentuk PP yang lebih “memaksa” dengan cara mengambil stok dari produsen/swasta yang memproduksi kebutuhan hidup. Misalnya, kepada perusahaan mie instant atau air kemasan; pemerintah tinggal memerintahkan mereka untuk mengeluarkan setahun pajaknya dalam bentuk mie instant atau air kemasan. Begitu pula dengan perusahaan dengan produk selimut, obat-obatan dan lainnya yang dibutuhkan dalam keadaan bencana. Dengan cara ini, penanganan bantuan akan lebih cepat dan tidak perlu “mengemis” kepada negara lain. Sistem kerjasama regional juga harus mulai dilakukan. Apabila suatu daerah terkena bencana, maka daerah terdekat secara sistematis memberikan bantuannya.
Selain itu, bencana merupakan masalah serius bagi pertahanan nasional, maka perlu dibuat/ditambahkan dalam UU tersebut mengenai pengerahan komponen sistem pertahanan negara. Kita harus belajar kepada Jepang, yang sudah memiliki undang-undang penanganan bencana dan lebih antisipatif dan serius dalam menangani bencana.
Perlu pendidikan dalam menghadapi bencana
Dalam keadaan bencana, sudah pasti terjadi kepanikan dan hilangnya moril. Untuk itu, pendidikanlah jawabannya. Selain didukung oleh Undang-undang penanganan bencana, pelatihan standar evakuasi dan kesiapan dalam menghadapi bencana juga harus dilakukan. Berkaitan dengan Hari Ibu Nasional setiap tanggal 22 Desember, pendidikan dalam menghadapi bencana, selain diberikan di bangku sekolah, dapat juga dilakukan dengan pendekatan melalui ibu-ibu rumah tangga. Peranan ibu sebagai pembentuk karakter bangsa ini, yang seharusnya, dengan pendidikan menghadapi bencana, dapat membentuk pribadi bangsa ini menjadi pribadi yang siap dalam menghadapi bencana.
Sehingga tidak ada lagi “pindah paksa” dari lokasi bencana. Ibu-ibu lah yang paling merasakan perlunya air bersih dirumah, untuk memasak, mencuci, mandi dan lain sebagainya. Dengan pendekatan lingkungan berbasis ibu rumah tangga ini juga akan menciptakan sanitasi yang baik, yang berpengaruh pada kesehatan keluarga. Ibu-ibu selayaknya dilibatkan dalam program pemerintah penanggulangan bencana seperti halnya program menanam pohon satu milyar setahun, yang melibatkan ibu-ibu rumah tangga.
Perlu Menko Pengelolaan SDA dan Lingkungan
Bencana juga terjadi akibat ulah manusia. Banjir dan tenggelamnya Jakarta dan Bandung, rob di kota-kota pesisir, lumpur Lapindo, penurunan muka air tanah di kota besar, pencemaran Laut Timor, dan lain-lain, merupakan bentuk bencana akibat paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pertumbuhan dan kemajuan ekonomi tetapi tidak memperhatikan/peduli terhadap masalah lingkungan hidup dan sosial.
Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan masih sangat buruk dan belum terintegrasi dengan baik. Sudah saatnya ada yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan memiliki “manajer lingkungan”. Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II perlu Menko (Menteri Koordinator) bidang pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Menko SDAL ini bertugas sebagai koordinator dalam pengelolaan SDA dan menjaga agar pembangunan tidak merusak kelestarian lingkungan dan berlandaskan azas pembangunan berkelanjutan.
Kewenangan operasionalnya meliputi bidang penelitian, konservasi SDA, termasuk pengelolaan sumber daya mineral nasional dan kehutanan, penataan ruang, pengelolaan sumber daya air, pengelolaan satwa liar dan habitat alaminya, konservasi lingkungan hingga ke level tingkat daerah sesuai dengan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Penutup
Sebagai negeri yang terkenal kaya sumber daya alam, Indonesia juga terkenal sebagai negeri yang rawan terkena bencana alam, sudah saatnya pemerintah merubah kebijakannya menjadi kebijakan baru dengan perangkat aparat yang lebih “antisipatif” dan “siap” dalam menghadapi bencana. Begitu pula dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Indonesia perlu koordinator dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan adanya Menko SDAL, maka mekanisme koordinasi kebijakan dan sinkronisasi kebijakan, pengendalian, pemantauan dan pengawasan dalam bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan dapat ditingkatkan. Hal ini perlu direalisasikan dengan kemauan politik dan good will dari para pemimpin negara untuk mengambil langkah berani dan maju.
Surjono Hadi Sutjahjo
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Staf Pengajar Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB
Saturday, May 29, 2010
Laporan “Perang Israel-Palestina” di Chicago
Bukan rahasia lagi, pertikaian Israel dan Palestina memang melebar sampai melewati batas-batas negara manapun. Pertikaian bersejarah antara dua “negara” ini memang sarat dengan isu politik, ekonomi dan kultural, serta keagamaan. Minggu, 27 Maret 2010 pertikaian Israel vs Palestina terjadi di satu titik historis di Chicago, bernama Water Tower. Orang-orang tidak menggunakan senjata berapi, atau batu, untuk bentuk benda-benda membahayakan lain. Mereka melakukannya dengan santun: para penggiat yang terdiri dari orang-orang tua tersebut berdiri di bawah hembusan angin dingin 4 derajat Celcius dari Danau Michigan, sambil memegang beragam poster dan membagi-bagikan leaflet.
END THE SIEGE OF GAZA
hentikan blokade Gaza
THE SHAMEFUL LEGACY OF APARTHEID WALL
Bagaimana sikap pemerintah Obama sendiri menyikapi dua macam arus macam ini? Presiden Obama mendapat cercaan dari Kongres ketika dia bersikap keras terhadap PM Israel, Netanyahu. Tahun lalu, ketika Wapres Joe Biden berkunjung ke Israel, dia harus menanggung malu. Pesan yang dia bawa dari pemerintahan Obama jelas: misi perdamaian Palestina - Israel diutamakan. Ini berarti bahwa Israel sudah semestinya mengurangi nafsu untuk membangun lebih banyak rumah di tanah Palestina. Namun yang terjadi justru sebaliknya! Hegemoni Israel atas Palestina tidak pernah menyurut, sekalipun mendapat tekanan dari Amerika sekalipun. Kunjungan Netanyahu ke Washington pertengahan minggu lalu jauh dari kesan hangat. Tidak ada protokoler resmi, atau acara foto-foto dengan Presiden Obama - mengesankan betapa Obama tidak mau didikte oleh negara sahabat yang satu ini.
"Engineering" di Tengah Euforia Pilkada
Senin, 26 April 2010 | 16:38 WIB
Oleh Muhlisin
"Rekayasa" semula adalah sebuah istilah yang bersifat netral. Istilah ini diperkenalkan para ahli bahasa sebagai pengganti "engineering" yang semakin kerap dipakai dalam "era pembangunan". Mungkin disebabkan oleh berbagai peristiwa sosial politik yang terjadi selama Orde Baru, istilah ini pun mengalami semacam transformasi nilai. "Rekayasa" tidak lagi memiliki nilai yang netral."
Berbagai penafsiran telah dikenakan kepada istilah yang semula "bermaksud baik" ini. Setiap kali kata rekayasa dipakai dalam peristiwa sosial politik, kesan yang selalu muncul adalah upaya manipulasi realitas demi kelangsungan kekuasaan.
Dalam konteks saat ini, kata "rekayasa" yang sudah tidak netral lagi dikenakan pada berbagai peristiwa politik terutama menjelang pilkada. Dengan berbagai wacana yang menggunakan kekuatan media baik cetak maupun elektronik untuk mewujudkan komunikasi politik parpol tidak lain adalah upaya "merekayasa" publik dengan berbagai jargon yang menjanjikan.
Sebagaimana fenomena yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Mereka selalu dihadapkan pada gumpalan-gumpalan politik demagogis, bahkan politik penghasutan lewat kata-kata eufemisme yang membangkitkan emosi. Keadaan seperti ini tidak lain karena politik kita dipahami sebagai usaha mengendus dan mengintai kekuasaan semata-mata untuk diri dan kekuasaannya sendiri. Hal ini berimbas pada semakin memudarnya politik dari idealnya ilmu politik yang sesungguhnya. Politik hanya dikendalikan dengan sirkulasi uang dan materialisme semu.
Semestinya pemilu sebagai pesta demokrasi dijadikan sebagai ajang untuk memilih calon pemimpin terbaik dari yang terbaik. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pemimpin yang ideal itu memiliki prinsip-prinsip: "the will of people is the only legitimate foundation of any government," demikian tulis Thomas Jafferson pada tahun 1801. Prinsip dan nilai utama demokrasi terletak pada kemampuan para pejabat yang terpilih untuk melaksanakan kehendak masyarakat. Pemimpin dengan demikian wajib mengetahui apa yang tengah dipikirkan orangorang yang mereka pimpin.
Jiwa politik seperti yang dikatakan oleh Thomas ini sebenarnya yang ingin dicapai oleh reformasi Indonesia di tahun 1998. Cita-cita yang ingin mengembalikan hakhak politik masyarakat yang selama 32 tahun pada masa Orba benarbenar dipangkas, kehadiran parpol sebagai salah satu instrumen penting bagi negara demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Tidak lagi ada pembatas yang bersifat politis atas kehadiran sebuah parpol. Walhasil, parpol semakin membeludak hingga akhirnya rakyat kebingungan dalam menentukan pilihan.
Untuk itu, pilkada kali ini membutuhkan kecermatan dan adanya kewajiban bagi para pemilih untuk menggunakan akal sehat dalam memilih calon pemimpin daerah masing-masing karena ini adalah babak penentu untuk memilih kepala daerah yang idealnya setelah menjabat di pemerintahan mengerti dan mau memperjuangkan hak-hak rakyatnya.
