Sunday, April 07, 2013

Dokter Indonesia, Bagai Dewa Tanpa Tangan dan Kaki

http://www.metrotvnews.com/front/kolom/2013/04/05/320/Dokter-Indonesia-Bagai-Dewa-Tanpa-Tangan-dan-Kaki/metrokolom#.UWEps0m17RG.facebook
Dr Agung Sapta Adi

DOKTER = Dewa. Sekedar anekdot, menurut masyarakat kita : dokter tidak boleh miskin dan tidak akan miskin! 

Dokter pasti pintar karena itu Kepala Puskesmas, Direktur Rumah Sakit lazimnya dokter, tidak perlu ahli-ahli lain dokter bisa merangkap tugas dan jabatan. Dokter bisa urus posyandu, penyuluhan, urus PKK, KB sampai membina masyarakat desa. Tanpa disadari, bertahun-tahun profesi ini dijadikan DEWA di Indonesia. 

Dewa selalu digambarkan posisinya terhormat, mempunyai banyak tangan dan kaki sehingga punya banyak kemampuan. Dokter pasti kaya, makanya banyak orang tua pingin anak atau mantunya dokter, sekolah dokter harus mahal sampai spesialispun harus punya modal besar. Baju dokter harus bagus, rumah besar, mobil mewah. Dokter pasti sehat tidak pernah capek, makanya bisa kerja 24 jam. Dokter tidak boleh menolak pasien walau fasilitas terbatas, harus selalu ramah murah senyum, tidak boleh marah.

Dokter tidak boleh salah, kalau salah berarti malpraktek. Gaji ??? “Dokterkan sudah kaya, bisa buat uang sendiri. Gaji kecilkan bisa praktek. Kerja dobel-dobel mah sudah biasa. Kalau cari sumbangan ke dokter aja....Kalau dokter tidak mau diatur saya sikat” itulah dokter Indonesia....DEWA tanpa kaki & tangan.....

Sejarah dunia mencatat bahwa keberadaan dokter memiliki keunikan tersendiri terutama adanya kepercayaan yang dimiliki pengobat (dokter).

Kepercayaan ini terus berkembang hingga terbentuknya sifat fundamental dokter. Masyarakat mengenal seorang dokter yang baik memiliki sifat ketuhanan, kemurnian niat, keluhuran budi, kerendahan hati, kesungguhan kerja, integritas ilmiah dan sosial serta kesejawatan yang tidak diragukan.

Perkembangan ini juga menyentuh kehidupan sosial seorang dokter, tidak terbatas pada masalah terapi penyakit namun juga menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Profesi ini memikul kewajiban memerangi kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik ataupun merusak dalam masyarakat. Profesi kedokteran tidak pernah menyerah pada tekanan-tekanan sosial yang didorong oleh permusuhan atau dendam pribadi, politis atau militer.

Kondisi inilah yang membuat profesi kedokteran harus "dijaga" tidak hanya oleh dokter sendiri tapi juga masyarakat luas. Para negarawan harus berbuat baik dengan melindungi integritas profesi kedokteran dan melindungi kedudukannya terhadap permusuhan atau sikap yang tidak bersahabat.

Realita Dokter Indonesia
Bagaimana dokter Indonesia ? Dalam perkembangan sejarah Indonesia mencatat peran dokter baik sebagai pribadi maupun kelompoknya. Bagaimana dokter Indonesia sekarang ? Timbulnya permasalahan yang menyangkut etika dokter dan internal profesi ini menunjukkan kondisi yang paradoks ! Masyarakat Indonesia mengenal penampilan dokter sebanding dengan keluhuran profesinya dan tanggung jawab sosial yang diembannya. Sayang beberapa dekade ini tampak dokter Indonesia tidak selalu menampakkan ciri tersebut. Untuk bisa dikatakan seorang dokter yang ideal, dokter harus terbebas dari masalah sosial dan ekonomi, namun untuk mencapai itu semua bukan hal yang mudah ! 

Selain menjalankan tugas utamanya pada jam kerja, sebagian besar dokter "terpaksa" harus praktek tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh di Jakarta yang sedang asyik dengan KJS-nya, gaji seorang dokter honorer hanya Rp1,9 juta atau gaji PNS dokter golongan III di daerah sekitar Rp3 juta. Ini berbeda jauh dengan gaji sopir bus transjakarta yang mencapai Rp7,7 juta. 

Mantan Ketua IDI Dr Prijo Sidipratomo Sp.Rad saat menjabat menyebutkan, dari 110 ribu anggota IDI, sekitar 70 persen yang tidak sejahtera. Hidup pas-pasan dengan gaji sekitar Rp1,8 juta sampai Rp5 juta per bulan. Bandingkan dengan pegawai keuangan golongan III/a mendapat tunjangan sampai Rp4.750.000,- diluar gaji perbulan atau dengan hakim yang mendapat tunjangan Rp8.500.000,- sampai dengan Rp40.000.000,- ditambah tunjangan lainnya setiap bulannya.

Kesejahteraan dokter yang tidak terjamin ditambah dengan tuntutan gaya hidup stereotip (dokter harus kaya tidak boleh miskin) menimbulkan permasalahan baru, yaitu sebuah persaingan dalam profesi dokter sendiri.

Hal ini merupakan musibah bagi masyarakat sebagai konsumen karena yang mereka dapatkan adalah gambaran komoditas praktek kedokteran beserta persaingannya sebagaimana persaingan bisnis lainnya. Pada akhirnya biaya kesehatan menjadi mahal dan orang sakit menjadi obyek untuk diperebutkan.

Kemampuan dokter Indonesia untuk berkembang terbatas oleh fenomena sosial yang menimpanya. Jangankan turut menyumbangkan pemikiran/ karya terbaiknya untuk bangsa ini, mempertahankan fundamental profesi dokter sebagaimana layaknya menjadi hal yang terabaikan. Ironis ketika banyak orang membutuhkan pelayanan kesehatan, dokter sendiri tidak sanggup bertahan menghadapi persaingan hidup bahkan pemerintah membiarkan hutan rimba belantara bernama pelayanan kedokteran terjadi. Di saat dokter minim penghasilan, banyak praktek-praktek ilegal yang berbau medis maupun alternatif bertebaran dengan biaya pengobatan yang jauh lebih mahal.

Bencana Besar
Ketika pasien tidak percaya lagi dengan dokternya, selalu curiga dengan tindakan dan terapi yang dilakukan dokter. Bahkan sekedar medical chek-up saja rela keluar negeri seperti halnya rakyat Indonesia tercinta saat ini. Ketika dokter Indonesia mendapat sebutan “tidak becus”, “tidak profesional” bahkan dengan mudahnya anggota DPR yang notabene juga dokter menyatakan bahwa dokter lebih rendah daripada polantas yang suka menilang atau bahkan lebih kejam daripada teroris, maka sesungguhnya itu semua tanda-tanda bencana besar dunia kedokteran Indonesia.

Betapapun, keberhasilan upaya penyembuhan pasien amat bergantung pada rasa percaya yang imbal balik antara pasien dan dokter. Kepercayaan inilah yang harus selalu dijaga oleh penyedia layanan medis. Tanpa ada rasa percaya dari pasien, tidak mungkin upaya penyembuhan akan berhasil. Kecuali jika tujuan penyediaan layanan bukan untuk membantu kesembuhan pasien, tetapi semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak dan secepat mungkin dengan memanfaatkan ketidaktahuan pasien.

Bukan kesengajaan kalau dokter Indonesia harus lebih hati-hati terhadap tuntutan malpraktek sehingga untuk suatu diagnosis harus ditegakkan dengan berbagai macam pemeriksaan. Kalau harga obat dan alat kesehatan mahal tentunya bukan keinginan dokter. Hal ini adalah akibat persaingan bisnis dan ketidakmampuan pemerintah melakukan regulasi farmasi. Kalau tarif rumah sakit mahal....sekali lagi bukan dokter yang menentukan!

Komitmen Bersama
Semestinya semua pihak menyadari termasuk dokter sendiri bahwa kemuliaan profesi ini harus dijaga. Dokter tidak mungkin menyelesaikan permasalahan kesehatan sendiri. Perubahan mungkin terjadi kalau dokter Indonesia dapat kembali menjadi tuan "di negerinya sendiri", eksistensinya kembali utuh sehingga dokter mampu menjadi agent of change tidak hanya terhadap masalah kedokteran/ kesehatan tapi juga masalah-masalah sosial yang dihadapi bangsa ini.

Disahkannya UU No. 24 tentang BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), yang merupakan perintah langsung UU No. 40 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) telah membawa kabar gembira bagi seluruh rakyat Indonesia, yang mendambakan pelayanan kesehatan yang berkeadilan sosial. Dengan ditetapkan UU ini diharapkan tidak ada lagi masyarakat Indonesia yang terpaksa harus mengeluarkan uang dari dompetnya sendiri ketika ia membutuhkan pelayanan kesehatan dasar.  Permasalahannya adalah rendahnya besaran anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang hanya Rp15.500 per orang dan perbulan. “Idealnya Rp50 ribu per orang tapi pemerintah beralasan kondisi finansial tidak mendukung,” kata Prof Hasbullah Thabrany, pakar kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Menurutnya, angka ini terlalu kecil karena biaya dokter saja membutuhkan anggaran Rp20 ribu per orang. Penghasilan para tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan kepada setiap pengguna Sistem Jaminan Sosial Nasional harus memadai, mengutip Prof. Hasbullah Thabrany.

"Penghasilan para dokter yang memadai nantinya akan membantu penyaluran tenaga medis di lokasi-lokasi terpencil," ujar Hasbullah (AntaraNews, 23 Januari).

Dokter bukan dewa, bukan wakil Tuhan di bumi yang membantu kesembuhan manusia. Dokter juga manusia yang perlu hidup, dokter perlu istirahat, perlu mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya. Dokter tidak ingin disakralkan, karena memang dokter punya kelemahan. Dokter butuh rasa aman dalam bekerja, dan hal itu akan sulit tercapai apabila dalam melakukan tindakan selalu dibayang-bayangi dengan ancaman tuntutan. Manusia adalah makhluk yang holistik dan variatif, kesembuhan pasien tidak semata-mata karena tangan dokter.

Saat ini para dokter yang tergabung dalam gerakan moral DIB (Dokter Indonesia Bersatu) sedang memperjuangkan eksistensi profesi dokter yang telah sekian lama tersudutkan. Keberadaan IDI sebagai organisasi profesi diharapkan pulih kembali setelah sekian lama tak mampu mempertahankan tradisi luhur dokter.

Sesungguhnya dokter tidak ingin menjadi DEWA, perjuangan ini semata-mata ingin mencari peluang untuk menjadi manusia mulia.

No comments: