Inkonsistensi MP3EI
Dokumen MP3EI cukup banyak mengetengahkan karakteristik Indonesia yang unik sebagai negara kepulauan. Berikut kutipannya:
1. “Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki wilayah dengan panjang mencapai 5.200 km dan lebar mencapai 1.870 km. Lokasi geografisnya juga sangat strategis (memiliki akses langsung ke pasar terbesar di dunia) karena Indonesia dilewati oleh satu Sea Lane of Communication (SLoC), yaitu Selat Malaka, di mana jalur ini menempati peringkat pertama dalam jalur pelayaran kontainer global (lihat Gambar 1.6).” (MP3EI, hal.18)
2. ” Berdasarkan data United Nations Environmental Programme (UNEP, 2009) terdapat 64 wilayah perairan Large Marine Ecosystem (LME) di seluruh dunia yang disusun berdasarkan tingkat kesuburan, produktivitas, dan pengaruh perubahan iklim terhadap masing-masing LME. Indonesia memiliki akses langsung kepada 6 (enam) wilayah LME yang mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang cukup besar, yaitu: LME 34 – Teluk Bengala; LME 36 – Laut Cina Selatan; LME 37 – Sulu Celebes; LME 38 – Laut-laut Indonesia; LME 39 – Arafura – Gulf Carpentaria; LME 45 – Laut Australia Utara. Sehingga, peluang Indonesia untuk mengembangkan industri perikanan tangkap sangat besar. ” (MP3EI, hal.18)
3. “Sebagai negara kepulauan, Indonesia juga menghadapi tantangan akibat perubahan iklim global. Beberapa indikator perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan manusia adalah: kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan frekuensi perubahan iklim yang ekstrem. Demikian pula, pengaruh kombinasi peningkatan suhu rata-rata wilayah, tingkat presipitasi wilayah, intensitas kemarau/banjir, dan akses ke air bersih, menjadi tantangan bagi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia.” (MP3EI,hal.20)
4. “Indonesia Sebagai Negara Maritim”
“Total panjang garis pantai Indonesia seluas 54.716 kilometer yang terbentang sepanjang Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan di wilayah kecil lainnya. Melekat dengan Kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan Selat Makassar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3). Sebagian besar pelayaran utama dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagi jalur pelayarannya.”
“MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SLoC maupun ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) tersebut di atas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas maritim ini untuk mengakselerasi pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya Kawasan Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia perlu memanfaatkan keberadaan SLoC dan ALKI sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.” (MP3EI, hal. 33)
Hujah Filosofis
Sungguh sangat ironis bahwa kesadaran yang sudah sangat kental tentang keunikan geografis Indonesia–bahkan MP3EI menjuluki Indonesia sebagai Negara Maritim–justru yang menjadi primadona MP3EI adalah proyek Jembatan Selat Sunda (JSS). Dua halaman pertama dokumen MP3EI penuh dengan gambar JSS. Pemerintah sadar bahwa laut merupakan sumber kekuatan utama dari negeri ini, tetapi justru pembangunan JSS secara relatif melemahkan transportasi laut.
Pada butir 4 ditunjukkan sebagian besar pelayaran utama dunia melewati alur-alur pelayaran yang ada di perairan Indonesia. Betapa pentingnya kita bagi pelayaran laut dunia, namun mengapa kita sendiri yang menafikannya dengan membangun JSS.
JSS tak akan banyak membantu provinsi-provinsi di Sumatera kecuali Lampung. Ongkos logistik lewat darat dari sebagian besar provinsi di Sumatera ke Jawa dan sebaliknya akan tetap jauh lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan transportasi laut.
Kalau sekedar untuk mengintegrasikan Lampung dengan Banten, kapal ferry atau RhoRho cepat sudah sangat memadai.
Dengan demikian, JSS bukanlah perangkat yang efektif untuk memperkokoh konektivitas Sumatera dengan Jawa khususnya, apalagi untuk memperkokoh integrasi Indonesia umumnya. Jarak ekonomi antara Padang dan Jakarta (lihat Peraga di bawah) juga tidak akan terpangkas secara berarti, bahkan tak tertutup kemungkinan semakin jauh. Demikian pula dengan jarak ekonomi antara Aceh dan Jambi dengan Jakarta tak akan mengalami perubahan berarti.
Rencana pembangunan jalan tol Trans-Sumatera sekalipun tak akan menolong, karena angkutan barang lewat darat sejatinya jauh lebih mahal ketimbang angkutan laut. Hukum ekonomi ini berlaku pula untuk angkutan manusia. Bepergian dari Palembang ke Jakarta lewat darat dengan bantuan JSS tak akan bisa menandingi moda transportasi udara.
Tanpa JSS sekalipun Jawa dan Sumatera sudah sangat mendominasi perekonomian nasional dengan kecenderungan semakin mencengkeram selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2011 sumbangan Jawa terhadap perekonomian nasional sbesar 57,59 persen, lalu naik menjadi 57,62 persen pada tahun 2012, dan naik lagi menjadi 58,15 pada triwulan II-2013. Pada periode yang sama, peranan Sumatera masing-masing adalah 23,57 persen, 23,77 persen, dan 23,90 persen. Dengan demikian sumbangan kedua pulau ini merangkak naik dari 81,16 persen pada tahun 2011 menjadi 81,39 persen pada tahun 2012, dan 82,05 persen pada triwulan II-2013.
Bagaimanapun, jembatan adalah wujud dari cara berpikir darat. Dengan JSS, dominasi transportasi darat akan semakin mencengkeram. Untuk menopang JSS, pemerintah harus menambah kapasitas jalan di kedua pulau agar tidak seperti leher botol. Beban jalan di Jawa dan Sumatera bakal semakin berat. Ongkos pemeliharaan jalan semakin mahal. Sedangkan dengan memperkokoh transportasi laut tidak membutuhkan ongkos pemeliharaan. Tinggal membenahi pelabuhan dan memperkokoh armada pelayaran, sesusai dengan jatidiri negara maritim.
Dengan memperkokoh kelautan kita, arah industrialisasi bisa berubah. Industri yang berkembang pesat bukan kendaraan bermotor pribadi, melainkan industri perkapalan dan industri maritim yang mengolah hasil laut. Industri kendaraan bermotor bukannya akan mati, melainkan tetap tumbuh karena derived demand dari pengoptimalan potensi kekayaan laut.
Tak hanya itu. Sosok angkatan bersenjata kita pun akan berubah. Angkatan laut diperkuat untuk menjaga segenap tanah air dan tumpah darah Indonesia. Terus menerus memperbesar angkatan darat akan membuat bias, akan (baca: sudah) kambuh kecenderungan memperluas kesatuan teritorial, Kodam baru bermunculan. Padahal ancaman lebih besar dari luar sangat nyata. China yang semakin memperkokoh angkatan perangnya mengharuskan kita memperkuat angkatan laut. Bukankah ancaman dari dalam cukup ditangani oleh kepolisian negara. Belum lekang dari ingatan kita kasus dua pulau terdepan kita yang akhirnya dikuasai Malaysia
Hujah Teknis Finansial
Jembatan JSS yang membentang sepanjang kira-kira 30 kilometer diklaim bakal menjadi jembatan terpanjang di dunia.
Dana yang bakal dibenamkan sudah barang tentu sangat luar biasa, ditaksir sekitar Rp 200 triliun. Pemerintah mengklaim JSS tak menggunakan dana APBN sama sekali. Lalu, pihak mana yang hendak mendanai? Sepenuhnya swasta? Tampaknya begitu. Kalau ada penyertaan dana dari pemerintah provinsi Lampung dan provinsi Banten, agaknya sangat tidak berarti karena APBD kedua provinsi tersebut hampir habis untuk belanja rutin. Jika beberapa BUMN ikut serta, kapasitas pendanaan niscaya sangat terbatas. Perusahaan mana yang mampu membiayai proyek yang masa konstruksinya begitu panjang tanpa penghasilan sama sekali dan niscaya balik modalnya jauh lebih panjang lagi, setidaknya di atas 20 tahun.
Katakanlah pihak swasta murni yang akan mendanai dengan topangan dari pinjaman luar negeri. Hampir bisa dipastikan pihak penyandang dana akan mensyaratkan jaminan pemerintah. Jaminan itu bisa berupa kewajiban pemerintah menanggung pembayaran jika terjadi default atau wanprestasi. Bisa juga pihak swasta pengelola proyek meminta jaminan tingkat keuntungan (imbal hasil dalam persentase tertentu) yang berimplikasi pada keleluasaan pengelola untuk menentukan tarif jasa penggunaan jembatan. Jaminan sekecil apa pun secara tidak langsung melibatkan negara atau pemerintah dalam menanggung risiko. Sekalipun tak menggunakan dana APBN langsung, bakal ada dana yang harus dicadangkan di APBN untuk menutup sebagian dari risiko yang muncul. Dengan demikian hampir mustahil pemerintah lepas tangan sama sekali tanpa menanggung risiko sama sekali.
Pemerintah mengatakan proyek JSS diintegrasikan dengan proyek pengembangan kawasan JSS (PK-JSS). Kalau demikian halnya, bisa lain jalan ceritanya. Katakanlah pemerintah pusat atau pemerintah daerah memberikan konsesi lahan bagi proyek PK-JSS. Lahan baru yang bakal didedikasikan untuk proyek PK-JSS diperkirakan mencapai puluhan ribu hektar. Dengan penguasaan lahan seperti itu, boleh jadi PK-JSS bisa merupakan bisnis property raksasa di tanah air yang bernilai ratusan triliun. JSS merupakan pemantik luar biasa untuk melahirkan maharaja properti di negeri tercinta ini.
Misalkan luas lokasi yang didapat adalah 20.000 hektar atau 200 juta m2. Seandainya dijual dengan harga Rp 1 juta per m2, maka nilai tahan PK-JSS adalah Rp 200 triliun. Angka ini kebetulan sama dengan nilai proyek JSS.
Akan lebih menggiurkan lagi kalau calon pengelola proyek telah mengusai ribuan hektar tanah di sekitar PK-JSS, baik di Banten maupun Lampung, yang mereka telah beli dengan harga sangat murah. Kalau benar adanya demikian, proyek JSS senilai Rp 200 triliun menjadi sangat feasible secara bisnis. Mereka bisa menjualnya sebelum JSS selesai dibangun dan dioperasikan.
About faisal basri
Faisal Basri is currently senior lecturer at the Faculty of Economics, University of Indonesia and Chief of Advisory Board of Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA). His area of expertise and discipline covers Economics, Political Economy, and Economic Development. His prior engagement includes Economic Adviser to the President of Republic of Indonesia on economic affairs (2000); Head of the Department of Economics and Development Studies, Faculty of Economics at the University of Indonesia (1995-98); and Director of Institute for Economic and Social Research at the Faculty of Economics at the University of Indonesia (1993-1995), the Commissioner of the Supervisory Commission for Business Competition (2000-2006); Rector, Perbanas Business School (1999-2003). He was the founder of the National Mandate Party where he was served in the Party as the first Secretary General and then the Deputy Chairman responsible for research and development. He quit the Party in January 2001. He has actively been involved in several NGOs, among others is The Indonesian Movement. Faisal Basri was educated at the Faculty of Economics of the University of Indonesia where he received his BA in 1985 and graduated with an MA in economics from Vanderbilt University, USA, in 1988.
No comments:
Post a Comment