Perencanaan Kawasan Yang Berwawasan Lingkungan: Eco-Estate
Pengertian
Eco-Estate adalah pembangunan kawasan permukiman, di mana telah dilakukan pengukuran yang terukur terhadap beberapa komponen pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, sehingga tercipta lingkungan yang sehat bagi masyarakat yang bermukim di kawasan permukiman tersebut.
Konsep eco-estate telah di implementasikan di negara-nagara maju di dunia , contoh paling dekat adalah negara Singapura yang mulai diikuti oleh negara jiran Malaysia dalam satu-dua dekade terakhir ini.
Negara Singapore telah membuktikan pembangunan kawasan permukiman yang ramah kepada lingkungan tanpa kehilangan julukan sebagai kota modern. Mereka telah mengubah kawasan yang dulunya merupakan kawasan rawa-rawa, pelabuhan niaga yang sesak, anak-anak sungai yang kotor, berubah menjadi kota yang saat ini telah tertata menjadi sebuah kawasan perkotaan dengan lingkungan yang asri, hijau dengan udara yang segar serta tersedianya hutan-hutan kota, sungai-sungai yang sehat, udara yang bersih dengan iklim mikro yang nyaman, serta lingkungan yang bersih dari sampah dan bebas banjir.
Intinya konsep pengembangan kota dan khususnya utilitas kota dengan menerapkan 3 R, reduce, reuse, recycle, yang berwawasan lingkungan. Ada delapan komponen eco-city (estate) yang harus diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu komponen udara-iklim mikro, air minum, air limbah, sampah, banjir, energi dan lingkungan alami.
Beberapa contoh penerapan eco-estate (city) adalah daur ulang air limbah dan sampah menjadi sumber air baku/tanah dan energi. Sampah padat maupun air limbah domestik permukiman akan di recycle dengan menggunakan incinerator dan digunakan kembali untuk keperluan pengkayaan tanah (komposting) dan biodeversity tanaman.Untuk penanganan kelebihan energi air berupa banjir, dikelola sehingga menghindari terjadinya genangan air, bahkan dapat disimpan menjadi alternatif sumber air baku bagi air minum masyarakat.
Pengembangan hutan-hutan kota dengan menekankan kepada keaneka ragaman hayati (biodervisity), program kali bersih, penurunan tingkat polusi, kebersihan, keamanan, kenyamanan, sering dilakukan dengan semboyan "green city", "green and clean", " go green"," blue sky" yang kesemuanya berorientasi kepada pembangunan berwawasan lingkungan, dan ini semua menjadi tuntutan uptodate bagi masyarakat perkotaan yang sudah "sesak" dan jenuh hidup dengan kemacetan, banjir, pencemaran air dan udara.
Pengembangan kawasan hunian Eco-Kelapa Gading-Estate
Kondisi morfologi dan topografi, kawasan pengembangan baru di sebelah timur laut Kelapa Gading, sungguh tidak menguntungkan, merupakan dataran rendah rawa-rawa, tempat alamiah air menggenang untuk "menunggu"-retention area- mengalir ke arah hilir -laut-, dialiri anak sungai Cipinang yang menyempit di hulunya, air tanah yang tinggi dan sangat dipengaruhi pasang surut.
Namun bagi pengembang sekelas Sumarecon, bukanlah suatu hambatan, mengubah daerah morfolgi yang tidak menguntungkan tersebut menjadi hunian kelas satu di kota Jakarta. Sejarah pengembangan wilayah kota baru Kelapa Gading adalah bukti nyata ketangguhan pengembang dalam menjinakan alam yang sulit. Hampir semua orang terperangah melihat kemajuan dan pengembangan wilayah ini sekarang, yang tadinya dilirikpun tidak oleh masyarakat, apalagi oleh para pengembang. Bahkan dalam 2 (dua) dekade kebelakang, wilayah permukiman Kelapa Gading tidak tercantum sebagai wilayah pengembangan permukiman dan niaga di RUTRK -DKI Jaya.
Tantangan pengembangan kawasan dengan konsep pengembangan CBD sebagai jangkar (anker) pusat pertumbahan untuk menarik minat masyarakat pembeli rumah, sudah berlalu, hampir semua pengembang menerapkan pembangunan Mall dan pusat perbelanjaan sekelas Mega sebagai daya tarik dan alat marketing, rasanya tidak perlu para pengembang berlomba-lomba lagi membangun Mall sekelas Giga di Jakarta untuk menarik pembeli, selain wilayah Jabodetabek yang sudah penuh dengan CBD, bahkan pembangunan mall sudah melebar ke daerah pinggiran (frange area). Pertanyaannya apakah masih relefan menanamkan investasi yang besar di suatu wilayah untuk menaikkan harga lahan di wilayah tersebut? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tentunya hal ini diperlukan study market terhadap selera para konsumen untuk mendapatkan kepastian jawabannya. Persoalannya saat ini tidak tersedia cukup data yang akurat/valid dan reliable untuk melakukan analisis kajian terhadap minat pembeli rumah di Jakarta.
Fenomena pengembangan kota-kota Metropolitan di dunia dengan konsep kembali ke alam, berwawasan lingkungan, mungkin bisa menjadi alternatif pilihan alat marketing baru untuk menarik minat pembeli potensial perumahan baru di Jakarta. Konsep pengamalan 3 R, pengelolaan utilitas kota yang baik serta efisien, keamanan, kenyamanan, akan menjadi ikon pilihan bagi konsep hunian terkini yang relatif murah dan menarik.
Peng-Itegrasi-an Utilitas
Pengelolaan banjir dengan pengaturan drainase lingkungan yang ter-integrasi dengan pengelolaan air limbah dan air minum, sangat mungkin dilakukan, bahkan sistem ini dapat dikembangkan dengan sistem pengelolaan sampah yang terpadu sebagai pengelolaan utilitas lingkungan yang terintegrasi. Manfaat dari pengembangan sistem utilitas secara terpadu akan menghasilkan energi yang berguna bagi kawasan tersebut, bahkan dapat bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Bagan alir konsep ini adalah sbb:
1) Banjir; yang setiap tahun datang di wilayah dataran rendah (Kelapa Gading) dapat diterapkan system polder pada perencanaan drainasenya, sistim ini ialah dengan membuat tanggul, berupa "green belt" di seputar kawasan yang bila memungkinkan dikombinasikan dengan membangun "boundary drain" di bagian hulu kawasan yang fungsinya mengalirkan air yang datang dari luar kawasan (bagian Selatan) untuk dialirkan menuju hilir (utara kawasan). Sistem mikro darinase di bagian dalam kawasan (inner area), dialirkan ke kolam penampungan berupa danau/situ, yang kemudian dilakukan pemompaan dengan pengoperasian automatic level, bila mencapai ketinggian tertentu. Fungsi situ/danau di musim kemarau akan dapat berfungsi sebagai (a) impounding reservoar; penampungan sumber alternatif air baku bagi cadangan bagi supply air minum kawasan (b) sebagai cosmetic area-tempat rekreasi dan penghias lingkungan-estetika (c) sebagai media penurunan temperatur lingkungan- micro climate (d) kawasan paru2 kota, dengan menghijaukan seputar danau/situ tsb.
2) Air limbah domestik; besarnya debit air limbah domestik adalah 60% hingga 70% dari kebutuhan air yang digunakan oleh setiap rumah tangga, potensi ini relatif besar apabila kita menghitung rata-rata kebutuhan air per rumah tangga = 60 s/d 100 m3/bulan atau konsumsi per hari 3 m3/rumahtanga untuk kelas rumah tangga menengah. Artinya, bila dihitung jumlah hunian di kawasan ini akan terbangun (asumsi 60% terbagun x 50 ha x 0,7 (factor) dibagi 150 m2/rumah )= 1400 san rumah, maka akan terdapat 1.400 x 3 m3/hari = 5.200 m3/hari (~ 50 lt/detik) air yang dapat diolah dengan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) komunal dengan sewerage system (pengaliran air limbah domestik dengan perpipaan), untuk dialirkan ke danau/situ drainase, sehingga menjamin kontinyuitas pengisian danau/situ di musim kemarau untuk tidak menjadi kering (menjadi sarang nyamuk, di kebanyakan danau buatan saat musim kemarau, karena kering -kurang supply air)
3) Air minum, biasanya supply air minum, didapatkan dari penyambungan perpipaan PDAM. Saat ini krisis kuantitas, kualitas, kontinuitas dan tekanan air PDAM, khususnya di wilayah Jakarta utara, menjadi persoalan bagi PAM Jaya dalam melayani kebutuhan air minum masyarakat. Kenyataan ini sudah menjadi problema masyarakat Jakarta, khususnya di musim kemarau. Mengandalkan PAM Jaya untuk mendapatkan sumber-sumber air baku baru,untuk pelayanan air minum kepada masyarakat, untuk saat ini, adalah sesuatu yang sulit diharapkan, oleh karena selain memerlukan investasi yang besar, juga karena kecenderungan krisis air baku yang meningkat setiap tahunnya, upaya penanggulangannya akan membutuhkan waktu cukup lama, apalagi saat ini PAM Jaya adalah debitur penunggak hutang terbesar dari PDAM2 di indonesia. Oleh karenanya, penyediaan air minum secara mandiri bagi suatu kawasan, merupakan hal yang diharapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini pengembang bisa menjadikan potensi diatas (dengan dibangunnya waduk, sebagai impounding reservoar-) sebagai sumber air baku yang dapat di olah dengan IPA (Instalasi Pengolahan Air) dan dikelola secara mandiri. Peraturan serta perijinan dari Pemda DKI untuk pengelolaan air minum secara mandiri dalam hal ini, perlu dikaji terlebih dahulu.
4) Persampahan; Persoalan sampah di Jakarta saat ini terletak kepada masalah pengelolaan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), problem yang mengemuka adalah tidak tersedianya lahan yang cukup untuk membuang dan mengolah sampah kota di TPA. Persoalan sampah bagi DKI Jakarta merupakan persoalan yang rumit dan akan semakin sulit pengelolaanya di era otonomi daerah saat ini. Pengelolaan sampah dengan program 3 R (reduce, reuse dan recycle) saat ini mulai dikampayekan dan digalakan oleh Pemerintah. Diyakini dengan sistem pengelolaan 3 R akan dapat dikurangi timbulan sampah hingga hampir 70% jumlah timbulan sampah rumah tangga. Konsep 3R ini secara terpadu dapat diterapkan kepada kawasan-kawasan baru yang akan dibangun oleh pengembang. Proses 3 R dimulai dari tingkat rumah tangga dengan proses pemilahan antara sampah organik dan non organik (dengan menyediakan bak sampah yang terpisah), proses pengumpulan dapat dilakukan dengan menggunakan gerobak atau truk (dengan pemisah di baknya) pengangkut yang akan melayani secara "door" to door kesetiap rumah. Hasil pengumpulan sampah ini akan akan dikumpulkan di suatu tempat untuk dilakukan proses pemanfaatan kembali=reuse, untuk sampah organik akan diolah menjadi kompos, sedangkan sampah non organik dapat dijual, sisa sampah yang tidak termanfaatkan, dapat dikumpulkan untuk diangkut oleh truk Dinas Kebersihan ke TPA.
Manfaat
Konsep di atas, jelas dapat menjadi slah satu faktor "selling point" bagi pengembang, yang dapat 'menjual sebagai konsep kawasan eco-estate. Dalam hal ini akan terdapat 2 (dua) buyer; (1) adalah masyarakat yang ingin memiliki rumah, dengan keuntungan lingkungan yang ramah, bersih dan sehat (2) adalah Pemerintah daerah; konsep ini sangat mungkin dikerjasamakan dengan Pemda, melalui Dinas Tatakota, BPLHD dan PU DKI; dengan ikut berpartisipasi dalam program pelestarian lingkungan, dalam mengelola utilitas kota (air minum, air limbah, sampah, darinase dan program peresapan air tanah) yang pro lingkungan---perlu sosialisasi dan pendekatan intensip dengan pihak Pemda, melalui Kepala daerah ataupun dewan)
Selain hal diatas, tentu saja dengan pembangunan kawasan yang berwawasan lingkungan tsb. selain ikut mengurangi beban pemerintah daerah terhadap problem pelayanan umum, juga secara otomatis akan meningkatkan "citra" perusahaan dalam hal ini Sumarecon, sebagai salah satu pengembang yang pro-lingkungan, bahkan secara lebih luas konsep ini dapat diupayakan dukungan international melalui program-program negara donor, sebagai salah satu upaya pihak suasta berpartisipasi dalam program dunia - Global warming" dan "climate change"------perlu upaya sosialisasi politis ditingkat Nasional.