Rekayasa politik
Dalam rangka membangun demokrasi, pilkada mempunyai kontribusi besar. Pilkada akan menumbuhkan political equality, local accountability, dan local response. Pilkada memperbesar kedaulatan rakyat yang bakal menentukan nasibnya sendiri. Namun, kenyataan di lapangan, pelaksanaan pilkada di berbagai daerah sering kali tidak selalu berjalan mulus juga tidak selalu mencapai hasil yang optimal bagi perkembangan demokrasi. Di dalamnya banyak terjadi "rekayasa politik" seperti money politic yang selalu merebak ke mana-mana, seolaholah memanfaatkan kondisi masyarakat yang sedang terpuruk dalam kemiskinan.
Selain itu, ada yang perlu digarisbawahi bahwa dalam pilkada ada hal-hal yang bernilai minus. Pertama, pilkada memungkinkan terjadinya penguatan posisi kepala daerah, yang bisa menumbuhkan otoritarianisme lokal. Kedua, hasil pilkada memperbesar konflik horizontal. Ketiga, memperbesar biaya politik. Keempat, memperbesar praktik kapitalisasi yang memancing tindak korupsi APBN. Kelima, memicu berkembangnya money politic. Keenam, kemampuan uang calon kepala daerah diutamakan dan kualitas calon kepala daerah dinomorduakan.
Hal ini tampak dengan tampilnya politik dinasti (rezim keluarga incumbent) juga beberapa artis yang masuk dalam bursa pilkada. Sebut saja di politik dinasti ada Haryati Sutrisno dan Nurlaila, keduanya istri Sutrisno, Bupati Kediri; Anna Sophana dan Daniel Mutaqien, keduanya adalah istri dan anak dari Irianto MS Syifudin, Bupati Indramayu. Di pihak artis yang mengandalkan pamornya ketimbang kepiawaian sebagai wakil rakyat ada Julia Perez, Vena Melinda, Ratih Sanggarwati, dan Maria Eva.
Tampilnya mereka dalam pilkada merupakan fenomena tersendiri dalam hiruk-pikuk demokrasi lokal. Masyarakat yang muak dengan para politisi busuk dan bosan dengan tampilnya muka-muka lama menjadi tertarik memilih calon dari kalangan selebriti. Tak heran jika kemudian para calon kepala daerah berlomba-lomba "merekayasa" publik dengan memanfaatkan media massa berkemasan populer untuk mendongkrak popularitas mereka. Inilah yang saya sebut sebagai "rekayasa politik" yang diimplementasi dalam permainan "politik panggung" atau sering kali disebut sebagai "politik dagang sapi".
MUH MUHLISIN Direktur pada Center for Religion and Culture Studies [CRCS]
Benarkah Yahudi Musuh Kita?
Negara ini terus menjadi negara yang kuat baik secara militer maupun pengaruhnya dalam percaturan politik dunia. Presiden Barrack Obama mungkin tidak pernah ada jika persamaan derajat manusia yang diinginkan oleh bangsa amerika itu terwujud walaupun harus mengorbankan nyawa Presiden Abraham Lincoln. Bangsa hitam amerika yang dianggap budak pada masa lalu kini banyak yang menjadi orang terpandang karena prestasi dan kesuksesannya, termasuk Barrack Obama yang keturunan kulit hitam. Perbedaan warna kulit itu sudah tidak ada, perbedaan ras juga demikian dan seorang wanita keturunan libanon dapat menjadi miss Amerika. Namun politik Amerika Serikat yang memihak israel itu menjadikan negara ini dianggap musuh besar oleh sebagian umat muslim, termasuk umat muslim Indonesia. Ada yang menyebut negeri ini negeri bedabah, antek yahudi zionist yang memberikan negara penuh keangkara murkaan. Tidak sedikit koment dan postingan kompasianer yang terlihat tidak menyukai negeri ini memberikan gambaran adanya rasa kebencian terhadap negara ini.
Dalam sebuah perjalanan tugas mendampingi seorang expatriat yang berkewarganegaraan Amerika serikat, sepanjang perjalanan yang menggunakan mobil kami isi dengan obrolan2 ringan terutama menyangkut apa yang kami saksikan sepanjang perjalanan. Saya melajukan kendaraan mengikuti kecepatan rata2 rata dalam kota yang tidak melebihi 60 km/jam. Didepan saya, dua anak kecil bergandengan tangan akan menyeberang jalan, mungkin karena ragu, mereka justru saling menarik satu sama lain. Saya hentikan mobil untuk memberikan kesempatan anak itu lewat, gubrak sepeda motor menabrak bagian belakang mobil saya, karena jalan searah, mobil sebelah saya mengerem mendadak ketika anak2 itu melewati mobil saya , gubrak lagi terdengar, mobil sebelah juga diseruduk dari belakang. Dua anak itu lolos dari maut dan sudah pergi entah kemana sementara kami terlibat cecok saling menyalahkan, tak mau ambil pusing, saya beri saja sejumlah uang untuk memperbaiki roda sepeda motornya yang bengkok. Teman saya orang Amerika itu bertanya, mengapa saya beri dia uang karena menurut dia pengendara sepeda motor itu tidak hati2. Jawab saya, mobil ini saya asuransikan, tapi saya tidak punya asuransi menghadapi orang bodoh. Bukan kami saja yang bertengkar, semua yang terlibat kecelakaan kecil itu saling bertengkar, segera kami tinggalkan keributan tersebut sambil tertawa terbahak2.
Melihat sepanjang jalan, terlihat kesenjangan sosial yang menyolok, dengan sendirinya terjadi strata sosial, yang dibawah akan melihat keatas tetapi yang atas belum tentu melihat kebawah. Ketika berada di jalan, strata itu seakan hilang, tidak ada garis yang dikuasai dan menguasai, semua berada pada posisi yang sama, anak itu belum tahu aturan menyeberang jalan, tidak ada yang membimbing, pengguna jalan merasa semua sama, akhirnya tidak ada yang mengalah, semua merasa benar. Tidak berbeda dengan negara amerika masa lalu, utara yang lebih makmur itu tidak menghendaki perubahan, selatan yang masih miskin setuju dengan perbudakan, akhirnya negara itu pecah. Yang makmur tidak mau pecah, kekuatan ekonomi akhirnya mengalahkan yang selatan. Bersatu dengan kekerasan senjata dan Abraham Lincoln yang pada waktu itu sebagai presiden amerika anti perbudakan berhasil mempersatukan negaranya dan menghapus perbudakan akhirnya terbunuh. Namun Presiden ini telah menorehkan sejarah kemanusiaan, menempatkan semua warganegaranya dalam posisi sederajat. Namun politik negeri ini membawa keperpihakan kepada negara yahudi dan amerika serikat dianggap pula sebagai musuh islam karena keberpihakannya itu.
Jika kita lihat latar belakang perseteruan bangsa palestina dan bangsa yahudi sudah ada sejak zaman islam belum lahir. Bangsa palestina yang akhirnya memeluk agama islam, sampai sebelum perang dunia kedua menjadi penguasa di wilayah yang sekarang menjadi negara israel. Sementara bangsa Yahudi menjadi bangsa yang teraniaya oleh politik Adolf Hitler membawa bangsa Yahudi kewilayah yang dikuasai Palestina yang diprotek oleh negara2 sekutu. Negara Protetorat Israel itu berdiri, sedikit demi sedikit mengusir bangsa pelestina kewilayah pengungsian. Pertempuran demi pertepuran dimenangkan oleh bangsa Yahudi yang didukung oleh Amerika Serikat sementara negara2 arab bersama bangsa Palestina yang didukung oleh Uni Soviet harus melepaskan wilayahnya untuk diduduki oleh Israel.
Perang tak mengenal belas kasihan, itu adalah sifat dasar manusia yang buas, membunuh adalah bagian dari cara mempertahankan diri. Politik itu membawa sentimen agama, sebuah keberhasilan lain dalam mencari dukungan yang akhirnya membawa bangsa kita kedalam suatu perasaan tidak suka dengan bangsa yahudi dan Amerika. Melihat sifat bangsa kita yang dapat dijumpai dijalanan seperti cerita peristiwa diatas, adalah sebagai gambaran dalam hubungan sosial sudah tercipta sikap individualistis yang mengental, anak kecil itu harus menghadapi maut karena belum mengerti aturan, yang mengerti aturan tidak mau mengalah karena aturan itu diartikan sesuai dengan versinya agar dirinya tidak bersalah. Satu bangsa berkelahi karena kepentingan diri sendiri, yang miskin tetap miskin yang kaya tidak tergerak hatinya menolong yang miskin. Dari politik negara yang bertikai, pencarian dukungan itu telah merubah pandangan bangsa kita, sangat perhatian dengan bangsa lain karena pandangan kesamaan agama. Pandangan itu telah mengarahkan pembelaan bangsa lain, melupakan bangsanya sendiri yang sesungguhnya membutuhkan perhatian. Memihak bangsa palestina, energi itu tersedot untuk membela bangsa lain yang pada akhirnya membawa dirinya bermasalah dilingkungan bangsanya sendiri. Konflik diantara bangsa ini karena keberhasilan menggugah perasaan bangsa ini telah menimbulkan banyak korban jiwa bangsanya sendiri.
Perasaan dan pendapat itu memang tidak dapat dibatasi, namun memaksakan kehendak adalah sebuah tindakan yang tidak kita harapkan. Norma yang dipegang teguh adalah sebagai bekal dan benteng moral agar kita dapat bersikap sebagaimana norma agama maupun universal. Ketika kita berubah menjadi manusia penilai, kita akan mendapat jawaban salah dan benar. Dorongan pandangan salah dan benar menjadikan orang yang sudah berubah menjadi penilai iti melakukan tindakan, membubarkan kongres waria, merazia miras, menganggap yang tidak sepaham adalah manusia sesat yang pada akhirnya hanya menimbulkan ketidak tenteraman. Penilaian itu selanjutnya diarahkan kepada pemerintah yang dinilai tidak tanggap, sebaliknya pemerintah menganggap bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama. Belajar dari perang saudara amerika, mungkin sudah saatnya kita membuka pikiran kita, musuh yang sesungguhnya bukanlah bangsa yahudi, bukan bangsa amerika tetapi musuh itu ada diri kita sendiri yaitu hawa nafsu, nafsu kemarahan yang tidak dapat dibendung.
Konsep Eco-Estate -proposal to Sumarecon
http://kolomlingkungan.blogspot.com/
Eco-Estate adalah pembangunan kawasan permukiman, di mana telah dilakukan pengukuran yang terukur terhadap beberapa komponen pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang sehat bagi masyarakat yang bermukim di kawasan permukiman tersebut.
Konsep eco-estate telah di implementasikan di negara-nagara maju di dunia , contoh paling dekat adalah negara Singapura yang mulai diikuti oleh negara jiran Malaysia dalam satu-dua dekade terakhir ini.
Negara Singapore telah membuktikan pembangunan kawasan permukiman yang ramah kepada lingkungan tanpa kehilangan julukan sebagai kota modern. Mereka telah mengubah kawasan yang dulunya merupakan kawasan rawa-rawa, pelabuhan niaga yang sesak, anak-anak sungai yang kotor, berubah menjadi kota yang saat ini telah tertata menjadi sebuah kawasan perkotaan dengan lingkungan yang asri, hijau dengan udara yang segar serta tersedianya hutan-hutan kota, sungai-sungai yang sehat, udara yang bersih dengan iklim mikro yang nyaman, serta lingkungan yang bersih dari sampah dan bebas banjir.
Intinya konsep pengembangan kota dan khususnya utilitas kota dengan menerapkan 3 R, reduce, reuse, recycle, yang berwawasan lingkungan. Ada delapan komponen eco-city (estate) yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu komponen udara-iklim mikro, air minum, air limbah, sampah, banjir, energi dan lingkungan alami.
Beberapa contoh penerapan eco-estate (city) adalah daur ulang air limbah dan sampah menjadi sumber air baku/tanah dan energi. Sampah padat maupun air limbah domestik permukiman akan di recycle dengan menggunakan incinerator dan digunakan kembali untuk keperluan pengkayaan tanah (komposting) dan biodeversity tanaman.Untuk penanganan kelebihan energi air berupa banjir, dikelola sehingga menghindari terjadinya genangan air, bahkan dapat disimpan menjadi alternatif sumber air baku bagi air minum masyarakat.
Pengembangan hutan-hutan kota dengan menekankan kepada keaneka ragaman hayati (biodervisity), program kali bersih, penurunan tingkat polusi, kebersihan, keamanan, kenyamanan, sering dilakukan dengan semboyan "green city", "green and clean", " go green"," blue sky" yang kesemuanya berorientasi kepada pembangunan berwawasan lingkungan, dan ini semua menjadi tuntutan uptodate bagi masyarakat perkotaan yang sudah "sesak" dan jenuh hidup dengan kemacetan, banjir, pencemaran air dan udara.
Pengembangan kawasan hunian Eco-Kelapa Gading-Estate
Kondisi morfologi dan topografi, kawasan pengembangan baru di sebelah timur laut Kelapa Gading, sungguh tidak menguntungkan, merupakan dataran rendah rawa-rawa, tempat alamiah air menggenang untuk "menunggu"-retention area- mengalir ke arah hilir -laut-, dialiri anak sungai Cipinang yang menyempit di hulunya, air tanah yang tinggi dan sangat dipengaruhi pasang surut.
Namun bagi pengembang sekelas Sumarecon, bukanlah suatu hambatan, mengubah daerah morfolgi yang tidak menguntungkan tersebut menjadi hunian kelas satu di kota Jakarta. Sejarah pengembangan wilayah kota baru Kelapa Gading adalah bukti nyata ketangguhan pengembang dalam menjinakan alam yang sulit. Hampir semua orang terperangah melihat kemajuan dan pengembangan wilayah ini sekarang, yang tadinya dilirikpun tidak oleh masyarakat, apalagi oleh para pengembang. Bahkan dalam 2 (dua) dekade kebelakang, wilayah permukiman Kelapa Gading tidak tercantum sebagai wilayah pengembangan permukiman dan niaga di RUTRK -DKI Jaya.
Tantangan pengembangan kawasan dengan konsep pengembangan CBD sebagai jangkar (anker) pusat pertumbahan untuk menarik minat masyarakat pembeli rumah, sudah berlalu, hampir semua pengembang menerapkan pembangunan Mall dan pusat perbelanjaan sekelas Mega sebagai daya tarik dan alat marketing, rasanya tidak perlu para pengembang berlomba-lomba lagi membangun Mall sekelas Giga di Jakarta untuk menarik pembeli, selain wilayah Jabodetabek yang sudah penuh dengan CBD, bahkan pembangunan mall sudah melebar ke daerah pinggiran (frange area). Pertanyaannya apakah masih relefan menanamkan investasi yang besar di suatu wilayah untuk menaikkan harga lahan di wilayah tersebut? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tentunya hal ini diperlukan study market terhadap selera para konsumen untuk mendapatkan kepastian jawabannya. Persoalannya saat ini tidak tersedia cukup data yang akurat/valid dan reliable untuk melakukan analisis kajian terhadap minat pembeli rumah di Jakarta.
Fenomena pengembangan kota-kota Metropolitan di dunia dengan konsep kembali ke alam, berwawasan lingkungan, mungkin bisa menjadi alternatif pilihan alat marketing baru untuk menarik minat pembeli potensial perumahan baru di Jakarta. Konsep pengamalan 3 R, pengelolaan utilitas kota yang baik serta efisien, keamanan, kenyamanan, akan menjadi ikon pilihan bagi konsep hunian terkini yang relatif murah dan menarik.
Peng-Itegrasi-an Utilitas
Pengelolaan banjir dengan pengaturan drainase lingkungan yang ter-integrasi dengan pengelolaan air limbah dan air minum, sangat mungkin dilakukan, bahkan sistem ini dapat dikembangkan dengan sistem pengelolaan sampah yang terpadu sebagai pengelolaan utilitas lingkungan yang terintegrasi. Manfaat dari pengembangan sistem utilitas secara terpadu akan menghasilkan energi yang berguna bagi kawasan tersebut, bahkan dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Bagan alir konsep ini adalah sbb:
1) Banjir; yang setiap tahun datang di wilayah dataran rendah (Kelapa Gading) dapat diterapkan system polder pada perencanaan drainasenya, sistim ini ialah dengan membuat tanggul, berupa "green belt" di seputar kawasan yang bila memungkinkan dikombinasikan dengan membangun "boundary drain" di bagian hulu kawasan yang fungsinya mengalirkan air yang datang dari luar kawasan (bagian Selatan) untuk dialirkan menuju hilir (utara kawasan). Sistem mikro darinase di bagian dalam kawasan (inner area), dialirkan ke kolam penampungan berupa danau/situ, yang kemudian dilakukan pemompaan dengan pengoperasian automatic level, bila mencapai ketinggian tertentu. Fungsi situ/danau di musim kemarau akan dapat berfungsi sebagai (a) impounding reservoar; penampungan sumber alternatif air baku bagi cadangan bagi supply air minum kawasan (b) sebagai cosmetic area-tempat rekreasi dan penghias lingkungan-estetika (c) sebagai media penurunan temperatur lingkungan- micro climate (d) kawasan paru2 kota, dengan menghijaukan seputar danau/situ tsb.
2) Air limbah domestik; besarnya debit air limbah domestik adalah 60% hingga 70% dari kebutuhan air yang digunakan oleh setiap rumah tangga, potensi ini relatif besar apabila kita menghitung rata-rata kebutuhan air per rumah tangga = 60 s/d 100 m3/bulan atau konsumsi per hari 3 m3/rumahtanga untuk kelas rumah tangga menengah. Artinya, bila dihitung jumlah hunian di kawasan ini akan terbangun (asumsi 60% terbagun x 50 ha x 0,7 (factor) dibagi 150 m2/rumah )= 1400 san rumah, maka akan terdapat 1.400 x 3 m3/hari = 5.200 m3/hari (~ 50 lt/detik) air yang dapat diolah dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal dengan sewerage system (pengaliran air limbah domestik dengan perpipaan), untuk dialirkan ke danau/situ drainase, sehingga menjamin kontinyuitas pengisian danau/situ di musim kemarau untuk tidak menjadi kering (menjadi sarang nyamuk, di kebanyakan danau buatan saat musim kemarau, karena kering -kurang supply air)
3) Air minum, biasanya supply air minum, didapatkan dari penyambungan perpipaan PDAM. Saat ini krisis kuantitas, kualitas, kontinuitas dan tekanan air PDAM, khususnya di wilayah Jakarta utara, menjadi persoalan bagi PAM Jaya dalam melayani kebutuhan air minum masyarakat. Kenyataan ini sudah menjadi problema masyarakat Jakarta, khususnya di musim kemarau. Mengandalkan PAM Jaya untuk mendapatkan sumber-sumber air baku baru,untuk pelayanan air minum kepada masyarakat, untuk saat ini, adalah sesuatu yang sulit diharapkan, oleh karena selain memerlukan investasi yang besar, juga karena kecenderungan krisis air baku yang meningkat setiap tahunnya, upaya penanggulangannya akan membutuhkan waktu cukup lama, apalagi saat ini PAM Jaya adalah debitur penunggak hutang terbesar dari PDAM2 di indonesia. Oleh karenanya, penyediaan air minum secara mandiri bagi suatu kawasan, merupakan hal yang diharapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini pengembang bisa menjadikan potensi diatas (dengan dibangunnya waduk, sebagai impounding reservoar-) sebagai sumber air baku yang dapat di olah dengan IPA (Instalasi Pengolahan Air) dan dikelola secara mandiri. Peraturan serta perijinan dari Pemda DKI untuk pengelolaan air minum secara mandiri dalam hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu.
