http://cetak.kompas.com/read/2011/01/13/04472569/Pengelolaan.Tinja.Masih.Terabaikan
Jakarta, Kompas - Setiap tahun, setiap orang rata-rata menghasilkan 30 liter tinja kering, tanpa memperhitungkan jumlah air yang digunakan untuk membersihkannya. Jika penduduk Indonesia tahun lalu mencapai 237,6 juta jiwa, selama 2010 dihasilkan 7,13 miliar liter tinja kering.
Jumlah tinja sebanyak itu tentu tidak bisa dianggap sepele. Salah dalam mengelola, bisa menimbulkan persoalan kesehatan dan lingkungan yang serius dampaknya bagi masyarakat.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, sebanyak 15,8 persen rumah tangga tidak memiliki tempat pembuangan air besar atau kakus. Artinya, tinja keluarga itu dibuang secara terbuka, baik di tegalan, sawah, kolam, atau sungai.
Rumah tangga yang memiliki kakus sendiri hanya 69,7 persen. Sementara sisanya menggunakan kakus umum atau bersama.
Provinsi dengan jumlah rumah tangga terbesar yang tidak memiliki akses terhadap kakus itu adalah Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah, yaitu 38-39 persen dari rumah tangga yang ada.
Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) Enri Damanhuri saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/1), mengatakan, pembuangan tinja di tempat terbuka itu tidak terlalu menimbulkan persoalan di pedesaan karena daya dukung lingkungannya masih memadai.
Namun, cara ini rentan menimbulkan penyebaran penyakit, khususnya jika dalam tinja terkandung kuman penyakit, seperti disentri. Selain itu, cara ini mengurangi estetika lingkungan.
Dalam Riskesdas juga disebutkan, mereka yang tidak memiliki kakus sendiri umumnya tingkat pengeluaran rumah tangganya rendah alias keluarga miskin. Mereka paling banyak berada di pedesaan sebesar 25,5 persen, sedangkan di perkotaan mencapai 6,7 persen.
Meski memiliki kakus sendiri, hanya 2,9 persen rumah tangga yang pembuangan akhir tinjanya terjangkau oleh sarana pembuangan air limbah (SPAL). Sebanyak 59,3 persennya dibuang ke tangki septik. Sementara sisanya dibuang ke kolam, sawah sungai, danau, lubang tanah, hingga kebun dan pantai.
Enri mengingatkan, jarak ideal antara tangki septik dan sumber air minum, seperti sumur, adalah 10 meter. Namun, jarak tersebut sulit dipenuhi rumah tangga di perkotaan karena padatnya permukiman. Oleh karena itu, permukiman di perkotaan butuh sistem pembuangan air limbah secara terpusat. Namun, sistem pembuangan air limbah terpadu sulit diwujudkan karena belum menjadi prioritas pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat masih terfokus pada penyediaan rumah tinggal yang layak.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa mengatakan, kebutuhan ruang bagi rumah tapak untuk setiap keluarga minimal adalah 36 meter persegi. Artinya, rumah tapak yang ukurannya lebih kecil dianggap tidak layak huni. Ketentuan ini dikecualikan untuk rumah susun atau apartemen.
Jumlah kekurangan rumah tinggal di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 8,2 juta unit. Jumlah tersebut berarti naik 64 persen dibandingkan dengan kebutuhan pada tahun 2004.
Ketidakmampuan pemerintah menyediakan rumah bagi seluruh rakyat membuat sebagian masyarakat terpaksa tinggal di permukiman kumuh, khususnya di perkotaan.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, sebanyak 2,3 juta keluarga perkotaan seluruh Indonesia tinggal di rumah tidak layak.
Luas kawasan kumuh juga semakin meningkat. Kawasan kumuh pada 2004 tersebar di 10.065 titik dengan luas mencapai 54.000 hektar. Pada tahun 2009, luas kawasan kumuh menjadi 57.800 hektar.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama mengingatkan, kepadatan penduduk rentan memunculkan infeksi penyakit menular. Semakin padat permukiman, maka makin mudah penularan penyakit infeksi dan jumlahnya pun akan semakin besar.
Penyakit yang mudah menular karena kepadatan permukiman antara lain infeksi saluran pernapasan akut, tuberkulosis, diare, dan demam berdarah dengue.
No comments:
Post a Comment