[Posted by K.Kadiman on FPK milis - Oct 24, 2006]
Adakah Cara Selain Reboisasi?
Bambang Setiadi
AKHIR bulan Agustus lalu, setelah sidang kabinet, suatu program dicanangkan oleh Menteri Kehutanan DR. M Prakosa, yaitu rencana mengatasi kekeringan di Pulau Jawa dengan melakukan reboisasi di 21 kawasan DaerahAliran Sungai (DAS). Dana yang dibutuhkan mencapai Rp 10 triliun. SECARA teknik-akademik, reboisasi memang berkaitan langsung dengan neracagerak air hujan setelah jatuh menimpa Bumi. Prinsipnya, hujan yang jatuh mempunyai kesempatan untuk lebih lama tinggal di permukaan maupun dalam tanah karena kemampuan tanaman menahan laju jatuhnya hujan. Cara lain menahan hujan dengan sumur tadah hujan, penampungan hujan di rumah-rumahpenduduk secara langsung hanya di arahkan untuk kepentingan jangka pendek.Karena itu, masuk dalam nalar bahwa untuk mengatasi kekeringan perlu program reboisasi. Masalah yang muncul adalah program reboisasi adalah ide dasar yang baik, tapi selalu ruwet dalam proses pelaksanaan dan pendanaannya. Artikel ini diarahkan menuju dua sasaran yaitu reboisasi sebagai isu sentral dan mencari kontra isu reboisasi.
Pendanaan reboisasi
Harus ada keberanian sekarang ini untuk menyatakan bahwa dalam tata pengelolaan hutan di Tanah Air kita reboisasi tujuannya benar, namun sistem pendanaan reboisasi selama ini adalah pendekatan yang salah.Buktinya sederhana, laju kecepatan pencurian kayu hutan mencapai 1,3-2,4juta hektar tiap tahun melebihi angka pulihnya hutan kita akibat program reboisasi. Angka keberhasilan reboisasi sulit dicari hingga saat ini.Namun, justru yang sering muncul adalah angka perkiraan bahwa total kerugian akibat pencurian kayu hutan mencapai Rp 30 triliun tiap tahun.Dalam kosa kata sederhana, berapa pun uang kita taruh untuk memperbaiki hutan dengan pola reboisasi tak pernah akan mampu memulihkan kondisi hutan kita. Selisih angka kerusakan dan keberhasilan amat besar. Akibatnya,reboisasi menjadi sebuah upaya sia-sia. Kasus yang paling "gres"dilaporkan 60 persen pelaksanaan reboisasi di Kaltim gagal. Dana reboisasiRp 200 miliar tidak digunakan untuk reboisasi tapi untuk pembangunan fisik. (Kompas, 25/08/03) Kalkulasi-kalkulasi pesimistik tentang kondisi hutan kita disuarakan serentak oleh berbagai kalangan. Bank Dunia meramalkan, dalam 10 tahun lagi Indonesia tidak akan punya hutan alam produksi lagi. WALHI lebih pesimis lagi hanya tinggal 5 tahun lagi. Dengan menggunakan citra satelit,Join Research Centre Italia memperkirakan semua hutan dataran rendah Sumatera akan hilang 2005, dan hutan Kalimantan hilang tahun 2010. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari komponen SDA bidang kehutanan adalah sekitar 2,4 persen atau sekitar Rp. 1,2 triliun, sedangkan penerimaan negara yang hilang akibat illegal logging adalah 25 kali PNBP dari sektor kehutanan. Pertanyaannya: masih realistiskah penerapan konsep reboisasi dalam situasi kehutanan yang ruwet seperti itu?
Bioright
Sekarang, sedang muncul berbagai pemikiran tentang menyelamatkan hutan dengan prinsip pendanaan yang sangat berbeda dengan reboisasi. Pertama,hutan bukan lagi dilihat sebagai kapital, namun hutan adalah bank. Artinya, kita bisa memanfaatkan hutan tanpa merusak. Kedua, hutan dirusak karena menjadi penghasilan utama masyarakat sekitar hutan yang dipengaruhisistem bisnis kayu yang kuat dan tersembunyi di luar masyarakat sekitar hutan.Pada prinsip pertama, saat ini kalau kita manfaatkan hutan bukan untuk menjual kayunya, tapi justru bagaimana menyelamatkan kayu tersebut sebagai fungsi yang lebih penting, untuk biodiversity atau menahan hujan. Pada prinsip kedua kita bisa bandingkan, hutan-hutan di Eropa dan Jepang sangat terjaga fungsi dan potensinya, itu disebabkan masyarakat yang tinggal disekitarnya memang kaya tidak perlu membabat kayu. Jadi, mereka tak pernah melihat hutan sebagai penghasilan, tapi sesuatu yang harus dijaga.Buktinya, Jepang meski mempunyai hutan, mereka tak pernah memotong satupun kayu hutannya untuk industri, mereka beli dari hutan kita. Demikian juga negara-negara Eropa.Prinsip pengelolaan hutan- termasuk reboisasi-tanpa menggelontorkan dana langsung ke sektor kehutanan dikenal dengan nama Bioright. Secara sederhana, jalan pikirannya adalah pembabatan hutan melalui illegal logging dilakukan masyarakat sekitar hutan karena mereka memang miskin.Tak ada alternatif lain. Karena itu, yang harus diperbaiki adalah masyarakat sekitar hutan, dengan diberikan lapangan kerja dan cara hidup yang lebih murah dan mudah. Misalnya, kita memperoleh dana untuk reboisasi-baik dari dalam maupun luar negeri- mungkin dana itu dapat digunakan untuk membuat sekolah dan pengobatan gratis di lingkungan masyarakat hutan, membuka lapangan kerja baru atau membuka akses-aksespertumbuhan ekonomi seperti jalan raya dan sebagainya. Nanti, pada saatnya, masyarakat sekitar hutan yang sudah mapan itu akan menjaga hutan,bukan merusaknya. Hutan itu sendiri mungkin tak memerlukan banyak investasi. Hutan kita sebagian besar tumbuh berkembang tanpa pernah ada yang menanam. Biarkan saja, ia akan mengatur dirinya sendiri.Menurut rencana, tahun ini akan direboisasi 300.000 hektar, tahun depan direncanakan 500.000 hektar. Pada dua tahun itu, kemungkinan angka rusak hutan kita sudah mencapai sekitar 3-4 juta hektar. Dengan tingkat penyimpangan yang demikian besar pada setiap pelaksanaan program reboisasi, maka kita boleh khawatir reboisasi tak akan pernah menjadi jalan penyelesaian masalah kerusakan hutan di Tanah Air kita. Angka-angkanya mengatakan begitu.
Dr. Bambang Setiadi Koordinator Tim Indonesia untuk Laboratorium Alam Hutan Gambut
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment