Jumat, 20 Januari 2012 22:24 WIB
The headlong stream is termed violent
But the river bed hemming it in is
Termed violent by no one
Bertolt Brecht, “On Violence”
Diberitakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur berniat menutup seluruh tempat pelacuran di wilayahnya. Alasannya tentu klise, untuk menghilangkan penyakit masyarakat. Pelacuran, atau transaksi hubungan seks dengan imbalan pembayaran, merupakan fenomena yang ada sejak ribuan tahun lalu dan nampaknya akan ada sampai kapan pun juga selama di dunia ini masih ada laki-laki. Para pelacur, atau Pekerja Seks Komersial,yang pada umumnya perempuan, dituduh sebagai yang bersalah. Sering pula mereka dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dikutuk, dimarjinalkan, diperlakukan sebagai bukan warga negara yang sah.
Dalam dunia yang didominasi pendapat bahwa laki-lakilah yang menentukan segalanya, tumbuhnya pelacuran selalu dituduhkan bahwa perempuanlah penyebabnya. Bukankah kaum pekerja seks komersial itu yang memajang dirinya di etalase tempat pelacuran, merayu kaum laki-laki agar mau membeli layanan jasa seks? Tidak pernah ditanyakan, bukankah kaum laki-laki yang secara sengaja mencari layanan seks komersial?
Terkadang memerlukan untuk mengunjungi tempat pekerja seks itu berjualan, lalu memilih siapa yang akan dikencaninya. Terkadang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, terutama mereka yang “mau menjaga nama baik”, memesannya dari hotel-hotel tempat mereka menginap. Kaum laki-lakilah yang secara aktif mencari layanan seks. Terjadilah prinsip ekonomi, supply and demand, ada permintaan maka ada penjual.
Bahkan tidak jarang terjadi bahwa seorang perempuan menjadi pekerja seks komersial akibat perbuatan laki-laki. Pertama, perempuan dianggap tidak perlu mendapat pendidikan yang cukup. Kalau keluarga ada uang, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk sekolah. Akibatnya, ketika perempuan harus mencari nafkah, ia tidak mempunyai modal lain kecuali tenaga atau tubuhnya. Dia akan menjadi pembantu rumah tangga atau pekerja seks komersial. Tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih tinggi karena tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Kedua, tidak jarang laki-laki secara sengaja menyuruh isterinya untuk mencari uang dengan menjadi pekerja seks komersial.
Tetapi toh ketika mereka menjadi pekerja seks komersial, mereka dituduh sebagai penyakit masyarakat yang tidak dianggap sebagai manusia. Kalau menjadi korban kekerasan, keluhannya tidak akan dilayani secara serius karena dianggap sebagai risiko akibat dia mau menjadi “wanita tuna susila”. Perempuan tidak bermoral. Bahkan kaumnya sendiri ikut memusuhi mereka, terutama karena mereka dianggap sebagai pencuri cinta suaminya. Para pekerja seks komersial tidak akan dibela kalau dia diperkosa oleh laki-laki.
Mereka dianggap sebagai penyebar penyakit menular seksual, termasuk HIV, meskipun mereka terkena penyakit itu dari laki-laki pelanggannya. Laki-laki pelanggannya pun tidak akan menganggap pekerja seks komersial sebagai manusia yang mempunyai hak, dan akan menolak kalau mereka harus memakai kondom. Kecuali kalau laki-laki itu yang takut terkena penyakit menular seksual. Kalau dia sudah mengidap penyakit sebelum mengencani pekerja seks komersial, dia tidak akan perduli apakah teman kencannya itu akan tertulari atau tidak.Maka ketika jumlah pengidap HIV di suatu daerah meningkat, yang pertama-tama disalahkan adalah pekerja seks komersial. Bukannya kemudian mereka diberikan layanan kesehatan, tetapi justru diusir dan digusur.
But the river bed hemming it in is
Termed violent by no one
Bertolt Brecht, “On Violence”
Diberitakan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Timur berniat menutup seluruh tempat pelacuran di wilayahnya. Alasannya tentu klise, untuk menghilangkan penyakit masyarakat. Pelacuran, atau transaksi hubungan seks dengan imbalan pembayaran, merupakan fenomena yang ada sejak ribuan tahun lalu dan nampaknya akan ada sampai kapan pun juga selama di dunia ini masih ada laki-laki. Para pelacur, atau Pekerja Seks Komersial,yang pada umumnya perempuan, dituduh sebagai yang bersalah. Sering pula mereka dianggap sebagai sampah masyarakat. Mereka dikutuk, dimarjinalkan, diperlakukan sebagai bukan warga negara yang sah.
Dalam dunia yang didominasi pendapat bahwa laki-lakilah yang menentukan segalanya, tumbuhnya pelacuran selalu dituduhkan bahwa perempuanlah penyebabnya. Bukankah kaum pekerja seks komersial itu yang memajang dirinya di etalase tempat pelacuran, merayu kaum laki-laki agar mau membeli layanan jasa seks? Tidak pernah ditanyakan, bukankah kaum laki-laki yang secara sengaja mencari layanan seks komersial?
Terkadang memerlukan untuk mengunjungi tempat pekerja seks itu berjualan, lalu memilih siapa yang akan dikencaninya. Terkadang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi, terutama mereka yang “mau menjaga nama baik”, memesannya dari hotel-hotel tempat mereka menginap. Kaum laki-lakilah yang secara aktif mencari layanan seks. Terjadilah prinsip ekonomi, supply and demand, ada permintaan maka ada penjual.
Bahkan tidak jarang terjadi bahwa seorang perempuan menjadi pekerja seks komersial akibat perbuatan laki-laki. Pertama, perempuan dianggap tidak perlu mendapat pendidikan yang cukup. Kalau keluarga ada uang, maka anak laki-laki yang diutamakan untuk sekolah. Akibatnya, ketika perempuan harus mencari nafkah, ia tidak mempunyai modal lain kecuali tenaga atau tubuhnya. Dia akan menjadi pembantu rumah tangga atau pekerja seks komersial. Tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih tinggi karena tidak mempunyai pendidikan yang memadai. Kedua, tidak jarang laki-laki secara sengaja menyuruh isterinya untuk mencari uang dengan menjadi pekerja seks komersial.
Tetapi toh ketika mereka menjadi pekerja seks komersial, mereka dituduh sebagai penyakit masyarakat yang tidak dianggap sebagai manusia. Kalau menjadi korban kekerasan, keluhannya tidak akan dilayani secara serius karena dianggap sebagai risiko akibat dia mau menjadi “wanita tuna susila”. Perempuan tidak bermoral. Bahkan kaumnya sendiri ikut memusuhi mereka, terutama karena mereka dianggap sebagai pencuri cinta suaminya. Para pekerja seks komersial tidak akan dibela kalau dia diperkosa oleh laki-laki.
Mereka dianggap sebagai penyebar penyakit menular seksual, termasuk HIV, meskipun mereka terkena penyakit itu dari laki-laki pelanggannya. Laki-laki pelanggannya pun tidak akan menganggap pekerja seks komersial sebagai manusia yang mempunyai hak, dan akan menolak kalau mereka harus memakai kondom. Kecuali kalau laki-laki itu yang takut terkena penyakit menular seksual. Kalau dia sudah mengidap penyakit sebelum mengencani pekerja seks komersial, dia tidak akan perduli apakah teman kencannya itu akan tertulari atau tidak.Maka ketika jumlah pengidap HIV di suatu daerah meningkat, yang pertama-tama disalahkan adalah pekerja seks komersial. Bukannya kemudian mereka diberikan layanan kesehatan, tetapi justru diusir dan digusur.
Dinas Kesehatan pun tidak melihat bahwa menjaga kesehatan pekerja seks komersial adalah juga bagian dari tugasnya. Dinas Kesehatan tidak akan menyusun program dan anggaran untuk melayani lokalisasi PSK karena takut dianggap mengesahkan kehadiran PSK. Secara resmi negara menganggap mereka tidak ada, dan kalau ada tidak berhak untuk memperoleh layanan kesehatan secara menyeluruh dan terprogram.
Pemda Jawa Timur mempunyai Peraturan Daerah tentang pengendalian HIV yang di dalamnya memprogramkan untuk melakukan kondomisasi sampai 100 persen di tempat-tempat pelacuran. Tetapi dengan tempat-tempat pelacuran itu digusuri, bagaimana target kondomisasi 100 persen tercapai? Ke mana kondom akan disosialisasikan dan dibagikan agar penularan penyakit infeksi seksual dan HIV tidak menjalar lebih jauh?
Mungkin perda tentang HIV itu biarlah sebatas pajangan atau dokumen sejarah bahwa Pemda Jawa Timur mempunyai niat untuk mengendalikan HIV. Tetapi wajah "bermoral” harus dijaga dengan meniadakan semua tempat pelacuran. Bahwa kemudian mereka akan berkeliaran dan menyebar tanpa kontrol, bukan masalah. Toh tidak kelihatan.
Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
No comments:
Post a Comment