4) Persampahan; Persoalan sampah di Jakarta saat ini terletak kepada masalah pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), problem yang mengemuka adalah tidak tersedianya lahan yang cukup untuk membuang dan mengolah sampah kota di TPA. Persoalan sampah bagi DKI Jakarta merupakan persoalan yang rumit dan akan semakin sulit pengelolaanya di era otonomi daerah saat ini. Pengelolaan sampah dengan program 3 R (reduce, reuse dan recycle) saat ini mulai dikampayekan dan digalakan oleh Pemerintah. Diyakini dengan sistem pengelolaan 3 R akan dapat dikurangi timbulan sampah hingga hampir 70% jumlah timbulan sampah rumah tangga. Konsep 3R ini secara terpadu dapat diterapkan kepada kawasan-kawasan baru yang akan dibangun oleh pengembang. Proses 3 R dimulai dari tingkat rumah tangga dengan proses pemilahan antara sampah organik dan non organik (dengan menyediakan bak sampah yang terpisah), proses pengumpulan dapat dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk (dengan pemisah di baknya) pengangkut yang akan melayani secara "door" to door kesetiap rumah. Hasil pengumpulan sampah ini akan akan dikumpulkan di suatu tempat untuk dilakukan proses pemanfaatan kembali=reuse, untuk sampah organik akan diolah menjadi kompos, sedangkan sampah non organik dapat dijual, sisa sampah yang tidak termanfaatkan, dapat dikumpulkan untuk diangkut oleh truk Dinas Kebersihan ke TPA.
Manfaat
Konsep di atas, jelas dapat menjadi slah satu faktor "selling point" bagi pengembang, yang dapat 'menjual sebagai konsep kawasan eco-estate. Dalam hal ini akan terdapat 2 (dua) buyer; (1) adalah masyarakat yang ingin memiliki rumah, dengan keuntungan lingkungan yang ramah, bersih dan sehat (2) adalah Pemerintah daerah; konsep ini sangat mungkin dikerjasamakan dengan Pemda, melalui Dinas Tatakota, BPLHD dan PU DKI; dengan ikut berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan, dalam mengelola utilitas kota (air minum, air limbah, sampah, darinase dan program peresapan air tanah) yang pro lingkungan---perlu sosialisasi dan pendekatan intensip dengan pihak Pemda, melalui Kepala daerah ataupun dewan)
Selain hal diatas, tentu saja dengan pembangunan kawasan yang berwawasan lingkungan tsb. selain ikut mengurangi beban pemerintah daerah terhadap problem pelayanan umum, juga secara otomatis akan meningkatkan "citra" perusahaan dalam hal ini Sumarecon, sebagai salah satu pengembang yang pro-lingkungan, bahkan secara lebih luas konsep ini dapat diupayakan dukungan international melalui program-program negara donor, sebagai salah satu upaya pihak suasta berpartisipasi dalam program dunia - Global warming" dan "climate change"------perlu upaya sosialisasi politis ditingkat Nasional.
Friday, March 19, 2010
Orde Baru, Freemason dan Pater Beek
35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelejen Indonesia di bawah Soeharto (Orde Baru)
John Helmi Mempi - Umar Abduh
BANGSA Indonesia memiliki catatan sejarah perjalanan budaya dan peradaban politik kemanusiaan yang gelap dan kelabu. Setelah republik berada di bawah rezim militeris Orde Baru Soeharto, yang dikenal dengan kebijakan politik destruktif atau program dekonstruksi terhadap masyarakat dan bangsanya sendiri selama kurun waktu tiga dasawarsa.
Seperti diketahui, sejarah perjalanan politik dan kekuasaan rezim Orde Baru menggelar sistem kekuasaan tirani (diktator-otoriter) menerapkan rekayasa dan kekerasan yang kejam atas bangsa ini. Dimulai sejak awal peralihan kekuasaan republik ini terjebak dalam tiga skenario besar yang secara tidak langsung merupakan program berorientasi pada agenda politik Barat. Disebut demikian karena situasi dan kondisi sistem politik, sosial-ekonomi Indonesia saat itu boleh dikata sedang luluh-lantak, berantakan akibat tekanan Barat. Setelah berhasil menggulingkan Soekarno, Soeharto sukses memanfaatkan peluang dan kesempatan menapak untuk membangun kekuatan dan kekuasaan rezim militeristik.
Rezim militer Orde Baru menggelar kebijakan politik yang dikondisikan bagi keperluan masa depan politik, ambisi kekuasaan sekaligus menyesuaikan posisi Indonesia sebagai agen strategis kepentingan Barat (Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya). Sangat disadari penyesuaian politik kepentingan dan kebijakan strategis tersebut dilatari pengaruh politik-ideologi global, yaitu kekuatan Barat yang sekuler pro kapitalis. Penyesuaian terhadap kepentingan Barat tersebut dilakukan Orde Baru dengan tujuan pragmatis, demi berlangsungnya kekuasaan sekaligus memperoleh bantuan militer, pangan serta utang yang berlanjut hingga sekarang. Program penyesuaian tersebut adalah membangun ideologi pro1 dan secara tidak langsung menjadi kapitalistis dan anti Komunis sekaligus anti Islam melalui nasionalisme sempit ideologi Pancasila seraya merintis program destruksi-dekonstruksi terhadap peta kekuatan politik yang cenderung berkiblat kepada Demokrasi dan Islam.
Berdasarkan kenyataan sejarah budaya dan peradaban politik 35 tahun di bawah rezim Orde baru mengindikasikan adanya grand schenario yang dijalankan rezim Soeharto sejak tampil ke permukaan antara lain:
1. Menggelar politik rekayasa intelejen dalam rangka stigma (pembusukan, pemojokan sekaligus mendistorsi) terhadap peta kekuatan Islam, antara lain menghidupkan gerakan neo NII melalui Ali Murtopo. Dimulai sejak tahun 1966 2 era hegemoni militer yang loyal dan berideologi militer Soehartois - Ali Murtopois terus belanjut dan gentanyangan hingga sekarang. Seluruh rekayasa intelejen Negara rezim Orde Baru dilakukan dalam rangka menjalankan pembusukan terhadap peta kekuatan gerakan Islam melalui provokasi dan adu domba, baik dalam partai atau organisasi maupun antar golongan, antar agama sekaligus menjebak masyarakat muslim masuk dalam jaringan aksi kekerasan teror, ekstremisme, radikalisme dan makar. 3
2. Menggelar kebijakan politik buka pintu bagi masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (di bawah kordinasi jaringan Freemasonry, Jessuit dan sebagainya) yang oleh kalangan Islam dianggap sebagai bagian dari program Kristenisasi di Asia Tenggara. Kecurigaan terhadap program ‘Kristenisasi‘ itu timbul akibat dominasi para politisi dan para perwira berlatar belakang Kristen, terutama kalangan Katholik, yang menempati posisi strategis dalam jajaran birokrasi Golkar sebagai partai penguasa, dan jajaran militer Indonesia, serta dominannya think tank Golkar, CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai ‘pemerintah bayangan’ dan merupakan kepanjangan tangan intelejen CIA, MI-6, Mossad dan Belanda maupun untuk kepentingan jaringan Freemasonry, Katholik ordo Jessuit dan sebagainya yang berlangsung selama dua dasawarsa pertama pada era kepresidenan Soeharto dan terus berlanjut hingga kini. 4
3. Menggelar budaya politik totalitarian, melalui konsep Dwifungsi ABRI dan budaya demokrasi Pancasila-nasionalisme sempit, ekstrim dan otoriter –yang dikemas dalam konsep asas tunggal Pancasila / UUD’45 sebagai satu-satunya konsep ideologi sebagai sumber hukum dan tata nilai bangsa Indonesia. Sebuah konsep dan obsesi penyelenggaraan sistem nasionalisme dalam bentuk Negara totaliter yang sekaligus dinyatakan demokratis dan humaniter. 5
Dengan ketiga pilar inilah sinergi kekuasaan sipil, militer dan intelejen berhasil digelar Orde baru menjadi sebuah kekuatan dan kekuasaan yang berwujud sistem dan kelembagaan yang luar biasa, kuat dan stabil. Konsep Dwifungsi ABRI selanjutnya diisi dengan nafas militerisasi build-in melalui dua wajah yaitu Dwifungi teritorial dan struktural. Dwifungsi teritorial terwujud dalam bentuk struktur birokrasi sipil dan militer yang hirarkis dan pararel dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai kelurahan/desa. Mendagri adalah pengendali hirarki birokrasi sipil yang bertanggungjawab kepada presiden. Pararel dengan hirarki birokrasi sipil adalah hirarki militer dari Dephankam/Mabes TNI, Kodam, Korem, Kodim, Koramil dan Babinsa. Menhankam dan Panglima TNI adalah pengendali utama hierarkhi militer yang bertanggung jawab hanya kepada presiden.
Dwifungi skruktural yang hadir dalam bentuk kekaryaan TNI/Polri atau keterlibatan mereka dalam jabatan sipil, sehingga hampir semua jabatan sipil yang strategis dimasuki militer, baik di wilayah eksekutif (dari gubernur sampai dengan lurah/ kepala desa) maupun legislatif (MPR, DPR sampai DPRD II). Dalam birokrasi sipil terdapat pula Ditjen Depdagri, Ditsospol dan Kantor Sospol sebagai aparat intelejen sipil dan aparat ideologis untuk melakukan indoktrinasi kepada masyarakat dan regulasi terhadap aktivitas politik dan sosial. Militer selalu nimbrung dalam pengendalian pemerintahan sampai di tingkat kabupaten dan kecamatan. Mereka tampil melalui forum Muspida yang terdiri dari Bupati, Dandim, Kapolres, Kajari, dan Kepala Pengadilan, di tingkat kecamatan melalui forum Muspika yang memberi ruang bagi Danramil dan Kapolsek untuk ikut mengontrol pemerintah dan rakyat.
Dwifungsi ABRI tidak hanya merambah bidang politik dan kemasyarakatan, tapi sampai bidang ekonomi. Salah satu bentuk konkretnya berupa "premanisme". Dwifungsi ABRI menjadi ancaman dan penghalang serius bagi demokratisasi keamanan dan bahkan stabilitas sosial-politik. Analisis ini bertolak belakang dengan ideologisasi Dwifungsi ABRI yang mengandaikan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator. Meski pada masa Orde Baru stabilitas nasional relatif mapan, tapi bersifat semu karena lebih kuatnya budaya rekayasa politik dan intelejen diikuti dengan matinya demokrasi, merajalelanya kekerasan, dan kuatnya supremasi militer, sementara elemen-elemen sipil dalam posisi lemah.
Dengan program inilah antara kebijakan politik pemerintah, intelejen dan militer maupun pelaksana politik di lapangan menjadi tidak bisa dibedakan. Apalagi setelah program tersebut diterapkan sampai ke tingkat Koramil-Babinsa (Badan Pembinaan Desa) dan Polsek-BINMAS (tingkat Kecamatan). Di bidang keamanan, kehadiran militer terlihat dalam realitas melembaganya intervensi Sistem Hankamrata. Semua elemen masyarakat lokal dipaksa terlibat dalam pemeliharaan keamanan dan pertahanan di wilayah masing-masing di bawah "pembinaan" polisi dan tentara. Pembentukan Babinsa, Binkamtibmas, Hansip, Kamra maupun Siskamling merupakan perwujudan dari sistem Hankamrata. Intervensi Hankamrata telah membentuk pola hubungan antara masyarakat dan "militer/polisi” dalam mengelola masalah keamanan dan meciptakan pola ketergantungan masyarakat terhadap militer/polisi di bidang keamanan dan politik serta ekonomi.
Di sini tentara dan polisi menjadi terlibat dalam penanganan masalah keamanan desa. Dalam kesadaran semu warga masyarakat, tentara dan poIisi tidak berbeda jenis profesinya, tetapi hanya berbeda tingkat semata, Polisi menangani masalah keamanan yang bersifat mikro atau masalah kriminal kecil, sedangkan tentara menangani keamanan yang bersifat makro, seperti keributan massa dan yang bersifat instabilitas sosial-poIitik di desa. Polsek melakukan pembinaan siskamling sekaligus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan keamanan warga. Koramil dan Babinsa berkutat dengan kewaspadaan terhadap kelompok yang membahayakan negara seperti bekas anggota DI-TII atau Muslim Fundamentalis (ektrem kanan) dan PKI (ektrem kiri). Pembinaan militer/tentara terhadap warga desa dalam hal keamanan berdampak melemahnya kesadaran hak dan tanggungjawab mereka dalam menangani masalah yang sebetulnya dapat diselesaikan oleh mereka sendiri.
Strategi Campur Tangan Politik Freemasonry dan Gerakan Katholik Ordo Jessuit Dalam Politik Orde Baru
Konspirasi kekuatan politik dan ideologis antara rezim Suharto dengan kekuatan Barat (Amerika Serikat, Inggris dan Israel) antara lain ditempuh dengan cara menggandeng dan mengakomodir masuknya organisasi Zionis FREEMASONRY dengan membangun eksistensi jaringan, peran, keterlibatan dalam pembangunan Indonesia – orde baru.
Zionis FREEMASONRY sendiri, sejak awal kemerdekaan bangsa Indonesia dan berdirinya NKRI tahun 1945 mampu menempatkan posisinya secara taktis strategis di hadapan kekuatan Islam yang mayoritas. Melalui semangat nasionalisme yang dimiliki Sukarno, kekuatan dan agen FREEMASON Indonesia mampu memaksakan diplomasi politiknya terhadap tokoh-tokoh (politisi) Islam kepada satu keadaan, yaitu memberikan toleransi dan kompromi terhadap tuntutan FREEMASON untuk menerima konsep NKRI.
Selanjutnya pengaruh nilai filosofis FREEMASONRY terhadap NKRI, Dasar Negara, Konstitusi Negara dan lambang Negara maupun Bendera Negara yang menggelar semangat aliran “Humanisme Sekuler” yang secara strategis, gencar dan berkelanjutan ditancapkan kedalam pola pikir dan pemahaman di lingkungan politisi, birokrat, intelejen dan militer akhirnya berhasil mengungguli dan menggeser semangat “Spiritualisme” sebagaimana yang dimiliki politisi Islam.
Melalui ajang dan momentum kerjasama dalam hal pembinaan intelejen dan kemiliteran dengan CIA (Amerika Serikat) MI-6 (Inggris) MOSSAD (Israel) dan Belanda rekrutmen jaringan agen FREEMASONRY terhadap tokoh dan kader intelejen / militer Indonesia berjalan dan mengakar.
Tindak lanjut dari pergeseran falsafah, paham dan makna Revolusi, Kemerdekaan, NKRI, Dasar Negara, Konstitusi Negara dan lambang Negara maupun Bendera Negara dari Islam ke Sekuler di zaman orde lama Sukarno, dan pengaruh kekuatan FREEMASONRY semakin memperkuat dan mempertegas, baik dalam hal kepentingan maupun eksistensi jaringannya.
Di era orde baru Suharto, FREEMASONRY turut berhasil mengendalikan jalannya kekuasaan rezim Suharto melalui kader-kader FREEMASONRY yang berjubah ordo Jesuit, di bawah Frater Beek. Menurut penuturan beberapa mantan intel senior baik yang berlatar sipil maupun Angkatan Darat dan mantan kader Beek, Suharto sendiri diyakini sejak masih menjadi perwira menengah sudah menjadi anggota FREEMASONRY jalur Belanda Frater Beek SJ, 6 sehubungan dengan posisi sang istri, Tien Suhartinah yang lebih dahulu direkrut dan menjadi ummat Katholik ordo Jessuit.
Sejak berpangkat pamen, Suharto telah menjalin hubungan dengan Liem Sioe Liong dan nama-nama lain yang akhirnya berperan menjadi agen FREEMASON yang berjubah Lions Club dan Rotary Club.
Ketika krisis politik di Indonesia di bawah Sukarno memanas, baik akibat komunisme maupun provokasi Inggris terhadap Malaysia, kader-kader FREEMASON yang ada di militer dan dinas intelejen Indonesia seperti Soeharto, Yoga Sugama, Ali Murtopo, Soedjono Humardani, Pitut Suharto, Benny Murdani dan Hendropriyono justru menjalankan agenda politik CIA.
Kegagalan missi politik, militer dan intelejen Indonesia di Kalimantan Barat (PGRS/Paraku) bentukan BPI di bawah Subandrio dalam rangka berkonfrontasi dengan Malaysia justru merupakan kemenangan telak para jenderal FREEMASON Indonesia. Giliran selanjutnya, atas bantuan dan petunjuk CIA, para agen FREEMASON Indonesia merancang skenario bagi penggulingan Sukarno sekaligus memberangus tokoh-tokoh dan organisasi komunis di Indonesia.
Setelah berhasil menjalankan skenario pemberontakan PKI, dan para jenderal kader FREEMASON tersebut secara leluasa merancang berbagai program konspirasi dengan agen FREEMASON yang sudah disiapkan sejak lama di Indonesia seperti melalui organisasi gereja Katholik seperti ordo Jessuit, ordo Carmel dan sebagainya, demikian halnya dengan organisasi gereja Protestan seperti Bethani, Al-Shadday dan Nehemia.
Dari sinilah konspirasi kekuatan politik dan ideologis Katholik Jessuit di bawah Frater Jopie Beek SJ dengan militer di masa Orde Baru di bawah Soeharto, berhasil membangun dikotomi, semangat kebencian dan permusuhan yang mendalam antara kekuatan ideologi, massa dan komunitas politik Islam dengan Kristen (Katholik dan ordo-ordo yang dimilikinya, Protestan dan ordo-ordo yang dimilikinya dan lain sebagainya).
Posisi dan sikap kekuatan politik ideologi Katholik ordo Jessuit yang dimotori Frater Jopie Beek SJ yang telah menempatkan diri sebagai pihak yang anti (menentang dan memusuhi) kekuatan politik ideologi Islam, dimanfaatkan dengan baik oleh pihak militer Orde Baru sebagai ajang latihan sekaligus praktek operasi intelejen. Modal konspirasi dengan kalangan Katholik Jesuit selanjutnya diimbangi dengan gelar konspirasi dengan kekuatan ideologi Islam gerakan politik berlatar konstitusional (masyarakat partai Masyumi) dan yang berlatar politik inkonstitusional dan konfrontatif (masyarakat gerakan fundamentalis Negara Islam Indonesia dan yang sejenis).
Konspirasi terhadap dua kekuatan ideologi dan politik keagamaan yang bertentangan tersebut membawa implikasi terhadap prinsip baku bagi kinerja dan operasi intelejen Indonesia. Frater Jopie Beek pun ternyata sepakat terhadap kiat dan modus provokasi terhadap bahaya Islam bagi kaum minoritas Katholik, Protestan dan sebagainya, demikian pula sebaliknya provokasi dan agitasi pihak militer dan intelejen terhadap kalangan Islam.
Dalam perkembangannya, militer dan operasi intelejen memberikan proteksi serta kemudahan terhadap program Kristenisasi dan berbagai hal yang dapat menyulut rasa benci dan kecewa kalangan Muslim. Terhadap kalangan muslim, militer dan intelejen membeberkan semangat anti Islam dari kalangan Katholik Jesuit yang sangat pro dan mampu mengendalikan militer dan Orde Baru dengan segala rencananya, baik jangka pendek dan jangka panjang. Bahan permainan inilah yang akhirnya menjadi trade mark gaya penetrasi dan infiltrasi intelejen terhadap berbagai gerakan yang hendak dijaring, dikendalikan dan kelak pasti dihancurkannya.
Frater Jopie Beek SJ Menurut George Junus Aditjondro (Mantan kader Beek, dalam organisasi Jessuit Indonesia - Kasebul)
Pada awal Orde Baru, komunitas Katholik di Indonesia sangat berada di bawah pengaruh pemikiran dan sikap politik Pater J. Beek, seorang Jesuit berkebangsaan Belanda yang sangat anti Komunis dan anti Islam, sudah memimpin Kursus Kader Katholik (KKK) sejak sebelum keberhasilan kudeta militer di bawah pimpinan Soeharto tahun 1965-1966.
Beek juga berperan dalam menaikkan Soeharto ke kursi kepresidenan tahun 1968 dengan salah satu sebab adalah istri Soeharto (Tien) beragama Katholik. Sejak kemunculan Soeharto, Beek berhasil mendekatkan diri dengan sang jendral melalui dua orang Asisten Pribadi Soeharto, yakni Jendral Ali Murtopo dan Jendral Soedjono Hoemardani, masing-masing didampingi oleh Yusuf dan Sofyan Wanandi, dua orang kader Pater Beek.
Kedekatan Beek dengan tentara didasarkan pada strategi ‘pilihlah yang terbaik di antara yang jelek’ (minus malum) yang dianutnya, disebarkannya di kalangan kader-kader organisasi-organisasi massa Katholik di Indonesia. Setelah gerakan Komunis di Indonesia dihancurkan tentara, berdasarkan catatan sejarah, Beek melihat ada dua ancaman yang dihadapi kaum Katholik di Indonesia. Kedua ancaman itu sama-sama berwarna hijau, yaitu Islam dan militer. Namun Beek yakin, ancaman militer bisa dinilai lebih kecil (minus malum) dibandingkan dengan ancaman gerakan politik Islam, karena PKI dalam sejarahnya ternyata dibentuk oleh anggota Syarikat Islam.
Berdasarkan pikiran itulah Beek merangkul tentara melalui program KASEBUL (Kaderisasi Sebulan/Kawan Sebulan) dan program Teologi Pembebasan bagi kader-kader Katholik di daerah Jogjakarta, Salatiga, Semarang dan Jakarta Timur. Pembentukan Golkar dan ormas-ormas yang berafiliasi ke Golkar, selama dasawarsa pertama Orde Baru didominasi kader-kader didikan KKK dan Kasebul, yang diarahkan oleh CSIS (Centre for Strategic and International Studies).
Gereja Katholik menerapkan strategi “satu mata uang dengan dua sisi yang berbeda”. Di satu kelompok Jesuit, Beek menerapkan politik anti komunis dan anti Islam, di kelompok yang lain Beek menerapkan strategi merangkul kelompok kiri dan bersahabat dengan kelompok Islam. Umumnya kelompok ini berasal dari ordo PROJO yaitu ordo lokal yang lahir dan berkembang di wilayah pulau Jawa.
Kader-Kader Beek pada tahun 70-an banyak direkrut sebagai anggota OPSUS. Kader-kader Beek yang masih aktif hingga saat ini adalah Frans Magnis Soeseno, Harry Tjan Silalahi, Sofyan Wanandi, Julius Darmaatmadja, dll. Beek terlihat terakhir oleh Kader PRD pada saat latihan militer bersama dengan kelompok Moro dan NPA di Philipina pada tahun 1987.
Di Philipina Beek terlihat aktif membantu mengkosolidasikan kelompok-kelompok Komunis dan Muslim untuk melawan Rezim Marcos. Proses yang dilakukan Beek persis sama dengan proses yang terjadi di Amerika Selatan, di mana gerilyawan-gerilyawan Sandinista dan kelompok kiri lainnya dibentuk dan dibantu pihak Gereja Katholik ordo Jesuit, untuk melawan pemerintah. Organisasi Operasi Jesuit di Amerika Selatan dikenal dengan sebutan organisasi “BLACK POPE”.
Sebenarnya Jesuit bukanlah sebuah Ordo tetapi merupakan sayap militer dari Vatikan terlihat dan dari catatan sejarah sejarah pembentukan Orde Jesuit. Metode KASEBUL adalah metode pelatihan militer, kader-kader tesebut dilatih dan di bawah pengawasan pihak Militer.
Mentor-mentor KASEBUL berasal dari Militer yang beragama Katholik. Menurut pengakuan beberapa anggota KASEBUL Angkatan tahun 90-an, pembukaan kaderisasi dilakukan oleh Benny Moerdani, yang dikenal dengan sebutan “Omm Seram” oleh kalangan Katholik. Beberapa Jendral yang menjadi Mentor KASEBUL di antaranya: Brigjen (Purn) Ingnatius Soeprapto, Mayjen (Purn) Ignatius Pranowo dll.
Strategi untuk memusuhi Islam politik dan bermesraan dengan militer itu sejak awal sebetulnya sudah ditentang banyak rohaniwan dan cendekiawan Katolik, seperti Chris Siner Key Timu yang selanjutnya masuk dalam kelompok Petisi 50, Romo Mangunwijaya yang sangat akrab dengan almarhum Kiai Hamam dari Pesantren Pabelan, Muntilan, dan Jesuit-Jesuit lain, seperti Romo Danuwinata dan Pater Dahler, yang kemudian menyelenggarakan kursus-kursus politik bagi kader-kader gerakan mahasiswa Katholik yang lebih terbuka dan bersikap kritis terhadap militer dan para pemilik modal besar.
Banyak kader dan sahabat Romo Mangun, Romo Danuwinata, dan Pater Dahler terjun aktif dalam aksi-aksi pro-demokrasi di Indonesia sejak dini sampai saat penumbangan rezim Soeharto, mulai dari gerakan anti-Taman Mini tahun 1971 sampai dengan gerakan mahasiswa menentang SI MPR November 1998, di mana sejumlah mahasiswa Unika Atma Jaya gugur. Namun sampai saat Soeharto menyadari bahwa kedekatannya dengan kelompok ‘Katolik kanan’ bahwa strategi itu menjadi duri dalam daging dalam hubungannya dengan gerakan Islam politik di Indonesia, antara Soeharto dan kelompok di seputar CSIS terjadi simbiose mutualistis yang sangat akrab.
Para jendral dan politisi yang termasuk pendukung CSIS akhirnya mudah mendapatkan promosi, para pengusaha yang rajin mendukung kebutuhan keuangan CSIS mudah mendapatkan konsesi-konsesi bisnis, sementara tokoh-tokoh Katolik penentang Soeharto malah dipecat dari lembaga tempat mereka bekerja akibat tekanan aparat negara.
Chris Siner Key Timu, misalnya, dipecat dari kedudukannya sebagai Pembantu Rektor III Unika Atma Jaya Jakarta. Sementara Romo Danuwinata diberhentikan dari Sekretariat MAWI, yang sekarang telah berubah menjadi Kantor Wali gereja Indonesia (KWI), setelah ia aktif mengembangkan pemikiran-pemikiran pedagogi dan teologi pembebasan dari Amerika Latin di Indonesia.
Namun semenjak Soeharto mulai berbulan madu dengan tokoh-tokoh cendekiawan Islam yang terhimpun dalam ICMI, dan menunaikan ibadah Haji, melalui aparat intelejen militer Soeharto mulai memusuhi kalangan CSIS, dan menuduh kedua bersaudara Wanandi, Jusuf dan Sofyan, berkolusi dengan PRD dalam kasus ledakan bom di Tanah Tinggi, Jakarta. 7
Dalam hubungannya dengan dampak moral, politik dan piskologis akibat doktrin Beek terhadap kalangan Katholik yang berkonspirasi dengan militer-Ali Murtopo, Aditjondro juga mengingatkan tentang korelasi kemungkinan tetap berlanjutnya kebijakan militer yang masih menjalankan politik intelejen untuk menciptakan semangat dan mental fundamentalisme, zona dan akar konflik etnis maupun keagamaan dalam masyarakat bangsa Indonesia, George Junus Aditjondro menjelaskan:
Pater Beek memang sudah lama meninggal dunia, dan program kaderisasinya sudah lama mati karena ditinggalkan atau disaingi oleh kalangan Jesuit yang non konservatif maupun oleh tokoh-tokoh awam Katholik lainnya di luar CSIS. Dengan meninggalnya Ali Murtopo, dukungan terhadap CSIS juga semakin memudar, apalagi ketika basis dukungan terhadap Golkar bergeser dari kalangan Katholik ke kalangan HMI, berkat orang-orang seperti Abdul Gafur dan Akbar Tanjung. Walau sejauh ini tidak ditemukan bukti mengenai latihan kemiliteran namun praktek-praktek kaderisasi eksklusif semacam ini, dan prasangka-prasangka penuh bias yang ditularkannya adalah amat buruk, dan bertentangan dengan program penguatan masyarakat sipil. Ini adalah praktek-praktek yang tidak boleh diulangi lagi pada masa yang akan datang. Tidak mengherankan pula jika kursus-kursus kaderisasi yang eksklusif semacam ini tidak mungkin akan digerebek oleh aparatus Negara di era kepemimpinan Jendral Murdani misalnya, karena diselenggarakan dengan sepengetahuan mereka. Menurut data lapangan hal ini dilakukan juga untuk konflik di Poso, Maluku dan rencana mendatang di Pontianak.
Sejumlah kalangan mengatakan, kedekatan Soeharto dengan sejumlah jenderal yang beragama Kristen, khususnya Maraden Panggabean dan Benny Murdani, bukanlah indikator bahwa jenderal-jenderal itu merupakan pimpinan, otak, atau pendukung suatu ‘gerakan fundamentalis Kristen yang ingin mendirikan negara Kristen Raya’. Tapi itu sekedar pilihan politis sang diktator selama dalam dua dasawarsa pertama kekuasaannya, ketika ia menganggap bahwa para perwira dan birokrat yang beragama Kristen merupakan alat pendukung kekuasaannya yang paling setia. Begitu juga anggapan sang diktator terhadap umat yang tergabung dalam gereja-gereja Kristen –baik Katolik maupun Protestan– di Indonesia (sampai sejumlah pimpinan gereja mulai membangkang, seperti kasus HKBP yang sudah disinggung di depan, didahului oleh para pimpinan gereja di Papua Barat dan Timor Lorosae).
Berbagai prasangka bias, bahkan cenderung sesat-pikir mungkin juga dipengaruhi oleh pengamatan yang keliru tentang besarnya peranan gereja dalam perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia di Timor Lorosae dan Papua Barat, apalagi dengan kemerdekaan politik (kemerdekaan ekonomi belum) yang telah dicapai di Tilos. Ini sama sekali bukan indikasi bahwa Tilos telah menjadi “negara Kristen”, khususnya lagi, “negara Katholik”. Anggapan demikian malah menafikan peranan para pemuda Tilos keturunan Arab yang beragama Islam dalam perjuangan kemerdekaan itu, mengikuti jejak Mar’ie Alkatiri, Sekjen FRETILIN yang kini menjadi Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).
Peranan Gereja Katolik yang cukup menonjol dalam perjuangan kemerdekaan Tilos, terutama dalam dasawarsa terakhir, selain karena figur Uskup Belo, juga didorong oleh faktor politik bahwa hanya rumah ibadahlah dan organisasi agama yang masih dapat beroperasi dengan relatif bebas di masa penjajahan Indonesia, berkat pengakuan adanya agama yang diakui secara resmi, dan juga karena warganegara Indonesia harus memilih satu di antara ke-4 agama yang diakui secara resmi (sekali lagi, Katolik dan Protestan bukan dua agama, tapi dua gereja yang didasarkan pada agama yang sama).
Setelah kemerdekaan politik tercapai peranan politik Uskup Belo langsung merosot, dan juga jumlah orang muda yang menghadiri ibadah di gereja juga merosot drastis. Hampir serupa keadaannya di Papua Barat, di mana berkat dukungannya yang kuat pada hak-hak asasi orang Papua, kedua gereja yang sudah lebih berakar di Tanah Papua, yakni Gereja Katolik dan GKI di Tanah Papua, juga sering dituding sebagai pendukung gerakan Papua merdeka.
Padahal, seperti di Tilos, kemerdekaan juga menjadi aspirasi sejumlah pemuda Papua beragama Islam di daerah Fakfak dan Kepulauan Raja Ampat, yang mengalami Islamisasi oleh Kesultanan Tidore ratusan tahun yang lalu. Sekjen Presidium Dewan Papua, Taha al-Hamid, adalah salah seorang di antara mereka. Namun dengan licik ia sekarang dirangkul Yorris Raweyai, tokoh Papua binaan Cendana, yang berusaha mengempeskan gerakan kemerdekaan itu.
Sekali lagi, tidak pernah ada cita-cita para nasionalis Papua itu untuk mendirikan “negara Kristen Papua”, walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Kristen tentu saja mengilhami para nasionalis Papua yang memperjuangkan kemerdekaan negeri mereka. Ini semua perlu dibeberkan, untuk menunjukkan tentang betapa menyesatkannya propaganda yang dalam brosur LJ/FAWJ, misalnya, dalam rekrutmen orang-orang muda dari Jawa, yang sangat miskin pengetahuan sejarah tentang berbagai pergolakan di Kepulauan Nusantara bagian Timur, lalu mencekoki mereka dengan sebuah teori konspirasi yang tidak punya dasar ilmiah walau sebesar biji zarrah pun.
Pater Jopie Beek SJ menurut Richard Tanter
Pater Beek, adalah seorang misionaris Jesuit, yang meninggal tahun 1986/1987 (?), Beek menanamkan pengaruh (doktrin) yang cukup kuat di kalangan Katholik, khususnya kalangan Katholik etnis Tionghoa pada periode akhir Demokrasi Terpimpin maupun pada awal Orde Baru; banyak di antara kadernya yang kemudian menduduki pos intelijen. Beek beralih menjadi warga negara Indonesia pada sekitar tahun 1970-an, ketika pemerintahan Orde Baru menawarkan paket yang serupa pada sekitar 50-an misionaris asal Belanda.
Pada sekitar periode ini, ia menanggalkan nama “van” yang diwarisi dari orangtuanya; bahkan mungkin lebih awal lagi. Pengaruh utamanya dijalarkan lewat kursus-kursus yang ia selenggarakan bagi kaum muda Gereja, dengan memanfaatkan dana-dana dari paroki maupun diosis, atau pun bahkan dari sumber-sumber luar negeri (termasuk Australia).
Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil Jesuit lainnya, termasuk Pastor Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini yang memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi.
Secara pribadi, Beek adalah seorang yang menimbulkan kesan kuat, yaitu seorang yang powerful, sanggup menghadirkan visi yang artikulatif, berkenaan dengan peran Gereja dalam masyarakat. Beek Seorang yang menarik dan mudah merebut kepercayaan secara personal. Seorang yang sangat aktif, senantiasa melibatkan dirinya dalam rentang aktivitas yang sedemikian luas.
Pada periode menjelang peristiwa 1965, Beek sudah mengantisipasi soal perebutan kekuasaan oleh kaum Komunis dan ia terlibat dalam persiapan gerakan Katholik bawah-tanah. Dalam periode akhir Demokrasi Terpimpin, Djikstra juga terlibat dalam ormas-ormas Pancasila yang anti-Komunis. Beek dan sekutunya dalam gerakan ini membangun koperasi-koperasi berbasiskan di desa, koperasi simpan-pinjam, bank, dlsb. Tiap jaringan komunitas tersebut memiliki koordinator untuk masalah-masalah social. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) juga menjadi basis gerakan serta aktivitas kader-kader mereka. Fokus utama Beek adalah pada pelatihan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu, dan bukannya keterlibatan secara langsung.
Visi Beek pribadi atas peran Gereja, Gereja harus berperan dalam mengatur Negara kemudian mengalokasikan orang-orang yang tepat untuk bekerja di dalam dan melalui negara. Dalam hal ini ia menuai sejumlah penentangan dari simpatisan Jesuit pada umumnya yang berusaha untuk mengkonstruksi organisasi-organisasi berbasiskan komunitas yang berada di luar negara. Ia juga mendapatkan tentangan dari serikat-serikat lainnya maupun kaum awam yang tidak sepakat dengan akvitas politik Beek yang terlalu mencolok, maupun dukungan Beek atas pemerintahan Soeharto, dan secara lebih khusus lagi atas segmen khusus di dalamnya pada tahun 1970-an, yakni arus OPSUS-GOLKAR.
Bagi Beek, ada dua musuh besar baik bagi Indonesia maupun bagi Gereja adalah Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman. Pasca 1965, posisi militant yang anti-Islam digaungkan dengan arus dominan yang berlaku dalam kepemimpinan Angkatan Darat ketika itu. Indonesia yang diidealkan Beek adalah Indonesia yang nasionalistik, non-Islamik, dengan golongan Kristen mendapatkan tempat yang istimewa, sambil mendukung pemerintahan bergaya GOLKAR. Pemihakan semacam ini dibenarkan Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selain memberikan dukungan atas the lesser evil.
Keterlibatan aktif Beek pada masa itu secara fisik dalam demonstrasi-demonstrasi di jalan raya Jakarta, sehingga nyaris menyelubungi latar-belakangnya sebagai orang asing. Beek pernah terlibat secara sangat aktif dalam rivalitas pada tahun-tahun sebelum maupun pasca 1965, antara arus kelompok intelijen Katholik dengan arus kelompok PSI yang juga terlibat dalam aktivitas-aktivitas intelijen bawah-tanah (Aktivitas-aktivitas PSI ini juga melibatkan sel-sel yang diasosiasikan satu jaringan dengan Prof. Soemitro, di mana salah-satu anggotanya adalah Soe Hok Gie).
Beek menyelenggarakan kursus-kursus satu-bulanan secara reguler, bagi mahasiswa, aktivis, maupun kaum muda pedesaan. Dengan menghadirkan pastor maupun rohaniwan, sebagai bagian dari program kaderisasi; pelatihan ketrampilan kepemimpinan, kemampuan berbicara di hadapan publik, ketrampilan menulis, ‘dinamika kelompok’, serta analisis sosial.
Dalam prakteknya, kursus-kursus tersebut mengambil model campuran, perpaduan dari teknik-teknik pendidikan Jesuit dan Komunis, berbasiskan disiplin-diri yang kuat. Kursus/pelatihan-pelatihan ini diselenggarakan dengan pendekatan yang amat brutal atas para pesertanya: para calon kader bahkan kerap kali diharuskan saling menghajar/memukul rekan-rekan sepelatihannya sendiri, dihina dengan keharusan merangkak di lantai yang penuh dengan kotoran, sesi-sesi harian yang panjang penuh dengan umpatan/caci-makian, melontarkan kritik atas kelemahan sesama peserta, dibangunkan secara mengejutkan di tengah malam buta.
Setelah hari-hari yang melelahkan, dalam jam tidur yang amat pendek, dan lain sebagainya, hasil akhirnya adalah: menjadi seorang kader yang sepenuhnya setia, patuh kepada Beek secara personal; menjadi orangnya Beek seumur hidup, yang bersedia melakukan apa saja baginya. Ketika para kader itu dipulangkan ke habitat asalnya, orang-orang muda ini kemudian diminta untuk menghasilkan laporan bulanan atas segala hal yang mereka dengar, lihat di dalam organisasi masing-masing, yang dilakukan untuk Beek dan demi Beek seorang. Secara bertahap Beek membangun untuk kepentingan dirinya, sebuah jaringan-kerja intelijen personal. Bagi pimpinan-pimpinan Gereja yang mendukung program Beek, maka hasilnya tentu akan memuaskan.
Pada akhir tahun 1960-an, Beek mendapatkan tugas untuk melatih guru-guru di Irian Jaya, sebuah wilayah dengan mayoritas Kristen, dalam rangka mempersiapkan voting bagi penentuan nasib Irian Jaya. Dalam hal ini, maupun dalam sekian banyak aktivitas lainnya pada periode ini, Beek amat erat terlibat dengan OPSUS-nya Ali Moertopo; 8 khususnya melalui Center for Strategic and International Studies (CSIS), beserta dengan dua pengikutnya utamanya: Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie). Sepanjang periode ini secara reguler Beek mensirkulasikan paket dokumen yang berisikan laporan-laporan berkenaan dengan peristiwa maupun aktivitas-aktivitas tertentu, beserta paket analisis sosial, dan garis aksi/tindakan yang perlu dijalankan.
Sementara Beek mungkin tidak memiliki keterlibatan personal dalam aspek-aspek yang lebih teknis dalam aktivitas OPSUS pada masa itu, namun logika dari posisi yang dipropagandakannya, secara tidak langsung telah mendatangkan kebutuhan, jika perlu menerabas batasan-batasan hukum (melanggar hukum) demi mencapai tujuannya. Metode-metode yang diperkenalkannya selama kursus kaderisasi tentu mendorong para kadernya untuk menghalalkan pendekatan “dengan cara apa pun demi [tercapainya] tujuan” dalam politik.
Betapa pun, setidaknya ada satu klaim serius bahwa Beek mungkin memiliki keterlibatan dengan para pembuat plot utama peristiwa Gestok 1965. Wertheim9 melaporkan bahwa Beek: “menyampaikan pada seorang sahabatnya beberapa bulan sebelum meletusnya peristiwa Gestok, bahwa ia merasa amat berat hati meninggalkan Indonesia untuk sementara waktu karena alasan kesehatannya, karena ia yakin bahwa sebuah peristiwa yang mirip dengan pengulangan Peristiwa Madiun (1948) akan segera terulang lagi, dalam skala yang lebih besar, yang akan berakhir dengan kekalahan mutlak PKI.”
Aktivitas semacam ini ternyata tidak pernah mendapat pujian secara menyeluruh dalam kalangan Gereja di Indonesia, dan khususnya menjelang akhir hidupnya, Provincial Jesuit beserta para pimpinan Gereja lainnya justru berupaya menyingkirkan dia. Namun agaknya hierarki Gereja pun mengalami kesukaran untuk menindak Beek, walau pun ia berhasil dipaksa untuk kembali ke Belanda. Salah seorang kolega Beek ada yang mengomentari, “Di tataran teori gagasan-gagasan Beek boleh-boleh saja, namun dalam tataran praktek ia menjadi kotor”. 10 Pengaruhnya kini terbukti dalam pandangan-pandangan pro-GOLKAR dari sejumlah anak-didiknya, yang kemudian menduduki posisi berpengaruh di Gereja.
Secara reguler Beek juga berkunjung ke Australia dan bekerja dengan pimpinan National Civic Council, B.A. Santamaria. Sejumlah pendanaan Beek agaknya juga datang dari sumber-sumber luar negeri yang bersimpati seperti itu. Setidaknya sebagian dari kontak-kontak pra-1975 antara intelijen Indonesia dan Australia atas Timor (walau bukan berarti seluruhnya) agaknya berasal dari jalur yang satu ini.
Seorang adik kandung Jusuf Wanandi, Pastor Markus Wanandi, S.J. dari Semarang, yang juga didikan Beek dengan ‘cetakan’ yang serupa di atas. Salah satu mata-rantai yang menarik berkenaan dengan kisah sepak-terjang Beek ini adalah kenyataan bahwa ia adalah pastor yang memberikan pemberkatan pernikahan W.S. Rendra dengan istri pertamanya. 11
PENGAKUAN KOES BERSAUDARA DI BAWAH KORDINASI DAN PEMBINAAN INTELEJEN
Harian KOMPAS MINGGU edisi 30 Mei 2004 – LEBIH JAUH DENGAN KOES BERSAUDARA
Di Penjara Glodok
Episode ini, sudah banyak diungkap media massa. Tanggal 29 Juni 1965 personel Koes Bersaudara ditangkap dan ditahan di Penjara Glodok, yang kini dikenal sebagai kompleks pertokoan itu. Alasannya, mereka dijebloskan ke penjara karena menggelar musik yang "ke-Barat-Barat-an", yang dianggap tidak sesuai dengan kebijakan politik pada masa itu. Nomo sempat menuturkan, bagaimana kisah hidup mereka di balik terali besi selama tiga bulan. Ada tahanan yang iba terhadap mereka, namanya Oom Ging. Si oom ini iba melihat jatah makanan anak-anak ini. "Oom Ging lalu memberi sayuran yang ditanam sendiri. Belakangan saya tahu, tanaman itu diberi pupuk dari kotoran Oom Ging sendiri. Waduh...," cerita Nomo sambil tertawa.
Yang tidak banyak diketahui orang, seperti dituturkan Yok Koeswoyo, sebenarnya mereka dimasukkan penjara pada masa itu sebagai bagian untuk menjadikan Koes Bersaudara sebagai intelijen tandingan (counter intelligence) di Malaysia. Saat itu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia.
"Zaman dulu ada KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Kami direkrut oleh beliau-beliau, komandannya Kolonel Koesno dari Angkatan Laut. Dibikin seolah-olah pemerintah yang ada tidak senang sama kami, lalu kami ditangkap. Dalam rangka ditangkap inilah kami nanti secara diam-diam keluar dan eksodus ke Malaysia. Di sana kami dipakai sebagai counter intelligence. Namun, pas keluar dari penjara pada tanggal 29 November, meletus G30S," cerita Yok.
Jadi masuk penjara itu hanya sebuah jalan menuju fase berikutnya?
"Ya, jadi dibentuk opini seolah-olah kami tidak suka pada Soekarno," jawab Yok.
Waktu masuk penjara ada perasaan menyesal atau tidak?
"Tidak, kita menyadari itu kok."
Ini tak pernah terungkap ya?
"Ya, selama ini kita selalu rapet. Kami ikut menjaga rahasia negara. Di KOTI itu kami masuk D3, kami bisa dibangunkan, tapi bisa juga ditidurkan."
Hal sama, katanya dilakukan kelompok ini di paruh pertama tahun 1970-an (sebelum Timor Timur bergabung menjadi wilayah Indonesia, atau ada pula yang menyebut sebagai proses aneksasi), untuk Timor Timur. Dalam rangka "proyek politik" ini, katanya lahir lagu semacam Diana (lagu itu bercerita mengenai putri petani, bernama Diana. Perhatikan, Diana adalah nama yang tidak umum untuk petani di Jawa.) Ingat juga lagu Da Silva.
Anda masuk ke Timor Timur ?
"Kami berangkat ke sana. Kami bikin pertunjukan di gedung. Waktu menuju Hotel Turismo, ada orang Timur yang mendekat dan menggedor-gedor mobil kami sambil berteriak-teriak, ’Viva Presidente Soeharto!’ Waktu kami pulang dari Timor Timur kami disambut sama Adam Malik di Tanah Abang," ucap Yok. (Markas CSIS, Tanah Abang – red.)
Seru ya....
"Setelah mengalami itu semua, nasionalisme kami tambah tebal. Itu makanya ada lagu Nusantara I, II, dan seterusnya."
FOOTNOTE
- Ideologi pro bukan ideologi independen sebagaimana falsafah Pancasila hasil olah pikir Soekarno – Founding Fathers Republik Indonesia.
- Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia. Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.
- Tokoh Intelejen Orde Baru sekelas Gembel Sediono, mantan bawahan Ali Moertopo memberikan apresiasi unik terhadap Islam dan kekuatan politik Islam, beliau berpendapat: Agama yang paling baik itu Islam, yang mengajarkan konsep demokrasi di dunia ini Islam, yang konsisten dengan konsep demokrasi juga Islam. Tapi Islam tidak boleh hidup di Indonesia. – Dialog dari hati ke hati dengan Tim CeDSoS, Juni 2004, di kediaman Bapak Gembel Sediono. Cipete - Jaksel
- Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
- Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.
- Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste. - Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste. - Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste. - Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste. - Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste. - Masuknya sentimen, kepentingan dan kekuatan politik barat yang pro-kapitalis dan sekuler (Salibis Vatikan dan Zionis) yang mengemban program kristenisasi ke Asia Tenggara, dalam rangka menciptakan perimbangan terhadap peta kekuatan ideologi Islam. Di antaranya melalui aksi campur tangan yang berlanjut dengan tindakan aneksasi terhadap wilayah Tim-Tim yang mayoritas Katholik dan secara resmi masih berstatus jajahan Portugal ke dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tahun 1976 kemudian direkayasa secara tidak jelas alasannya sebagai politik integrasi yang tak terelakkan bagi Indonesia.
Selain itu orde baru didikte untuk menggelar aksi penangkapan dan pemberangusan secara tidak serius terhadap gerakan separatis Papua Merdeka. Operasi intelejen busuk orde baru terhadap dua kasus tersebut secara langsung atau tidak langsung sebenarnya sekaligus berfungsi untuk menipu dan menghibur serta menunjukkan kepada masyarakat tentang betapa besar sikap nasionalisme dan keberpihakan pemerintah atau negara kepada ummat muslim. Selebihnya kebijakan tersebut adalah untuk memicu bagi munculnya sentimen agama di kalangan kristiani Internasional sekaligus membangun serta menyebarkan semangat dan kekuatan fundamentalisme kristen di seluruh wilayah Indonesia. Dan kini potensi kekuatan fundamentalisme kristen di Indonesia secara terselubung atau bahkan nyata-nyata telah berada di bawah kontrol dan sponsor penuh, kepentingan serta pengaruh politik Barat (Salibis-Zionis) antara lain Belanda, Australia dan persemakmuran Inggris dan Amerika beserta agen-agennya di Asia seperti Singapore, Jepang, Taiwan, Fillippine dan Timor Leste.
John Helmi Mempi
Direktur Eksekutif CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Graha ANUGERAH lantai 3, Jl. Raya Pasar Minggu, Jakarta 12780
Tel/Fax. 021 - 7983265
Umar Abduh
Sekjen CeDSoS (Center for Democracy and Social Justice Studies)
Penulis buku “Al-Zaytun Sesat” dan “Al-Zaytun Gate”
Penyunting buku KIGIR (Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal)
Anggota Tim Penyusun buku Di Balik Berita Bom Kedutaan Besar Australia & Skandal Terorisme.
HP: 0815 8614 8611, e-mail: umarabduh@gmail.com
Sumber : cedsos.com