Friday, February 26, 2016

Politik ‘Proxy’ Anti-LGBT


http://indoprogress.com/2016/02/politik-proxy-anti-lgbt/


lgbt

AGAKNYA tidak ada isu yang bisa menyatukan publik Indonesia sekuat isu LGBT. Akhir-akhir ini, arus penentangan terhadap LGBT terjadi lintas-agama, lintas-partai atau lintas-ideologi politik, dan bahkan lintas kelas sosial. LGBT melahirkan histeria publik. Kontroversi tidak hanya terjadi berlangsung di dunia online dan media sosial, namun juga dalam bentuk diskusi serta aksi-aksi di jalanan. Isu ini semakin hari semakin menggelinding. Anehnya, semua diskursus tentang LGBT tidak mendorong pada pencarian informasi yang sungguh-sungguh tentangnya, namun justru memperkuat prasangka-prasangka yang keliru dan tak berdasar.
LGBT adalah sebuah singkatan dalam bahasa asing yang mengacu pada lesbian, gay, bisexual dan transgender.Lesbian dan gay lebih dikenal dengan homoseksual, yakni kaum yang memiliki orientasi seksual yang tertarik terhadap sesama jenis. Sementara bisexual adalah orientasi sexual yang tertarik baik pada sesama maupun lain jenis kelamin. Transgender adalah orientasi seksual yang cenderung berbeda dengan penampilan fisik. Di Indonesia, transgender itu lebih dikenal dalam keseharian sebagai kaum waria (wanita-pria) atau populer dengan sebutan (yang agak merendahkan) seperti bencong.[1]
Ini semua dimulai oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir, yang melarang semua kegiatan LGBT di kampus-kampus. Menteri ini menanggapi kegiatan sebuah kelompok yang bernama Support Group an Ressources Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia, yang menawarkan konseling untuk kelompok LGBT. Kepada media, Menteri Nasir mengatakan, “LGBT tidak sesuai dengan tataran nilai dan kesusilaan bangsa Indonesia. Saya melarang. Indonesia ini tata nilainya menjaga kesusilaan.”
Pernyataan ini memancing kontroversi. Pihak menteri melunakkan posisinya. Dia mengatakan bahwa sebagai warga negara kaum LGBT punya hak yang sama dalam hal perlindungan hukum. Dia juga mengatakan kampus terbuka untuk melakukan kajian, termasuk mengkaji LGBT. Yang dia tentang adalah apabila kaum LGBT melakukan tindakan yang kurang terpuji (sic.) seperti bercinta atau pamer kemesraan di kampus. “Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak menganggu kondusifitas akademik,” demikian katanya dikutip oleh media. Namun isu ini tidak berhenti di sini. Ia justru menjadi awal dari sebuah gelombang anti-LGBT.
Mengapa histeria ini muncul sekalipun fenomena LGBT sangat jamak dalam konteks masyarakat lokal Indonesia? Jawabnya mungkin harus dicari dari politik anti-LGBT itu sendiri. Mencermati perjalanan isu ini serta pembentukan opini lewat media massa dan media sosial, sangat tampak bahwa histeria anti-LGBT adalah, ironisnya, merupakan wali atau ‘proxy’ dari pertarungan kekuasaan dalam masyarakat kita.
***
Tanggapan di kalangan elit terhadap isu LGBT memperlihatkan betapa kurangnya pengetahuan mereka terhadap isu ini. Sekali pun dibahas dalam forum seperti focus group discussion atau talk show, tampak bahwa sebagian besar yang dikemukakan tentang LGBT lebih banyak berdasarkan prasangka ketimbang sebuah pergulatan intelektual. Penyakit ini tidak saja menghinggapi kalangan elit politik yang melihat isu ini sebagai kesempatan untuk mengembangkan kekuasaannya. Yang mengejutkan, prasangka ini juga muncul dari kalangan profesional – psikiater dan psikolog – yang secara intelektual seharusnya sangat paham. Karena ini adalah bagian dari profesi mereka.
Taruhlah misalnya pendapat dr Fidiansyah Sp KJ MPH yang menjadi sangat populer karena dikemukakan pada acara TV Indonesia Lawyers Club. Psikiater yang juga menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza di Kementerian Kesehatan menyatakan, Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT) adalah gangguan jiwa dan bisa menular. Klaim ini dilontarkan dengan menenteng buku tebal yang dikatakannya mengalahkan ‘buku saku’ yang dipakai acuan para aktivis LGBT. Buku tebal yang dipegang Fidiansyah itu tidak lain adalah buku Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III. Buku ini adalah buku pedoman diagnosis gangguan jiwa yang diterbitkan oleh Kemenkes tahun 1993.
Klaim bahwa LGBT merupakan penyakit kejiwaan yang bisa menular dengan segera juga menular. Dari sanalah terbentuk opini dan menular persis seperti penularan virus. Media-media keagamaan menjadi loudspeakerpendapat ini. Kaum moralis dengan segera mengajak untuk membangun benteng moral. LGBT dianggap menjadi ancaman untuk eksistensi bangsa dan negara ini. Dari semua ini lahirlah seruan dan ajakan untuk ‘waspada’ akan bahaya LGBT. Dari sinilah histeria itu muncul.
Dengan tiba-tiba kita menyaksikan berbagai macam pendapat yang tidak saja menawarkan solusi kepada ‘penderita LGBT’ namun juga menawarkan solusi sosial bagaimana ancaman LGBT ini bisa dicegah.
Lihatlah seperti pendapat Walikota Tangerang Arief R. Wismansyah ini. Dia, dikutip media, mengatakan bahwa pemberian makanan instan dan susu kalengan (formula) akan menyebabkan anak menjadi LGBT. “Ini kan trennya karena orang tuanya sibuk kerja akhirnya dikasih susu kaleng dan makanan instan. Makanya tidak heran jika akhir-akhir ini banyak terjadi penyimpangan LGBT,” demikian pendapatnya dalam sebuah seminar. Sekalipun menggelikan, pernyataan harus dilihat sebagai sebuah usaha untuk membuat sebuah pernyataan politik.
Namun tidak ada yang lebih dahsyat dari Menteri Pertahanan Jendral Ryamizard Ryacudu. Dia menghubungkan keberadaan gerakan LGBT di Indonesia dengan perang perwalian atau proxy war. Dia mengatakan ada banyak kesamaan antara perang perwalian dnegan gerakan LGBT. “Sejak 15 tahun lalu, saya sudah buat (tulisan) perang modern, itu sama modelnya. Perang murah meriah,” demikian katanya.
Perang perwalian atau proxy war adalah sebuah perang dengan menggunakan proxy. Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang baru dari proxy war ini. Pihak lawan menggunakan pihak ketiga untuk mengalahkan musuh. Ryamizard menjelaskannya dengan tidak terlalu jelas. “Tidak berbahaya perang alutsista, tapi yang berbahaya cuci otak yang membelokkan pemahaman terhadap ideologi negara,” demikian katanya. Mungkin maksudnya adalah bahwa bahaya perang perwalian tidak tampak seperti bahaya perang dengan alutsista (alat utama sistem pertahanan) yang memakai sistem persenjataan militer. Namun, bahaya perang perwalian ini adalah pada kemampuannya mencuci otak sehingga ‘membelokkan pemahaman terhadap ideology negara.”
“Kalau perang proxy, tahu-tahu musuh sudah menguasai bangsa ini. Kalau bom atom atau nuklir ditaruh di Jakarta, Jakarta hancur, di Semarang tak hancur. Tapi, kalau perang modern, semua hancur. Itu bahaya,” lanjutnya.
Akhir-akhir ini, militer Indonesia memang sangat terobsesi dengan perang perwalian ini. Adalah Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo yang dipandang sebagai ahli dalam peperangan model ini. Dalam roadshow ke berbagai kampus perguruan tinggi di Indonesia semasa dia menjadi Pangkostrad atau sewaktu menjabat Kasad, dia selalu menyempatkan diri untuk menerangkan keberadaan perang perwalian ini.
Nurmantyo biasanya mengkaitkan perang ini dengan perang sumber daya. Dalam anggapannya, Indonesia adalah negara super kaya dengan sumber daya alam. Oleh karena itu, semua kekuatan di dunia ini berebut untuk menguasai Indonesia. Contoh yang paling digemari oleh Nurmantyo adalah lepasnya Timor Leste dari Indonesia, yang menurutnya karena adanya kandungan minyak yang luar biasa besar di wilayah Celah Timor yang bernama Greater Sunrise. Tentu saja, bukti-bukti dari industri perminyakan tidak pernah menunjukkan kandungan minyak dan gas yang sebesar yang dibayangkan Nurmantyo. Juga sulit untuk membuktikan bahwa kemerdekaan Timor Leste adalah semata karena faktor minyak di Celah Timor.
Nurmantyo pernah menjelaskan bahwa ada beragam cara untuk menguasai Indonesia. “Mulai dari pembentukan opini menciptakan rekayasa sosial, perubahan budaya, adu domba TNI-Polri, pecah belah partai, dan penyelundupan narkoba sudah jauh-jauh hari dilakukan,” demikian jelasnya. Untuk orang yang besar pada masa Orde Baru (penulis temasuk), perang model ini sesungguhnya tidak terlalu asing di telinga. Pemerintahan Soeharto, terutama sejak era 1990an, tidak pernah bosan untuk mengingatkan kekuatan-kekuatan ‘subversif’ yang ingin meruntuhkan negara. Semua lawan-lawan politik Orde Baru disebut sebagai melakukan subversi. Tidak terlalu sulit untuk memahami betapa dekat konsep perang perwalian (proxy war) dengan kegiatan subversif yang menjadi obsesi rezim Orde Baru. Para perwira ini dididik, meniti karir, dan dibesarkan oleh tangan Orde Baru.
Namun juga tidak ada yang lebih kreatif dari Ryamizard Ryacudu dalam hal menerapkan konsep perang perwalian ini untuk mendefinisikan gerakan LGBT. “(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya, ingin merdeka segala macam, itu bahaya,” demikian katanya.
lgb
Gambar diambil dari www.massugi.com

Histeria terhadap LGBT tidak hanya muncul dalam bentuk diskusi dan lontaran-lontaran pernyataan. Seiring dengan menghangatnya diskusi dan perang pernyataan, ancaman fisik terhadap komunitas LGBT juga dilancarkan. Di Yogyakarta, Pondok Pesantren Al Fatah yang menampung kaum waria belajar agama Islam diancam ditutup oleh kelompok-kelompok Islamis. Di beberapa kota sudah terdengar ancaman untuk menyerbu dan menutup rumah-rumah komunitas LGBT yang biasa dipakai untuk melakukan konseling dan melakukan pendidikan kesehatan seksual.
Jika di jalanan ancaman kekerasan menjadi semakin nyata, maka di tingkat politik pun para politisi bermanuver untuk membuat kebijakan guna membatasi gerak atau bahkan meniadakan LGBT. Fraksi Partai Keadilan Sejahatera di DPR, dengan cepat memanfaatkan kesempatan ini. Fraksi ini mengaku akan mengusulkan rancangan undang-undang larangan LGBT yang mereka namakan RUU Anti Penyimpangan Seksual.
“Korban dari LGBT harus diselamatkan, disembuhkan. Oleh karena itu, kami F-PKS memandang perlunya disusun rancangan undang-undang larangan LGBT ini,” demikian kata Ketua F-PKS Jazuli Juwaini kepada Detik.com. Dia mengaku bahwa dia sudah berkonsultasi dengan berbagai pihak, mulai dari gereja hingga ke Komnas HAM, terkait dengan rancangan undang-undang ini.
Jazuli Juwaini juga mengatakan bahwa rancangan undang-undang ini tidak akan mengijinkan tindak kekerasan terhadap LGBT. Dalam hal ini dia mengatakan hak-hak asasi manusia LGBT akan dijamin tetapi, sebagaimana dikutip Detik.com, ‘bukan berarti hak itu membuat orang lain merasa tidak nyaman.’ “Kalau misalnya anda punya anak laki-laki, tiba-tiba bilang ingin dinikahkan tapi dengan laki-laki juga, atau punya anak perempuan ingin dinikahkan dengan perempuan juga, bagaimana perasaan anda?” demikian dia bertanya.
Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga bergerak cepat. Lembaga yang akhir-akhir ini banyak diejek di media sosial karena mudahnya melakukan sensor pada tayangan televisi, mengeluarkan “edaran kepada seluruh lembaga penyiaran mengenai pria yang kewanitaan.” KPI meminta agar lembaga penyiaran tidak menampilkan pria sebagai pembawa acara (host), talent, maupun pengisi acara lainnya (baik pemeran maupun pendukung) yang memiliki tampilan seperti: (1) Gaya berpakaian kewanitaan; (2) Riasan (make up) kewanitaan; (3) Bahasa tubuh kewanitaan, (termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya); (4) Gaya bicara kewanitaan; (5) Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan; (6) Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita; (7) Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan.
Argumen yang disampaikan oleh KPI dalam pelarangan ini sangat kabur. KPI menilai bahwa hal-hal tersebut “tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat serta perlindungan anak-anak dan remaja. Siaran dengan muatan demikian dapat mendorong anak untuk belajar dan/atau membenarkan perilaku tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari.”
***
Isu LGBT dari waktu ke waktu memperlihatkan perkembangan yang mengarah pada kebencian. Kita lihat pada awalnya, orang yang pertama kali mengangkat isu ini, yakni Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir, agak memundurkan posisinya ketika kecaman mulai datang. Namun isu ini ditangkap oleh elit dan politisi nasional dan dibingkai sedemikian rupa untuk menaikkan kepentingannya. Dari situlah kita melihat berbagai kepentingan mulai menonjol, mulai dari pernyataan konyol tentang mie instan hingga ke perang perwalian, yang seluruhnya memiliki agenda tersendiri untuk memajukan kepentingannya masing-masing.
Paling tidak kita lihat ada dua kebijakan yang ditawarkan berkaitan dengan LGBT. Keduanya bersifat sangat diskiriminatif. Yang pertama adalah Rancangan Undang-undang Anti Penyimpangan Seksual yang diusulkan oleh F-PKS di DPR. Dan yang kedua adalah edaran KPI. Kedua kebijakan ini sangat diskriminatif dan dilandasi oleh semangat untuk mengeliminasi orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda.
Kecenderungan (trend) yang muncul ini tentu sangat mengkhawatirkan. Surat edaran KPI, misalnya, sangat bertentangan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Telah lama rumah tangga-rumah tangga Indonesia disinggahi oleh tokoh-tokoh seperti Dorce Gamalama, Ade Juwita yang berasal dari Papua, Tessy Srimulat, Karjo AC/DC, dan lain sebagainya. Mereka sudah lama memberikan hiburan kepada publik.
Pemain laki-laki yang memerankan perempuan dan sebaliknya juga bertebaran di lingkaran kesenian tradisonal. Dalam wayang orang, misalnya, tidak jarang tokoh Arjuna diperankan oleh perempuan. Sebaliknya tokoh Srikandi bisa diperankan oleh laki-laki atau perempuan. Srikandi adalah tokoh yang sulit ditentukan gendernya karena dia dilahirkan perempuan namun diasuh dan dibesarkan sebagai laki-laki.
Selain itu, di hampir semua kebudayaan ada pengakuan akan kehadiran para transgender ini. Keraton-keraton Jawa mengadopsinya dalam berbagai ritual mereka. Bahkan dalam beberapa kebudayaan Nusantara (setahu saya juga banyak di kebudayaan lain di muka bumi ini), penggolongan kelamin tidak melulu laki-laki dan perempuan. Selalu diakui adanya gender ketiga. Bahkan ada kebudayaan yang memiliki empat atau lima jenis gender.
Alasan KPI untuk melarang laki-laki tampil kewanitaan ini sulit dimengerti. Mereka mengatakan bahwa hal ini “tidak sesuai dengan ketentuan penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan”, tidak memiliki dasar apapun dalam hidup sehari-hari masyarakat. Laki-laki yang tampil sebagai perempuan atau sebaliknya sudah ada sejak dulu dalam masyarakat. Tidak saja di Indonesia tetapi juga di hampir seluruh masyarakat di dunia.
Kekhawatiran bahwa siaran dengan muatan demikian akan “mendorong anak untuk belajar dan/atau membenarkan perilaku tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari” tampaknya sangat mengada-ada. Karakter seperti itu sudah ada semenjak adanya dunia hiburan. Namun rupanya hal ini sama sekali tidak mampu dicerna oleh para komisioner KPI. Bahkan aktor TV Ivan Gunawan pun tidak boleh lagi dipanggil ‘Mak Igun’, sebagaimana dia bisa dipanggil oleh rekannya sesama artis di televisi. Dalam hal ini kita dipertontonkan pada gejala mental yang amat patologis di pihak KPI. Pelarangan yang demikian massif hingga masuk ke dunia verbal ini justru memunculkan pertanyaan akan kesehatan mental KPI sendiri.
Sulit untuk membantah bahwa rancangan undang-undang yang diajukan oleh PKS maupun surat edaran KPI ini tidak sekedar dilandasi oleh homophobia atau ketidaksukaan atau prasangka terhadap kaum homoseksual. Kedua kebijakan ini dilandasi tidak lagi oleh homofobia semata melainkan kebencian yang teramat sangat terhadap LGBT. Sulit untuk mendeteksi darimana datangnya kebencian ini.
Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah mengapa muncul histeria yang homophobic ini? Satu-satunya jawaban yang mungkin bisa diberikan adalah karena LGBT mampu menjadi wali atau ‘proxy’ atas ketidakmampuan kita mengatasi masalah-masalah hidup sehari-hari kita yang makin berat. Dengan kata lain, kita menjadi histeris karena kegagalan kita menjawab persoalan-persoalan hidup sehari-hari yang makin berat dan makin sulit untuk ditangani dengan kemampuan kita sendiri.
Hal yang sama juga dialami oleh administrasi pemerintahan presiden Jokowi. Kita menyaksikan bahwa anggota administrasi pemerintahan Jokowi tidak bereaksi untuk meredam kebencian yang semakin menguat terhadap kaum LGBT. Bahkan, seperti dalam kasus Ryamizard Ryacudu, administrasi ini mengipasi kebencian tersebut. Tidak sedikitpun administrasi pemerintahan ini menawarkan perlindungan kepada kaum LGBT yang semakin hari semakin terancam.
Klaim dari F-PKS, yang mengajukan RUU Anti Penyimpangan Seksual itu, bahwa mereka akan memberikan perlindungan kepada kaum LGBT juga patut diwaspadai. Kita harus belajar dari pengaturan pendirian rumah ibadah dan pendirian lembaga kerukunan umat beragama di jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua peraturan ini pada akhirnya hanya menginstitusionalisasikan diskriminasi. Itulah yang akan terjadi jika F-PKS berhasil mengesahkan RUU ini menjadi undang-undang. Ia akan hanya menjadi institusionalisasi kebencian dan diskriminasi terhadap kaum LGBT.
Ketidakmauan untuk bertindak dan memberi perlindungan kepada kaum LGBT ini tidak terlalu mengherankan. Sekalipun sudah satu setengah tahun, administrasi pemerintahan Jokowi memang kurang berhasil menunjukkan keberhasilannya memerintah. Histeria seperti ini diperlukan untuk menutupi semua kelemahan itu.
Hanya saja, yang membikin sedih dan sesak, kita selalu mengulang hal yang sama. Kita menjadikan mereka yang lemah, yang minoritas, yang kita definisikan ‘berkelainan,’ sebagai wali (proxy) untuk menutupi kegagalan-kegagalan kita. Penyakit kita sebagai bangsa adalah kita terlalu gemar menindas yang lemah. ***

—————-
[1] Ada banyak buku yang bisa dibaca untuk mengerti isu LGBT dengan baik. Salah satunya adalah, karya Dédé Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta : Galang Press Yogyakarta, 2001. Mendiang Ben Anderson memberi kata pengantar yang sangat bagus pada buku ini. Buku ini bisa diunduh pada laman ini: http://gayanusantara.or.id/download.html

No comments: