Saturday, February 20, 2016

Mun'im Sirry Menafsir Kisah Nabi Luth Secara Berbeda


https://www.inspirasi.co/post/detail/5806/munim-sirry-menafsir-kisah-nabi-luth-secara-berbeda?utm_campaign=shareaholic&utm_medium=facebook&utm_source=socialnetwork



Pengantar Redaksi 
Kisah Nabi Luth tidak cukup kuat jika dijadikan dasar hukum melarang homoseksualitas.
Demikian scholar Islam asal Indonesia yang mengajar di universitas Amerika menyimpulkan: Mun'im Sirry.
Bahkan Mun'im menafsirkan prinsip hukum Islam yang bisa menerima perkawinan sejenis.
Setuju atau tidak, tulisannya layak dibaca.

-0000-
ISLAM, LGBT DAN PERKAWINAN SEJENIS
Oleh Mun’im Sirry

Pro-kontra terkait LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender) mungkin saja akan segera meredup ditelan zaman. Tapi, kesan yang tersisa di kepala mereka yang pro dan kontra akan berbekas lama dan suatu saat muncul lagi dalam versinya yang lebih luas. Jika saat ini isunya berpusat sekitar sejauhmana legitimasi hak-hak kelompok LGBT dapat diakui dan diproteksi atau sebaliknya ditolak dan diberangus, di masa depan ruang-lingkup perdebatan bisa melampaui itu hingga soal keabsahan perkawinan sejenis. Lagi-lagi, agama (dalam hal ini, Islam) akan menjadi arena pertarungan penafsiran.

Pelajaran penting dari pro-kontra tersebut ialah keberadaan kelompok LGBT merupakan fakta sosial yang menuntut perbincangan serius dengan etika dan paradigma baru. Kehadiran mereka semakin tampak (visible) dan tak terbantahkan. Mereka yang menolak LGBT akan berargumen, penampakan mereka dalam ruang kenyataan tidak berarti dapat begitu saja dilegitimasi oleh agama. Hal itu benar adanya. Pertanyaannnya, apa dasar agama tidak melegitimasinya?

Dalam tulisan ini saya akan meruntuhkan argumen tekstual yang acapkali digunakan oleh mereka menolak hak-hak kaum LGBT. Saya akan menggiring perbincangan kita lebih jauh menyangkut prinsip-prinsip yang bisa dikembangkan untuk melegitimasi perkawinan sejenis.

Argumen tekstual dan alternatif tafsirnya
Dalam buku teks pelajaran Islam, Kementerian Pendidikan Arab Saudi menggambarkan “homoseksualitas” sebagai berikut: “Salah satu dosa paling menjijikkan dan pelanggaran terbesar. Allah tidak pernah mengazab suatu umat sebagaimana azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Lut. Dia menghukum mereka dengan hukuman yang tak dialami umat lain. Homoseksualitas merupakan perbuatan bejat yang berlawanan dengan tabiat alamiyah.” Ketika seorang hakim Hasan al-Sayis di Mesir mengetukkan palu menghukum seseorang yang dituduh sebagai gay, dia juga merujuk ke cerita kaum Lut sebagai dasar putusannya.

Mari kita diskusikan kisah kaum Lut dalam al-Qur’an dan lihat sejauhmana ayat-ayat tersebut dapat dijadikan argumen untuk mendelegitimasi kaum LGBT, termasuk untuk melangsungkan perkawinan sejenis.

Al-Qur’an menarasikan kembali kisah tersebut dari Kitab Kejadian 19 dalam Al-Kitab Ibrani (dalam Kristen disebut “Perjanjian Lama”). Nabi Lut disinggung dalam 14 surat al-Qur’an, yakni 6:85-87, 7:78-82, 11:73; 79-84, 15:58-77, 21:70-71; 74-75, 22:43-44, 26:160-176, 27:55-59, 29:25; 27-34, 37:133-138, 38:11-14, 50:12-13, 54:33-40 dan 66:10. Ayat terakhir memang hanya menyebut istri Nabi Lut, bukan Lut sendiri, tapi juga relevan.

Kisah Nabi Lut dan kaumnya menggambarkan paradigma al-Qur’an tentang misi kenabian. Disebut “paradigma” karena nabi-nabi dalam al-Qur’an digambarkan dengan pola yang sama, yakni diutus kepada suatu kaum untuk memberi peringatan, ditolak oleh sebagian kaum, dan Allah menurunkan azab. Lebih menarik lagi, dalam surat al-Syu‘ara’ (26), beberapa kalimat yang sama diucapkan oleh nabi-nabi berbeda. Lho koq bisa? Saya menyebut paradigma kenabian yang disuguhkan al-Qur’an ini sebagai “mono-prophetic” (kenabian tunggal). Dengan kata lain, walaupun ada banyak nama nabi disebut dalam al-Qur’an, tapi sesungguhnya satu sosok, yaitu ia yang diutus kepada suatu umat, ditolak oleh sebagian umat dan turunnya ancaman azab Tuhan.

Kisah Nabi Lut dan kaumnya juga menggambarkan paradigma Qur’ani itu. Apakah kisah Nabi Lut dan nabi-nabi lain adalah fakta sejarah atau bukan? Pertanyaan ini menjadi kurang relevan, karena dengan paradigma “mono-prophetic” al-Qur’an lebih menekankan pesan moralnya. Bahkan, apakah Nabi Lut dan yang lain benar-benar figur historis atau bukan, juga tidak revelan karena “prophetology” al-Qur’an bersifat tunggal (mono-prophetic).

Dengan pengantar agak konseptual ini kita bisa mengalisis “moral story” Nabi Lut dan kaumnya. Ketika Nabi Lut memberi peringatan: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki di antara ciptaan dan malah meninggalkan istri-istri yang Tuhanmu ciptakan untukmu?” (Q.26:165-166). Apa yang dimaksud “mendatangi” laki-laki? Dijelaskan dalam Q. 27:55, untuk melampiaskan “nafsu.” Di sini terlihat bahwa kaum Lut memiliki istri-istri yang sah, tapi mereka justru melakukan seks tidak senonoh dengan para pengunjung laki-laki yang singgah ke kota mereka. Hal ini berarti bahwa hubungan seks mereka terjadi di luar nikah. Penjelasan ini perlu digarisbawahi karena, sebagaimana akan dijelaskan nanti, sebagian madzhab fikih menganalogikan sodomi dengan zina.

Lalu, apa yang terbayang di pikiran kita tentang perlakuan kaum Lut terhadap pelancong dari luar kota? Apakah para pelancong itu akan menerima dengan suka-rela? Hanya mereka yang tidak punya hati nurani yang akan meng-iya-kan pertanyaan itu. Jika demikian adanya, kebejatan perbuatan kaum Lut itu terletak pada aspek pelampiasan nafsu yang bersifat semau-dewe, dan dapat dikategorikan “pemerkosaan.”

Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan eksplisit kenapa kaum Lut melakukan itu, sebagaimana tidak ada penjelasan rinci tentang banyak hal lain. Q.54:37 memberikan kesaksian menarik. Malaikat yang menjelma sebagai laki-laki diincar untuk diperkosa, dan Tuhan membutakan mata mereka. Lalu, dari mana Kementerian Pendidikan Arab Saudi sampai pada kesimpulan bahwa kaum Lut diazab dengan hukuman yang tak terkira karena homoseks? Ulama Saudi biasanya literlek dalam memahami al-Qur’an, tapi kenapa dalam hal ini tidak? Jika merujuk ke Q. 29:29, pelanggaran kaum Lut itu bertumpuk-tumpuk, selain melampiaskan nafsu pada laki-laki (tentu tanpa nikah!), juga merampok, berbuat munkar, dan menantang Tuhan.

Jika para penolak hak-hak LGBT konsisten dengan tafsir literleknya, semestinya mereka tidak akan gegabah mengaitkan azab pedih Tuhan dengan perbuatan homoseksual. Lihatlah bagaimana ulama literalis Ibn Hazm (w.1064) memahami azab yang menimpa kaum Lut. Dalam magnum opus-nya, Kitab al-Muhalla, ulama asal Andalusia itu menolak pandangan yang mengaitkan azab kaum Lut dengan perbuatan seks sesama laki-laki, tapi justeru karena penolakan mereka terhadap ajakan Nabi Lut dan misi kenabiannya. Penjelasan Ibn Hazm mirip dengan gagasan “mono-prophetic” yang saya kemukakan di atas (walaupun, tentu saja, saya tidak literalis!): Nabi Lut diutus untuk menyampaikan pesan Ilahi, ditolak oleh sebagian kaumnya. Allah mengazab mereka yang menolak dan memberkahi mereka yang menerima.

Singkatnya, ayat-ayat al-Qur’an terkait kisah Nabi Lut dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT, termasuk melarang mereka menikah sejenis.

Prinsip-prinsip dasar perkawinan sejenis
Landasan normatif lain yang kerap dijadikan alasan kaum konservatif ialah hadis Nabi yang memerintahkan hukum bunuh bagi mereka yang melakukan seks sodomi. Hadis-hadis yang menyebut bentuk-bentuk hukuman tertentu terhadap sodomi sudah banyak dipersoalkan otentisitasnya bahkan oleh ulama-ulama konservatif sendiri, seperti Syinqiti.

Di kalangan para fuqaha, terdapat perbedaan tajam mengenai bentuk-bentuk hukuman bagi pelaku sodomi. Perbedaan mereka cukup substantif karena terkait aspek konseptual kenapa pelaku sodomi harus dihukum. Perlu diakui, empat madzhab Sunni menggolongkan sodomi sebagai pelanggaran. Tak ada keraguan soal itu. Menarik dicatat di sini, mereka membedakan antara sodomi dengan laki-laki dan perempuan. Yang terakhir disebut “liwat sughra” (sodomi ringan). Dalam madzhab Syi’ah, sodomi dengan istri diperbolehkan, walaupun sebisa mungkin dicegah.

Pertanyaannya, kenapa para fuqaha menganggap “liwat” (sodomi) sebagai pelanggaran? Pertanyaan ini menarik didiskusikan karena dasar-dasar asumsinya bertolak belakangan dengan bagaimana pendapat para fuqaha itu dipahami oleh kaum konservatif belakangan. Perlu segera disebut dahulu, al-Qur’an jelas tidak menetapkan suatu hukuman tertentu bagi pelaku sodomi. Lalu, bagaimana menentukan bentuk hukumannya? Mereka menganalogikan dengan zina yang bentuk hukumannya dijelaskan dalam al-Qur’an. Kenapa analogi ini menarik? Karena asumsi dasarnya ialah sodomi yang dihukum (seperti halnya zina) ialah yang dilakukan di luar jalingan pernikahan. Tiga madzhab, yakni Maliki, Syafi’i dan Hanbali, menyamakan sodomi dengan zina yang ketentuan hukumnya disebut “had” (jamaknya, hudud), yakni bentuk hukuman yang sudah dipatok dalam al-Qur’an.

Sementara itu, madzhab Hanafi yang tidak mau menggunakan analogi (qiyas) dalam konteks ini berpendapat hukuman sodomi ialah “ta‘zir”, yakni bentuk hukuman yang diserahkan sepenuhnya kepada keputusan penguasa. Perbedaan keempat madzhab itu mengindikasikan bahwa mereka semua tidak menerima hadis yang memerintahkan hukum bunuh bagi pelaku sodomi sebagaimana yang sering disitir kaum konservatif belakangan.

Sampai di sini, saya berharap saya berhasil mematahkan argumen tekstual yang mendiskreditkan kaum LGBT itu. Perlu diakui, sebagaimana tidak dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis, juga tidak ada dalil yang jelas-jelas membolehkannya. Lalu, apa prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan perkawinan sejenis dapat dibenarkan? Jawabnya, konsep kemaslahatan yang bermuara pada terwujudnya kesataraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Konsep kemaslahatan ini muncul cukup awal dalam tradisi yurisprudensi Islam dan terus berkembang hingga sekarang, yang mengindikasikan bahwa konsep itu merepresentasikan “spirit” agama yang mampu menyerap perkembangan zaman.

Tidak sulit untuk berargumen secara rinci kenapa atas nama kemaslahatan perkawinan sejenis dapat dibenarkan. Karena keterbatasan ruang (dan waktu), saya dapat katakan bahwa pelembagaan perkawinan sejenis memungkinkan pasangan dapat menikmati berbagai hak keistimewaan (privileges) yang dinikmati suami-istri lain.

Ada argumen klasik yang sering disebut untuk menolak konsep kemaslahatan, yaitu “tidak ada kemaslahatan manakala bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis.” Saya sengaja memulai diskusi dengan mematahkan argumen tekstual dari al-Qur’an dan hadis supaya penolakan semacam ini tidak dimunculkan.

No comments: